Monday, March 30, 2009

Whoever You Are, I Luv U, Mom

Judul : Whoever You Are, I Luv U, Mom
Pengarang : Iris Krasnow
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta
Halaman : 317

Buku ini merupakan kompilasi kisah nyata 116 anak perempuan tentang suka-duka hubungan mereka dengan sang ibu. Iris Krasnow, sang penulis adalah wanita setengah baya yang mengalami luka batin akibat sikap ibunya yang otoriter, cerewet dan amat menjengkelkan. Namun, alih-alih terus memendam kebencian sampai akhir hayatnya, Iris memilih untuk berdamai dengan dirinya sendiri, dan akhirnya membangun kembali hubungan yang manis dengan ibunya yang kini tak berdaya di kursi roda, menunggu saat ajal menjemput. Bagaimana Iris dapat melakukannya? Di buku ini Iris mewawancai banyak wanita seusianya yang memiliki hubungan yang jauh berbeda dengan ibunya ketika mereka sendiri sudah setengah baya dan berkeluarga, sedang ibunya tua renta tak berdaya.

Bagi yang menyukai studi psikologis, buku ini banyak menampilkan kasus-kasus menarik tentang hubungan ibu-anak dan permasalahan yang menyebabkannya. Sedang bagi semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, buku ini akan mengajarkan kepada anda untuk mencintai ibu anda dan memaafkannya, karena ibu anda hanyalah seorang manusia, yang juga bisa berbuat salah...seperti anda!

Pada bab awal Iris menceritakan tentang ibunya, Helen. Seorang wanita hebat dan nyaris sempurna, namun dingin dan tak pernah menunjukkan kasih sayang pada anak-anaknya. Sebaliknya, lidahnya sangat tajam. Padahal sebagai anak perempuan, Iris mendambakan ibu yang lembut, yang mengajaknya memasak bersama di dapur mereka, mengantarkan putrinya les kesenian, menunggu dengan sabar ketika sang putri mengepas baju di mal, atau sekedar memeluknya saat sang putri mimpi buruk. Bahkan ciuman selamat pagi-pun tak pernah ia dapat. Sebaliknya, ayah Iris-lah yang melakukan semua itu. Saat Iris kecil menangis karena kerabat dekatnya meninggal, bukannya menghibur, Helen malah membentaknya.

Semuanya itu terakumulasi hingga Iris tumbuh dewasa, menikah dan mempunyai anak. Saat anak-anaknya mulai tumbuh remaja, Iris tanpa sadar juga menjadi mirip dengan ibunya. Mengomel panjang lebar saat putranya menumpahkan sesuatu ke lantai atau saat mereka lupa menaruh serbet di pangkuan. Tepatnya, Iris mulai menjadi ibu yang cerewet juga, dan melakukan apa yang dulu sangat dibencinya dari ibunya. Namun demikian, Iris juga belajar banyak dari cara ibunya dalam membesarkannya, yang menyiksanya. Tumbuh sebagai anak yang mendambakan kasih sayang dan perhatian dari ibunya, Iris sekarang membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih.

Lalu ketika ibunya semakin tua, sikap kedua wanita ini mulai berubah satu sama lain. Iris menjadi begitu perhatian dan merawat ibunya yang cacat dengan penuh kasih sayang. Ibunya pun mulai menampakkan ekspresi sayang kepada anaknya. Iris mungkin sulit untuk melupakan kebencian pada ibunya waktu ia kecil dulu, namun setelah ibunya uzur, ia berusaha membuka lembaran baru bagi hubungan mereka.

Di bab-bab selanjutnya, ada banyak wanita yang mengisahkan perbedaan hubungan mereka saat kecil dan saat mereka dewasa. Ada seorang wanita bernama Grace yang memiliki ibu yang disebutnya ‘Superwoman’, wanita perkasa yang berperan sebagai ibu sekaligus ayah anak-anaknya. Semuanya akan aman bila ada ibu. Namun ketika ayah Grace meninggal, jatuhlah pertahanan ibu Grace. Dari wanita perkasa menjadi wanita depresi yang mengibakan. Maka tahulah Grace bahwa di balik keberaniannya, ibunya sesungguhnya adalah wanita yang ringkih.

Pada cerita yang lain, Rita, seorang wanita atletis dan cerdas (seorang eksekutif periklanan) menceritakan hubungannya dengan sang ibu yang hebat tetapi terlalu menuntut pada anak-anaknya. Harus juara kelas, harus masuk universitas terbaik, dsb. Itu semua karena ibunya juga murid yang pandai dan seorang wanita yang menarik. Namun itu semua berubah ketika ayahnya meninggal. Ibunya menjadi pemabuk dan hobby keluar masuk bar. Rita yang terpelajar tidak dapat menerima hal ini. Namun, setelah beberapa ia lelah berusaha untuk menjinakkan keliaran ibunya, karena toh ibunya tidak akan berubah. Maka akhirnya Rita berusaha untuk menerima ibunya apa adanya karena ia ingin berdamai dengan ibunya sebelum segalanya terlambat. Ketika ia bertambah tua, kejengkelan Rita berkurang seiring dengan usahanya untuk tidak menghakimi sang ibu yang genit dan liar. Simak apa yang ia katakan: Yah, semuanya sudah berakhir bagiku sekarang, yaitu perasaan yang menginginkan dia berbeda dari dirinya yang sebenarnya. Sekarang aku bisa menerima kenyataan bahwa dia suka pergi ke bar sepulang kerja. Mungkin ini bukan kehidupan yang aku inginkan, tapi inilah hidupnya dan biarkan dia menikmatinya.

Ada juga yang lebih ekstrem, yaitu kisah Rebecca yang memiliki ibu seorang imigran Armenia yang dikenang Rebecca sebagai ‘racun’ di keluarganya. Sang ibu selalu mencaci maki setiap anggota keluarganya terus menerus. Pada suaminya, juga pada anak perempuannya, Rebecca. Ia selalu marah pada semua hal, dan bertengkar dengan semua orang yang ia jumpai, hingga Rebecca kecil kurus kering karena tak dapat makan dengan konflik yang bertubi-tubi itu.

