Showing posts with label Dastan. Show all posts
Showing posts with label Dastan. Show all posts

Monday, October 31, 2011

Comanche Heart

Melanjutkan kisah cinta lintas budaya dan ras dari Catherine Anderson, inilah Comanche Heart --bagian kedua dari Comanche Moon yang berkisah tentang dua “kutub” yang selalu bertolak belakang: ras kulit putih dan ras Indian. Di Comanche Moon, dengan apik Anderson telah menciptakan tokoh Hunter Wolf yang menurut ramalan akan menemukan jodoh wanita kulit putih; dan Loretta—si mata biru yang menjadi jodoh Hunter. Di samping itu Anderson juga menyertakan tokoh Amy Masters, sepupu Loretta, yang bernasib malang karena diculik dan diperkosa oleh 23 orang Comanchero, sebelum akhirnya diselamatkan oleh Hunter.

Di Comanche Moon, Amy yang mengalami trauma sedikit demi sedikit menemukan ketenangan berkat Swift Antelope muda. Keduanya kemudian saling mencintai dan bertunangan secara Comanche. Sayangnya, peperangan memisahkan mereka berdua hingga lima belas tahun lamanya.

Memasuki bagian kedua, Comanche Heart lebih fokus mengisahkan perjuangan Swift dan Amy untuk menyelamatkan cinta mereka yang, bukan saja terpisahkan oleh jarak dan waktu, namun juga budaya dan trauma. Lima belas tahun berlalu, dan kini suku Comanche tinggal kenangan. Swift yang kini menyandang nama Swift Lopez berkelana dalam kerasnya kehidupan di dataran Amerika. Ia telah menjadi pria yang matang dan gagah, serta dikenal sebagai penembak tercepat yang –menurut desas-desus—telah membunuh lebih dari seratus pria!

Seusai perang, ia berniat menjemput tunangannya di kediaman Henry Masters, namun dengan pilu menemukan kabar bahwa Amy telah meninggal karena kolera. Patah hati, Swift pun akhirnya berkelana hingga ke Oregon, tempat di mana Hunter dan Loretta menetap dan telah membangun keluarga, bahkan membangun sebuah kota kecil yang diberi nama Wolf’s Landing. Tak dinyana, sang pujaan hati ternyata selama ini masih hidup, sehat walafiat, telah tumbuh menjadi wanita dewasa, dan menjadi guru sekolah. Amy ternyata menetap tak jauh dari rumah Hunter dan Loretta.

Jangan bayangkan pertemuan keduanya bak adegan di sinetron remaja yang berlarian menghambur ke pelukan masing-masing sambil bertangisan. Tidak…jauh dari itu! Swift memang amat bahagia bertemu Amy, namun sebaliknya, Amy sangat ketakutan bertemu kembali dengan Swift. Nah, di sinilah nilai tambah novel ini yang membedakannya dari historical romance biasa yang hanya berbicara tentang romansa cinta. Comanche Heart lebih berbicara tentang kondisi psikologis seorang Amy yang telah mengalami peristiwa yang amat dahsyat di masa lalu, dan bagaimana seorang wanita menghadapinya. Yaitu dengan menciptakan kondisi keamanan yang palsu, seperti keteraturan, rutinitas dan kepastian, lalu membungkus diri dengannya dan bersembunyi di dalamnya.

Amy memang selalu mengenang Swift, namun Swift muda yang polos, tenang dan tulus. Berhadapan dengan Swift Lopez si pria penuh tekad, malah membuat Amy bersikeras hendak memutuskan janji pertunangan mereka. Adalah sebuah tantangan besar bagi Swift untuk mencoba memahami Amy, mencari akar masalah dan ketakutan Amy, dan memaksanya keluar dari “tabung kaca” yang seolah menyelubungi kehidupannya selama ini. Karena sesungguhnya, cinta Swift untuk Amy sangatlah besar, yang bisa kita rasakan lewat apa yang Swift katakan pada Amy waktu Amy menolaknya:

“Minta aku untuk memotong tangan kananku untukmu, dan aku akan melakukannya. Minta aku untuk mengorbankan nyawaku untukmu, dan aku akan melakukannya. Tapi, kumohon, jangan meminta aku untuk menyerahkanmu sekarang setelah aku menemukanmu kembali. Jangan minta aku melakukan itu, Amy.”

