Tuesday, May 24, 2011

Midnight For Charlie Bone

Charlie Bone sama hebatnya dengan Harry Potter? Hmm...tunggu dulu! Biarpun endorsement dari Goodreads mengatakan begitu, aku tak setuju. Midnight For Charlie Bone ini memang jelas terinspirasi oleh dan mirip dengan Harry Potter, namun cara bertutur Jenny Nimmo di buku ini jelas-jelas sangat jauh bila dibandingkan dengan J.K. Rowling. Yang membuat kisah petualangan fantasi itu bagus, adalah bila pembaca bisa dibuat (sejenak) percaya bahwa apa yang terjadi di kisah itu adalah apa yang ia alami/lihat sendiri. Itu artinya, walau kisah itu fantasi, pembaca merasa seolah-olah kisah itu wajar, sewajar apa yang terjadi di sekitar kita. Lalu, mengapa Charlie Bone ini dibilang mirip dengan Harry Potter? Mari kita intip cerita singkatnya...

Keluarga Bone jelas bukan keluarga yang normal. Charlie, si bocah lelaki, dan ibunya tinggal seatap bersama kedua nenek Charlie yang hampir sama nyentriknya. Maisie adalah nenek dari pihak ibu yang periang dan pintar memasak. Sebaliknya Nenek Bone, nenek dari pihak ayah Charlie, adalah wanita tua yang cemberut, suka memerintah dan suka mengeluh. Si Nenek punya 3 orang saudara perempuan yang sama nyentrik dengannya. Suatu hari Charlie menemukan keanehan pada dirinya. Ketika memandang sebuah foto milik orang lain (yang tertukar dengan foto Runner Bean -- anjing milik sahabatnya, Benjamin), Charlie tiba-tiba dapat mendengar suara dalam otaknya. Suara itu adalah suara orang-orang di foto saat foto itu diambil. Keanehan ini tercium oleh Nenek Bone yang juga anggota keluarga Yewbeam yang "diberkahi". Dari kemampuan khusus Charlie itu, nenek Bone akhirnya memaksa Charlie untuk keluar dari sekolahnya saat itu, dan pindah ke Bloor's Academy, akademi untuk mereka yang "diberkahi".

Benjamin, sahabat sekaligus tetangga Charlie yang sering kesepian karena tak punya teman dan sering ditinggal pergi orang tuanya, sedang berulang tahun. Charlie, satu-satunya sahabatnya, ingin memberikan hadiah berupa foto Runner Bean yang akan ia jadikan kartu ucapan. Sayangnya, ketika ibunya mengambil foto itu dari tempat cuci cetak di toko buku Ingelsdew, foto itu tertukar dengan foto orang lain, dari mana Charlie menyadari kemampuan khususnya. Ingin menukar foto tersebut, Charlie pergi ke Ingledew, dan disambut oleh pemiliknya: Julia Ingledew, yang menceritakan kisah yang menarik. Kisah keponakan perempuannya yang anak seorang ilmuwan bernama Dr. Tolly, dan terpaksa ditukar ayahnya dengan sebuah “kotak misterius”. Ketika Charlie pulang, ia tak hanya membawa foto Runner Bean miliknya, tetapi juga kotak misterius itu, yang lantas disembunyikannya bersama Benjamin dengan rapi.

Tak sedetikpun Charlie menyadari bahwa kotak itu akan membawanya pada petualangan yang seru, tegang dan berbahaya. Untungnya ia tak sendirian. Selain Benjamin, ia memiliki Fidelio, seniornya di Bloor’s Academy yang mengajarinya musik, sekaligus membantunya menyembunyikan kotak misteriusnya. Lalu ada Paman Paton, satu-satunya keluarga Yewbeam yang berada di pihak Charlie. Oh ya, keluarga Ingledew termasuk Nenek Bone ternyata mengincar kotak misterius Charlie. Bukan dia saja, Manfred Bloor –putra Dr. Bloor pemilik Bloor’s Academy yang punya keahlian menghipnotis, juga meminatinya. Charlie tahu, bahwa tugas untuk menemukan kembali putri Dr. Tolly terletak di tangannya. Dan dari pertemuannya dengan Mr. Onimous yang nyentrik bersama tiga kucing apinya, Charlie pun tahu bahwa yang dicarinya kini berada di Bloor’s Academy.

Di Bloor’s Academy inilah satu persatu jawaban misteri yang dibawa Charlie muncul. Salah satunya bahwa ayahnya masih hidup entah di mana, dan bahwa sang ayah dulu telah berjuang menyelamatkan putri Dr. Tolly. Dibantu oleh Olivia dan Fidelio, teman-temannya di academy, Charlie pun memulai misi untuk menyelamatkan putri Dr. Tolly, dan “menyadarkannya” dari pengaruh hipnotis Manfred Bloor lewat kotak misterius yang didapatnya dari Julia Ingledew.

Misi penyelamatan ini dan segala pengalaman baru berada di sebuah sekolah khusus seperti Bloor’s Academy ini yang membuat buku ini dapat dinikmati dan cukup menghibur. Dibantu oleh penempatan huruf-huruf yang cukup besar dan berspasi agak renggang oleh penerbit Ufuk, membuat buku ini enak dibaca. Dan kalau anda adalah seorang pembaca yang menganut "judge a book from its cover", anda jelas akan meminati buku bercover nuansa kilap dan bernuansa misterius ini. Hanya sayangnya, kurasa kehidupan sehari-hari di Bloor’s Academy kurang dieksplor oleh Jenny Nimmo. Tak seperti Hogwarts yang membuat kita sangat mengenal suasana sekolah seolah kita sendiri pernah bersekolah di sana, Bloor’s Academy masih terasa asing bagiku meski telah menamatkan bagian pertama ini. Namun, bagaimana pun kisah Charlie Bone memang ingin menyuguhkan sesuatu yang lain. Mungkin saja kekuatan cerita akan semakin mengental di seri-seri berikutnya, karena si Raja Merah yang misterius dan sepertinya menjadi benang merah serial ini masih harus terungkap, dan ayah Charlie pun masih menunggu entah di mana untuk diselamatkan oleh putranya yang juga “diberkahi”.

Satu hal yang kutangkap dari kisah ini, bahwa menjadi berbeda [baca: memiliki kelebihan atau kekurangan] memang dapat membuat seseorang menderita. Namun semuanya kembali kepada kita, bagaimana kita memandang keunikan kita itu. Karena Sang Pencipta kita pasti menambahkan keunikan itu agar kita dapat memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik. Keunikan menjadi kekurangan kalau kita menjadi minder, namun ia menjadi kelebihan kalau kita menggunakannya untuk menolong sesama. Seperti halnya Charlie Bone!

Judul: Midnight for Charlie Bone
Penulis: Jenny Nimmo
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: November 2010
Tebal: 412 hlm

No comments:

Post a Comment