Wednesday, November 28, 2012

Petualangan Tintin: Tujuh Bola Kristal


Meski sulit untuk menentukan judul mana dari serial Tintin yang paling kusukai—hampir semuanya aku suka; bahkan cinta!—Tujuh Bola Kristal adalah salah satu favoritku. Entah sudah keberapa kali aku membaca Tujuh Bola Kristal ini. Pertama kali saat aku masih sangat kecil, ortuku membelikanku versi bahasa Inggrisnya—tentu saja mereka harus menceritakannya padaku, karena jangankan bahasa Inggris, membaca pun aku belum mampu. Lalu setelah penerbit Indira menerbitkan terjemahannya, aku pun membacanya sendiri, selama berkali-kali hingga jilidannya rusak dan kertasnya kecoklatan, dan sekarang entah kemana… Lalu akhirnya aku kembali memiliki edisi terbitan Gramedia ini.

Petualangan sang wartawan muda Tintin dimulai ketika sedang berkunjung ke rumah sahabatnya Kapten Haddock yang sedang tergila-gila dengan sulap-menyulap; sehingga mereka berdua lalu menonton pertunjukan. Di tengah pertunjukan hipnotis, wanita yang dihipnotis ternyata meramalkan dengan tepat bahwa salah satu ilmuwan yang baru saja pulang dari ekspedisi Sanders-Hardmuth ke Amerika Selatan sedang sakit keras. Mulai saat itu tujuh ilmuwan yang telah membobol makam Inca dan membawa muminya pulang itu mengalami sakit misterius: koma setelah ‘diserang’ oleh sesuatu atau seseorang yang membawa bola Kristal, dan sering mengalami semacam kerasukan pada jam yang sama. Diyakini bahwa mereka dikutuk oleh Rascar Capac, yang muminya menghilang begitu saja setelah melepaskan bola api, tepat di hadapan Tintin, Kapten Haddock dan Professor Lakmus yang saat itu sedang berkunjung ke Profesor Bergamotte yang menyimpan mumi itu di kediamannya.

Menghilangnya mumi dan penyakit misterius para ilmuwan itu saja sudah membuat Tintin dan polisi kebingungan, namun ketika Profesor Lakmus diculik dan jejaknya tak kunjung ditemukan, Tintin dan Kapten Haddock pun dihadapkan pada sebuah petualangan eksotis nan penuh bahaya ke Amerika Selatan.

Kali ini aku membaca Tintin dengan tekad untuk lebih memperhatikan sisi grafisnya, alih-alih membaca ceritanya—yang jelas sudah hafal luar kepala :). Tiga hal yang membuatku selalu mencintai Tintin—selain seru bin jenaka ceritanya—adalah kemampuan Hergé menggambar dengan sangat detail, sangat memperhatikan keindahan, dan keberanian menggunakan warna-warna cerah. Pada awal Tujuh Bola Kristal ini saja, kita sudah disuguhi pemandangan indah di Stasiun Moulinsart ketika Tintin turun dari kereta api. Kita seolah terbawa pada suasana khas Belgia di musim panas yang cerah. Selain warna-warni pakaian orang yang berlalu-lalang di stasiun, juga ada pohon peach blossom yang bunga warna pink-nya sedang bermekaran, yang langsung memanjakan mata.



Dari Character Book Kapten Haddock, aku mengetahui bahwa Hergé adalah seorang yang fashionable, sangat memperhatikan penampilannya saat keluar rumah. Sisi flamboyannya itu ia terapkan pada sosok Kapten Haddock yang—terutama pada kisah ini—ia dandani habis-habisan. Kapten pertama muncul dalam pakaian berkuda dengan jaket warna coklat tanah dan scarf putih serta kacamata berlensa satu—yang berkali-kali ia pecahkan di sepanjang kisah ini! :)). Kemudian saat menonton pertunjukan bersama Tintin, ia mengenakan tuksedo hitam resmi dengan dasi kupu-kupunya. Tapi favoritku ialah ketika kawan-kawan kita bertamu ke rumah Professor Bergamotte, Sang Kapten mengenakan jas motif kotak-kotak coklat, celana khaki dan kemeja serta dasi serasi warna hijau muda. Nah…salut pada Hergé yang berani memadukan warna coklat dan hijau yang ternyata menjadi kombinasi yang menarik.

