Showing posts with label Hewan. Show all posts
Showing posts with label Hewan. Show all posts

Friday, June 10, 2011

Manxmouse

Ketakutan itu adalah sesuatu yang tidak akan ada hingga seseorang membayangkannya. Kesimpulan itulah yang akan anda dapatkan setelah membaca buku ini, sama seperti yang akhirnya dipahami oleh Manxmouse, si tikus biru yang menjadi tokoh di kisah karya Paul Gallico ini.

Seekor tikus berwarna biru? Tentu saja tikus ini bukanlah sebuah spesies baru hasil mutasi gen atau semacamnya. Si tikus biru itu bermula dari seorang spesialis pembuat tikus keramik di Inggris yang tiba-tiba mempunyai inspirasi untuk membuat sebuah maha karya nan sempurna. Sayangnya, inspirasi itu timbul semata-mata karena ia sedang mabuk. Setelah semalam suntuk menyelesaikan maha karya itu, si pembuat keramik meletakkan tikus keramik kebanggaannya di atas nakas, lalu berangkat tidur. Kesadaran barulah datang keesokan harinya, ketika ia mendapati bahwa tikus ciptaannya jauh dari sempurna. Bahkan boleh dibilang itu bencana paling mengerikan bagi seorang pembuat keramik. Tikus itu tak mirip tikus, tubuhnya berwarna biru, kakinya serupa kaki kangguru, telinganya telinga kelinci, dan ekornya buntung. Lalu pada suatu pagi tikus keramik itu menghilang….

Bisa dikatakan hari kelahiran si tikus biru yang bernama Manxmouse ini adalah saat ia tiba-tiba berubah menjadi makhluk hidup, alih-alih pajangan di meja nakas pembuat keramik tua. Seperti layaknya makhluk manapun, Manxmouse memulai hidupnya bak selembar kertas putih. Ia belum melihat apapun, belum pernah berkomunikasi dengan siapapun, bahkan ia belum mengenal dirinya sendiri. Tentu saja, ia juga belum mengenal apa itu rasa takut. Sampai ia bertemu dengan sesosok Clutterbumph. Clutterbumph adalah sosok yang pekerjaannya membawa ketakutan dalam pikiran semua makhluk. Clutterbumph bisa menjadi sosok seperti apa saja, tergantung apa yang dibayangkan “korbannya”. Kalau anda membayangkan tengkorak itu menakutkan, maka Clutterbumph anda akan mewujud sebuah tengkorak. Di sini, anda yang pecinta Harry Potter mungkin akan teringat sesuatu? Kalau anda menjawab “Boggart”, anda benar! Mungkin saja J.K. Rowling mengambil ide Clutterbumph ini untuk menciptakan sosok Boggart di Harry Potter. Tak mengherankan juga, karena buku ini ternyata sempat menjadi buku favorit J.K. Rowling. Bahkan Rowling membubuhkan endorsement juga untuk buku ini.

Kembali pada kisah Clutterbumph. Nah, di malam hari nan sial itu, si Clutterbumph gagal membuat Manxmouse ketakutan. Alih-alih, Manxmouse malah bersimpati pada Clutterbumph yang menangis karena baru kali ini gagal menakut-nakuti makhluk hidup! Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, si Clutterbumph pun memberikan peringatan kepada Manxmouse untuk berhati-hati pada Kucing Manx. Saat itulah lembar bersih putih dalam hidup Manxmouse mulai diisi dengan kekhawatiran…