Yang menarik adalah bagaimana cara Rebecca untuk mengatasi atau memperbaiki hubungannya dengan ibunya saat ia dewasa. Ia memasang dinding pembatas antara masa lalu dan masa kini. Ia juga membuat aturan-aturan tertentu dalam hubungannya dengan ibunya. Rebecca mungkin tak akan dapat memanfaatkan kelakuan ibunya, namun ia dapat melupakannya. Selama masa lalu tidak diungkit-ungkit lagi, dan saat Rebecca memasang dinding pembatas itu, maka ia dapat memulai hubungan baru yang dilandasi oleh kasih sayang dengan ibunya.

Masih banyak kisah-kisah lainnya, namun dari semuanya dapat ditarik satu benang merah: bahwa banyak wanita (dan mungkin juga pria) yang mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan bersama ibu mereka, namun persatuan erat keduanya membuat mereka tak pernah dapat benar-benar membenci ibu mereka. Pada saat mereka tua, tak berdaya, dan sering menjadi seperti anak kecil, mereka menjadi iba, dan berbalik ingin melindungi dan mengasihinya.

Catatan Fanda:
Ada banyak pelajaran yang aku dapatkan dari buku ini, dan itu dapat membantuku untuk memahami, bukan saja hubunganku dengan ibuku, tetapi juga dengan orang lain.

#1 – Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini
Ini harus selalu kita camkan saat kita bergaul, berteman dan berhubungan dengan orang lain. Kita tidak dapat mengharapkan orang lain atau calon pasangan kita sempurna tak bercacat, karena tiap orang pasti memiliki kekurangannya. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah berusaha menerima mereka apa adanya. Terimalah kekurangan itu dan fokuslah pada kelebihannya. Jika kita memang tak dapat menolerir kekurangannya, maka sebaiknya hubungan itu tidak dipererat, atau bagi pasangan kekasih sebaiknya tidak diteruskan ke jenjang pernikahan, karena akhirnya akan menyakiti kedua belah pihak.

#2 – Ibu adalah orang yang paling dekat dengan kita, yang cintanya amat besar pada kita
Tak peduli sejahat atau secerewet apa ibu kita menurut pandangan kita, namun ia adalah orang yang hubungannya paling dekat dengan kita. Beliau-lah yang mengandung kita selama 9 bulan, dengan semua suka duka dan kesulitannya, ia yang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan kita, dan yang memastikan kita mendapat makanan, kesehatan dan perlindungan. Banyak ibu yang mungkin over protective, namun itu justru tanda betapa besar cintanya pada kita. Orang yang paling mencintai kita mungkin adalah ibu kandung kita. Lalu mengapa saat kita kecil kadang beliau sering membentak-bentak kita, memukuli kita atau mencaci maki kita? Seolah-olah beliau membenci kita? Mungkin ini bisa membantu anda untuk memahami...

#3 – Cobalah untuk mengenal orang lain lebih dalam sebelum kita menghakimi
Hidup ini menganut asas sebab-akibat. Apa yang terjadi di masa lampau mempengaruhi kita hari ini, dan yang terjadi hari ini pasti berpengaruh pada masa depan. Saat kita melihat kekurangan orang lain, cobalah untuk melihat masa lalu orang itu. Anak yang kurang mendapat kasih sayang bisa saja menjadi orang yang pemarah, judes, minta dikasihani, minta diperhatikan, dll. Sebelum kita menghakimi seseorang itu jahat, judes, dsb., cobalah untuk memahami mengapa ia bersikap seperti itu. Pemahaman itu akan membantu kita untuk menerima kekurangan orang lain, terutama ibu dan ayah kita, orang-orang yang terikat pada kita selamanya, yang tidak dapat kita ingkari sampai akhir hayat kita. Kekasih atau teman bisa kita putus, tapi orang tua? Merekalah yang telah melahirkan dan membesarkan kita, entah kita suka atau tidak.

#4 – Maafkanlah sekarang sebelum terlambat
Maaf. Satu kata sederhana yang dalam prakteknya sangat sulit untuk dilakukan, baik untuk minta maaf, apalagi untuk memaafkan. Terutama bila seseorang menyakiti hati kita selama periode waktu yang lama dan terus menerus. Contoh dalam buku ini memperlihatkan para ibu yang telah menyakiti anak-anaknya baik secara fisik maupun mental. Dan lihatlah, betapa tidak mudah bagi mereka untuk memaafkan. Namun mereka berusaha dengan segala macam cara, karena mereka sadar bahwa antara ibu dan anak ada hubungan kasih sayang yang mengakar, dan bila mereka sampai terlambat memaafkan, mereka akan menyesal seumur hidup mereka.

Begitulah juga dalam hubungan yang lain, suami-istri, sahabat, dsb. Memaafkan memang sulit, namun mulailah dari sekarang sebelum semuanya terlambat. Karena sebuah hubungan yang indah akan hancur apabila kita terlalu gengsi untuk berkata maaf atau memaafkan. Bila luka hati anda terlalu dalam untuk dapat memaafkan (seperti yang dialami Rebecca terhadap Ibunya), paling tidak lupakanlah masa lalu, dan cobalah untuk memperbarui hubungan itu. Meski tidak dapat seindah dan seerat hubungan yang dulu, namun paling tidak dapat mengikis kebencian dari hati anda perlahan-lahan. Kalau Tuhan saja mau mengampuni kita yang berkali-kali jatuh dalam dosa, mengapa kita tak dapat memaafkan orang yang menyakiti kita? Toh kita sama-sama tidak sempurna, kan?

