Monday, January 16, 2012

Pak Harto: The Untold Stories

Hingga saat ini, Pak Harto adalah figur Presiden RI terbaik bagiku. Dan bukan saja Presiden, di mataku Pak Harto adalah juga seorang pahlawan bangsa. Mungkin ada yang bertanya 'mengapa?', mengingat rekam jejak Soeharto dan Orde Baru selama ini dinilai otoriter, kejam, dan sarang korupsi. Bagiku sederhana saja, kalau kita mau menilai kinerja seorang pemimpin, cukup lihat saja hasilnya. Jika negara ini menjadi lebih baik, berarti presidennya adalah pemimpin yang baik. Titik. Bagaimana dengan 'dosa-dosa' beliau? Aku hanya akan menjawab, tak ada gading yang tak retak. Tak ada pemimpin yang tak berbuat kesalahan. Tak ada manusia yang sempurna. Yang terpenting, beliau telah berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi bangsanya, bagi warga negaranya. Itulah yang dibutuhkan Indonesia, bukan sosok seperti dewa yang bisa dipuja-puja.

Buku Pak Harto: The Untold Stories ini semakin mengukuhkan pilihanku kepada Pak Harto sebagai sosok pemimpin ideal. Dari penuturan 113 narasumber yang diwawancarai--dan bahkan ada yang menulis sendiri, aku jadi makin dapat melihat sosok Pak Harto secara lebih personal dan (seolah) dari dekat. Kalau sampai hari ini aku hanya mengenal beliau dari televisi dan koran (yang mungkin saja--dan kemungkinan besar demikian--telah dipoles demi politisasi pihak tertentu), kini aku dapat mengenal Pak Harto dari penuturan orang-orang yang selama ini pernah bersentuhan langsung dengan beliau.

Yang paling menarik perhatianku adalah penuturan dari para kepala negara anggota ASEAN. Menurutku, merekalah yang pendapatnya paling netral; mereka dapat melihat sosok Pak Harto secara obyektif karena sejajarnya kedudukan mereka dengan Pak Harto. Yang paling menarik adalah kesimpulan Pak Mahathir Mohamad, "Saya berkesimpulan bahwa badai perekonomian yang melanda Asia Tenggara pada tahun 1998 itu memang dirancang untuk menjatuhkan pemerintahan Pak Harto." ~hlm 30. Mungkin saja memang benar, karena pada saat itu ASEAN makin menanjak, yang pasti akan membuat negara-negara maju khawatir. Kalau kesimpulan Pak Mahathir itu benar, kita harusnya berbangga, karena itu berarti negara kita (pernah) menjadi salah satu negara yang dianggap pesat perkembangannya hingga disegani negara-negara maju di dunia.

Dari Mr. Lee Kuan Yew--yang menulis sendiri penuturannya, seperti halnya Pak Sultan Hassanal Bolkiah--kita bisa mengetahui bahwa di bawah pemerintahan Soeharto, kedudukan Indonesia di ASEAN adalah 'the first among equals', yang artinya 'terutama di antara yang sederajat'. Bila negara-negara ASEAN mengalami masalah, biasanya mereka meminta pendapat Pak Harto, dan hal itu membuat persatuan di ASEAN cukup solid.

Keluar dari ranah politik luar negeri, kita diajak menyimak penuturan para anak buah Pak Harto. Rata-rata mereka melihat Pak Harto sebagai sosok kebapakan, sederhana, selalu memperhatikan kebutuhan anak buahnya, tak banyak bicara namun ketika bicara selalu sarat dengan wejangan yang dalam. Di mata mereka Pak Harto adalah pemimpin yang ingin melihat anak buahnya berkembang, dan meski Pak Harto telah tiada, wejangannya selalu menjadi panutan hidup mereka.