Selanjutnya, dalam pengembaraan Manxmouse, ia hampir selalu terlibat dalam petualangan yang kadang menyenangkan, namun tak jarang juga seru dan menegangkan. Dalam tiap petualangan, ia menemukan teman-teman baru. Yang pertama adalah seekor Billibird yang menunjukkan jalan pada Manxmouse, lalu Kapten Hawk si burung elang yang membawa Manxmouse pada penagalaman terbangannya yang pertama. Kemudian Manxmouse juga berkesempatan menolong Nellyphant si gajah bintang film yang suka gugup kalau melihat tikus. Berkat Manxmouse, tikus yang tidak berpembawaan seperti tikus, Nelly menemukan kembali keberaniannya. Burra Khan, seekor harimau sirkus adalah juga salah satu yang menerima kebaikan Manxmouse untuk mengembalikannya dengan selamat ke kandang sirkusnya. Begitulah, di setiap perhentian, ia menemukan kehangatan persahabatan dari teman-teman baru. Namun di sisi lain, ia juga mulai memahami banyak hal, termasuk juga tentang musuh bebuyutan yang, menurut teman-temannya, harus diwaspadai, dikhawatirkan dan ditakuti, bahkan tercantum dalam ramalan Hari Akhir-nya: Kucing Manx.

Hingga pada suatu hari, ketika takdir membawa perjalanan Manxmouse ke pulau Man, maka akhirnya Manxmouse pun bertemu dengan Kucing Manx. Apakah yang akan terjadi? Akankah Manxmouse menyerah pada takdirnya dan menjadi milik Kucing Manx? Akankah Kucing Manx menyantap Manxmouse dalam sebuah pertarungan yang tak sepadan? Di saat itulah, Manxmouse harus memilih antara selamanya menjadi penakut, atau memerangi rasa takut itu sendiri dengan menjalani hal yang telah membuatnya ketakutan selama ini.

Kisah Manxmouse ini merupakan kisah yang unik. Cukup sulit bagiku untuk menentukan, masuk ke dalam genre apakah buku ini. Fabel? Mungkin saja, namun dalam kisah ini ada juga tokoh-tokoh manusia yang mengambil peran cukup penting dalam petualangan Manxmouse. Contohnya anak perempuan bernama Wendy H, Troy yang sempat bersahabat dengan Manxmouse, bahkan memberinya nama keren: Harrison G. Manxmouse. Petualangan Manxmouse yang lumayan seru sekaligus unik adalah ketika ia jatuh ke tangan pemilik toko hewan peliharaan yang tamak. Menyadari keanehan Manxmouse, dan yakin bahwa tikus Manx adalah spesies langka, ia berusaha menjual Manxmouse dengan harga setinggi-tingginya. Akibatnya Manxmouse sempat membuat heboh kota London dan bahkan dunia berkat berita yang menyatakan bahwa Manxmouse hendak dilelang! Bayangkan kalau suatu hari balai lelang terkenal Sotheby's tiba-tiba mengumumkan akan melelang seekor tikus biru! Pasti akan terjadi kehebohan kan? Di sini nampaknya Paul Gallico ingin menyindir manusia yang begitu tamak pada kekayaan dan prestise. Yang mereka inginkan adalah kekayaan dan sanjungan, bukan si tikus sendiri. Menggelikan sekali proses pelelangan Manxmouse ini, yang bahkan membawanya hingga ke museum Madame Tusaud, di mana Manxmouse menemukan duplikat dirinya, Manxmouse II dalam wujud patung lilin!

Memasukkan Manxmouse ke dalam genre fantasi mungkin lebih pas, namun toh aku tak begitu merasa bahwa ini kisah yang fantastis. Benar yang dituliskan J.K. Rowling dalam endorsement-nya: Gallico menjalin fantasi dan realitas dengan sangat terampil, sehingga kisah yang paling fantastis sekalipun terasa masuk akal. Memang, selama membaca dan menikmati kisah ini, semuanya nyaris terasa nyata bagiku. Sulit untuk memisahkan bagian mana yang fantasi, dan mana yang tidak, semuanya membaur dengan natural. Menurutku, sosok Manxmouse sendirilah yang merupakan fantasi yang tak nyata. Namun sebaliknya, karakter Manxmouse sendiri malah lebih terasa manusiawi daripada manusia-manusia yang menganggap diri mereka agung.

