Sunday, November 25, 2012

2013 TBR Pile Challenge


Don’t call yourself a bookworm if you don’t have at least twelve books in your shelf that you haven’t read yet, ha! For your information, my ‘to read’ shelf in Goodreads has reached 81 books! It consists of books I own, or I’m borrowing, or ebooks. So, when Melisa asked me to join Adam’s 2013 TBR Pile Challenge, I think this is the best way to encourage myself to finally read books I’ve been abandoning for quite long time.



Here’s the twelve books I’ll be reading during 2013, along with two alternates (which I hope I’ll read too before the end of 2013). The years behind each book are the publishing year, as the rule is to read books published before January 2012.

1. The Old Man and The Sea - Ernest Hemingway (translated edition: Lelaki Tua Dan Laut) ~ 2009
2. The Confession – John Grisham ~ Oct 2010
3. Little Dorrit – Charles Dickens ~ 2002
4. The Mystery of Edwin Drood – Charles Dickens ~ 2005
5. The Orange Girl – Jostein Gaarder (translated edition: Gadis Jeruk) ~ Jul 2011
6. The Masterpiece – Emile Zola ~ 2008
7. La Bete Humaine – Emile Zola ~ Mar 2009
8. In Cold Blood – Truman Capote (translated edition) ~ 2007
9. The Sea – John Banville (translated edition) ~ 2010
10. The Portrait of A Lady – Henry James ~ 1999
11. Veronika Decides To Die – Paulo Coelho (translated edition) ~ 2005
12. The Beekeeper’s Apprentice – Laurie R. King (translated edition) ~ Dec 2011

Alternates:
1. David Copperfield – Charles Dickens ~ 1998
2. Matilda – Roald Dahl ~ 1996

Wednesday, November 21, 2012

Wishful Wednesday (18)


Tak seperti biasanya, aku menerbitkan Wishful Wednesday edisi ke 18 ini bukan di Fanda’s Historical Fiction, karena kali ini buku incaran terbaruku bukan historical fiction.


By Wilkie Collins



Sinopsis ada di sini.

Sudah lama aku mengincar buku ini, tapi walau begitu aku masih menahan diri karena Penguin English Library yang banyak menerbitkan novel-novel klasik penulis Inggris (dan beberapa Amerika) dengan cover menawan plus harga bersahabat, akan menerbitkan buku ini bulan November. Dan karena minggu ini Astrid sedang berbaik hati untuk mengabulkan Wishful Wednesday kami, aku pun berharap buku ini segera akan melengkapi koleksi edisi PEL-ku…. Semoga! *berdoa*

Adakah buku yang sudah lama kamu inginkan? Masukin Wishful Wednesday minggu ini yuk, siapa tahu keinginanmu dikabulkan Astrid yang bakal berulang tahun 2 hari lagi!

Caranya:



  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)


Tuesday, October 9, 2012

The Casual Vacancy: Kerikil Mungil Yang Jatuh Ke Kolam Tenang


Jika Pagford diibaratkan sebagai sebuah kolam yang tenang, maka kematian Barry Fairbrother adalah sebutir kerikil mungil yang jatuh ke tengahnya.

Pagford Parish adalah daerah pemerintahan terkecil di distrik Yarvil, Inggris—kalau di negara kita mungkin setingkat dengan kelurahan—yang amat bangga dengan sejarah panjangnya, dan orang-orang terhormat yang pernah mendiaminya. Pagford adalah warisan yang ingin dipertahankan oleh para penghuninya tetap seperti semula. Maka ketika para pendatang baru membawa nilai-nilai moral yang mulai luntur (obat bius, seks bebas, dll), dimulailah perseteruan panjang antara penghuni lama Pagford dan kalangan The Fields (sebutan para pendatang baru itu) yang sudah berlangsung selama 60 tahun.

Dari luar, Pagford nampak seperti pedesaan yang asri dan tenang, persis seperti kolam yang airnya tenang. Hingga seorang anggota wakil rakyat Pagford yang ceria dan energik bernama Barry Fairbrother mendadak meninggal di parkiran klub golf setempat. Bak sebutir kerikil mungil yang jatuh ke kolam yang tenang, peristiwa kematian Barry itu menimbulkan riak-riak yang menggoncangkan seluruh permukaan ‘kolam’ Pagford. Yang menarik adalah, bagaimana kematian satu orang saja bisa mengubah kehidupan begitu banyak pribadi dan keluarga?