Jadi...kalau anda masih punya ganjalan dalam hubungan dengan orang tua anda, sahabat atau rekan kerja, berdamailah sekarang juga. Jangan saling menunggu, buanglah gengsi anda dan ambillah inisiatif. Sulit? Memang! Aku pun saat ini sedang berjuang untuk dapat memaafkan rekan kerja yang aku benci. Jadi, mari kita sama-sama berjuang untuk memaafkan!



Thursday, March 26, 2009

Mengintip Lemari Buku Fanda Yuk!

Seperti anda semua sudah tahu, aku ini pecinta buku. Sepanjang hidupku tidak pernah aku jauh dari buku. Bahkan sejak aku masih di dalam kandungan, ortuku sudah berinvestasi membelikan aku buku cerita anak dalam Bahasa Inggris dengan hardcover. Harga buku itu cukup mahal bagi kantong keluargaku yang pas-pasan waktu itu, sehingga ortuku harus membelinya dengan kredit. Jadi, buku itu sangat bermakna bagiku, oleh karenanya masih kusimpan sampai saat ini! Aku ingat mamaku selalu membacakan cerita itu (dengan Bahasa Indo tentunya) saat hendak menidurkan aku. Baru setelah aku lulus kuliah, aku membaca kembali buku itu sampai tuntas.

Setelah itu, banyak sekali buku yang pernah datang dan pergi, menghuni lemariku. Sebagian buku masa kecilku sudah aku wariskan ke teman-teman yang punya anak, sebagian lagi sudah aku jual. Sebagian lagi malah dipinjam teman-teman sekolah dan tak pernah kembali. Namun, sebagian kecil yang benar-benar aku sukai masih ada hingga sekarang bercampur dengan buku-buku baru. Begitulah, koleksiku selalu berganti-ganti mengikuti usia dan kedewasaanku. Inilah isi lemari buku Fanda sepanjang masa:

Waktu aku SD, papaku membelikan aku seri Pustaka Dasar (terbitan Gramedia), yaitu buku ilmu pengetahuan bergambar dengan macam-macam topik, selain itu aku juga punya koleksi serial Tintin dalam versi Inggrisnya (papaku atau mamaku yang membacakan ceritanya kepadaku). Maka, saat aku belum mendapatkan pelajaran IPA atau Geografi di sekolah, aku sudah tahu apa itu gerhana bulan atau ada negara yang namanya Tibet yang penuh dengan salju, atau ada fatamorgana di gurun pasir, serta negeri Arab yang kaya akan emas hitam alias minyak. Aku dulu juga suka sekali dengan cerita serial komik wayang karangan R.A. Kosasih seperti Mahabharata, Bharata Yuda, Pandawa Seda, dll. Sebenarnya komik wayang ini jauh lebih baik dan mendidik daripada komik-komik Manga yang disukai remaja saat ini. Cerita wayang mengajarkan nilai-nilai hidup yang amat dalam. Waktu itu sih aku tidak terlalu mengerti, bagiku cerita itu cuma sekedar cerita yang seru dan kadang lucu. Baru kemudian ketika lebih dewasa, aku baru dapat memahami ajaran dibaliknya.

Saat masuk SMP, aku mulai mengkoleksi serial Lima Sekawan, dan membaca cerita sejenisnya seperti Trio Detektif, Pasukan Mau Tahu dan Sapta Siaga serta Nancy Drew. Sebagian saling pinjam dari teman, sebagian lagi pinjam dari perpustakaan. Serasa aku bisa ikut berpetualang bersama Julian, Dick, George, Anne dan Timmy! Kira-kira kelas 2-3 SMP aku mulai membaca Agatha Christie. Sejak itu, aku jadi fans beratnya. Boleh dibilang hampir semua Agatha Christie terutama dengan Hercule Poirot sebagai detektifnya sudah kulahap. Saat itu aku mulai berpikir: ‘Mengapa manusia bisa menjadi jahat dan kejam? Apakah dari awal manusia sudah dibagi menjadi 2: baik dan jahat? Lalu apa yang menyebabkan orang baik berubah menjadi pembunuh? Apakah setiap orang bisa menjadi pembunuh?’

Aku mulai mengenal novel-novel karangan Mira W saat aku duduk di bangku SMA. Aku juga senang membaca majalah remaja seperti Hai. Agatha Christie masih terus kulahap, juga Sydney Sheldon, sampai saat aku kuliah. Baru setelah aku bekerja, bacaanku mulai berubah. Novel-novel John Grisham, Stephen King, Chicklit, lalu seri Chicken Soup for The Soul mulai memenuhi lemari bukuku. Dan karena aku ingin mengembangkan karirku (saat awal aku duduk sebagai Admin), aku mulai membaca buku-buku pengembangan diri. Mulai bagaimana menjadi sekretaris yang baik, leadership, seni berbicara lewat telepon, EQ (Emotional Quotient), dan sejenisnya.

Lalu datanglah demam Rich Dad Poor Dad. Saat itulah kira-kira isi lemari bukuku berubah total. Meski buku-buku fiksi seperti Harry Potter, John Grisham dan Sandra Brown masih mendominasi, tetapi buku tentang bisnis dan marketing seperti Blue Ocean, Selling To Win, 4G Marketing-nya Hermawan Kertajaya dsb mulai bertambah. Begitu pula buku motivasi macam The 7 Habits dan First Thing First-nya Stephen Covey dan Rich Dad Poor Dad. Itu mungkin karena karirku sudah lebih menanjak (dari Business Assistant sampai Department Head, sebelum akhirnya aku mengundurkan diri tahun lalu), sehingga kebutuhan untuk mengembangkan diri lebih besar.

Pada tahun 2006-2007 aku sempat membuka rental buku di rumah yang aku beli dengan hasil keringat sendiri. Saat itu aku punya banyak kesempatan untuk membaca macam-macam buku, dari serial roman Harlequin, Teenlit, komik Manga (QED dan serial cantik yang paling banyak aku baca), Deception Point-nya Dan Brown, Winnetou dan Kara Ben Nemsi, sampai Paulo Coelho. Sayangnya, waktu dan fisik tidak sejalan dengan penghasilan (hehehe...), maka terpaksa rental itu aku tutup.