Bagiku, Manxmouse mewakili kesederhanaan yang jarang dimiliki oleh manusia di jaman ini. Manxmouse mewakili diri kita sendiri tanpa terkecuali, ketika kita dulu lahir. Bersih. Tanpa ada prasangka. Tanpa ada rasa takut. Tanpa ada keserakahan. Tanpa ada rasa benci. Karena dalam keadaan begitulah kita diciptakan Tuhan sebagai manusia. Namun, dalam perjalanan hidup kita, kita jadi terseret oleh bermacam pengaruh yang datang dari luar. Kita jadi mengenal rasa takut, takut pada sesuatu yang kita bahkan mungkin belum tahu dan belum mengalaminya. Ketakutan itu akhirnya melumpuhkan kita, dan hanya ada satu cara untuk mengalahkannya, yaitu menghadapi ketakutan itu sendiri. Manxmouse juga membuat kita menyadari betapa selama ini kita disilaukan oleh harta dan kehormatan yang akhirnya menghalangi kita dari melihat hal-hal yang hakiki, seperti halnya para sheik dan pangeran yang sibuk menaikkan penawaran dalam lelang demi prestisenya, tanpa melihat apa sih sesungguhnya makhluk yang mereka tawar itu?

Akhirnya, aku malah bertanya-tanya...apakah Manxmouse ini termasuk buku anak-anak? Jangan-jangan buku ini ditulis justru untuk menyindir para orang dewasa yang sering lebih kekanak-kanakan daripada anak-anak? Dan pastinya, lebih tidak bijak daripada seekor tikus. Meskipun itu hanyalah seekor tikus biru, berkaki kangguru, bertelinga kelinci dan tidak berbuntut yang bernama Manxmouse...

Judul: Manxmouse
Penulis: Paul Gallico
Penerjemah: Maria Lubis
Penerbit: Media Klasik Fantasi (a Division of Mahda Books)
Original copyright at 1968 by Mathemata Anstalt
Cetakan: April 2011
Tebal: 227 hlm

Note: Review ini sekaligus kuikut sertakan dalam Lomba Resensi Penerbit Redline (Mahda Books). Mohon kritik dan saran dari teman-teman ya..!

Monday, December 6, 2010

Enzo

Buku ini bukanlah otobiografi Enzo Ferrari, sang pendiri perusahaan mobil mewah yang memiliki tim balap Formula One: Ferrari itu. Meski ada kesamaan nama, itu karena yang memilih dan memberikan nama itu adalah tokoh seorang pembalap di buku ini, dan karenanya tak heran bila nama orang yang di sekitar dunia balaplah yang dipilihnya. Ngomong-ngomong…siapa sih Enzo itu? Enzo adalah seekor anjing. Anjing Labrador milik seorang pembalap bernama Denny Swift. Bukan sembarang anjing, Enzo adalah seekor filsuf. Ya! Seperti tertera di sampul buku ini, ini adalah novel tentang seekor filsuf. Dan yang menjadi dasar pemikiran seorang.., eh salah..seekor Enzo adalah: the art of racing in the rain (seni balapan dalam hujan).

Sejak lahir si Labrador kecil ini sudah mengetahui bahwa dirinya unik. Tubuhnya memang seekor anjing, tapi jiwa dan pikirannya adalah milik seorang manusia. Bisa dibilang Enzo adalah manusia yang terperangkap dalam tubuh seekor anjing. Seringkali ia ingin mengemukakan pendapatnya pada manusia, namun ia terpaksa menyimpannya saja karena ia tak dapat berbicara.