Kematian Barry menimbulkan “casual vacancy” yaitu ketika kursi dewan yang mewakili Pagford Parish di Distrik Yarvil (district = setingkat lebih rendah dari county) kosong. Barry termasuk dalam kalangan pendatang baru yang ingin mempersatukan The Fields dan Pagford, karena itu, meski secara pribadi orang-orang berduka, namun bagi sebagian kecil ‘first citizens’ Pagford kematian Barry merupakan ‘blessing in disguise’. Dengan adanya ‘casual vacancy’ para pro-Pagford akan mampu mempertahankan status quo kehormatan mereka dari serbuan pengaruh The Fields.

Keluarga Mollison adalah yang pertama-tama mencalonkan diri untuk menempati kursi yang ditinggalkan Barry Fairbrother, melalui Miles, putra Howard Mollison (salah satu penduduk terpandang di Pagford). Kemudian di sebuah rumah kecil di atas bukit di perbatasan Pagford, Simon Price—laki-laki pemarah yang suka menyiksa istri dan putra-putranya—tiba-tiba terinspirasi untuk mencalonkan diri pula. Terakhir ada Collin Wall, kepala sekolah di The Fields yang juga maju menantang kedua calon tersebut.

Hingga di sini, buku ini nampaknya membosankan dengan politik tingkat kelurahannya yang..yah..membosankan :) Namun J.K. Rowling ternyata belum kehilangan kemampuan ‘sihirnya’ yang telah terbukti ‘ampuh’ di Harry Potter. Dengan menghadirkan banyak tokoh (tokoh utamanya saja paling tidak 20 orang) dari beberapa keluarga, Rowling menganyam konflik demi konflik; konflik dalam keluarga, konflik antar teman sekolah, konflik antar keluarga. Ada istri yang tidak bahagia dalam perkawinannya dan mulai mengidolakan anggota band yang muda-berotot. Ada ibu pecandu obat bius yang menjual diri demi mendapat pasokan obat bius. Ada remaja tidak bahagia yang terobsesi untuk menjadi ‘authentic’ dengan melakukan kekejaman. Ada remaja yang menganggap mengiris lengannya sendiri adalah obat untuk memerangi sakit hati akibat penghinaan. Namun ada juga tokoh-tokoh yang seolah sempurna, padahal mereka pun menyimpan sebuah rahasia kelam.

Dan ketika masing-masing calon dewan tadi mulai berkampanye, muncullah artikel-artikel di website Pagford Parish yang mengungkap rahasia-rahasia memalukan para kandidat, semuanya ditulis dengan menggunakan nama samaran ‘Hantu Barry Fairbrother’. Dan bersama dengan si Hantu, perlahan-lahan, Rowling menelanjangi satu per satu rahasia masing-masing tokoh, yang ia ungkap di masing-masing bab. Dari bab ke bab kita diajak untuk semakin penasaran, mengapa si A begitu membenci si B? Apakah si B diam-diam mencintai si C?... dan seterusnya. Membaca The Casual Vacancy ini bak mengupas sebutir bawang merah, selapis demi selapis kita buka untuk menemukan apa yang kita inginkan.

Bagi penggemar Harry Potter, jangan berharap bahwa The Casual Vacancy akan penuh dengan aksi heroik dari tokoh-tokoh yang bisa kita cintai. Boleh dibilang, hampir tak ada tokoh di sini yang bisa kita cintai, seperti halnya Hermione Granger atau Ron Weasley. Kita mungkin akan muak dan membenci mereka, karena kebodohan mereka, karena kebobrokan moral mereka. Namun sebenarnya, dari apa yang mereka alami, kita dapat belajar banyak tentang kehidupan dan tentang manusia.

Misalnya, dari tokoh ibu pecandu obat bius yang boleh dibilang telah jatuh di lumpur yang paling hina (pecandu, pelacur, tak becus mengurus anak); kita harus menyadari bahwa ia menjadi seperti itu karena banyak alasan, dan yang bila dirunut jauh ke belakang, mungkin karena ia mengalami masa kecil yang kelam. Dari beberapa kasus kita bisa melihat, bahwa cinta kasih dan perhatian adalah hal mutlak yang dibutuhkan manusia, dan kekurangan unsur itu akan menyebabkan kejatuhan moral dan kelemahan mental. Karena itu kita juga diajak Rowling untuk tidak cepat menjatuhkan penghakiman terhadap orang lain. Tiap orang memiliki latas belakangnya masing-masing, yang akan membentuk dirinya saat dewasa.

