Thursday, August 19, 2010

Kompas Emas

Buku ini adalah seri pertama dari trilogi His Dark Material, yang berjudul asli The Golden Compass. Bergenre fantasi serta petualangan yang seru, hasil karya Philip Pullman. Kalau anda pencinta kisah fantasi, buku ini pasti yang anda cari. Tapi kalaupun anda lebih suka ketegangan, buku ini cukup menjanjikan ketegangan itu. Kalau aku sih, ada di tengah-tengahnya deh. Antara fantasi dan ketegangan ditambah misteri. Woow...ayo kita kupas ceritanya...

Namanya saja kisah fantasi, maka setting tempatnya pun juga fantasi, meski semuanya berawal di sebuah Akademi yang berlokasi di Inggris. Entah di abad mana kisah ini berlangsung, namun ada sebuah keunikan yang membedakannya dengan dunia nyata di jaman manapun. Yaitu, tiap manusia memiliki daemon (baca: demon). Daemon itu berwujud hewan, dan pertalian daemon dan tuannya seerat pertalian tubuh dan jiwa. Tak ada tubuh yang hidup tanpa jiwa, juga tak ada jiwa yang tenang tanpa tubuh. Apa yang dialami jiwa akan dirasakan tubuh, dan apa yang terjadi pada tubuh akan mempengaruhi jiwa. Demikian halnya hubungan manusia dengan daemonnya. Apa yang dirasakan salah satu darinya, akan dirasakan lainnya. Dan keduanya tak dapat berpisah.

Ada seorang anak perempuan bernama Lyra yang bandel, liar dan susah diatur. Namanya Lyra, dan daemonnya bernama Pantalaimon. Pada saat seorang anak belum akil balig, daemon ini dapat berubah-ubah bentuk. Begitu juga Pantalaimon bisa menjadi apa saja mulai dari ngengat, tikus, hingga harimau. Kurasa, itu mengacu pada jiwa kanak-kanak yang tidak stabil, dan belum menemukan bentuk yang tepat untuk jatidirinya.

Ada dua peristiwa yang sedang terjadi di sekitar Lyra. Pertama, banyak anak kecil dikabarkan hilang. Kedua, sebuah fenomena yang sedang diributkan oleh para Cendekiawan, yang mereka sebut Debu. Fenomena kedua masuk ke dalam kehidupan Lyra karena secara tak sengaja ia melihat sebuah percobaan peracunan terhadap pamannya, Lord Asriel oleh Master (kepala Akademi). Sedangkan hilangnya anak-anak akhirnya juga menimpa anak-anak gipsi teman bermain Lyra di luar Akademi, serta sahabat baiknya Roger, sang pesuruh dapur Akademi.

Kabarnya, anak-anak malang itu dibawa oleh para "Pelahap" untuk "dipotong". Apa maksudnya? Tak seorangpun mengerti. Hingga suatu saat Lyra dibawa pergi oleh seorang wanita cantik nan ramah bernama Mrs. Coulter yang berdaemonkan seekor monyet emas. Sebelum Lyra berangkat, Master memanggilnya diam-diam dan menyuruhnya membawa sebuah alat bernama alethiometer yang harus ia jaga baik-baik dan tak boleh diketahui Mrs. Coulter.

Petualangan seru yang mengubah hidup Lyra selamanya, terjadi begitu ia melarikan diri dari Mrs. Coulter. Ia kemudian bertemu dengan orang-orang Gipsi yang baik hati dan memiliki misi untuk menyelamatkan anak-anak yang hilang yang dibawa jauh ke kutub utara. Dalam perjalanan panjang, melelahkan dan penuh bahaya itu Lyra juga berkenalan dengan beruang kutub bernama Iorek. Beruang di sini memiliki peranan penting karena mereka dapat berbicara dengan manusia. Bahkan mereka membentuk sebuah kerajaan sendiri. Para beruang ini merupakan petarung, dan biasa menyewakan jasanya untuk bertarung dan melindungi manusia. Kabarnya, Raja Beruang telah menawan Lord Asriel.