Saat ini aku sedang menggandrungi novel-novel yang agak berat, seperti To Kill A Mockingbird, Maharani, Kisah Klan Otori, atau Musashi (yang ini belum baca, dan sekarang sedang mencari yang mau menjual buku bekasnya – ada yang berminat jual koleksinya?). Selain itu, aku banyak membaca kembali buku-buku yang sudah lama nongkrong di lemari (biasanya pemberian orang lain) tetapi belum sempat dibaca, antara lain Kara Ben Nemsi seri 2 dan 3 (Karl May), atau buku-buku yang ingin aku baca ulang seperti Starbucks Experience atau The Long Tail.

So, kalau mau dihitung-hitung sudah begitu banyak buku-buku yang sudah keluar-masuk di lemariku, menemani hari-hariku, membuatku asyik dan membentuk pribadiku dan pandangan hidupku selama ini. Kalau ada yang tanya: buku apa saja yang aku baca? Bisa dibilang hampir semuanya ! Kecuali mungkin politik (meski aku juga punya biografinya Hillary Clinton). Buku-buku rohani? Aku juga suka Doa Sang Katak atau Sejenak Bijak-nya Anthony de Mello dan bisa pinjam milik papa (yang telah menurunkan ke-kutubuku-annya kepadaku dengan sukses), atau filsafat? Aku juga baca Paulo Coelho yang agak filosofis. Sastra? Aku juga pernah baca Ronggeng Dukuh Paruk. Jadi, buku apa yang belum kubaca ya??

Kayaknya ada yang ketinggalan deh, aku masih penasaran karena dari dulu belum berhasil beli bukunya Mitch Albom (The Five People You Meet In Heaven). Sudah lama sih buku ini, tapi waktu dia terbit, aku sedang asyik dengan buku lainnya, akhirnya kelupaan beli. Aku sedang memesannya di toko buku online. Ada lagi yang akan kupesan, yaitu bukunya Karl May: Old Surehand.

Anyway, kalau ada yang bertanya-tanya, buku apa yang jadi terfavoritku selama ini? Ini nih daftarnya (in random order):

Fiksi:
1.Buku cerita pertamaku (lebih karena nilai historisnya)
2.Tintin - semua seri (aku masih tetap terbahak-bahak meski sudah belasan kali membaca)
3.Bharata Yuda (watak asli manusia bisa keluar di saat kritis seperti perang)
4.Agatha Christie - Tirai
5.Winnetou
6.Harry Potter
7.The Alchemist (ini masuk fiksi ga ya?)

Non Fiksi:
1.The 7 Habits of Highly Effective People – Stephen Covey
2.Change – Rheinald Kasali
3.4G Marketing (aku paling suka mengikuti perjalanan bisnis Kel. Sampoerna)

Nah, anda sudah mengintip lemari bukuku, bagaimana dengan lemari buku anda? Boleh dong aku intip balik??

SALE !!!

NB: Dalam rangka ‘cuci lemari’, aku berniat untuk menjual beberapa buku koleksiku (ada yang masih baru, ada yang hanya dibaca 1x dan masih bagus ; ada buku marketing, ada juga novel – semuanya dengan harga super murah). Daftarnya ada di sidebar blog ini sebelah kanan. Bagi yang berminat membeli, silakan mengirim e-mail ke: cutenoel44[at]yahoo.com. Harga yang tercantum disitu belum termasuk ongkos kirim (via GED courier). Ayo...buruan, sebelum keduluan yang lain!!!



Thursday, March 19, 2009

Margaritas & Murder (Murder, She Wrote series)

This time, out of my blog theme, I wrote this novel review in English. Partly because the novel itself is written in English, and also because I want to improve my English writing, which is very important for me in order to manage my internet marketing businesses. So...here it is...

-----

Murder, She Wrote is a serial of mystery novel that have been broadcasted as a television series years ago. This book, Margaritas & Murder, was written by Jessica Fletcher, who placed herself at the main character of the mystery: a famous female mystery writer named Jessica Fletcher.

Everything was started when Jessica became a guest-speaker on a seminar about ‘crime writers’ in a library on Manhattan, USA. Vaughan Buckley, Jessica’s publisher and good friend, together with his wife Olga also attended the event. The Buckleys has a house in Mexico, and they had invited Jessica to stay with them for a couple of weeks vacation. However, as Jessica still have other tasks to complete as a writer (book signing tour and an interview for TV show), she must delay her trip to Mexico, while the Buckleys had left for San Miguel de Allende, Mexico two days before.

When Jessica can finally get a seat on the morning flight to Mexico City, and a booked connecting flight to Léon, she did not aware that the trip is going to be a long and unforgettable experience. First, she got stuck in Benito Juárez International Airport of Mexico City because the flight to Léon has been delayed until the night. So, Vaughan suggested her to take a taxi to down town, to a Hotel Majestic for a wonderful food and spectacular view, and perhaps some stroll around the square. Why not? Jessica thought, so she did it. A kind-hearted taxi driver took her to see around the city, and then took her safely back to the airport.

Second obstacle to Jessica’s trip is when she found out that the Del Baijo Airport at Léon was closing before her ride to San Miguel de Alende, provided by the Buckleys, has even arrived. She could not get any taxi, nor hotel to stay for the night. Eventually, a cleaning service man approached her and suggested that his son could take Jessica to Buckleys residence by car. She thanked the man, and began the night journey along with Juanito, a young man with very poor English and an old car! If only Jessica have had heard about the crimes which often occurred in Mexico and delayed her journey until the next morning, she might not have been in a great danger like what she had that night.