Kalau anda membayangkan gaya hidup Pak Harto bergelimang kemewahan, siap-siaplah untuk terkejut--sama seperti kebanyakan orang ketika pertama kali berkunjung ke Cendana. Rumah sang orang nomor satu di negara kita itu ternyata biasa-biasa saja, perabotnya pun tidak mewah. Pak Harto dan keluarga lebih suka menyantap makanan sederhana seperti rakyatnya. Camilan Pak Harto antara lain singkong rebus dan Pop Mie (seperti yang dikisahkan oleh para bawahannya yang datang menghadap). Bahkan ajudannya mengatakan bahwa Pak Harto lebih suka mengenakan kaus golf lamanya yang sudah mulai belel, sementara kaus-kaus barunya malah dibagikan ke para pegawai rumah tangganya.

Dari antara mereka yang pernah berjuang bersama Pak Harto, mengalirlah kisah-kisah jenaka yang masih mereka kenang hingga kini. Des Alwi, misalnya, yang bercerita ketika Pak Harto bersama Faisal Abdaoe melakukan pengintaian di markas Jepang di Malioboro, Yogyakarta. Ketika pasukan Jepang curiga, Pak Harto pun dengan sigap melilitkan scarf yang dipakainya ke kepala Faisal lalu mereka berdua pura-pura menjadi sepasang kekasih. Pasukan Jepang pun akhirnya pergi. Lalu ada juga cerita Sjafrie Sjamsoedin yang meminta Pak Harto memakai helm pengaman (standar PBB) ketika naik pesawat di daerah perang di Zarajevo, namun Pak Harto menolak dan malah menyuruh Sjafrie memasukkan helm itu ke museum Purna Bhakti - Taman Mini ketika pulang nanti...

Pak Harto sangat menyayangi dan memperhatikan bawahannya. Beberapa dari mereka dibiayai dari Pak Harto pribadi untuk mengobatkan anak atau istrinya ke luar negeri. Ada juga yang dibantu untuk bisa mendapatkan rumah dengan proses yang mudah. Ketika kaki pengawalnya bengkak karena asam urat sehingga kesakitan, Pak Harto menyuruh si pengawal memetik daun sigli dari halaman, lalu Pak Harto sendiri yang menempelkan daun itu ke kaki si pengawal yang sakit, setelah daun itu ditumbuk halus oleh Bu Tien. Masih banyak kesaksian-kesaksian lain yang dituturkan dengan haru oleh para bawahannya, yang persentuhan pribadinya dengan Pak Harto membuat mereka menganggap Pak Harto dan Bu Tien sebagai ayah-ibu mereka.

Yang paling unik di buku ini mungkin penuturan Pak Emil Salim tentang ritual gajah. Ternyata setahun sekali gajah memiliki ritual pergi ke laut untuk memperoleh garam. Suatu hari desa yang baru dihuni oleh para transmigran diobrak-abrik oleh segerombolan gajah hingga porak poranda. Rupanya desa itu dibangun di tengah-tengah rute ritual gajah. Awalnya tentara sudah datang untuk segera menembak para gajah. namun Pak Harto langsung melarangnya! Sebaliknya, beliau menyuruh tentara mengawal para gajah untuk kembali masuk hutan lewat jalan yang aman. Jadi, para tentara pun mengganti senapannya dengan terompet dan kentongan untuk menciptakan bunyi-bunyian yang akan menarik para gajah. Bayangkan tentara yang biasanya garang itu akhirnya menangis ketika harus berpisah dengan para gajahnya yang telah mereka kawal...

Kembali ke soal kepemimpinan Pak Harto yang disegani di dunia internasional. Dari penuturan Sutanto (ajudan), ketika ada perdebatan mengenai suatu masalah di antara negara-negara Asia, Pak Harto selalu mempelajari masalah masing-masing negara. Ia memetakan pihak yang pro dan kontra, lalu membagi militansinya menjadi 3 kelompok: lunak, setengah keras dan keras. Pertama ia akan melobi kelompok lunak dulu. Begitu mereka sudah setuju dengan ide Pak Harto, mulailah ia bergerilya pada kelompok setengah keras. Setelah kelompok itu dapat menerima ide Pak Harto, barulah ia berusaha merangkul dan menggandeng yang keras. Kalaupun awalnya mereka menolak ide itu, pada akhirnya di sidang terbuka mereka akan luluh karena sebagian besar sudah setuju.