The Casual Vacancy bukanlah kisah Grifindor melawan Slytherin, bukan kisah penyihir putih melawan penyihir hitam. The Casual Vacancy adalah kisah kita semua, yang dengan kelemahan kita masing-masing selalu berjuang untuk menjadi baik, namun seringkali justru melakukan kebodohan-kebodohan yang memalukan, yang kita simpan rapat-rapat agar dunia tak mengetahuinya. The Casual Vacancy bertutur tentang bagaimana mereka menghadapi kejatuhan, ada yang kuat dan mampu bangkit untuk menjadi lebih baik, namun ada pula yang lemah dan terpaksa membiarkan diri makin terpuruk. Ya, The Casual Vacancy adalah kisah tentang dunia yang sangat nyata, tentang orang-orang biasa seperti kita. Membosankan? Sama sekali tidak!

Sekali lagi, bagi yang mengharapkan sesuatu seperti Harry Potter, anda akan kecewa. Alur The Casual Vacancy mengalir dengan cukup lambat seperti kisah drama pada umumnya, namun J.K. Rowling mampu menjaga rasa penasaran kita dengan menguak sedikit demi sedikit rahasia tokoh-tokohnya. Kisah ini juga bukan kisah yang cocok untuk remaja karena bertebaran kata-kata kasar seperti fu**ing, b*tch, s*agging, juga penggambaran lumayan eksplisit tentang adegan seksual. Jelas bukan buku untuk menghibur diri, melainkan bacaan sarat emosi yang membantu kita menjalani hidup kita sendiri.

Empat bintang kuberikan untuk The Casual Vacancy, sebuah tonggak yang berhasil ditancapkan J.K. Rowling untuk keluar dari romantisme epic Harry Potter, dan menulis kisah yang lebih membumi dan lebih berbobot dengan gaya khasnya yang sama cantiknya seperti yang kita dapati di Harry Potter. Sayang, ending kisah ini kurang menggigit emosi, yang menghalangiku menambahkan 1 bintang lagi yang akan menjadikannya sempurna…

Judul: The Casual Vacancy
Penulis: J.K. Rowling
Versi: ebook
Terbit: September 2012
Halaman: 335 (versi MS Word)

Thursday, August 9, 2012

[Short Story] Fish Files (Arsip Bau Busuk) by John Grisham


Satu lagi karya John Grisham yang keluar dari ‘pakem’ novel yang biasa kita jumpai, di mana kisahnya berfokus pada ‘perjuangan’ tokoh utamanya yang menyandang status antagonis. Kisah ini merupakan kisah ketiga dalam kumpulan cerita pendek karya Grisham berjudul Ford County. Seperti kisah pertama dan kedua, kisah ini masih bersetting di Ford County, Mississippi, dan kali ini—akhirnya—muncul tokoh pengacara dalam setting berbau hukum (ini karya Grisham kan, kisah macam apalagi yang kita tunggu-tunggu?).

Mack Stafford adalah pengacara kecil untuk kasus-kasus-kasus perceraian dan kebangkrutan, yang terhimpit di antara begitu banyak pengacara-pengacara kecil lainnya yang berjejalan mencari nafkah di Ford County. Ia sudah nyaris putus asa dengan hutang menumpuk tanpa ada tanda-tanda karirnya akan meningkat, ketika suatu hari ada telepon masuk yang akan mengubah hidupnya. Mack pernah mengerjakan kasus gugatan terhadap kesalahan produksi gergaji listrik yang telah mencelakakan pemakainya. Ia menemukan empat korban dan berusaha untuk mengajukan ‘class action’ terhadap sebuah perusahaan besar yang memproduksi alat itu. Sayangnya, waktu berlalu dan gugatan itu tak pernah ada, sampai file-nya terkubur di suatu tempat di laci berdebu Mack yang ia namakan Arsip Bau Busuk (arsip yang tak ada kelanjutannya setelah waktu yang lama).

Di hari bersejarah itu seorang pengacara yang mewakili sebuah perusahaan yang telah mengambil alih saham si perusahaan besar di Arsip Bau Busuk Mack, menelponnya untuk mengajukan proposal ganti rugi agar kasus itu dapat segera ditutup dan ‘dibersihkan’ selamanya. Mack langsung mencium aroma ‘uang’, dan seperti kebanyakan orang lain yang ada di posisinya, timbullah keserakahan. Bukannya berpikir bijak dengan menggunakan hasil yang akan ia dapatkan untuk melunasi hutang dan membangun kembali hidupnya yang carut-marut, Mack malah memutuskan untuk ‘mengubur’  kehidupannya yang sekarang untuk memulai hidup baru yang penuh kemewahan dan kebebasan. Dan dalam proses menuju ‘surga instan’ itu, ia pun mulai menghancurkan hidup orang-orang yang dekat dengannya bahkan keluarganya, lalu perlahan-lahan melakukan kejahatan demi kejahatan. Demi mendapatkan ‘surga instan’ itu.