Denny sendiri adalah seorang pria yang dianugerahi talenta untuk membalap mobil. Ia boleh dibilang seorang pembalap natural, yang tanpa dipoles pun memiliki insting membalap yang hebat. Namun karena keterbatasan dana, ia pun hanya sesekali mendapat kesempatan mempertontonkan kebolehannya di sirkuit, di sela-sela pekerjaannya sebagai karyawan di toko onderdil mobil. Ya, itulah wajah dunia balap mobil, mulai dari Formula One yang canggih dan prestisius hingga balap ketahanan (enduro) yang mengutamakan keberanian dan skill, di mana Denny sangat berbakat. Uang dan keberuntungan, bukannya bakat, yang seringkali menentukan apakah seorang pembalap dapat bersinar atau tidak.

Enzo sendiri ternyata peminat balap mobil juga. Ia sering ditinggal Denny seorang diri di apartemen, dan cukup Denny menyetelkan video balapan atau acara balapan di TV, maka Enzo akan duduk manis di depan televisi seharian hingga Denny pulang kerja. Di sinilah salah satu keunikan buku ini yang membuatnya sangat menghibur terutama bagi penyuka (acara) balapan, karena Denny sering menjelaskan strategi dan tips/trik menggeber mobil balap pada Enzo. Ya, Denny memperlakukan Enzo lebih sebagai sahabat daripada hewan peliharaan.

Selain balapan, Enzo juga penyuka filsafat. Discovery Channel dan National Geography adalah beberapa channel kesukaannya di televisi. Enzo belajar tentang banyak hal dari acara-acara itu, termasuk bahwa orang Mongolia percaya bahwa arwah seekor anjing yang meninggal kelak akan berinkarnasi ke dalam tubuh seorang manusia….

Namun ketenangan yang dirasakan Enzo sedikit terusik ketika Denny menikahi Eve. Enzo merasa tersaingi dalam mendapatkan kasih dan perhatian Denny. Maka wajarlah kalau Enzo agak tak suka pada Eve, dan begitu juga sebaliknya. Lalu hadirlah Zoe, putri Denny-Eve. Meski perhatian Denny akan makin terbagi lagi, namun Enzo sangat menyayangi si kecil Zoe. Ia bertekad akan melindungi Zoe meski harus mempertaruhkan nyawanya. Saat itu sebenarnya lengkaplah kebahagiaan keluarga Swift. Namun takdir berkata lain. Pada suatu hari Enzo mencium bau busuk dari hidung Eve yang membuatnya tahu bahwa ada sesuatu yang buruk tengah terjadi, sayang ia tak dapat mengatakannya pada siapapun. Akhirnya terbukti bahwa memang ada sesuatu yang sedang tumbuh di dalam batok kepala Eve, yaitu sebuah tumor....

Gara-gara penyakit Eve ini sempat terjadi beberapa prahara di keluarga kecil Swift. Suatu hari Denny mengikuti balapan hingga 4 hari, dan justru pada saat itu tumor yang mengendon di kepala Eve mulai memberinya rasa sakit. Eve mengungsi bersama Zoe ke rumah orang tuanya tanpa ingat untuk mengurusi Enzo. Enzo yang malang memang dapat bertahan hidup selama 3 hari, namun ketika Denny pulang, ia marah besar. Lalu keadaan menjadi makin rumit ketika Eve harus dirawat di rumah sakit selama berminggu-minggu. Masa-masa itu adalah masa yang berat bagi Denny, dan juga Enzo. Namun dalam setiap kejadian, Enzo membuktikan bahwa ia bukan hanya anjing penjaga rumah. Ia adalah sahabat. Sahabat yang mau mendengarkan, yang mau berempati, bahkan mau menghibur kala majikannya tertimpa musibah. Enzo yang baik, selalu dapat menguasai diri karena mampu berpikiran dan membuat pertimbangan layaknya seperti manusia.