Dari ajudan Sutanto ini jugalah, anda yang masih penasaran tentang penyebab kematian Bu Tien yang sebenarnya, akan mendapat kepastian yang benar dari buku ini.

Sebenarnya dari dulu aku bertanya-tanya, bagaimana Pak Harto yang latar belakangnya militer, dapat menguasai begitu banyak hal dalam bidang-bidang yang berbeda. Apakah ia memang jenius? Ternyata tidak. Pak Harto memang seorang yang "fast learner". Sejak menjabat presiden, Pak Harto biasa memanggil dan mendengarkan pendapat menteri-menterinya tentang berbagai persoalan, cara pemecahannya, serta alasan-alasannya. Laporan itu kemudian dibawa kepada para pakar/akademisi dari masing-masing bidang, yang kemudian akan memberi penjelasan tentang laporan tersebut kepada Pak Harto. Teori itu langsung dipraktekkan Pak Harto dalam menjalankan pemerintahan. Dan setelah 10 tahun menjabat, ia pun telah menguasai semua bidang yang dibawahinya.

Ada satu lagi "resep" yang membuat Pak Harto berhasil membangun Indonesia dari keadaan terpuruk setelah pecahnya G 30S PKI hingga menjadi negara yang stabil secara politik dan ekonomi. Yang pertama, Pak Harto memiliki visi jangka panjang. Tak seperti para politisi yang visinya hanya sampai Pemilu tahun depan, Pak Harto memikirkan cara Indonesia dapat tinggal landas menuju negara yang lebih berkembang. Kedua, Pak Harto selalu menilai dan memilih menteri-menterinya dengan cermat. Oleh karena itu selama pemerintahan beliau kita tak pernah mendengar istilah re-shuffle--yang kini mulai biasa terjadi hingga akhirnya kita tak tahu lagi menteri siapa yang mejabat apa. Ketiga, Pak Harto dengan disiplin dan cermat menuangkan visinya ke dalam konspep yang jelas. Repelita adalah contohnya. Pak Harto tak hanya mampu memberi instruksi kepada menterinya, namun sekaligus memberikan arahan untuk melaksanakan pekerjaan itu dengan jelas sehingga dapat dijalankan dengan mudah oleh semua bawahannya.

Kalau begitu, buku ini hanya mengagung-agungkan kehebatan Soeharto ya? Tidak juga. Simak pendapat Pak Rachmat Witoelar tentang Pak Harto: "...Pak Harto adalah figur yang hebat. Beliau yang mengangkat masyarakat Indonesia yang terpuruk akibat G 30S PKI. Beliau yang membangun Indonesia sehingga mampu tegak menjadi negara sejahtera dan bermartabat, yang diperhitungkan secara internasioanl; tetapi kemudian kebablasan. Di mata saya, hanya pada kata yang terakhir itu saja kekurangan Pak Harto." ~hlm. 299.

Pada akhirnya, seperti yang juga dikatakan hampir semua narasumber di buku ini, kalau kita mau dengan lapang hati melihat semua hasil pembangunan di masa Pak Harto, maka kita pun akan bisa menghargainya dengan layak. Kita harus ingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai pahlawannya. Hanya kitalah yang bisa menemtukan, apakah bangsa kita layak disebut bangsa yang besar dan bermartabat atau tidak. Pak Harto memang telah tiada, namun warisan pembangunan yang telah ia rintis, sekarang kita nikmati bersama. Termasuk juga mereka-mereka yang telah menjatuhkan dan menghujat beliau di tahun 1998 itu.