Hingga di sini ditanggung anda tak akan bisa meletakkan buku ini sebelum tamat. Karena, petualangan Lyra dan Pantalaimon benar-benar menegangkan. Untungnya Lyra anak yang cerdas dan optimis, dan ia memiliki alat alethiometer yang ternyata amat membantunya ketika ia telah dapat membaca instrumen yang mirip kompas itu (mungkin itu sebabnya buku ini mengambil judul Kompas Emas ya!).

Namun sayangnya, kisah ini belumlah tamat. Masih ada 2 buku lanjutannya lagi, yang berjudul The Subtle Knife dan The Amber Spyglass. Tapi untuk sementara...lumayan menghiburlah ketegangannya, meski makin lama makin tak masuk akal saja kisahnya (yah..namanya juga kisah fantasi ya?!)

O ya, kalau anda berminat memiliki buku ini, anda bisa mendapatkannya di Vixxio dengan harga hanya 37.000. Bukunya masih baru dan bersegel plastik. Harga aslinya di toko sekitar 57.500. Tapi stoknya hanya 2 buah, jadi buruan kalau berminat ya! E-mail aja ke mail[at]vixxio[dot]com

Friday, August 13, 2010

Misteri Soliter by Jostein Gaarder


Keriting - Hati - Wajik - Sekop - Joker

Apa yang terlintas di benak anda begitu membaca kelima kata itu? Kartu Remi? Soliter?

Dan memang, menilik dari judul dan gambar cover buku ini, apa yang akan kita baca di dalamnya pasti ada hubungannya dengan kartu remi dan soliter. Tapi sebenarnya yang menggelitikku untuk mengambil buku bersampul warna kuning cerah nan lecek ini dari tumpukan di sebuah lapak buku bekas, adalah karena pengarangnya.

Aku sudah sering menemui buku-buku tulisan Jostein Gaarder, namun selama ini kebanyakan berbahasa Inggris dan temanya agak berat sehingga aku malas membacanya. Namun melihat buku Misteri Soliter ini, aku langsung jatuh cinta, entah mengapa. Mungkin sosok Joker yang tampak di cover depan buku itu melambangkan keceriaan, permainan, sekaligus misteri. Hei...aku kan memang pencinta misteri!...

Dan setahuku Jostein Gaarder adalah penulis kisah filosofis. Maka adanya unsur 'joker' tadi makin menggelitik rasa ingin-tahuku akan isi buku ini. Bagaimana ya kalau filsafat dibungkus ke dalam kisah yang lucu, ceria sekaligus misterius? Pasti asyik, begitu pikirku. Dan memang aku tak salah! Puas rasanya membeli buku bekas ini, yang meski kondisinya tidak mulus namun isinya sangat memuaskan. Baiklah, akan aku ceritakan sedikit buat anda ya...

Membaca kisah ini jadi mengingatkan aku pada film Inception (anda sudah nonton?). Memang kisah ini bukan tentang alam mimpi, melainkan tentang sejarah yang benar-benar terjadi yang dikisahkan beberapa orang. Persamaannya adalah kisah bertingkat. Kalau di Inception, orang dibuat bermimpi, lalu dalam mimpi itu bisa dibuat mimpi lagi, dan dalam mimpi kedua itu diciptakan mimpi lagi. Sehingga mimpinya jadi 3 tingkat. Sedangkan di buku ini... ah, sebaiknya langsung saja aku ceritakan ya..

Adalah seorang bocah laki-laki Norwegia berusia 12 tahun bernama Hans Thomas, sedang bepergian bersama ayahnya yang suka minuman keras dan mengumpulkan kartu joker, serta berfilsafat. Mereka hendak ke Athena, Yunani demi mencari ibu Hans Thomas yang pada suatu hari delapan tahun lalu, tiba-tiba meninggalkan suami dan anaknya begitu saja untuk mencari jati diri, katanya. Kini ayah dan anak itu menemukan bahwa si ibu telah menjadi fotomodel di Athena. Dan kesanalah mereka menuju.

Di tengah perjalanan, Hans diberi sebuah kaca pembesar oleh seorang pria cebol ketika mereka sedang mengisi bensin mobil mereka. Si cebol yang mirip kurcaci itu lalu memberikan arah yang salah pada mereka sehingga akhirnya mereka harus bermalam di sebuah kota bernama Dorf. Lalu ketika Hans Thomas singgah di sebuah toko roti, si tukang roti tua yang bernama Ludwig memberinya 4 buah kue kismis dengan sebuah pesan: "Tinggalkan kue yang terbesar untuk kau makan terakhir, dan makanlah kue itu saat kau sendirian".