Kisah seperti ini bukan hanya sekali kudapati pada John Grisham—ada lebih dari satu kalau tak salah, kisah yang serupa—di mana Grisham menjadikan tokoh antagonisnya sebagai tokoh utama; dan alih-alih membawa kita merasakan kemenangan pihak yang benar, kita pun diajak ‘menjadi’ si penjahat sendiri yang berhasil memperkaya diri sendiri dalam sebuah pertarungan hukum. Meski kisah ini tidaklah sesensasional The Runaway Jury, tetap saja aku merasa seperti ‘terbelah’, antara menikmati law-thriller ala Grisham yang selalu cantik—tak peduli di novel ratusan halaman atau cerpen 58 halaman—dan merasa miris pada keserakahan manusia yang mampu menjadikannya tak lagi manusiawi.

Meski tak mampu turut merasa terserap dalam kisah ini, namun kecantikan Grisham meramu law thriller-nya membuatku memberikan tiga bintang untuk kisah ini.

Wednesday, August 8, 2012

Aliens on Vacation


“Jika aku bisa menyediakan tempat di mana beragam spesies dapat berkumpul dalam damai, maka itulah hadiah terbaik yang bisa kuberikan bagi kosmos ini.”

Selamat datang di Penginapan Antargalaksi! Sesuai dengan namanya, penginapan ini menerima pengunjung beragam spesies dari seantero galaksi. Makhluk-makhluk yang biasa kita sebut alien itu senang berlibur di planet kecil yang kita cintai ini, Bumi! Demi keselamatan mereka, para turis ini—demikian sebutan mereka—akan dipakaikan penyamaran mirip manusia sehingga mereka bisa berjalan-jalan di Bumi dan merasakan hidup di peradaban manusia. Penginapan ini dimiliki dan dikelola oleh seorang wanita eksentrik paruh baya selama empat puluh tahun, yang membuatnya tidak disenangi oleh penduduk setempat dan sang sheriff, karena penginapannya selalu berisi ‘orang-orang’ yang berpakaian dan bertingkah aneh-aneh.

Ke sanalah David aka Scrub akan menghabiskan dua bulan liburan musim panasnya kali ini. Scrub adalah seorang remaja cowok biasa yang canggung menghadapi cewek, dan sedang berjuang untuk masuk ke tim utama basket di sekolahnya meski tubuhnya..hmm…maaf..pendek. Ia menatap liburannya dengan muram, merasa ‘dibuang’ ke kota kecil yang tidak menarik, mendapati penginapan nyentrik milik Grandma-nya yang juga nyentrik, tak mendapati koneksi internet atau televisi di kamarnya, dan harus menyantap hidangan favorit Grandma berupa tahu, labu, beras merah, dan jamur…yucks!! Dan belum-belum ia sudah berkanalan dengan sheriff galak, pria linglung aneh berkulit kelabu dan cewek yang suka memotret sembunyi-sembunyi. Bisakah kau bayangkan prospek liburan musim panas Scrub?

Namun setelah berjalannya waktu, ternyata Scrub mulai bisa terbiasa dan malah menikmati pengalamannya. Ia menjadi asisten Grandma khusus untuk penyambutan para alien yang datang lewat transporter, dan ia juga yang dengan kreatifitasnya bertanggung jawab menyulap para alien yang berbentuk aneh itu menjadi mirip manusia normal…yah..sedikit mirip lah.. Sampai Scrub berkenalan (akhirnya) dengan si cewek bertopi kuning yang suka memotret itu. Ternyata si cewek bernama Amy ini lumayan cantik dengan bintik-bintik di hidungnya, dan dengan kecerdasannya, terutama yang menyangkut fiksi ilmiah. Singkat kata, oh…Scrub pun jadi mulai jatuh cinta pada Amy. Tampaknya, liburan init oh akan menyenangkan juga kok bagi Scrub….

Eh tapi tunggu dulu! Menangani sekian banyak ‘turis’ alien ternyata tak segampang yang kau pikirkan, terlebih karena tak boleh seorang pun tahu bahwa para turis itu adalah alien. Kau tahu sendiri kan, bagaimana masyarakat akan heboh kalau mengetahui ada alien berada dekat dengan mereka. Dan terutama, mereka harus menutupinya dari sherif Tate yang sudah gatal ingin menutup bisnis Grandma selamanya. Yah…Scrub merasakan sendiri betapa sulitnya memikul tanggung jawab untuk melindungi rahasia itu sekaligus melakukan pedekate pada Amy. Ugh…kenapa Scrub terus saja melakukan hal-hal bodoh yang membuat Amy mungkin sebal padanya, padahal yang ia inginkan cuma satu…yaitu mencium Amy; selama hidupnya Scrub belum pernah mencium cewek lho!...