Buku Pak Harto: The Untold Stories ini memang tergolong buku mahal, namun menurutku sepadan dengan kerja keras tim penulis untuk merangkum wawancara dari 113 narasumber yang sibuk, dan dengan fakta-fakta kecil nan menarik yang menjadikan kita tahu seperti apa karakter asli Pak Harto di balik apa yang kita saksikan selama ini. Ditambah lagi, kita akan dimanjakan dengan jenis kertas eksklusif yang digunakan untuk mencetak buku ini, serta foto-foto full color Pak Harto dengan banyak orang dalam banyak kesempatan. Benar-benar layak untuk koleksi pribadi!

Dan menutup review ini ijinkan aku untuk mengutip nasihat/falsafah hidup yang diberikan Pak Harto dan diungkapkan oleh dua orang di buku ini,

"Jika kamu memberi sesuatu, tulislah itu di pasir agar dapat terhapus; tetapi jika kamu diberi sesuatu, pahatlah itu di batu, agar selalu teringat."

Empat bintang untuk buku ini!

Judul: Pak Harto: The Untold Stories
Penulis: Mahpudi, bakarudin, Dwitri Waluyo, Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Agustus 2011
Tebal: 609 hlm

Friday, January 6, 2012

Top 5 of Book Boyfriends

Bersama teman-teman Blogger Buku Indonesia (BBI), aku memilih 5 tokoh pria terfavoritku. Awalnya berniat memilih dari tahun 2011 saja, tapi aku teringat akan tokoh kesayanganku yang bukunya telah lama kubaca. Jadi inilah 1 tokoh terfavorit secara keseluruhan, dan 4 tokoh favorit khusus dari buku yang kubaca selama 2011.

Connor

in The Smoke Jumper (Nicholas Evans)

Tipe pria pemberani, bukan hanya secara fisik (karena di sini ia adalah seorang smoke jumper), tapi juga berani mengambil keputusan. Hal itu terungkap saat ia mengambil tindakan berani dan beresiko tinggi saat menyelamatkan wanita pujaannya.



Jean-Baptiste Bernadotte


in DesireƩ (Antoinette May)


Meski punya ambisi, namun Bernadotte arahkan ambisinya demi negara. Dan bahkan di tengah pengabdiannya pada negara, ia selalu menyempatkan waktu untuk mencurahkan cintanya pada Desiree, sang istri. Cinta pada sang istri tetap melampaui cinta pada negaranya. Sikapnya yang kalem, penuh perhatian dan tak lupa mencurahkan cinta walau sibuk itu yang bikin aku paling suka dengannya.



Philip


in The Pillars of The Earth (Ken Follett)

Oh…andai saja Philip bukanlah seorang biarawan! Tapi kalau ada sosok pemimpin Gereja yang seperti Philip, aku pasti akan pindah ke Gereja itu. Philip adalah perpaduan antara ketegasan dan kepandaian seorang pemimpin; dan kerendahan hati seorang manusia di hadapan Tuhannya. Andai ia bukan biarawan…



Marcus Tulius Cicero

in Imperium and Conspirata (Robert Harris)

Memiliki ambisi tapi tidak ambisius buta, Cicero masih memiliki pendirian. Cicero juga tipe pria yang menghargai wanita. Wanita bukan hanya pendamping, tapi juga rekan yang pendapatnya dihargai.



Jacob

in Water for Elephants (Sara Gruen)


Jacob punya keteguhan hati, berani mengambil resiko demi apa yang ia percayai. Punya sense of humor juga, yang terutama terungkap setelah ia renta dan tinggal dip anti jompo. Aku suka pria yang punya banyak pengalaman dalam hidupnya, karena pasti wawasannya luas.


Wednesday, January 4, 2012

The Shack

Banyak sudah yang menyarankan aku membaca buku ini. Ketika kutanya, mengenai apa sih buku ini? Jawabnya kebanyakan singkat: tentang trinitas (tiga pribadi Tuhan dalam doktrin Kristen: Bapa, Putera dan Roh Kudus). Ketika mendengarnya, kupikir The Shack adalah semacam novel yang ‘teologis’, yang hendak menjelaskan arti trinitas. Namun setelah kubaca, aku menemukan lebih dari sekedar trinitas di buku ini. The Shack lebih mengedepankan hubungan Tuhan dengan manusia, daripada semata-mata ajaran religius.