Ternyata Hans Thomas menemukan sebuah buku mungil terselip di dalam kue kismis itu (bayangkan betapa kecilnya buku itu) ketika sedang menggigit kuenya. Satu-satunya cara membaca isi buku mungil itu adalah dengan menggunakan kaca pembesar yang didapatnya dari si cebol.

Ternyata buku mungil itu berupa kisah Ludwig, si tukang roti tua itu. Ludwig menceritakan pengalamannya lima puluh dua tahun lalu ketika ia pertama kali masuk ke sebuah toko roti milik Albert. Albert yang sudah sepuh itu menceritakan kisah yang pernah ia dengar dari Tukang Roti Hans. Tukang Roti Hans mendengar sendiri kisah itu dari mulut Frode yang tinggal di pulau ajaib penuh kurcaci. Nah kan....jadi kita membaca cerita dalam cerita dalam cerita, hingga empat tingkat. Lumayan menguras konsentrasi kalau anda membacanya terputus-putus!

Kisah yang diceritakan itu memang sangat fantastis. Namun Jostein dengan cerdiknya memasukkan unsur logika dan filsafat sehingga kisah itu tak hanya mengalir begitu saja dan akhirnya hilang dari benak kita, namun justru tetap mengalir dengan indah sambil meninggalkan jejeak-jejak kesan yang manis dan mendalam di setiap lembarnya.

Frode adalah seorang pelaut yang kapalnya karam dan terdampar di pulau tak berpenghuni. Yang ada di kantongnya adalah satu set kartu remi. Karena berhari-hari tak dapat berkomunikasi dengan orang lain, ia menciptakan khayalan dalam benaknya, karakter-karakter dari masing-masing kartu remi. Misalnya, keriting berambut keriting, berkulit coklat, dsb. Makin lama karakter-karakter itu makin hidup, dan setelah hitungan bulan, tiba-tiba karakter-karakter dari kartu remi itu sungguh-sungguh hidup. Lalu pada suatu hari muncullah Joker. Yang terakhir ini bukan tokoh khayalan Fredo, dan hanya dia satu-satunya yang sering mempertanyakan "Dari mana asalku?". Sedang karakter lainnya hanya menjalani hidup yang diciptakan lewat khayalan Fredo saja.

Sejatinya, Jostein mau mengingatkan manusia modern yang cenderung hanya menjalani saja hidup mereka, ke mana arus kehidupan membawa mereka. Tak pernah mereka mau bertanya, "Siapa sebenarnya aku? Mengapa aku ada? Darimana asalku? Dan apa tujuan hidupku?" Tanpa pernah memikirkan hal itu, hidup manusia itu menjadi tak berarti. Kita ini sepertinya hanyalah sembarang kartu yang diambil acak dari tumpukan kartu. Memang kita memiliki tanda-tanda lahiriah yang unik (seperti wajik berbeda dari sekop, atau hati berbeda dari keriting), namun tetap saja kita semua serupa. Lain halnya dengan Joker. Joker tak termasuk golongan manapun (hati, wajik, sekop, atau keriting). Hanya ada 1 atau kadang 2 Joker dalam satu set kartu, dan dalam kisah ini dikisahkan hanya Joker yang kritis memikirkan tentang kehidupan.

Manusia telah dinina-bobokan oleh kemudahan dan kenikmatan dalam hidup, yang dalam buku ini diibaratkan dengan meneguk Soda Bianglala yang memiliki semua rasa buah di dunia dan efeknya bisa memberi perasaan hebat pada peminumnya. Karenanya, manusia kurang mensyukuri apa yang ada di sekitar dirinya dalam hidup ini. Kita sering mendengar kicau burung, namun apakah kita pernah menyadari betapa merdunya dan mengagumkannya suara kicauan itu? Siapa yang meletakkan nada-nada indah itu di dalam paruh si burung? Dan yang terutama, manusia telah melupakan hal terbesar dalam hidup mereka, yakni 'cinta'.