Segala kisah dan liku-liku perjalanan hidup Enzo selama bersama dengan keluarga Swift tersaji dengan indah namun natural di buku ini. Dan seperti biasanya semua kisah tentang anjing atau hewan peliharaan lainnya, endingnya sudah dapat diduga. Ada orang yang berpikiran skeptis: “Percuma membaca buku tuntang anjing, pasti akhirnya sedih waktu si anjing mati”. Menurutku, membaca bukanlah mencapai sebuah tujuan (endingnya), namun lebih pada prosesnya. Jangan membaca karena ending sebuah cerita, namun pada apa yang ada di antara prolog dan epilog buku itu. Bukankah saat kita menangisi kematian sosok anjing, seperti juga pada buku Enzo ini, yang kita tangisi bukanlah kematian itu sendiri, melainkan apa yang si anjing telah tunjukkan semasa hidupnya: kesetiaan, keberanian, dan cinta tanpa pamrih. Semua nilai-nilai itulah yang membuat kita menangisi si anjing sekaligus mengagumi kepribadiannya (yang seringkali bahkan lebih luhur daripada manusia…)

Akhirnya, buku ini benar-benar nikmat dan menghibur untuk dibaca siapa saja. Dan jangan khawatir bahwa endingnya sudah terduga, karena Garth Stein – penulisnya, telah menyiapkan sebuah kejutan pada endingnya!

Penerbit: Serambi

Wednesday, December 1, 2010

Firebelly

Pelajaran tidak hanya kita peroleh dari lembaga pendidikan dan dari orang yang lebih tua atau yang lebih berpengalaman saja. Seringkali pelajaran, terutama pelajaran tentang hidup, justru kita dapat dari makhluk kecil yang sederhana dan tak pernah kita perhatikan seperti seekor katak. Begitu jugalah buku ini ditulis, menggunakan seekor katak sebagai tokohnya, namun di dalamnya terkandung filosofi hidup yang mengagumkan. Seperti sub titel buku Firebelly ini: Novel Perjalanan Menuju Inti Pemikiran.

Firebelly adalah katak yang berasal dari daratan Asia. Ciri khasnya, punggungnya berwarna hijau bertotol-totol hitam, namun bagian perutnya berwarna merah menyala. Ketika katak jenis ini terancam bahaya, ia akan menelentangkan diri dan menggelembungkan perut merahnya sedemikian rupa sehingga tampak seperti bola api kecil yang menyala. Karena itulah katak jenis ini disebut Firebelly.

Tapi pada buku ini, kita berikan nama Firebelly khusus pada katak "perut-api" yang kaki depan dan kaki belakangnya tidak tumbuh sempurna. Bisa dibilang kaki katak itu buntung, karena alih-alih berjari dan berselaput, ujung kakinya hanya berupa puntung kecil. Firebelly adalah katak unik, bukan hanya karena kecacatannya, namun lebih pada pemikirannya.

Firebelly mengingatkan kita pada diri kita sendiri yang pastilah memiliki sebuah kelemahan. Seperti Firebelly, banyak di antara kita yang biasa merenungi kelemahan kita sambil berharap kita adalah orang lain yang lebih baik, cantik, tampan, tinggi, langsing, dsb. Kita lantas menjalani saja kehidupan kita biasa-biasa saja, kita berkubang dalam rasa nyaman karena toh kita memiliki kelemahan. Firebelly pun dulunya merasa hidup itu indah tatkala ia bisa menemukan tempat persembunyian yang nyaman di akuarium di toko hewan peliharaan, dengan suplai jangkrik (oh ya, Firebelly doyan sekali makan jangkrik!) yang berkelimpahan, dan sinar matahari yang menghangatkan punggungnya. Semuanya itu membuatnya puas, karena bagaimana pun ia sadar bahwa jangkrik terbesar dan tergurih adalah milik katak-katak lain yang bisa melompat lebih gesit daripada dirinya yang buntung.

Namun seekor katak tua membuka matanya dan menyadarkannya tentang keinginan dan harapan. Apa sih beda keinginan dan harapan? Bukannya sama saja? Ayo kita simak kutipan nasihat sang katak tua yang berharga itu untuk Firebelly, dan untuk kita semua tentunya...