The car suddenly hit a rock placed in the middle of the climbing road to the mountain, and stopped. It was a robbery! A man, the bandidos, forced Jessica to give him her purse, her money and her most precious treasure: her ring. It was a gift from her late husband Frank. Although in such dramatic condition, Jessica could remember that the bandit was sick. He was having a difficult breathing and some heavy coughing. The bandit dissapeared as quick as he appeared on the scene, and a police who is sent by Vaughan finally came there to bring Jessica safely to Buckley’s residence. Ready to compensate her delayed vacation in Mexico!

San Miguel de Alende is a small but nice town. Although being a new comer, the Buckleys have got many good friends and neighbors. Jessica has tasted many delicious Mexican food such as quesadillas or polo almendrado, enjoyed the town view, and even has made acquaintance with the local chief of police: Chief Javier Rivera. Everything seemed running very well, but not for long!


The nightmare came when Vaughan decided to take a part in mail run project together with his neighbour, Woody, a late US Army. Mail services in San Miguel de Alende is bad, and most of the times important mails had never reached the receiver. That’s why Woody took initiative by picking up the mails from Laredo post office for all residents. This time, he invited Vaughan to join him. His wife’s concerns about his safety among the bad safety issues of Mexican roads did not stop Vaughan’s excitement in this adventurous trip (just like all retired mens will).

A mystery began to show its face when Jessica saw the bandidos who robbed her at the night of her arrival in Mexico. The man is a balloon vendor in the local park named El Jardin. She recognized him by his coughing and his sound of breathe, and his disappearance after seeing Jessica assured her that he was the robbery. But nothing she can do about it, especially when Vaughan did not appeared on the night he was scheduled to arrive from Laredo mail run. Olga got panicked, and also all the Buckleys friends and neighbors.

It was Chief Rivera who brought the bad news: the police found the car, damped on the street, but not the two men who were supposed to ride it. The only thing they found was a handkerchief that Olga had given Vaughan to remind him of her, full of blood...

So, Jessica began her mystery adventure based on her knowledge of criminology and her mystery writings, combined with those of Chief Rivera. Both of them found the body of Woody, dead, not far from the car. But before Jessica had chance to forward the bad news to Olga, she found out that most of the neighbors had gathered at the Buckleys home. They are Cathie and her husband Eric Gewirtz who helped Vaughan installed his media player; Roberto, who insisted to get Jessica as his co-writing for a novel, and Dina Fisher, his wife. There are also a lovely lady painter Sarah Christopher, who Olga think has a crush on Vaughan; and Guy and Nancy Kovach. Guy is a stock broker. Apparently something big has happened when Jessica went to the crime scene with Chief Rivera. It was the headline of the local newspaper that stated that the kidnappers asked for one million US Dollars ransom, which make Olga decided to leave immediately for US to manage the financial things. She left Jessica the authority to take care everything while she’s gone and do whatever the best for Vaughan’s life.

Everybody believed at first that it was a gang who did it for ransom. Everyone accept Jessica. She got suspicious because someone already knew about the ransom and sent it to the newspaper before the kidnappers themselves asked for ransom. She decided to investigate the case by herself. The kidnappers must have known the exact time when Vaughan was scheduled to pass that road on the way home. That means the friends and neighbors! On her second visit to El Jardin, she met the balloon vendor again. She saved his little daughter from a bus accident when the little child played. The balloon vendor looked at her at that time with tears on his eyes.

Jessica had just interviewed Philip, Woody’s son and Sarah, when something strange happened. She got a message from an unknown sender to have a meeting in a busy cafe. Seems it had something to do with Vaughan’s case.

A Father Alfredo told Jessica that someone had thanked her for saving his child: it was the balloon vendor! He knew where Vaughan was kept (he’s alive!), and wanted to help Jessica. So he made arrangement to let Jessica, helped by Father Alfredo, to release him. The mission succeeded, Vaughan was alive, so that he can told the police the whole story. But the question was still unanswered. Who had wanted the ransom? It was somebody close to them, who knew that Vaughan and Woody were going to Laredo and when they would be riding home. Someone within them, which one?? Anyone can guess?

From what Jessica (the real writer) described, I can guess that it was Sarah. Jessica ‘put too many suspicious things on Sarah’s end’, including her relationship with Woody and Philip. But what most intriguing, was the man behind it, who had worked together with Sarah to rob the Buckley’s money. He who must live only from the state’s military pension....

Jessica Fletcher is not Agatha Christie, and her mystery writing is not bringing much of mystery nor thriller as Agatha Christie. But for an enjoyable English reading, she has done her job well.



Thursday, March 12, 2009

Dare To Make Mistakes – Berani Untuk Gagal (2)

Silakan membaca terlebih dahulu Bagian-1 review buku ini...

Keberhasilan Yang Pincang

Dalam militer dikenal ungkapan “titik terlemah selalu mengikuti keberhasilan”. Pada saat seseorang berhasil, sulit melawan godaan untuk beristirahat, bernapas sejenak dan menghentikan konsentrasi intens untuk berjuang. Akibatnya kita menjadi tidak fokus lagi pada pekerjaan kita dan kehilangan keberanian. Begitu seseorang atau suatu organisasi merasa berhasil, mereka akan mulai bermain aman, lalu mengulangi keberhasilan masa lalu. Akibatnya energi mereka telah habis untuk meniru dan tidak dapat lagi mencari sesuatu yang baru. Akhirnya dapat dipahami bahwa mereka pun akan mengalami kemerosotan.

Banyak perusahaan yang menganggap kesuksesan sama dengan bertahan hidup. Pada kenyataannya sekarang ini, hanya sistem yang berkembang secara terus menerus-lah yang dapat bersaing dalam perekonomian yang selalu berubah. Pada perusahaan yang selalu melakukan pembaruan, keberhasilan merupakan sebuah proses yang sedang berjalan, bukan sesuatu yang statis, bukan pula sebuah tujuan. Dengan demikian, inovasi tidak akan pernah berhenti.