Mungkin kita sering merasa bahwa suatu kejadian terjadi secara kebetulan belaka. Tapi sadarkah anda, bahwa memang kehidupan itu dibangun dari 'kebetulan' demi 'kebetulan' semacam itu? Pernahkah anda bertanya, siapa dalang yang menciptakan semua kebetulan itu? Dan apakah semua itu memang kebetulan? Atau memang diniatkan untuk menuju pada suatu peristiwa tertentu? Semua pemikiran itulah yang dinamakan filsafat. Dan biasanya semua pertanyaan itu akan mengerucut pada sebuah kesimpulan yang sama, bahwa ada 'Sesuatu' di luar kita, yang lebih besar dari kita, yang mengatur semuanya. Disanalah manusia akan mengenal Penciptanya...Tuhan.

Ah...rasanya tak cukup sebuah posting ini untuk menggambarkan buku ini. Gabungan antara ketegangan petualangan fantasi para tokoh-tokohnya, ironi yang kadang-kadang lucu dalam perjalanan Hans Thomas dan ayahnya, serta filsafat yang ditaburkan di sana sini membuat buku ini benar-benar menghibur sekaligus mengenyangkan otak dan jiwa. Salut buat Jostein Gaarder!

Friday, August 6, 2010

Congo

Buat pencinta teknologi terutama komputer, mungkin buku ini bakal menghibur dan menambah wawasan. Buat pencinta alam, anda pasti akan menemukan keasyikan mengikuti petualngan di alam liar dalam buku ini. Dan kalau pun anda, seperti aku, hanyalah seorang bookaholic yang suka kisah thriller, jelas buku lawas ini layak baca. Itu karena Michael Crichton telah berhasil meramu teknologi, biologi, geologi, dan ketegangan ke dalam sebuah panci dan menggodoknya dengan alur yang enak diikuti.

Congo adalah sebuah buku lawas yang pernah diterbitkan Gramedia. Kita mengenal Congo (atau Kongo) sebagai sebuah negara di benua Afrika yang memiliki salah satu hutan tropis dan sungai terbesar di dunia. Kalau tentang sungai, hanya sungai Nil dan sungai Amazon yang mengalahkan sungai Congo dari segi luasnya. Membaca buku ini jadi mengingatkan aku pada buku karangan John Grisham: The Testament. Buku itu mengambil setting di sepanjang sungai Amazon di Brazil.

Entah bagaimana, meski pada dasarnya aku bukanlah seorang petualang atau pelancong, dan seratus persen lebih suka duduk-duduk santai di rumah sambil baca buku daripada disuruh berpetualang ke hutan yang penuh nyamuk, lintah, dan ular, aku toh suka sekali membaca kisah tentang petualangan di alam nan liar dan penuh ketegangan [baca: sewaktu-waktu bisa digigit ular atau perahu terbalik saat diserang buaya]. Hal itu juga aku dapatkan di buku ini. Begini kisahnya…

Ada sebuah ekspedisi dengan misi mencari intan mentah di suatu kota mati di tengah hutan Congo. Mereka berangkat dengan menggunakan teknologi yang super canggih, dari perbekalan hingga pengamanan. Pada saat malam hari di perkemahan…. Saat suasana sudah gelap pekat, tiba-tiba dari keheningan hutan, terdengar suara mendesis dan mendesah, yang disusul goyangan dedaunan semak di luar pagar pengaman perkemahan. Mereka yang bertugas jaga langsung menyiapkan senjata. Apa itu? Siapa itu?

Dan setelah itu seluruh anggota ekspedisi itu ditemukan meninggal di tempat dengan tengkorak kepala diremukkan….

Karena kecanggihan teknologi peralatan komunikasi antara tim ekspedisi di lapangan dengan markas mereka di Houston, akhirnya didapatkan sebuah gambar pelaku penyerangan brutal itu: wajah seekor gorilla.

Maka ekspedisi itu mengirimkan tim kedua yang akan berangkat, selain menyelidiki kematian misterius itu, juga untuk mengambil intan, seperti misi awal, yang terancam jatuh ke pihak lain yang menjadi saingan mereka. Kali ini Dr. Karen Ross, ahli computer yang pandai namun pragmatis dan sulit bersosialisasi menjadi pimpinan rombongan. Ross pun mengajak seorang ilmuwan penyelidik gorilla bernama Peter, bersama dengan Amy, seekor gorilla betina yang telah dilatih berkomunikasi dengan manusia dengan bahasa isyarat.

