Saturday, May 8, 2010

Mengupas Karakter Di Dimsum Terakhir

Pernahkah anda membandingkan karakter tokoh yang ada di buku yang sedang anda baca, dengan diri anda sendiri? Aku sih sering banget. Saat aku membaca buku, aku akan membayangkan tokoh-tokoh utamanya. Penampilannya, logat bicaranya, dan terutama karakternya. Dan seringkali aku membandingkannya dengan aku sendiri. Si A ini mirip denganku, tapi dia agak lebih sensitif daripada aku. Si B itu sama sekali bertentangan denganku. Si C itu kok gak kayak aku ya...kalau aku dihadapkan hal yang sama, aku akan begini-begitu.

Tentu saja itu biasanya terjadi pada buku-buku yang lebih banyak fokus pada karakter atau kehidupan tokoh-tokohnya. Bukan misteri, thriller atau roman. Tiga yang terakhir biasanya lebih fokus pada alur ceritanya. Nah, baru saja aku menamatkan sebuah buku yang memungkinkan aku 'bermain-main' dengan karakter tadi. Yaitu buku karangan Clara Ng, seorang novelis wanita Indonesia yang sudah banyak menelurkan karya best-seller. Kali ini aku membaca salah satu karyanya, yang menurut banyak orang adalah yang terbaik: Dimsum Terakhir.

Sebenarnya aku agak kecewa ketika selesai membaca buku ini. Dari masukan-masukan yang aku dapat (yang kuakui memang sering menyesatkan karena selera orang kan beda-beda) mengenai buku ini, banyak yang menggambarkan buku ini 'breath-taking', membuat orang menahan napas, takjub, terhanyut, dan reaksi-reaksi macam itu deh. Makanya aku, yang sebelum ini tak pernah membaca genre metropop, sangat antusias untuk membeli buku ini.

Ternyata setelah selesai membaca, aku jadi berpikir...wah, kok begini aja ya? Entahlah, mungkin aku terlalu banyak membaca John Grisham yang serius ya? Kupikir di buku ini tak ada satu konflik yang sangat menonjol yang biasanya jadi benang merah yang sangat pekat selama cerita yang panjang. Itulah yang kurasa kurang di novel ini. Tapi, apakah memang genre metropop seperti itu ya? Mungkin metropo memang bukan seleraku deh...

Aku tidak bilang tulisan Clara Ng jelek ya, sama sekali tidak. Aku akui bahwa Clara Ng pandai dalam menggambarkan karakter tokoh-tokohnya, yang di buku ini adalah empat wanita saudara kembar yang lahir dari etnis keturunan Tionghoa. Biarpun saudara kembar, ternyata karakter mereka masing-masing sangat berbeda. Saking fokusnya menggarap karakter mereka, aku bisa menggambarkan mereka dengan jelas, seolah-olah aku memang pernah punya kenalan seperti itu. Dan itulah satu-satunya kekuatan dalam novel ini. Karena dari segi konflik dan alur cerita ternyata biasa saja. Malahan di beberapa bagian, Clara terlalu berlebihan dalam usahanya untuk mempertegas karakter tokohnya, sehingga jadi terkesan 'lebay'.

Yang paling 'gak masuk' dalam cerita ini, dan malah merusak cerita keseluruhan adalah pembuka dan penutupnya. Padahal menurutku pembuka dan penutup (prolog dan epilog) adalah dua hal yang paling berperan penting untuk menciptakan kesan pada sebuah buku. Boleh saja sebuah buku isinya bagus banget, tapi kalau pembukanya datar-datar saja, kesan membosankan akan terbit di benak kita sehingga kita akan malas meneruskannya. Lebih penting lagi adalah penutup. Karena penutup adalah kesan terakhir yang akan terus kita bawa setelah kita menutup halaman terakhir sebuah buku. Kalau kesannya sangat baik, kita akan memuja-muja buku itu, meski setelah sekian tahun kita boleh saja lupa persis isinya. Dalam hal buku ini, kehadiran 'arwah' si ibu yang sudah meninggal, terasa tidak pada tempatnya.