..Berharap itu berbeda dengan berkeinginan. Kalau kamu tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Keinginan hanyalah pikiran kosong--tidak penting, seperti melemparkan uang logam ke kolam air mancur atau mengucapkan keinginan pada bintang-bintang. Tapi jika kamu tidak pernah mendapatkan apa yang kamu harapkan, itu akan mempengaruhi pilihan-pilihan yang kamu ambil, dan dapat mengubah dirimu nantinya di masa depan. Kalau kamu menghabiskan terlalu banyak waktu dengan berharap tanpa sebab, mungkin akhirnya kamu akan tergelincir ke dalam ketiadaan harapan, ke dalam kehampaan...

...Berharap adalah keputusan yang kita buat untuk diri kita sendiri; tak seorang pun bisa mengabulkannya. Berharaplah akan hal-hal yang dapat kamu capai dengan usahamu sendiri...

Setelah mendapatkan banyak pemcerahan dari si katak tua, pada suatu hari Firebelly dibeli oleh seorang gadis kecil untuk dijadikan katak peliharaannya. Maka kini Firebelly harus mengarungi hidup seorang diri dan harus mengambil keputusan sendiri. Sudah menjadi kodrat seekor katak untuk hidup bebas di alam liar, dan hal itulah yang diimpikan Firebelly selama ini. Namun, beberapa kali kesempatan untuk meloloskan diri itu tiba, Firebelly tak jua menemukan keberanian atau tekad yang cukup kuat untuk mengambil satu lompatan panjang menuju alam kebebasan. Hingga akhirnya takdir mempertemukannya dengan seorang gadis bernama Claire yang, seperti dirinya, tengah mencari jati diri. Akhirnya, bersama mereka berdua, meski tak direncanakan, tiba pada pemahaman akan siapa dirinya, dan untuk apa ia hidup.

Novel Firebelly ini adalah novel filosofis yang dibungkus dalam kisah fabel yang kadang lucu, polos namun juga bisa serius. Firebelly si katak buntung mengingatkan pada kita untuk melihat diri sendiri dan kemampuan kita sebelum kita berharap. Ingat, menghabiskan terlalu banyak waktu dengan berharap tanpa sebab, mungkin akhirnya kamu akan tergelincir ke dalam ketiadaan harapan, ke dalam kehampaan, dan berharaplah akan hal-hal yang dapat kamu capai dengan usahamu sendiri...

Sunday, October 10, 2010

The Horse Whisperer

Aku menemukan buku ini di sebuah lapak buku bekas. Tadinya aku tak tertarik untuk membelinya karena bukunya kumal, sampulnya juga sudah tak mulus lagi (yah..namanya juga buku bekas..). Tapi setelah melihat nama pengarangnya, aku jadi berpikir dua kali. Si pengarang adalah Nicholas Evans, yang menulis buku The Smoke Jumper. Aku langsung jatuh cinta pada si penulis ini begitu membaca The Smoke Jumper itu. Keunikannya terletak pada background cerita yang banyak berlatar belakang alam sehingga menyediakan imajinasi yang lebih luas bagi seorang 'wanita kota' sepertiku.

Anyway, karena faktor pengarang itulah akhirnya aku membeli buku ini. Belakangan aku mengetahui dari internet bahwa buku ini telah di-layar-lebarkan dengan Robert Redford menjadi salah satu pemeran utamanya (jadi tak salah kan pilihanku?..).

Sang Penakluk sebenarnya kurang mencerminkan isi buku ini, tidak seperti judul aslinya dalam bahasa Inggris, The Horse Whisperer. Horse whisperer adalah sebuah karir yang digeluti oleh hanya segelintir orang di dunia karena pekerjaan itu membutuhkan jauh lebih banyak bakat daripada ketrampilan yang dapat dilatih. Horse whisperer bukan hanya membutuhkan kemampuan untuk melatih kuda, tapi justru membutuhkan bakat untuk memahami si kuda, sama seperti psikolog yang harus mampu memahami apa yang dirasakan pasiennya untuk dapat menyelesaiakn masalahnya.