Mampukah Swift sekali lagi masuk ke kehidupan Amy? Apa yang sebenarnya dialami Amy, selain peristiwa pemerkosaan Comanchero itu yang membuatnya begitu ketakutan? Dan dengan cara bagaimana Swift mampu melelehkan kebekuan dalam diri Amy? Dengan Comanche Heart, Catherine Anderson berhasil keluar dari mendayu-dayunya cinta, dan menyajikan sebuah contoh lain cinta yang luar biasa: cinta yang merendahkan diri, cinta yang mau berkorban, cinta yang mau bersabar, cinta yang menyelamatkan.

Dengan membaca Comanche Heart, sekali lagi Catherine Anderson mengingatkan kita pada masalah perbedaan budaya di masyarakat mana pun di dunia. Namun di sisi lain, ada juga tantangan yang harus dihadapi pasangan yang berbeda latar budaya. Mereka harus bersedia untuk berkorban, menerima budaya pasangannya, tanpa sekalipun melepaskan identitas dirinya sendiri. Dalam hal ini aku kagum pada sosok Hunter. Hidup di daerah kulit putih, ia bersedia untuk beradaptasi dengan lingkungannya, namun dalam hatinya, Hunter tetaplah seorang Comanche. Hal itu tercermin dari tepee (pondok ala Indian) yang terletak di samping rumah keluarga Wolf, tempat Hunter kadang-kadang menyendiri, agar ia tetap memiliki ke-‘Comanche’-annya.

tepee Indian suku Comanche

“Di sini adalah tempat di mana aku menemukan diriku sendiri. Aku hidup di satu dunia, tetapi hatiku kadang-kadang merindukan yang lain.”

“Dunia itu [Comanche] masih ada, dan selama anak-anakku hidup, dunia itu akan terus ada, karena aku menyanyikan lagu-lagu bangsaku dan mengajarkan anak-anakku cara-cara mereka.“

Terus terang, dibandingkan Comanche Moon, novel ini kurang “Comanche”. Settingnya saja sudah sepenuhnya di Amerika, begitu juga tokoh-tokohnya. Membaca tentang Hunter dan Swift, rasanya mereka sudah jauh lebih “Amerika”, karena identitas khas Indiannya sudah luntur. Mungkin kesan itulah yang membuat Comanche Heart menjadi sedikit kurang romantis dibanding pendahulunya. Tiga bintang untuk buku ini!

Judul: Comanche Heart
Penulis: Catherine Anderson
Penerjemah:
Penerbit: Dastan Books
Terbit: Maret 2011
Tebal: 476 hlm

Thursday, January 27, 2011

Treasure Of Genghis Khan

Bila diibaratkan makanan, buku Treasure of Genghis Khan ini bisa dibilang serupa dengan Gado-Gado (makanan khas Jawa Timur). Sulit mengatakan dengan pasti apa yang akan anda dapatkan di buku ini, seperti halnya sulit menguraikan satu-persatu bahan Gado-Gado. Yang penting, ketika semua bahan dicampur, lidah kita hanya akan mengecap satu rasa: nikmat! Clive dan Dirk Cussler pun telah sukses mencampurkan petualangan, misteri, pencarian harta karun, thriller dan sci-fi, lalu menuangkan bumbu sejarah ke atasnya, yang lalu dihidangkan oleh penerbit Dastan yang telah menterjemahkannya dengan baik bagi kita.