Inovasi Dengan Sikap

Mengapa kita sulit mendapatkan inovasi? Bukan karena kekurangan gagasan, namun lebih pada kekurang-terbukaan atau kemampuan untuk menerima saran dan inovasi. Jika suatu perusahaan ingin berhasil, manajemennya perlu menciptakan tempat kerja yang mencakup kriteria sbb:

- Mempekerjakan pengambil resiko.
- Menciptakan lingkungan yang dapat menumbuhkan inovasi.
- Menciptakan lingkungan kerja yang ‘bersahabat’ dengan resiko.
- Mengurangi kekhawatiran berbuat salah.
- Pemimpinnya harus mau juga mengakui kesalahan, agar karyawan mengikutinya.

Sebenarnya ada 2 tipe karyawan, tipe pelari cepat dan pelari jarak jauh. Pelari cepat melakukan inovasi, suka pada perubahan, dan merupakan sumber inovasi perusahaan. Sedang pelari jarak jauh melakukan konsolidasi, memiliki pandangan jauh ke depan, dan memantapkan tangan pada ‘roda kemudi kapal’. Kedua-duanya dibutuhkan oleh perusahaan.

Ada cerita menarik tentang 3M, perusahaan yang memproduksi Post-It. Post-It merupakan produk hasil kesalahan. Adalah seorang Spencer Silver, periset yang bertugas mengembangkan bahan perekat yang luar biasa kuat. Namun ternyata lem percobaannya berdaya rekat sangat rendah, dan ia menceritakan kegagalannya ini pada semua koleganya dengan harapan mereka dapat menggunakannya. Lalu adalah Art Fry yang sedang berpikir sambil memangku buku yang sedang terbuka. Sambil berpikir ia berusaha menahan pembatas halamannya agar tidak jatuh dari buku. Lalu, ia mendapat ide. Fry teringat pada lem berdaya rekat rendah milik koleganya, bahwa lem itu mampu melekat kembali setelah ditarik secara perlahan-lahan. Maka, enam tahun setelahnya, beredarlah Post-It yang terbukti menjadi salah satu penghasil uang 3M.

Pengendalian Pasca Kegagalan

Kita perlu menyadari bahwa setiap produk yang dihasilkan adalah sebuah eksperimen, dan produk itu bisa gagal. Namun ada perbedaan penting antara 2 macam kegagalan. Kegagalan yang bisa dimaafkan adalah hasil dari upaya yang berhati-hati yang direncanakan masak-masak namun tidak berhasil. Sedang kegagalan yang tak termaafkan adalah upaya setengah hati, ceroboh, dengan hasil tidak memuaskan. Manajemen pasca kegagalan adalah mengidentifikasikan kegagalan yang dapat dimaafkan dan mendekatinya untuk diperiksa, dimengerti, dan kemudian dikembangkan. Oleh karena itu manajer yang cemerlang menganggap kegagalan sebagai langkah potensial untuk mencapai keberhasilan.

Bagi manajer yang cemerlang, pemberian penghargaan, seperti halnya pemberian hukuman, dapat menciptakan lebih banyak persoalan daripada penyelesaian. Yang terbaik adalah menciptakan ‘keterlibatan’. Manajer itu akan memahami pekerjaan yang dilakukan anak buahnya, menginterpretasikannya dan menemukan arti pekerjaan itu bagi si karyawan. Ketimbang pengawasan ketat, ia akan menunjukkan perhatian, menyatakan dukungan dan mengajukan pertanyaan yang mendorong karyawan untuk memikirkan solusi dan inovasi. Manajer tipe ini lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, sehingga karyawan merasa lebih seperti partner yang ikut dilibatkan. Keterlibatan sejati merupakan motivator yang lebih baik dibanding pujian yang bersifat rutin.

Di era bisnis sekarang ini, informasi lebih baik dibagikan daripada ditimbun. Upaya menutup-nutupi informasi akan memperlambat proses perkembangan itu sendiri. Dan adanya internet sangat membantu perusahaan untuk lebih terbuka pada inovasi.

Tidak ada hal yang lebih efektif dalam merusak inovasi daripada rasa takut, demikian pula tidak ada pendorong inovasi yang lebih baik daripada mengatasi ketakutan.

Manajemen Rasa Takut

Yang membuat kita takut sebenarnya bukan kegagalan itu sendiri, tetapi kemungkinan akan terlihat orang lain sebagai seorang yang gagal lah yang begitu menakutkan kita. Kegagalan membuat kita kelihatan konyol, jadi kebanyakan orang memilih tidak berbuat apa-apa dan mengambil jalan aman.

Inilah penyebab utama ketakutan itu:

Takut malu: Banyak orang lebih takut malu daripada takut mati!
Takut terlihat bodoh: Ini karena kita menganggap orang lain memperhatikan kita sebanyak perhatian kita terhadap diri kita sendiri. Padahal mereka justru hanya memikirkan diri mereka, dan khawatir kita akan mentertawakan mereka.

Rasa takut itu normal, tidak dapat dibasmi, tetapi dapat dikendalikan! Sebenarnya semua orang, betapapun percaya dirinya, punya rasa takut dan gugup. Bedanya, mereka yang pemberani tidak membiarkan rasa takut menghalangi mereka. Pada akhirnya bukan rasa takut atau intensitasnya yang mempengaruhi kemampuan kita dalam bertindak, melainkan pendekatan yang kita ambil untuk menggiring rasa takut itu. Apa yang kita lakukan setelah takut? Mundur teratur? Atau menggunakan rasa takut itu untuk menambah motivasi?

Sebenarnya, rasa takut merupakan sebuah komoditas yang berharga, karena rasa takut bersifat adaptif. Artinya, rasa takut dapat memberitahu kita kapan kita harus waspada, dan memotivasi kita untuk membangun kubu pertahanan yang kuat.