Menarik juga pendekatan Crichton di sini. Menceritakan secara detail, bagaimana hubungan yang penuh kasih antara Peter dan Amy, layaknya hubungan ibu dan anak. Membayangkan seekor gorilla yang setinggi manusia dan berbulu warna hitam serta berwajah angker minta digelitik oleh manusia sampai berguling-guling….

Perjalanan itu ternyata menjadi perjalanan yang maha berat. Bukan saja medannya yang memang berat, yaitu di keliaran dan keperawanan hutan Congo yang maha luas, namun juga karena mereka harus mengejar waktu agar bisa mendahului tim saingan. Dan pada saat-saat genting itu, perkemahan mereka kembali mendapat tamu malam yang misterius. Diawali dengan suara mendesis, mendesah, daun-daun berkerisik, dan serangan puluhan… gorilla? Tapi menurut Peter, karakter gorilla bukanlah garang dan sadis, melainkan lembut dan tenang. Jadi, apakah yang menyerang mereka?

Membaca novel ini sungguh asyik. Memang ada beberapa bagian yang banyak memaparkan tentang cara kerja alat-alat teknik (yang bagi orang teknik pasti menarik, tapi bagiku membosankan dan memusingkan), juga sejarah penelitian tentang gorilla dan makhluk primate lainnya. Eh..tahukah anda bahwa simpanse itu sebenarnya lebih garang dan cepat marah daripada gorilla? Mungkin quote “Don’t judge an animal by its look” berlaku juga ya…

Dan semua keasyikan itu adalah berkat kehebatan Michael Crichton yang dapat membawa emosi dan imajinasi pembacanya bersama kisahnya. Hingga kini aku masih bingung apakah kisah ini kisah nyata atau murni fiksi. Yang jelas, anda akan merasa bahwa semuanya nyata, senyata diri anda!

Dari kisah ini aku juga ikut belajar bahwa karakter adalah hal terpenting yang harus dipertimbangkan ketika memilih seorang pemimpin, dalam bidang apapun. Sangat berbahaya jika seorang pemimpin sulit bersosialisasi, egois dan pragmatis. Kepandaian mungkin dapat diimbangi oleh rekan dan partner, namun kematangan emosional dan empati yang tinggi perlu dimiliki oleh seorang pemimpin.

P.S. Sayang, sepertinya buku ini sudah tak diterbitkan lagi oleh Gramedia. Tapi kalau anda ingin memilikinya, Vixxio memiliki stock buku bekasnya, meski hanya 2 eksemplar ketika posting ini ditulis. Silakan ke langsung ke Vixxio kalau ingin mendapatkannya yaa…

Wednesday, August 4, 2010

Bagus vs Favorit

Sebagai pencinta buku, aku sering membanding-bandingkan bacaan kesukaanku dengan sesama bookaholic. Dan hingga saat ini aku merasa bahwa hampir tak pernah ada dua bookaholic yang selera bacanya sama persis. Baru-baru ini aku dan adik angkatku, Yudhi bertukar pikiran tentang selera baca kami berdua dan Rudi (nama samaran), sahabat Yudhi yang bookaholic juga.

Si Rudi suka banget kisah-kisah sejarah macam samurai dan perang, dia juga suka kisah fantasi seperti Harry Potter atau Lord Of The Ring, tapi tak suka kisah romantis (iyalah..jarang cowok yang suka kisah romantis). Yudhi lebih suka buku yang mengandalkan logika dan deduksi seperti Agatha Christie dan Sherlock Holmes. Kisah sejarah? Bikin ngantuk, katanya... Kisah fantasi dia juga tak suka, makanya tak pernah membaca Harry Potter.

Kalau aku, mungkin seleraku lebih mirip Rudi karena aku suka Harry Potter, meski tak suka Lord Of The Ring. Tapi sama seperti Yudhi, buku sejarah juga sering bikin aku bosan. Dan aku paling suka Agatha Christie, seperti Yudhi. Hanya saja alasannya bukan karena deduksinya saja, tapi faktor psikologi manusianya juga. Sherlock Holmes? Terlalu banyak deduksinya menurutku, kurang ada seninya. Lho?