Buku ini terbagi dalam 3 masa. Pada awalnya ketiga masa itu nampak tak berkaitan, dan di akhir kisah pertama dan kedua selalu ada misteri yang tak terjawab. Kisah pertama adalah usaha bersama Mongolia dan Cina, sekutunya, untuk menginvasi Jepang di abad 13 SM. Kolaborasi armada Cina dan kapal perang Korea yang membawa pejuang-pejuang Mongolia sedang berlabuh di dermaga Hakata ketika terjadi badai laut yang ganas. Badai itu memporakporandakan seluruh armada Cina, dan menyisakan sebuah kapal rusak dengan penumpang si prajurit Temur dan anak buahnya terbawa arus laut entah kemana. Mereka mendarat di pulau asing di daerah tropis yang dipimpin seorang tua berambut putih panjang yang mengenakan kalung dengan hiasan gigi hiu, bernama Mahu. Temur bersama Mahu, yang ahli navigasi berdasarkan bintang, sempat naik kapal kembali ke Cina untuk menghadap kaisar Kubilai Khan. Tak lama kemudian Kubilai Khan wafat, dan lokasi makamnya dirahasiakan. Bukan itu saja misteri yang menggantung di kisah pertama ini, Clive juga menyisakan misteri lain: sebuah kapal misterius tanpa bendera diam-diam meninggalkan daratan Cina menuju ke tengah samudera nan luas, dengan seorang tua berambut putih menjadi ahli navigasinya....

Bagian kedua langsung loncat ke sebuah situs penggalian arkeolog bernama Hunt. Ia, ditemani asisten sekaligus sahabatnya: Tsendyn, seorang berkebangsaan Mongolia, tengah melakukan penggalian di wilayah Shang-Tu, Cina. Gara-gara tentara Jepang makin merangsek masuk ke lokasi itu dalam perang, Hunt memutuskan untuk segera menyingkir. Namun, justru pada saat itu mereka menemukan sesuatu yang misterius. Sebuah kotak berpernis, berisi: selembar kulit cheetah dan sebuah tabung perunggu berisi sehelai sutra dengan peta di atasnya. Membaca peta yang berbahasa Mongol, Hunt sadar bahwa peta itu akan membuka tabir lokasi makam Genghis Khan yang masih merupakan misteri. Hunt pun sadar bahwa penemuan itu bernilai tinggi, maka ia selalu menyimpannya dengan amat hati-hati. Namun toh saat ia sudah berada di pesawat yang meninggalkan situs, ia akhirnya menyadari bahwa sahabat sekaligus asistennya Tsendyn telah mengkhianatinya dan mencuri lembar sutra dalam kotak perunggu itu! Tepat saat ia ingin berputar kembali, pesawatnya ditembaki oleh pesawat Jepang karena dikira mata-mata. Pilot dan co-pilotnya mati seketika, meninggalkan Hunt yang kesakitan selama beberapa hari, baik fisik maupun hati, sebelum akhirnya meninggal pula sambil memeluk kotak berpernisnya menuju alam baka...

Bagian ketiga bersetting abad ke 21. Di sini kita akan menemui berbagai peralatan canggih, juga hal-hal penting di panggung politik dan perekonomian dunia masa kini seperti masalah perminyakan. Mendadak dan dalam jarak waktu berdekatan, terjadi beberapa musibah di beberapa negara yang menimpa titik pengeboran minyak di lepas pantai. Salah satunya di Danau Baikal, Siberia, di mana sebuah kapal berisi para ilmuwan terkena efek gempa itu. Beruntunglah, tak jauh dari sana ada kapal milik sebuah badan kelautan (NUMA) yang sedang berlayar. Dua dari para penumpangnya, para petualang pemberani Dirk Pitt dan Al Giordino berjibaku menolong para ilmuwan. Namun penyelamatan itu tak berlangsung lama, karena malamnya terjadi gempa bawah laut yang menyebabkan kapal milik NUMA itu karam. Ajaibnya, para ilmuwan itu menghilang tak berbekas! Another mistery!

