Ini mungkin
pertama kalinya aku membaca buku kumpulan puisi. Yang membuatku tertarik adalah
temanya; aku kurang suka puisi-puisi tentang cinta yang, yah…begitu-begitu
saja. Sebaliknya, puisi-puisi karya Mario F. Lawi ini sangat berbobot [baca:
membuatku berpikir keras secara logika maupun secara iman]. Ya, seperti nampak
pada judulnya, puisi ini bernuansa biblis [(Sakramen)
Ekaristi adalah salah satu sakramen yang ditetapkan oleh Yesus Kristus menurut
Alkitab—wikipedia]. Ekaristi juga biasa disebut Perjamuan Kudus.
Sebenarnya, tidak semua puisi di sini bernuansa biblis, karena Mario memasukkan
juga unsur budaya Sabu, Nusa Tenggara, darimana Mario berasal. Sebagian bahkan terasa
sangat hangat dan personal karena mengisahkan kehidupan ayah-ibu Lawi sendiri.
Total ada
sekitar 68 puisi, sebagian panjang, sebagian hanya sependek dua sampai empat
baris, semuanya dikemas apik ke dalam 90 halaman buku ini. Dari cover depannya
pun, buku ini sudah terasa puitis sekaligus bernuansa ekaristi, dengan bintang
cemerlang di langit berwarna biru malam. Ternyata bila cover depan bernuansa
putih dibuka, barulah kau akan menemukan ‘harta’ yang sebenarnya, yaitu sebuah
sibori [piala tempat hosti suci dalam Gereja Katolik] bertatahkan emas dan
permata. Seolah-olah ingin mengatakan tidak semua orang dapat menemukan
Kristus; hanya mereka yang mau menghampiri bintang itu dan mau dituntun olehnyalah
yang lalu akan dibawa kepada harta yang sesungguhnya.
Ada banyak
puisi yang menggugah dan indah, aku akan ulas beberapa yang menjadi favoritku. Puisi
Nazarenus, 2 (bahasa Latin dari ‘orang
Nazaret’?) ini adalah yang paling kusukai…
Nazarenus, 2
Membungkus tubuhnya dengan udara,
Ia pun berjalan ke Nazaret.
Wangi rerempah masih
Membayang di belakangnya.
Luka bermekaran di tubuhnya
Seperti roti yang dipecah-pecahkannya
Beberapa malam sebelum.
Dengan tangan yang koyak, ia usap guratan
Lapang meja kayu yang tak sempat diberi kaki
Karena ia lebih dahulu diburu kesunyian
Dan menyingkir ke Getsemani.
Ia menatap ke dalam bilik,
Melihat Maria yang tersedu
Sambil menutup wajah
Dengan telapak tangannya.
Ia pun menangis,
Sungguh sebagai manusia.
Biasanya,
yang tak kusukai dari puisi adalah maknanya yang seringkali abstrak; kau harus
berpikir keras untuk memahami apa yang sedang disampaikan penulisnya. Tapi
tidak dengan puisi Nazarenus, 2 ini.
Puisi ini menimbulkan kesan bak menonton adegan film. Aku langsung menangkap
bahwa settingnya adalah beberapa saat setelah Yesus bangkit; dan Ia pun mengunjungi
rumahNya di Nazaret. Ada rasa haru menyeruak saat ia mengusap meja buatannya
yang belum sempat diselesaikannya, juga saat ia mengintip IbuNya yang sedang
menangis sendirian di bilik. Puisi ini sangat menampakkan kemanusiawian Yesus.
Kali ini kita diajak melihat peristiwa sengsara dan salib Yesus dari sisi
manusiawi; Yesus yang tadinya tengah bekerja membuat sebuah meja, harus meninggalkannya
begitu saja (belum sempat diberi kaki); dan ada kesedihan menyeruak di hatiNya
(sebagai seorang anak) saat Ia harus menyaksikan IbuNya menangis sedih. Namun,
ada juga makna yang lebih dalam. Meja yang ditinggalkan sebelum selesai
digarap, seolah melambangkan ketaatan Yesus sepenuhnya pada Bapa, sehingga saat
waktunya telah tiba, ia pun meninggalkan segala yang Ia cintai (sebagai
manusia), untuk menunaikan tugasNya sebagai Putra Allah.
Puisi “Penunjuk
Jalan” juga menjadi favoritku, karena endingnya yang menyisakan perasaan… apa
ya? #jleb banget lah. Aku kutip paragraf terakhirnya (terlalu panjang kalau
semuanya):
Penunjuk Jalan
(…) Sekelompok orang lalu datang dari Timur
Memintaku menunjukkan jalan yang dilalui bintang.
Kata mereka Tuhan akan lahir esok pagi.
Kutunjukkan mereka jalan setapak,
Yang dulu pernah dilalui angin
Menuntun ibu dan ayah untuk saling menemukan.
“Di ujung jalan itu ada padang,
Sebuah bukit tempat kawanan dombaku bermain
Juga tiga kayu palang yang masih meneteskan darah.”
Masih ada beberapa
puisi lagi yang istimewa bagiku: Lembing
Dosa, Delapan Catatan Kecil Adventus,
Retina, Onytha, 3, dan masih banyak lagi. Ada banyak bagian yang tak
kumengerti maksudnya, namun secara keseluruhan kumpulan puisi ini menawarkan
keindahan dan keagungan.
Empat bintang
untuk Ekaristi dan untuk Mario yang sudah mengajakku untuk berpuisi
dan ber-Ekaristi. Jujur, selain Kitab Mazmur, aku belum pernah membaca puisi.
Setelah ini mungkin aku akan mencoba lebih banyak mengapresiasi puisi, namun
tetap aku memilih topik rohani.