Dimsum Terakhir bercerita tentang Siska, si "sulung" dari kembar 4, yang berarti lahir paling dulu. Siska adalah cewek yang mandiri, tegas, blak-blakan, cuek. Ia menjadi pengusaha yang sukses di Singapore, penampilannya selalu anggun, meski tak bermaksud genit. Tokoh SIska ini yang sering aku bandingkan dengan diriku. Aku suka dengan kemandirian dan ketegasannya. Tapi jelas aku tidak sejutek dia. Tapi di balik kecuekannya, ia juga perhatian pada keluarga dan saudara-saudaranya. Well, paling tidak dia orang yang tahu bagaimana menempatkan setiap aspek dalam kehidupannya. Dia bukan orang yang hanya memikirkan karir dan melupakan keluarga, bukan pula wanita yang menomorsatukan keluarga sehingga harus mengorbankan karir. Ia aka memberi masing-masing porsi tersendiri sesuai pilihannya.

Lalu ada Rosi. Ini mungkin tokoh yang paling menarik karena keunikannya. Rosi memang tomboi dari sejak kecil. Tapi, ternyata ia bukan hanya perempuan yang suka tampil maskulin, yang sering disebut tomboi. Tapi Rosi adalah pria yang kebetulan saja harus lahir dalam tubuh wanita. Jadi Rosi adalah tubuhnya, sedang jiwa, hati dan pikirannya adalah Roni. Kehebatan Clara disini menurutku adalah menggambarkan sosok Rosi atau Roni ini dengan begitu detail, tak menghakimi dan tak menolak maupun menerima. Clara hanya mau menunjukkan bahwa setiap orang mungkin diciptakan unik dan berbeda dari yang lain. Jangan menolak mengakuinya, melainkan terimalah dan berikanlah ia porsi sdalam kehidupan sesuai keunikannya, bukan sesuai standar kita sendiri. Sikap itu terutama timbul dari Siska, saudara kembar Rosi yang pertama kali menerima Roni, dan memperlakukannya sebagai Roni, bukan Rosi. Namun sesungguhnya wanita yang pertama kali mengetahui keberadaan Roni dalam tubuh Rosi adalah Dharma, cewek yang jadi pacar Roni.

Dua tokoh lainnya bagiku tak terlalu menonjol kepribadiannya. Ada Indah yang rapi, teratur, terkendali dan kaku. Tapi herannya, justru dialah yang sampai hamil dengan seorang pastor yang notabene harusnya selibat. Bagiku Indah adalah sosok yang paling bisa mengendalikan dan mengontrol diri sendiri. Tapi kok malah dia yang terjerumus ya?

Lalu ada si bungsu yang sakit-sakitan, tak percaya diri, dan peragu: Novera. Ia kehilangan rahimnya dan karena itu merasa minder untuk menjalin hubungan dengan pria. Karena ayah ke-4 bersaudara itu minta agar keempat anak gadisnya segera menikah sebelum beliau meninggal karena penyakitnya, Novera terpaksa berbohong. Ia minta pada seorang duda yang putrinya menjadi murid Novera, untuk berpura-pura menjadi kekasih Novera. Padahal, si duda sebenarnya mencintai Novera, dan setali tiga uang dengan Novera.

Di akhir cerita, keempat kembar itu mengeluarkan pengakuannya masing-masing pada ayah mereka. Dan sesuai tradisi keluarga mereka, mereka berempat pun berkumpul di rumah orang tua mereka untuk membuat dimsum dan menyantapnya bersama pada pagi hari tahun baru Imlek. Karena ayah mereka dalam keadaan kritis, kemungkinan besar dimsum itu adalah dimsum yang terakhir.