Setelah itu cerita bergulir dengan makin cepat, dengan makin banyak tokoh terlibat. Kini fokus Dirk Pitt dan Al Giordino adalah menemukan para ilmuwan dan penyebab tenggelamnya kapal mereka yang ditengarai adalah akibat sabotase. Namun itu semua belum apa-apa. Tunggu hingga mereka 'terdampar' ke tanah Mongolia untuk bertemu seorang bangsawan kaya misterius bernama Borjin. Dan tiba-tiba satu persatu jawaban atas berbagai misteri yang sudah ditumpuk oleh Clive dan Dirk Cussler semenjak awal akan terkuak. Dan semua misteri itu ternyata mengerucut pada satu sosok: Borjin! Siapakah ia sebenarnya?

Petunjuk:
Ingat-ingatlah detail yang ada di bagian atau masa pertama kisah ini. Karena detail kecil penampilan seseorang yang misterius itu akan menjadi kunci jawaban salah satu misteri di akhir kisah. Penulisnya tidak terang-terangan mengungkapnya, namun kalau anda jeli, maka jawabannya ada di sana...

Membaca buku ini benar-benar mengasyikkan. Rasanya tak habis-habis misteri, ketegangan serta kejutan, sambil sesekali diselingi dengan komedi yang disuguhkan oleh Clive & Dirk Cussler bagi para pembacanya, dari halaman pertama hingga akhir.

Catatan untuk penerbit:
Sayang, proses penerjemahan buku ini mengalami banyak typo di sana-sini, juga ada beberapa ungkapan yang mengganggu. Misalnya kata "bersalin" yang harusnya "berpakaian". Istilah "bersalin" seingatku memang dipakai kakek-nenekku untuk mengatakan "berganti pakaian" (mis: Opa mau salin dulu ya). Kata itu jelas bukan bahasa Indonesia yang benar, dan generasi sekarang kemungkinan tak ada yang tahu istilah ini. Belum lagi, karena kata "bersalin" memiliki makna lain yaitu melahirkan.

Judul: Treasure of Genghis Khan
Terjemahan: Misteri Khan Sang Penakluk
Pengarang: Clive Cussler & Dirk Cussler
Penerbit: Dastan

Tuesday, November 30, 2010

Comanche Moon

Tak seperti biasanya, aku membaca buku yang bergenre historical romance atau roman yang ber-setting jadul. Apa pasal? Karena aku menemukan bahwa buku Comanche Moon (atau Ramalan Cinta dalam terjemahannya) ini tak seperti novel-novel roman (termasuk historical romance) lainnya. Kalau novel roman biasanya berfokus pada kisah cintanya, buku Comanche Moon ini lebih menitik beratkan pada masalah humanisme. Lebih tepatnya pada permusuhan dua ras: ras kulit putih (dalam hal ini diwakili bangsa Amerika) dan ras kulit merah (diwakili oleh suku Indian Comanche). Buku ini mau menekankan bahwa cinta bisa melampaui perbedaan.

Ada sebuah ramalan di suku Comanche, bahwa pemimpinnya kelak akan tertambat hatinya pada wanita berkulit putih yang tak dapat bersuara. Meski dipisahkan jurang luas yang tak dapat terseberangi, namun si wanita akan mendatangi sang Comanche, dan bahwa mereka berdua akan memisahkan diri dari kaumnya.

Adalah Hunter, pemimpin suku Comanche pada saat itu, seorang pria muda yang kuat, dalam fisik maupun karakter. Ia disegani rakyatnya, dan ditakuti lawannya. Di sisi lain adalah Loretta, gadis Amerika yatim piatu karena kedua orangtuanya dibunuh dengan keji oleh suku Comanche. Ia kini tinggal bersama paman, bibi dan sepupunya. Karena trauma saat menjadi saksi pembunuhan brutal itu, Loretta mendadak jadi bisu. Suatu hari datanglah kawanan suku Comanche dipimpin oleh Hunter ke pondokan paman dan bibi Loretta untuk meminang Loretta menjadi istri sang kepala suku. Tentu saja awalnya mereka tak mau dengan sukarela memberikan Loretta pada orang Indian, karena sudah banyak desas-desus tentang kekejaman ras berkulit merah ini. Namun karena takut para Comanche akan melukai keluarganya, Loretta pun terpaksa menyerahkan diri pada para Comanche.