Dikisahkan seorang pria bernama Mackenzie aka Mack, ayah dari 5 orang anak, yang di masa kecilnya memiliki masalah dengan ayah yang pemabuk dan suka menyiksa. Meski kekurangan kasih sayang saat anak-anak, namun Mack berhasil membina keluarga yang baik, dan membesarkan serta mencintai anak-anaknya dengan baik pula. Hidupnya akan berjalan dengan sempurna, kalau saja tragedi itu tidak terjadi.

Pada suatu acara liburan ke arena perkemahan di Wallowa Lake, Oregon, USA, kano yang ditumpangi kedua anak Mack: Josh dan Kate terbalik dan tenggelam. Kate berhasil berenang ke tepian, namun kaki Josh terlilit sesuatu hingga ia tak mampu keluar dari kano. Sebagai mantan penjaga pantai, dengan cekatan Mack langsung terjun ke danau dan akhirnya berhasil menyelamatkan Josh. Namun, aksi penyelamatan yang lumayan heboh itu telah mengalihkan perhatian semua orang dari Missy—putri bungsu Mack yang berusia 5 tahun dan saat insiden itu terjadi, sedang duduk dan mewarnai di meja piknik. Begitu Mack sadar, Missy tak dapat ditemukan di mana-mana. Pencarian pun dilakukan, yang menyita perhatian pengurus perkemahan, teman-teman Mack hingga FBI.

Akhirnya penyelidikan forensik mengungkap bahwa Missy telah diculik oleh seorang pria yang terkenal sebagai Si Pembunuh Gadis Cilik. Missy adalah korban kelima pria itu, yang hingga kini belum dapat tertangkap. Hal itu terungkap dari pin berbentuk kepik berbintik lima (menunjukkan jumlah korban) yang ditemukan di TKP. Pembunuhan Missy serta-merta menjungkirbalikkan kehidupan Mack. Ketika ia sudah dapat melupakan trauma perlakuan ayahnya, kini pembunuhan Missy seolah-olah menjadi titik balik dalam hubungannya dengan Tuhan. Ia marah—sangat marah pada Tuhan dan menjauhiNya.

Tiga tahun setelah insiden yang ia sebut Kesedihan Besar itu, datanglah sepucuk surat dari “Papa”. Jangan mengasumsikan Papa berarti ayah Mack atau Nan, istrinya. Papa adalah panggilan Nan untuk Tuhan. Apa? Surat dari Tuhan? Bergurau ya? Begitulah yang awalnya dirasakan Mack, seperti yang pasti akan kita rasakan juga kalau kita mengalami hal yang sama. Dan gilanya lagi, surat itu mengundang Mack untuk pergi ke ‘Gubuk’ (The Shack) di mana Missy dibunuh, karena di sana pula “Papa” akan menunggunya.

Meski kedengaran gila, Mack tetap berangkat. Awalnya gubuk itu ternyata kosong, namun setelah sejenak ia berbalik, gubuk itu menjelma menjadi sebuah rumah asri yang ditinggali 3 orang. Perempuan besar keturunan Afrika yang minta dipanggil Papa, pria Timur Tengah yang berpakaian seperti tukang, dan perempuan Asia mungil yang seolah tak nyata. Anda bisa menebaknya, mereka adalah sosok yang mewakili: Tuhan (Bapa), Yesus dan Roh Kudus—yang dalam kisah ini menggunakan nama Sarayu. Pertanyaannya: mengapa Tuhan mengundang Mack untuk datang ke pondok? Dan apakah Mack akan mempergunakan kesempatan ini untuk melontarkan amarah yang selama ini dipendamnya terhadap Tuhan? Akankah ia mendapatkan jawaban memuaskan seputar mengapa Missy harus menanggung kekejian pembunuh itu? Dari semua anak di dunia, mengapa harus Missy?