Jadi bagaimana pendapat anda yang sudah pernah membaca buku ini? Atau bagi yang belum, apa anda juga tertarik membacanya? Share yah...

20 comments:

  1. wah, udah lupa kisahnya, fan. bacanya dah lama banget. tahun 2004 tuh aku baca novel itu. hehehhe...tapi ya slerea orang memang berbeda sih. mungkin krn isinya rada ngayal ya.

    ReplyDelete
  2. menarik sekali saya suka itu tp baru bisa baca kutipannya

    ReplyDelete
  3. menarik sekali sya suka itu

    ReplyDelete
  4. Kalau sudah mengulas buku, Fanda belum ada yang menandingi deh (di jagas blogosphere ini), mantap.

    ReplyDelete
  5. Wah, detil banget review dari mbak Fanda, top banget deh.

    ReplyDelete
  6. Yups mbak, selera orang emang beda2. Kalau bagiku, novel metropop sekali-kali asyik juga buat selingan hehe.

    ReplyDelete
  7. Endingnya menarik...kumpul di rumah untuk dimsum terakhir, dan saling menerima anggota keluarga apa adanya.

    ReplyDelete
  8. belom pernah baca :)

    tapi melihat diri dan karakter dalam satu buku bacaan itu sangat baik

    tapi ambil positif dan membangunnya

    salam kenal dari medan

    ReplyDelete
  9. karya Clara Ng yang aku baca baru tea for cup doang mbak ^^

    ReplyDelete
  10. belum mbak ini kapan ya masuk vixxio? *ngarep mode ON*

    ReplyDelete
  11. Salah satu alasan kenapa aku membeli sebuah buku setelah baca review-nya, adalah karena karakter tokohnya yang mirip aku, hahaha. Dan aku udah baca ini, nampaknya aku mirip Siska.

    Kesanku waktu nutup buku ini, biasa aja ceritanya. Memang aku tidak berharap banyak. Aku beli buku ini karena aku ingin mempelajari adat-istiadat Tionghoa yang menjadi latarnya, dan Clara menggambarkan hal itu dengan baik. Tapi kalau kita mengharapkan cerita yang sampai bikin menahan napas, rasanya nggak akan dapet deh. Indiana Chronicles masih lebih bagus kok.

    ReplyDelete
  12. aku jarang suka baca yg metropop...emang agak suka lebay..

    ReplyDelete
  13. kalo aku gak terlalu sreg ama novel metropop... kadang gak ngena di hati (halahhhh)^^

    ReplyDelete
  14. aku blum pernah baca, bagus ga sih?? tp biasanya Clara Ng kan novelnya mengena di hati, kok bisa kecewa sama yang ini ya? hehe.. :)

    ReplyDelete
  15. Lom pernah baca Mbak.

    Numpang komen aja yah.

    ReplyDelete
  16. sekarang juga lagi demen sama novel metropop mbak.. tapi yg ini belum dibaca,
    ngng.. blom tau mw beli atau gak :D
    soalnya reviewnya ada yg negatif ^^

    ReplyDelete
  17. salam kenal dari http://umydiary.blogspot.com/
    sekalian ijin follow

    kalau ada waktu jangan lupa mampir ke blog aku yah??

    ReplyDelete
  18. woaa clara ng.

    kemaren hunting bantuin temen nyari yang 7 musim setahun (eh bner ngga judulnya?) tp hasil huntingnya nihil :D

    salam kenal :D

    ReplyDelete
  19. update!

    aku baru baca buku ini (telat ya?) dan suka! well, konflik yang disajikan emang biasa, terkadang terasa berlebihan dan dipaksakan, namun menurut aku cara penceritaan Clara Ng begitu menyentuh, terutama penokohan Nung sebagai bapak, yang bisa bikin aku meneteskan air mata. hehehe...

    selera kan masing-masing beda mbak.. menurutku John Grisham juga terlalu membosankan kok, hehehe.. peace!

    ReplyDelete