Samurai Kesuksesan

Menurut orang-orang yang sukses (dan telah sering menang), kemenangan bukanlah satu-satunya, kemauan untuk menang-lah yang utama. Kemenangan yang terbaik adalah bertahan untuk tetap bermain. Hal ini tidak berlaku bagi penjudi saja, tetapi para pelaku bisnis. Pengambil resiko sejati tidak mengharuskan dirinya untuk menang terus, mereka mengetahui bahwa mereka juga harus kalah. Dan tahu cara menghadapi kekalahan serta tidak membiarkan kekalahan itu menghancurkan mereka. Anak-anak yang sedari kecil dipaksa oleh orang tuanya untuk menang kelak akan menjadi yang paling takut gagal, dan akhirnya menjadi pasif. Sebaliknya orang tua yang terus menyemangati, tanpa memaksa harus menang, anak-anaknya lah yang paling mungkin mengambil kesempatan dalam hidup, dan akhirnya menang. Mereka lah yang oleh penulis dijuluki ‘samurai’ masa kini.

Pemimpin yang efektif akan memusatkan perhatian pada tugas yang diembannya, dan tidak membiarkan kemungkinan gagal memecah konsentrasi mereka. Mereka tidak mempedulikan kemenangan atau kegagalan. Memang, ketika kita berhasrat kuat dalam mengerjakan sesuatu, kegagalan bukan merupakan persoalan. Bahkan kesalahan terburuk kita tidak akan terasa sebagai kesalahan bila hal itu merupakan hasil pengambilan kesempatan yang ingin kita lakukan. Penyesalan terbesar dalam hidup adalah ketika tidak ada satu pun resiko yang kita ambil, bukannya yang kita ambil namun gagal.

Kesuksesan dan Kegagalan

Kesuksesan memang sebuah konsep yang sulit dimengerti. Definisinya variatif, bergantung pada tiap individu dan dapat berubah sesuai waktu dan keadaan. Yang jelas, semakin kita sukses semakin banyak pertentangan nilai yang kita rasakan. Dari situ dapat disimpulkan bahwa kesuksesan sejati bukanlah keadaan, tetapi proses. Kesuksesan adalah suatu tujuan yang terus menerus bergerak (hal yang sama seperti diajarkan oleh John C. Maxwell dalam bukunya Perjalanan Menuju Sukses). Kesuksesan menjadi bermakna apabila ada suatu kehangatan, perasaan puas karena mencapai prestasi, dan kepuasan atas tugas yang dikerjakan dengan baik. Justru kesuksesan yang terbesar adalah kesuksesan yang membahagiakan, meskipun tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

Kesuksesan dan kegagalan sulit dibedakan, bahkan mungkin kita tak pernah tahu di mana kita sebenarnya berhasil dan di mana kita gagal. Kehidupan yang dijalani dengan baik, misalnya, adalah jauh melampaui keberhasilan dan kegagalan. Maka, perlakukanlah kegagalan dan keberhasilan secara sama, tidak dengan penghargaan dan sanksi, tetapi lebih dengan keterlibatan pribadi.

Jadi, bila anda atau bawahan anda mengalami kegagalan, bersikaplah menerima kegagalan itu, karena sikap ini akan menghasilkan lingkungan kerja yang bersahabat dengan kegagalan sejati dan akan menjadi sumber energi dan pusat perhatian.

Kehidupan sukses yang sesungguhnya dapat diraih jika kita tidak mengejar keberhasilan atau menghindari kegagalan. Kita harus melampaui keduanya untuk masuk ke dalam dunia yang sama sekali baru, di mana keberhasilan yang sebenarnya dapat dimenangkan tanpa dicari, dan kegagalan dapat dikendalikan tanpa dihindari.

Salam sukses untuk anda!




Wednesday, March 11, 2009

Dare To Make Mistakes – Berani Untuk Gagal (1)

Pengarang : Richard Farson & Ralph Keyes
Judul asli : Whoever Makes The Most Mistakes Win

Penerbit : Bhuana Ilmu Populer (BIP), 2004

Halaman : 168, xv


Aku mendapat buku ini dari salah seorang sobatku: Vien pada hari ultahku. Judulnya sangat menggelitik, karena siapa sih yang ingin gagal? Di jaman dimana kegagalan adalah aib? Sejak SD kita sudah ‘dipaksa’ untuk berhasil atau sukses. Untuk mendapat nilai tertinggi dalam ulangan, untuk mencapai ranking tertinggi di kelas, untuk lulus, dst. Kegagalan berarti kita ditinggalkan, dicemooh, mengecewakan orang tua. Lalu bagaimana bisa ada orang yang mempunyai ide bahwa ‘whoever makes the most mistakes win’ (mereka yang membuat kesalahan terbanyak-lah yang menang), yang merupakan judul asli buku ini dalam terbitan bahasa Inggrisnya? Inilah yang aku serap dari buku ini, dan yang akan mengubah cara pandang anda terhadap keberhasilan maupun kegagalan. Sebuah pelajaran yang tidak pernah anda dapatkan di bangku sekolah!

-----

Apa arti kegagalan? Sejauh apakah sebenarnya jarak antara kegagalan dan keberhasilan? Inilah yang hendak ditanamkan oleh si pengarang dalam benak kita. Kadang-kadang apa yang pada suatu titik kelihatan sebagai keberhasilan terbukti merupakan kegagalan pada titik yang lain. Promosi yang terlalu awal menyebabkan seseorang naik untuk tiba-tiba jatuh karena kurangnya pengalaman. Diberhentikan dari pekerjaan mendorong seseorang memulai sebuah bisnis yang menguntungkan, dan banyak contoh lain. Secara sederhana keberhasilan dan kegagalan tidak mudah dibedakan, atau diceritakan secara terpisah. Kapan kita menang dan kapan kita kalah tergantung pada situasi, waktu, situasi ekonomi, bahkan pergeseran suasana hati masyarakat. Ingatlah bahwa mayoritas orang yang sukses mengalami kegagalan lebih banyak dari kita sebelum akhirnya ia sukses.