Kalau begitu, memang susah ya untuk menemukan dua orang yang benar-benar sama seleranya. Jadi, tidaklah mengherankan kalau ada beberapa buku yang masuk kategori bagus dan best seller, tapi sama sekali tak masuk daftar bacaanku. Contohnya ada beberapa nih...

Lord Of The Ring
Sungguh.... aku dulu sempat beli seri 1 buku ini, karena banyak yang bilang kisahnya mirip dengan Harry Potter. Tapi, baru halaman 1 aku baca...aku jadi ilfil alias kehilangan selera untuk meneruskan. Hanya karena buku ini best seller kala itu, aku memaksakan diri untuk membaca beberapa halaman berikutnya, dengan harapan mungkin lama kelamaan ceritanya akan mengalir dengan lebih enak. Dan akhirnya...aku menyerah. Aku tutup buku itu di bab-bab awal dan tak hendak aku meneruskannya lagi selamanya. Entah kenapa, membaca kisah itu, rasanya datar dan membosankan. Pasti banyak nih teman-teman yang tidak setuju denganku, tapi memang begitulah perasaanku.

Eragon
Buku yang satu ini juga buku bertema fantasi. Ketika aku membaca beberapa halaman awal, aku tak merasakan sensasi-membaca-buku-bagus yang sering datang ketika membaca halaman awal suatu buku. Maka aku memutuskan aku takkan menyukai Eragon dan semua sekuelnya. Bagiku ceritanya terlalu fantastis. Padahal Harry Potter kan juga fantasi ya? Yah..entahkah pokoknya aku tak suka.

Buku yang bagus menurutku haruslah membuat emosiku turut ambil bagian saat secara fisik otak mencerna apa yang aku baca. Kisah di buku itu haruslah membuatku merasakan sesuatu. Tegang? penasaran? Atau aku tiba-tiba merasa sudah pindah dari alam nyata ke dalam kisah itu sendiri. Yang terakhir ini aku alami saat membaca Harry Potter.

Hingga kini aku masih bisa mengingat sensasi itu. Sensasi-halaman-pertama, aku menyebutnya. Aku masih ingat bagaimana suasana malam yang sepi di Privet Drive, dan tiba-tiba suasana magis terasa ketika seekor kucing hitam dengan mata tajam duduk diam di atas tembok, lalu satu per satu lampu jalanan padam mengiringi kemunculan Dumbledore. Semua itu langsung terasa menyihirku ke dalam kisah yang ditulis JK Rowling itu. Seakan aku tiba-tiba tanpa sadar sudah pindah dunia, dan berada di jalanan Privet Drive, menonton semua atraksi itu. Dan sepertinya ada magnet yang mencengkeram aku untuk terus dan terus membaca.

Di luar itu, ada juga buku yang memang bagus di awalnya, namun makin lama membuatku merasa tak nyaman. Tak nyaman di sini bisa berarti bosan karena alur cerita ternayata monoton dan datar saja, atau... ini nih yang baru saja kualami...

Dracula (by Bram Stroker)
Ini buku yang baru-baru ini aku baca. Siapa yang tak tahu tokoh Drakula si penghisap darah itu? Beberapa waktu lalu, saat aku bongkar-bongkar di sebuah lapak buku bekas, aku menemukan sebuah buku dengan tampilan yang sangat unik. Warna dasar sampulnya hitam pekat. Lalu judulnya tertulis dalam huruf kuno berwarna emas: "Dracula". Tanpa ilustrasi lainnya, tanpa warna lain. Hanya hitam bertulisan emas. Lalu di bagian sisi sampul terdapat nuansa emas berupa beberapa kotak yang berisi tulisan judul dan pengarang. Bagian belakang sampul tentu saja hitam pekat. Yang istimewa lagi, pinggiran kertasnya berwarna merah tua. Aku pernah melihat novel-novel paperback berbahasa Inggris jadul seperti Harold Robbins dsb memang berpinggiran kertas berwarna, namun aku tak pernah menemukannya dalam buku terjemahan. Dan buku itu adalah buku terjemahan terbitan Gramedia tahun 2007.