Kurasa kau akan dapat menebak isi buku ini selanjutnya. Pasti akan ada hal-hal yang salah, dan ketika Scrub hendak melakukan sesuatu yang penting, semuanya malah berantakan. Si ‘jahat’ nampaknya akan menang, dan si ‘baik’ tak mampu melakukan apa-apa, sampai di saat terdesak tiba-tiba muncul ide cemerlang. Yeah…seperti itu jugalah cerita ini akan mengalir, namun tetap saja, aku mengacungkan jempol pada Clete Barrett Smith—jangan pernah meremehkan penulis yang tak pernah kau dengar sebelumnya!—yang bisa merenda cerita dengan manisnya. Ia mampu menggabungkan unsur kocak, seru, percik-percik cinta :), dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi satu kesatuan kisah yang enak untuk dinikmati. Tidak kekanak-kanakan, tidak picisan, alurnya pas, dan meski ceritanya jelas tak masuk akal, namun kau tak akan merasakannya, sama seperti Scrub yang langsung bisa beradaptasi dengan semua keanehan di Penginapan Antargalaksi. Seolah bertemu dengan alien adalah hal paling biasa yang pernah kau alami!

Tapi kurasa hal paling hebat dari buku ini adalah kau akan sempat menemukan sebuah nilai moral yang terbungkus dalam kisah ringan ini, yaitu tentang memperlakukan sesama, meski mereka berbeda dengan kita. Berbeda bukan berarti mereka tidak baik, apalagi jahat. Yang perlu kita lakukan pertama-tama adalah menyambut mereka dengan tangan terbuka, memperlakukan mereka sama dengan kita memperlakukan teman-teman kita, maka mereka pun akan menjadi teman kita.

Aku juga senang pada bagaimana Grandma memperlakukan Scrub. Remaja seusianya ingin diperlakukan dengan serius—tidak disepelekan karena ‘masih kecil, ingin dipercaya untuk melakukan suatu tugas, dan dipuji ketika ia melakukan tugas dengan baik. Dan yang terpenting, perasaan dicintai, berikan semuanya itu, maka si anak akan menjadi anak yang baik dan berbakti pada orang tua.

Akhirnya, aku cuma ingin bilang, tak banyak novel remaja yang membuatku tersentuh, dan novel ini adalah salah satunya. Empat planet untuk Scrub dkk! :)

Judul: Aliens on Vacation (terjemahan: Liburan Para Alien)
Penulis: Clete Barrett Smith
Penerjemah: Justine Tedjasukmana
Editor: Fenty Nadia
Penerbit: Atria
Terbit: Juni 2012
Tebal: 310 hlm

Monday, August 6, 2012

Dark Parallel: The Joshua Files #4


Aku seperti bunga matahari yang berotasi ke arah matahari” ~Joshua Garcia

Seperti itulah kondisi hati Joshua Garcia saat ia mulai pindah ke Ek Naab bersama ibunya. Masih ingatkah kau pada Joshua—si ABG yang di seri pertama serial The Joshua Files menemukan kaitan dirinya dengan Ek Naab, kota yang hilang dari bangsa Maya? Yang lalu mulai mencari keberadaan ayahnya yang hilang di seri ke-2 dalam petualangan berbahaya di gunung esOrizaba? Dan yang kemudian mulai menjajal Gelang Itzamna untuk menemukan titik nol di seri ke 3? Nah, kini Joshua, sekarang jauh lebih matang dari sebelumnya, masih akan bertualang untuk mencoba menyelamatkan peradaban dunia yang terancam punah pada Desember 2012 menurut ramalan kuno bangsa Maya.

Seperti bunga matahari yang berotasi ke matahari, Joshua di seri keempat—Dunia Paralel—ini sedang benar-benar jatuh cinta pada Ixchel, s cewek Ek Naab. Sayangnya Ixchel nampaknya malah lengket dengan Benicio, sepupu Joshua di Ek Naab. Namun, meski sedang galau dilanda cinta, Josh masih sempat memikirkan urusan Ek Naab, setidaknya ketika Montoyo membicarakan rencana pergi ke Kerajaan Calakmul abad ke-7 demi menggagalkan usaha Sekte Huracan untuk merusak Codex Ix. Bisakah kau membayangkan Montoyo bepergian ke masa lampau dan bertualang di bangsa Maya kuno? Jangan khawatir, karena akhirnya justru Josh lah yang akan berangkat bersama dengan Ixchel dengan bantuan Gelang Itzamna.