Berbicara tentang pemaduan warna yang tak senada, Hergé juga ‘memberi’ Bianca Castafiore gaun warna ungu pastel dengan corsase besar warna kuning madu, ketika sang biduanita tampil di pertunjukan yang ditonton Tintin dan Haddock. Ungu dan kuning? Ternyata di tangan Hergé bisa jadi serasi…. Dan kalau anda bilang biru langit tak akan cocok dipadukan dengan coklat tanah, pandangi saja busana wartawan muda kita….yang menurutku satu-satunya yang sama sekali tak cocok di sini! :))

Bianca Castafiore dalam paduan ungu-kuning madu


Hal lain yang menarik perhatianku adalah kehadiran Milo (Milou di edisi asli bahasa Prancis, atau Snowy di edisi bahas Inggris). Entah mengapa Hergé menciptakan tokoh utamanya Tintin sebagai sosok yang paling tidak ekspresif. Kalau anda perhatikan wajah Tintin dalam banyak adegan, kebanyakan hanya bentuk mulutnya saja yang berubah-ubah dan menandakan emosi tertentu, terkejut atau senang misalnya. Nah, menurutku Hergé menambahkan Snowy (aku lebih suka menyebutnya Snowy daripada Milo yang mengingatkanku pada susu coklat :P) si anjing, untuk mempertegas emosi Tintin sehingga terasa lebih wajar. Aku merasa Snowy selalu terlibat dalam semua yang dilakukan, didengarkan dan dikatakan Tintin, seolah Snowy mengerti segala percakapan manusia dan apa yang sedang terjadi.

Saat serius mendengarkan pembicaraan orang, alis Snowy berkerut, sementara Tintin berwajah datar sambil mengatakan “Begitu?” Melihat gabungan antara Tintin dan Snowy, aku baru merasakan bahwa memang apa yang dikatakan si pembicara di adegan itu agak sulit dipercaya, yang membuatmu bertanya “Masak sih?”. Aku yakin ada banyak gambar yang menunjukkan hal itu (Snowy sebagai penegas emosi Tintin) di judul-judul lainnya juga.

Kalau aku mendapati kekurangan di cergam Tintin ini, kekurangan itu terletak pada penerjemahan dan bentuk buku ini. Pertama bentuk buku terbitan Gramedia ini menurutku terlalu kecil, sehingga detail yang mengagumkan pada gambar-gambar karya Hergé kurang bisa ditampilkan dengan optimal (kecuali anda mau susah-susah menggunakan kaca pembesar…). Pada beberapa bagian bahkan teks untuk tulisan juga menjadi amat kecil, tapi yang paling mengganggu adalah kita jadi tak bisa mengagumi detail gambar.

Kedua, tentang penerjemahan. Karena Gramedia memakai versi bahasa Prancis sebagai sumber, maka tak heran bila ada beberapa nama yang berubah dari versi Indira yang sudah lebih familiar bagi kita. Tak apa, kita hanya harus beradaptasi. Namun aku heran, sementara ada nama-nama yang dipertahankan keasliannya, mengapa nama Milou harus menjadi Milo dan Tournesol menjadi Lakmus? Khusus untuk Tujuh Bola Kristal ini, adakalanya Tintin memanggil Lakmus dengan ‘Tuan Lakmus’, lalu di bagian lain berubah menjadi ‘Pak Lakmus’. Di bagian lain bahkan ia hanya menyebutnya sebagai ‘Lakmus’. Mengapa tidak menggunakan sebutan ‘Profesor’ saja yang menurutku jauh lebih sopan, karena jelas Tintin jauh lebih muda daripada sang Profesor? Meski sepele, inkonsistensi ini lumayan mengganggu selama membaca. Mau tak mau aku harus mengatakan bahwa secara keseluruhan aku masih lebih suka versi Indira dibanding terbitan Gramedia ini—meski kertasnya jauh lebih eksklusif.

Empat bintang untuk cergam Tintin ini, yang kunikmati dalam rangka #bacabareng novel grafis bersama anggota BBI (Blogger Buku Indonesia) bulan November ini. Satu bintang aku kurangkan karena dua kelemahan yang telah kusebutkan di atas.

Judul: Tintin dan 7 Bola Kristal
Karya: Hergé
Penerjemah: Donna Widjajanto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2012
Tebal: 64 hlm

7 comments:

  1. mbak fandaaa... si Inge jadi beli tintinnya ngga? kalo ngga aku mau looh.. *nyengir. *mau ngoleksi tintiin :D

    ReplyDelete
  2. Iyaaa versi Gramedia terlalu kecil, fontnya miring2 dan kasihan detail gambarnya. Aku juga pengen koleksi tapi (mahal) fontnya itu loohhhhhh jd eman2 saja.

    *geret Alvina cari Tintin di Shopping Centre

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap! font masih bisa dimaafkan lah, kalo detail gambarnya sayang banget gak dioptimalkan, padahal kekuatan utama novel grafis kan di gambarnya.

      Delete
  3. aku pun lebih suka sama versi terjemahan Indira =) tapi mungkin karena memang udah telanjur familiar aja sih ya hehehe...btw mba, aku juga suka banget sama warna-warna pilihan Herge..kerennn detilnya ya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, terutama di Bianca Castafiore, Herge mendandani Castafiore abis2an deh disitu. Jangan2 seandainya gagal dengan komik Tintinnya, Herge bakal jadi fashion designer??

      Delete
  4. toss sama mbak Astrid, aku juga suka terbitan Indira :D

    ReplyDelete