Wow, buku yang artistik dan antik nih. Meski aku sudah pernah mendengar kisah tentang Dracula, tapi aku memang belum pernah membaca bukunya. Maka aku beli buku itu. Aku telah membayangkan asyiknya membaca buku itu. Dan untuk menambah sensasinya, aku mulai membacanya pada malam hari sebelum tidur. Aku ingat dulu ketika pertama kali membaca Sepuluh Anak Negro-nya Agatha Christie, aku juga membacanya kala malam, dan suasananya sangat mendukung ketegangan yang terbangun di kisah itu.

Halaman awal buku Dracula ternyata memang menawarkan ketegangan itu, maka akupun melanjutkannya hingga si tokoh yang menginap di purinya Dracula mulai menemukan keanehan-keanehan yang menakutkan dalam puri itu maupun dalam diri tuan rumahnya. Sampai di situ aku mulai merasa tak nyaman. Bukan..bukannya perasaan takut seperti saat membaca horor, karena toh aku sadar bahwa ini hanya kisah fiksi. Namun, entahlah....kisah ini rasanya terlalu 'gelap' bagiku. Bukan suasananya secara harafiah (masak kisah Dracula suasananya ceria?). Namun 'kegelapan' itu kok aku rasakan hingga ke jiwa ya? Aku jadi ngeri deh. Hati ini rasanya tak nyaman, tak ada damai, pokoknya tak enak lah... Akhirnya aku tutup buku itu, aku sembunyikan di bawah Alkitab-ku. Sungguh, itu tindakan kekanak-kanakan banget ya? Tapi dengan begitu aku jadi merasa sedikit ayem.

Aku memang penggemar kisah thriller, tapi kalau 'gelap'nya sampai merasuk di hati, ogah ah... Di sisi lain, itu menunjukkan kualitas Bram Stroker dalam menulis kisah ini. Penulis yang bisa mengajak pembacanya turut masuk ke dalam suasana yang ia bangun pada cerita itu, berarti memang penulis hebat.

Jadi akhirnya, sampailah aku pada kesimpulan bahwa kita tak perlu terpatok pada selera massa. Seringkali buku-buku yang bukan best-seller justru lebih memenuhi selera kita. Sedang buku best-seller yang disukai banyak orang mungkin sama sekali tak ingin kita baca. Buku bagus menurut khalayak ramai belum tentu adalah buku favorit kita.

Bagaimana dengan anda? Punya pengalaman membaca buku best-seller yang ternyata tak memenuhi selera? Share disini yuk....

Sunday, August 1, 2010

Pemuja Api

Api. Apa yang langsung muncul di kepala anda ketika mendengar satu kata ini? Bagiku, api melambangkan panas, menghanguskan, memusnahkan, sakit (kalau kena luka bakar), dan mematikan. Mungkin satu kata ini bisa mewakili semuanya: bencana. Bukankah kebakaran itu sebuah bencana?

Namun aku cukup tertarik ketika aku melihat judul buku ini di atas warna biru muda dan kuning tua bergelung-gelung, yang menggambarkan api dan asap pada cover buku ini. Pemuja Api? Bagaimana api yang mematikan dan membawa bencana itu bisa dipuja? Blue Smoke, yang merupakan judul asli buku karangan Nora Roberts ini malah semakin memberi rasa yang bertentangan: Blue Smoke. Judul itu membuat asap yang berasal dari api-api seolah-olah indah dan menenangkan. Padahal kalau kita menghirup terlalu banyak asap, bukankah kita bisa kekurangan O2 dan akhirnya pingsan atau bahkan mati?

Nora membuka wawasan baru pada kita, bahwa ada orang di luar sana yang benar-benar memuja api. Api bagi mereka, adalah keindahan fenomena yang mengagumkan dan bahkan nyaris memiliki 'nyawa'. Hal itu tersaji dengan indah pada prolog buku ini. Satu setengah halaman dihabiskan Nora untuk menulis bagaimana keindahan api yang berkobar itu dipuja dan dinikmati oleh seorang tokoh dalam kisah ini. Siapa dia?...