Jangan mengira misi Josh dan Ixchel akan berjalan mulus, banyak petualangan yang—bukan lagi menyerempet, tapi benar-benar—berbahaya, yang membuatmu menahan napas saking tegangnya. Kali ini musuh mereka bukan lagi Simon Madison, namun ayahnya sang Pemimpin Sekte Huracan yang kejam, Marius Martineau. Jadi bayangkan betapa terkejutnya Josh saat ia mengira bahaya terbesarnya saat itu adalah terperangkap di tengah bangsa Maya pada tahun 653 dan berpotensi menjadi kurban persembahan mereka karena telah dituduh mencuri Gelang Itzamna, tiba-tiba menyadari bahwa Pendeta bangsa Maya ini adalah Marius! Bagaimana ia sampai di sana? Tentu saja dengan Gelang Itzamna juga. Ah, berarti Gelang Itzamna ada dua? Itulah bagian teka-tekinya…

Di luar semua itu, masih ada sesuatu yang berubah di dunia Josh sendiri, sebuah misteri yang aneh baginya. Bagaimana mungkin Tyler sobatnya tidak mengenalnya? Bagaimana mungkin orang-orang Ek Naab tak mengetahui hal-hal yang terjadi di waktu lampau? Bagaimana mungkin ada hal-hal yang hanya Josh seorang yang mengetahuinya? Apa semua ini akibat dari perjalanan waktu yang Josh lakukan dengan Gelang Itzamna? Benarkah salah satu konsekuensi perjalanan waktu adalah engkau akan terlempar ke realitas yang lain meski dalam kerangka waktu yang sama? Inikah yang disebut Dunia Paralel, yang menjadi judul seri ke 4 Joshua Files ini?

Kalau begitu, saat Josh dan Ixchel akhirnya harus meninggalkan Calakmul abad ke 7 dan kembali ke abad 21, ke manakah kira-kira mereka akan mendarat? Akankah mereka mendapati Meksiko yang sama? Akankah mereka menjumpai keadaan di Ek Naab sama seperti sebelum mereka pergi? Atau akankah mereka terdampar di realitas waktu, di mana mereka sendirian, tak lagi memiliki siapapun?

Terus terang saja, aku jadi semakin kagum pada M.G. Harris. Seri ke empat ini benar-benar menyuguhkan sesuatu yang lebih daripada sekedar petualangan seru beberapa orang remaja. Aku menemukan Dark Parallel ini lebih cerdas dari seri-seri sebelumnya. Di sini imajinasi dan konsentrasi tingkat tinggi akan sangat dibutuhkan untuk memahami seluk-beluk perjalanan waktu dan semua hal di seputar codex ix dan Gelang Itzamna ini.

Mau tak mau aku jadi berpikir, bahwa sebenarnya hidup ini sendiri menawarkan konsekuensi yang sama seperti Gelang Itzamna. Sebenarnya kau tak perlu memakai Gelang Itzamna untuk melakukan perjalanan waktu ke masa lampau untuk melakukan atau memperbaiki sesuatu untuk mengubah apa yang terjadi di masa kini. Apa yang bisa kita lakukan adalah mengubah atau memperbaiki apa saja yang perlu kita perbaiki di masa kini, untuk mengubah apa yang akan terjadi kelak di masa depan. Masuk akal kan? Karena bukan hanya karena Gelang Itzamna, hidup ini sendiri memang menyediakan berjuta-juta kemungkinan. Apa yang kita lakukan dahulu—sekecil apapun itu—akan berpengaruh pada hidup kita hari ini; apa yang kita lakukan sekarang akan berpengaruh pada keadaan kita kelak, baik maupun buruk. Realitas itu membantuku untuk memahami tentang Dunia Paralel.