Ternyata Loretta adalah gadis yang tegar, pemberani, dan keras kepala. Dan sebenarnya Hunter adalah lelaki yang ideal baginya, karena ternyata, meski dari luar tampak garang dan menakutkan, Hunter adalah sosok pria yang gentleman, jujur dan lembut. Menarik mengikuti usaha Hunter yang tak sudah-sudahnya untuk menaklukkan hati Loretta meski si gadis yang dipanggilnya dengan nama Mata Biru itu membencinya setengah mati, dan kalau perlu bahkan menolak untuk makan makanan yang diberikannya. Namun bagaimanapun di hati Loretta sendiri mulai tumbuh benih-benih simpatik pada Hunter. Ia pun akhirnya dapat bersuara kembali ketika ia terpaksa berteriak saat ada ular derik yang nyaris menggigit lengan Hunter.

Dengan berlalunya waktu, Hunter sadar bahwa ada sesuatu yang tidak pas dilakukannya berdasarkan ramalan itu. Ramalan itu mengatakan bahwa sang wanita haruslah berjalan sendiri menemuinya, padahal ia dulu bisa dibilang mengambil paksa Loretta. Yakin bahwa ramalan itu harus dipenuhi dengan tepat agar semuanya berjalan lancer, maka Hunter rela mengantarkan Loretta kembali ke rumah paman dan bibinya. Apakah keputusan itu membuat Loretta bahagia? Awalnya memang ya, tapi setelah ia pulang ia menyadari bahwa pandangan orang-orang di sekitarnya menjadi berbeda terhadapnya, karena ia pernah hidup di perkampungan Indian. Mulailah terjadi pergolakan batin di hatinya. Sampai suatu saat ada sekelompok orang jahat membawa lari Amy, adik tirinya. Tak ada pilihan lain bagi Loretta selain berkuda kembali ke hutan yang lebat untuk meminta bantuan pada Hunter, karena hanya kepala suku Apache itulah yang mampu menyelamatkan Amy-nya yang amat disayanginya.

Hati Loretta makin tertawan pada Hunter ketika menyaksikan bagaimana lembut, sabar dan penuh kasihnya Hunter memperlakukan Amy setelah menyelamatkannya dari para penjahat yang telah memperkosanya dengan keji. Amy yang trauma akhirnya pulih sedikit demi sedikit semata-mata berkat kepercayaan yang tumbuh antara dirinya dengan Hunter yang merawatnya dengan penuh kasih.

Akhir ceritanya, wah…lebih baik tidak aku beberkan di sini. Yang jelas, banyak yang kemudian terjadi, membuat buku Comanche Moon ini tak seperti novel percintaan lainnya. Tegang dan menarik. Yang lebih menarik lagi adalah penuturan penulisnya, Catherine Anderson, tentang bagaimana ia mengadakan riset selama bertahun-tahun untuk menulis kisah yang menghibur sekaligus menyisipkan pesan moral di dalamnya. Saat itu banyak penerbit menolak naskahnya karena dianggap karyanya “tidak memenuhi genre manapun”. Namun bagiku, justru karena itulah buku ini menjadi sangat mengesankan ketika dibaca. Ah…lagi-lagi kita diingatkan oleh Catherine Anderson, untuk tidak menjatuhkan stigma pada sekelompok orang atau suku tertentu. Kita hanya bisa menilai orang dari karakter dan hatinya masing-masing, bukan secara umum.