Reena, panggilan Catarina Hale adalah seorang anak perempuan berdarah Italia yang dibesarkan dalam sebuah keluarga besar (khas Italia) pemilik restoran pizza warisan leluhur mereka bernama Sirico's. Pada usianya yang kesebelas, dunia Reena yang damai tiba-tiba disentakkan oleh sebuah kebakaran yang menghanguskan bangunan Sirico's yang letaknya persis di seberang rumah keluarga Hale. Dan Reena kebetulan merupakan saksi yang pertama kali melihat api itu mulai berkobar, sehingga sebuah keluarga yang menghuni lantai atas resto itu bisa terselamatkan nyawanya.

Berkat kebakaran itulah Reena mulai terpesona pada api. Aku kagum pada Nora Roberts yang dapat menggambarkan api dengan kata-kata yang indah. Berkat api jualah Reena berkenalan dengan profesi penyelidik kebakaran, seperti yang disandang oleh John Minger, sang inspektur polisi penyelidik kebakaran Sirico's itu. Saat itulah Reena menyaksikan bagaimana para pemadam kebakaran bekerja dalam suasana panas, pengap sekaligus lembab di dalam ruangan yang terbakar.

Penyelidikan John Minger ditambah kesaksian Reena membawa mereka pada kesimpulan bahwa Sirico's memang sengaja DI-bakar, bukannya TER-bakar. Tapi siapa pelakunya? Apa motifnya?

Ketika John Minger mengusut adakah orang yang membenci keluarga Hale, nama Joey Pastorelli tiba-tiba keluar dari mulut Reena. Keluarga Pastorelli adalah tetangga mereka, dan Joey, si badung yang satu sekolah dengan Reena pernah bertindak kasar pada Reena, yang kemungkinan akan berujung pada pemerkosaan jika adik lelaki Reena, Xander tak segera menolong sang adik. Atas laporan Reena dan Xander, ayah mereka Gibson, tentu saja mencak-mencak. Ia mengajak Reena ke rumah ayah Joey untuk mengadukan kelakuan Joey. Pastorelli tua tak terima, lalu terjadi adu mulut.

Beberapa hari kemudian, polisi menangkap Pastorelli tua dan membawanya pergi dengan mobil atas tuduhan membakar Sirico's. Sebuah pemandangan yang takkan pernah dilupakan oleh Gibson dan Reena adalah, ketika Joey sambil menangis meraung-raung, lari mengejar mobil polisi yang membawa ayahnya pergi itu...

Pengalaman dengan api dan kebakaran Sirico's itu menuntun Reena pada karier di kepolisian, untuk kemudian mengambil lisensi untuk menjadi penyelidik kebakaran. Rupanya, karakter mandiri, tegas dan berani yang ia warisi dari ayahnya membawa ia pada karier impiannya itu.

Dan api rupanya memang tak dapat menjauh dari hidup Reena sepenuhnya. Kasus pembakaran demi pembakaran sepertinya mengejar Reena, dan tiga orang kekasihnya berturut-turut menjadi korbannya. Hingga Reena berkenalan dengan seorang pria yang menjadi tetangga rumah mungilnya, Bo Goodnight, seorang pembuat furniture. Bo pria yang ramah, baik hati dan ringan tangan yang sudah bertahun-tahun mengagumi Reena dari jauh dan tak jua berhasil mengenalnya dari dekat. Bo pun segera menjadi favorit keluarga Reena.

Ketika cinta mulai bersemi, semakin banyak kasus pembakaran yang terjadi, dan sebuah petunjuk selalu ditinggalkan oleh seorang pelakunya. Petunjuk itu selalu berhubungan dengan Sirico. Itu berarti...pembakaran-pembakaran itu ditujukan kepada Reena dan keluarganya. Oleh siapa? Dan apakah Bo benar-benar akan menjadi kekasih Reena, atau satu korban lagi akan jatuh?

Wow,...membaca Pemuja Api ini memang seru dan tegang. Tak kusangka Nora Roberts yang biasanya piawai menulis kisah-kisah romantis, kini hadir dalam sebuah thriller yang enak dinikmati. Tak terlalu berksan 'gelap', tak terlalu cepat, sehingga masih sempat menebarkan keindahan api di sana-sini. Bagaimana? Apa pendapat anda tentang api? Apakah ia memang indah?

Judul buku: Pemuja Api (Blue Smoke)
Penulis: Nora Roberts
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 631 hlm
Terbit: 2010