“Setiap tindakan memiliki konsekuensi” ~hlm. 149

“Begitu kamu meninggalkan garis waktumu, garis waktu itu hilang untuk selamanya.” ~hlm. 149

“Takdir kita tidaklah menakutkan karena ketidaknyataannya; takdir terasa menakutkan karena tak bisa diulang kembali dan terlindung besi.”~hlm. 135

“Semenakutkan itulah rasanya jika kau berurusan dengan sejarah. Kau tak akan pernah tahu ke mana tindakanmu berujung.” ~hlm. 332

Sampai dengan paragraf di atas, kau akan mengira novel ini penuh petualangan berbahaya dan deduksi rumit ala fiksi ilmiah saja. Sebenarnya tidak. Hal yang paling aku sukai dari novel ini justru terletak pada perkembangan pribadi Josh sendiri, dan tentu saja pada hubungannya dengan Ixhel. Di seri ke 4 ini aku menemukan sesuatu yang berbeda pada diri Josh. Ia sudah lebih dewasa dan matang, dan cintanya pada Ixchel terbukti bukan cinta monyet belaka. Terharu aku membaca bagaimana Josh mengorbankan hidupnya dan nasib dunia yang ada di tangannya, demi menyelamatkan Ixhel; karena di tengah petualangan penuh marabahaya itu pun Josh mampu menyadari bahwa ia takkan sanggup hidup tanpa Ixchel.

Untungnya di tengah semua hiruk pikuk menyelamatkan dunia dari super gelombang magnetik di 2012 itu, M.G. Harris masih memberi kesempatan manis kepada Josh dan Ixchel untuk menikmati saat-saat romantis mereka, hanya berdua di tepi pantai. Oh sungguh….adegan itu sangat-sangat romantis! Seperti kita semua saat mengalami kejadian yang membahagiakan, kita tak ingin semuanya berakhir, begitu juga Josh. Meski sedang dilanda cinta, ia menyadari bahwa tanggung jawab yang sangat berat ada di pundaknya, dan itu menyangkut keselamatan umat manusia! Jadi, meski kau begitu menikmati membaca seri ke-4 ini, akan ada saatnya engkau harus menutup lembar terakhir, dan sekali lagi kau akan mengalami penantian (yang moga-moga tidak) panjang sebelum seri terakhir Joshua Files terbit lagi! Sampai saat itu, cukuplah kalau aku menutup tulisan ini dengan kata-kata Josh sendiri.…

“Berada begitu dekat dengan Ixchel membuatku merasakan sesuatu, perasaan yang dalam dan tenang, seolah aku ada di dalam gelembung yang tertahan di spektrum waktu. Bukannya aku tak mau tumbuh dewasa, meskipun ada begitu banyak bahaya yang harus kami hadapi. Tapi saat ini kuharap waktu bisa berhenti berputar.”

Empat gelang untuk Joshua!

Judul: The Joshua Files #4: Dark Parallel
Penulis: M.G. Harris
Penerjemah: Nina Andiana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juni 2012
Tebal: 367 hlm

Wednesday, August 1, 2012

[Short Story] Menjemput Raymond (Fetching Raymond) by John Grisham


[conclusion in English is at the bottom of this post]

Cerpen kedua di kumpulan cerita pendek karya Grisham: Ford County ini awalnya menyiratkan cerita yang biasa-biasa saja—Menjemput Raymond, apa yang terlintas dalam pikiran anda saat membacanya? Apa yang akan terjadi saat anda menjemput seseorang? Jangan salah, jangan menilai sebuah kisah dari judulnya saja, kalau anda tak mau terkecoh seperti aku. Mengawali kisah ini dengan skeptis, aku justru menemukan kisah ini sebagai kisah yang intens, menguras emosi dan tentu saja, menguras air mata. Memang kisahnya berkisar pada perjalanan sebuah keluarga (lagi-lagi aku bertemu dengan kisah perjalanan seperti pada cerpen pertama—Perjalanan Berdarah, apakah ini akan menjadi benang merah kumpulan cerpen ini?) untuk menjemput Raymond. Namun, siapakah Raymond ini? Mengapa ia perlu dijemput? Dan dalam keadaan bagaimana ia akan pulang? Itulah yang menjadi inti kisah ini.

Raymond ternyata adalah salah satu anggota keluarga Graney yang super berantakan. Bagaimana tidak, semua berawal dari Inez—sang ibu—yang diperkosa, lalu dinikahi oleh seorang bajingan, yang akhirnya menelantarkan keluarga mereka setelah meninggalkan ‘jejak’ abadi pada ketiga putranya yang sudah kenyang disiksa dan dipukuli, kenyang dengan suasana kekerasan dalam rumah mereka. Tak heran bila ketiganya tumbuh menjadi berandalan juga. Leon yang tertua, akhirnya mampu mengentaskan dirinya dan kembali ke jalan yang lurus, sementara Butch dan Raymond terus keluar-masuk penjara. Akhirnya Raymond pun terlibat dalam pembunuhan dan dipenjara untuk menantikan hukuman mati.