Pertanyaan yang sama yang mungkin telah berjuta kali dilontarkan orang-orang yang pernah mengalami penderitaan atau kehilangan seperti Mack. Pertanyaannya selalu, apakah Tuhan itu sungguh baik? Kalau Ia baik, mengapa Ia membiarkan hal buruk terjadi pada orang baik? Kalau Tuhan ada, mengapa kekacauan dan kejahatan terus terjadi di bumi yang notabene Ia ciptakan sendiri?

Alih-alih menjelaskan secara teologis, William P. Young—penulis buku ini—mengajak kita semua mencari jawabnya melalui pengalaman Mack. Mack diajak berdialog dan melakukan kegiatan-kegiatan manusia biasa oleh Papa, Yesus dan Sarayu. Sedikit demi sedikit akhirnya Kesedihan Besar yang selama ini menggelayuti dirinya berangsur-angsur terkikis.

Beberapa hal menarik yang aku dapat dari buku ini:

= Ketika menciptakan manusia, Tuhan memberikan kebebasan pada mereka untuk memutuskan tindakan mereka sendiri, baik ataupun jahat. Jadi, ketika ada kejahatan di atas bumi, itu bukan karena Tuhan mau menghukum, itu adalah hasil kejahatan dalam diri manusia. Tuhan bukan tak mampu menghentikannya, melainkan tak mau mengambil kebebasan manusia. Tapi di sisi lain, Tuhan selalu menunggu dengan penuh cinta

= Tuhan bukanlah Bapa yang menghukum. Tuhan begitu mencintai anak-anakNya, lebih besar dari cinta manusia. Ketika kita menyakiti Dia, Tuhan memang sedih, tapi itu tak akan sanggup memadamkan cintaNya kepada kita. Hal ini digambarkan dengan indah dan jelas sekali dalam dialog antara Mack dan Sophia (perwujudan kebijaksanaan Tuhan) ketika Mack harus memutuskan siapa di antara 5 anaknya yang akan “dimasukkan ke neraka”. Tentu saja Mack tak mau anaknya masuk ke neraka seberapa pun mereka telah menyakiti Mack. Begitu juga halnya dengan Tuhan…

The Shack adalah jenis bacaan yang perlu direnungkan di sela-sela membaca. Begitu banyak kalimat-kalimat yang meneduhkan jiwa bertebaran di buku ini, terutama yang keluar dari mulut Papa, Yesus dan Sarayu. Namun, aku merasa agak janggal dengan bagian akhirnya yang menurutku agak dibuat-buat. Lagipula, sulit untuk membayangkan bagaimana perobatan sempurna seseorang dapat terjadi dalam waktu hanya dua hari saja. Memang ini novel religius yang difiksikan, tapi tetap saja aku merasa kurang sreg.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, aku memberikan 4 bintang untuk The Shack ini!

Judul: The Shack
Penulis: William P. Young
Penerbit: Penerbit Andi
Terbit: 2008
Tebal: 416 hlm

Tuesday, January 3, 2012

Sweetly

'Dua orang anak yatim piatu diusir oleh ibu tiri yang jahat ke hutan. Di hutan mereka menemukan rumah bertabur permen dan kue jahe yang ditinggali seorang perempuan tua. Perempuan itu ternyata nenek sihir yang hendak memakan anak-anak itu.' Apakah kisah itu tak asing bagi anda? Tentu saja, itu adalah dongeng Hansel and Gretel yang dipopulerkan Grimm Bersaudara. Jackson Pearce--seorang penulis novel young-adult fantasy--meminjam dongeng itu untuk kisah Sweetly ini.