Horse whisperer biasanya dicari orang-orang yang memiliki kesulitan dengan kuda peliharaannya. Kebanyakan kesulitan atau masalah bukan terletak pada kuda itu sendiri, tapi justru karena si pemilik tidak memahami kudanya sendiri. Dengan membaca buku ini kita diajak untuk semakin menyadarai bahwa hewan juga makhluk yang memiliki perasaan. Dan bagaimana ia akan bersikap pada manusia, tergantung pada bagaimana manusia memperlakukannya. Sama persis seperti cara manusia menjalin hubungan dengan sesamanya, kan?

Tom adalah 'the best horse whisperer' yang bisa didapatkan Annie setelah putrinya, Grace mengalami kecelakaan hebat yang membuatnya kehilangan salah satu kakinya, dan kudanya Pilgrim berubah menjadi kuda yang amat liar dan setengah gila. Sebelum kecelakaan itu Pilgrim adalah kuda yang fit dan hebat. Namun di suatu hari yang dingin di awal musim salju, Grace berkuda bersama dengan sahabat karibnya. Tentu saja Grace menunggangi Pilgrim-nya, yang sudah menjadi bagian dari dirinya, cinta pertamanya saat membeli Pilgrim. Hubungan batin kuda dan pemiliknya memang amat penting.

Anyway, Grace dan sahabatnya begitu gembira bisa berkuda menyusui padang rumput di pagi yang dingin itu, dalam suasana yang tenang, tanpa kehadiran manusia lain dan terutama tanpa kendaraan bising dan polusi di kota besar. Dan seperti halnya pada semua kecelakaan, suasana menyenangkan itu berubah seketika hanya dalam beberapa detik, yaitu saat sebuah truk kontainer melaju dengan cepat di jalanan. Kecelakaan itu takkan pernah terjadi kalau saja sahabat Grace tidak membawa mereka menyusuri jalan sempit yang licin yang langsung memotong jalanan yang akan dilewati turk itu. Kedua kuda tergelincir di salju yang licin itu, merosot tak terkendali, dan akhirnya menghantam truk yang juga tak mampu melakukan pengereman mendadak. Semuanya berlangsung begitu cepat, dan secepat itulah semuanya berubah. Si sahabat langsung meninggal di tempat, kudanya terjepit truk dan meninggal juga. Pilgrim terluka parah tubuhnya, namun tak separah luka pada hatinya akibat shock.

Grace sendiri harus merelakan kakinya diamputasi, dan hal itu membuatnya uring-uringan. Annie mengambil insisiatif menemui Tom, the horse whisperer untuk menyembuhkan Pilgrim. Namun keadaannya yang parah membuat Tom mundur teratur. Annie, merasa entah bagaimana kesembuhan Pilgrim akan berpengaruh pada kesembuhan jiwa Grace, akhirnya ngotot mengajak Grace dan Pilgrim menemui Tom di ranch-nya.

Dan pertemuan itu memang akhirnya mengubah hidup semua orang yang terlibat dengan caranya sendiri-sendiri. Tak ada yang sama dengan sewaktu Annie, Grace dan Pilgrim menemui Tom. Dan semua yang terjadi digambarkan dengan sangat detail dan indah oleh Evans. Kita akan merasa seperti diajak memasuki dunia lain. Dunia yang membuat kita begitu dekat dengan alam sekitar, dunia di mana kuda dan hewan ternak lainnya diperlakukan bak sahabat. Membaca buku ini membuatku merasa bahagia, membuatku merasakan ada kasih yang tulus antara manusia dan hewan yang di era modern ini jarang kita temui. Mungkin itulah daya tarik utama buku ini buatku. Akhirnya, aku menutup buku ini dengan perasaan puas. Tak sia-sia aku membeli buku kusam ini, karena isinya justru secemerlang buku baru manapun!