Perjalanan ini adalah perjalanan keluarga Garney yang terakhir kalinya ke penjara Parchman, karena malam itu Raymond akan dihukum mati di kamar gas. Grisham dengan piawainya telah mengusik emosiku dari saat perjalanan itu dimulai, karena sedikit demi sedikit kita pun diajak melihat perjalanan mereka semua selama sebelas tahun penantian antara Raymond mulai masuk penjara hingga saat akan dihukum mati. Dengan perjalanan itu Grisham telah mulai membangun karakter sosok Raymond, bagaimana ia selalu saja menuntut banyak dari orang lain, dan selalu membualkan berbagai macam hal. Aku pun dibuat muak dengan sifat Raymond ini. Namun—dan inilah piawainya Grisham—ketika eksekusi sudah semakin dekat, emosiku pun mulai teraduk-aduk. Mau tak mau aku teringat pada novel terbaik Grisham yang pernah kubaca: The Chamber, yang bertema sama, terpidana yang menanti hukuman mati.

**spoiler** Membaca cerpen ini kembali gugatan diam itu terlintas di pikiranku: mengapa hukuman mati tetap saja ada di muka bumi yang (katanya) beradab ini? Aku selalu berada di pihak kontra humuman mati, tak perlu kujelaskan mengapa, karena bisa-bisa ulasan ini akan berubah menjadi ajang debat filosofi… :). Dan ada dua hal yang mengusikku ketika menamatkan kisah ini, yang ditutup dengan,

Dia (Leon) mengemudikan mobilnya ke pabrik lampu di sebelah timur kota dan memasukkan kartu absensi pada pukul 08:30, seperti biasanya.

Pertanyaanku…setelah menyaksikan sendiri saudaramu—betapapun bejatnya dia—meregang nyawa di kamar gas, dapatkah kau hanya ‘mengemudikan mobil ke tempat kerja lalu memasukkan kartu absensi seperti biasanya’ seolah perjalanan menjemput saudaramu itu hanyalah salah satu kegiatanmu pada malam hari? Aku percaya tidak. Mungkin kalimat terakhir itu mau menekankan ironi pada nasib Raymond yang diabaikan begitu saja pada akhir hidupnya yang tragis, karena ia memang bajingan dan sudah sewajarnya mengalami nasib buruk—apa yang kau tanam itulah yang kau tuai. Tapi menurutku apa yang Leon saksikan malam itu akan terus membekas sepanjang sisa hidupnya.

Di sisi lain, aku geram dengan reaksi para tetangga keluarga Garney, yang tak muncul seorang pun pada saat pemakaman Raymond. Dia memang penjahat, tapi apakah tak ada sedikit pun rasa belasungkawa karena seorang manusia—sesama mereka—telah dibunuh? (oh ya, aku menganggap hukuman mati sebagai sebuah pembunuhan terorganisir!) Aku juga sangat heran dengan komentar Mr. McBridge yang meminjamkan van-nya untuk perjalanan menjemput Raymond ini: “Tahu nggak, beberapa orang tidak menyukai ini” Apa maksudnya? Bahwa para tetangga tak menyukai van milik orang baik-baik dipakai untuk membawa pulang peti mati penjahat? Atau bahwa jenazah seorang penjahat akan dimakamkan berdekatan dengan makam leluhur mereka? Betapa absurdnya kalau perkiraanku benar! Ingin rasanya aku melemparkan alkitab tebal ke wajah mereka, sambil berkata: Baca Yoh 8:7b “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Yah, sayangnya aku hanya membaca kisah ini lewat cerita pendek karya John Grisham, dan hanya mampu memberikan 5 bintang untuknya! Sungguh kisah yang menggugah emosi, dan hebatnya, hanya ditulis sebagai cerita pendek sepanjang 65 halaman!

Conclusion:

This is a story about a crooked family named Garney—a mother and two brothers—in their journey to the county jail to pick up Raymond for the last time. Raymond Garney was charged with death penalty for murdering a man, and tonight is the night of the execution, after waiting for eleven years. Many things had happened during those eleven years, the mother never failed to support his son, no matter guilty he was. “She was there when they were born, and she’s still there when they were beaten”.

I got emotional (crying a bit) after reading this book, it reminded me much of Grisham’s The Chamber. I still can’t agree on death penalty, and the scene of the execution always sheds my tears (thanks to Grisham!). Raymond is not an innocent man, he was guilty, he was born a liar, and he always asks for money from his family. Well, in short, he has every quality of man we should hate. Nevertheless, seeing a human being killed by others (although under the law) always touched me deeply.

Five stars for this story!