Alih-alih Hansel dan Gretel, dua bersaudara yang menjadi tokoh kisah ini bernama Ansel dan Gretchen, dua bersaudara yang tumbuh di Washington. Ketika masih kecil, mereka mempunyai adik perempuan, saudari kembar Gretchen. Suatu hari saat bermain-main ke hutan, mereka dikejar oleh sesosok monster bermata kuning. Berlari semburat keluar hutan, Ansel dan Gretchen lalu menemukan bahwa saudari mereka tertinggal di hutan. Lenyap. Tanpa bekas. Tanpa penjelasan.

Musibah itu menghancurkan keluarga Ansel dan Gretchen, membuat mereka berdua selalu dihantui perasaan bersalah dan mendapat perlakuan tak adil dari warga setempat yang menyalahkan mereka. Akhirnya mereka pun didepak oleh ibu tiri mereka dari rumah. Miskin dan hanya berbekal pakaian dan mobil butut, mereka pun mengembara. Mobil butut itu memaksa mereka berhenti di kota kecil yang tampak mati bernama Live Oak. Ansel mencari uang dengan membantu seorang gadis pemilik toko cokelat bernama Sophia, yang hidup di pondok terpencil di tepi hutan.

Saat ingin memberanikan diri berjalan-jalan di hutan, Gretchen kembali berhadap-hadapan dengan monster bermata kuning yang selama ini menghantuinya. Kalau selama duabelas tahun ia menganggap monster itu penyihir, kini akhirnya ia tahu apa yang telah mengambil adiknya dan Ansel: sesosok Fenris.

Fenris atau fenrir adalah sebuah mitos, yakni sesosok monster berwujud serigala. Aku tak tahu pasti apa bedanya fenrir dan werewolf--manusia yang berubah menjadi serigala saat bulan purnama, yang jelas dalam kisah ini si fenris bisa menjelma menjadi pria yang tampan untuk mengelabui calon mangsanya.

Seorang pria muda bertampang masam bernama Samuel lah yang menolong Gretchen di hutan saat itu, dengan menembak sesosok fenris. Sejak saat itu, Gretchen yang sebenarnya sudah mulai menjalani hidup rutin dan normal di toko cokelat Sophia, harus membulatkan tekad untuk berhadapan langsung dengan para fenris penunggu hutan. Sementara itu, di balik manisnya aroma cokelat dan vanila serta segarnya permen lemon, ada kabut misteri pekat di kehidupan Sophia. Sang gadis ngotot menyelenggarakan Festival Cokelat, meski dua even yang sama telah membuat beberapa gadis Live Oak hilang tanpa jejak secara misterius. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah memang Sophia yang menyebabkan gadis-gadis itu hilang seperti yang dituduhkan warga? Dan bagaimana Gretchen seorang diri dapat menaklukkan para fenris, padahal ia sendiri ketakutan pada mereka?

Yang membuatku agak heran adalah selama ini Gretchen selalu bertanya-tanya mengapa saudari kembarnya yang diambil fenris di hutan, bukannya dia; apa yang istimewa dari adiknya? Menurutku pertanyaan yang agak tak biasa saja dipikirkan seseorang yang kehilangan orang yang disayanginya. Seolah-olah misteri itu jauh lebih penting daripada kenyataan bahwa ada monster yang mengambil adiknya. Aku juga agak tak setuju dengan adegan penembakan di akhir kisah. Selebihnya, Sweetly menawarkan ketegangan, misteri dan sepercik bumbu romantis.

Yang menarik justru covernya. Untunglah Atria menggunakan cover asli untuk edisi terjemahan ini. Kalau anda perhatikan dari dekat, gambarnya adalah dua tebing dengan pepohonan yang tumbuh di lereng-lerengnya. Ranting-rantingnya ada yang saling bertautan, dan di tengah lembah ada rumah. Tapi coba pandanglah dari jarak yang agak jauh, apa yang anda lihat?....

Aku memberikan tiga bintang untuk Sweetly!

Judul: Sweetly
Penulis: Jackson Pearce
Penerbit: Atria
Penerjemah: Ferry Halim
Penyunting: Fenty Nadia
Terbit: November 2011
Tebal: 401 hlm