Setiap orang mempunyai konsep sendiri tentang keberhasilan, namun biasanya jarang ia sendiri merasa mencapai sukses, padahal di mata orang lain ia termasuk sukses. Contohnya Maria Shriver yang kaya, atraktif, bersuamikan bintang terkenal (Arnold Schwarzenegger) dan keponakan John F. Kennedy. Punya karier yang cemerlang di TV, serta buku-buku bestseller tentang riwayat hidupnya. Namun begitu ia masih merasa gagal ketika acara CBS Morning News yang ia pandu dibatalkan.

Di lain pihak, kegagalan kadang-kadang membuka jalan menuju keberhasilan. Nasib buruk dapat mendorong kita untuk menemukan jalan baru menuju prestasi, yang pada gilirannya akan membawa lebih banyak nasib sial lagi dan prestasi lain lagi dalam siklus yang tidak berakhir.

Simbol keberhasilan pun bisa dengan cepat berubah. Apa yang diartikan sebagai keberhasilan kemarin mungkin berarti kegagalan hari ini, dan sebaliknya. Dulu simbol keberhasilan adalah jas, dasi, jam tangan, pena, kantor yang bagus. Sekarang semuanya berubah. Dalam iklim bisnis saat ini konsep keberhasilan menjadi samar, kompleks dan penuh kontradiksi. Kita harus tahu bahwa kebanyakan situasi mengandung elemen kegagalan maupun keberhasilan. Kegagalan sebenarnya merupakan “langkah menuju keberhasilan”. Dengan berani gagal berarti seseorang berani mengambil resiko yang berani.

Banyak orang menganggap prospek kegairahan lebih memikat daripada rasa aman. Tidak heran banyak profesional muda yang menganggap bungee jumping atau arung jeram adalah kegiatan untuk relaksasi. Tantangan yang besar lebih memikat dari gaji yang besar.

Sakitnya Kemenangan, Bergetarnya Kekalahan

Kita sering menganggap keberhasilan adalah puncak gunung, sedangkan kegagalan adalah lubang galian. Sebenarnya tidaklah demikian. Puncak gunung yang sebenarnya ialah ketika kita begitu terlibat di dalam apa yang sedang kita lakukan sehingga perbedaan itu lenyap. Dalam tiap aktivitas yang benar-benar mengasyikkan, hasil merupakan tujuan sampingan, keterlibatan-lah tujuan utamanya. Bagi pengambil resiko, kemenangan maupun kekalahan merupakan pengalaman yang hidup. Masing-masing menimbulkan kekuatan, perasaan yang penuh semangat. Mereka tidak berpikir bahwa kegagalan adalah lawan dari keberhasilan, sebaliknya mereka percaya bahwa kepuasan-lah tujuan mereka. Keberhasilan serta kegagalan merupakan hasil dari tindakan, kreativitas, gairah, energi, kenekatan, keberanian dan tantangan.

Dalam mengalami sesuatu yang mengasyikkan, pada puncak intensitas, sulit memisahkan antara emosi sedih dan bahagia. Baik kemenangan maupun kekalahan menumbuhkan perasaan yang kuat. Kekalahan bahkan dapat menjadi pengalaman yang lebih luar biasa dibanding kemenangan. Banyak atlet yang merasakan bahwa yang terpenting dalam suatu pertandingan bukan cuma hasil kalah atau menang, dengan berpartisipasi dalam lomba itulah yang membuat mereka mencapai suatu tingkat gairah yang intens.

Para penjudi kawakan sering tidak peduli pada kekalahan atau kemenangan. Tujuan mereka bukanlah uang melainkan tindakan dan kegembiraan. Terlibat dalam suatu aktivitas yang memerlukan 100% perhatiannya. Mereka hanya tidak suka kalah karena itu berarti mereka terlempar keluar dari pertandingan, dan harus berhenti. Demikian juga bagi politikus atau pengusaha. Semangat adalah segalanya. Resiko kegagalan jauh lebih menarik dibanding keberhasilan yang sudah dicapai. Bagi mereka kegagalan yang menggetarkan lebih disukai daripada keberhasilan yang membosankan. Persoalan baru yang membutuhkan solusi lebih membangkitkan mereka daripada persoalan yang telah diselesaikan. Karena kemajuan hanya dapat diperoleh jika kegagalan dijadikan resiko.

Tanpa disadari memori kita lebih banyak mencatat saat-saat kritis daripada saat tenang. Kesengsaraan mengukir memori yang lebih dalam. Sewaktu kita mengenang saat liburan yang lalu misalnya, kita umumnya kurang mengingat momen saat kamera dibidikkan, kita malah lebih mengingat penderitaan (“Kamu masih ingat betapa takutnya kita waktu perahu kita hampir terbalik saat ombak besar itu?”). Manusia memang memberikan respon yang lebih baik kepada kesengsaraan, resiko kehilangan daripada kemenangan. Jika kita terlalu menghindari kegagalan, kita mungkin tidak pernah mendapatkan pengalaman apapun. Contoh lain, mereka yang dapat bertahan dari ancaman kematian, entah kecelakaan, penyakit atau bencana, secara khusus menganggap hal itu merupakan hal terburuk sekaligus terbaik yang pernah menimpa mereka. Terburuk, karena hal itu hampir membunuh mereka. Terbaik, karena hal itu mendorong mereka untuk hidup secara lebih berarti dan dengan prioritas yang lebih baik.

Sebagaimana pada individu, kadang-kadang krisis merupakan satu-satunya penggerak organisasi. Meskipun penuh tekanan, krisis yang traumatis jarang menghancurkan individu yang ada di dalam organisasi. Kita lebih kuat daripada yang kita pikirkan!

Tidak Ada Yang Sukses Seperti Halnya Kegagalan

Adalah wajar bila kita selalu menghindari kegagalan, karena kegagalan selalu menyakitkan. Pengalaman kegagalan memang tak dapat dihilangkan, namun kita dapat me-redefinisikannya sebagai sesuatu yang menguatkan, bukan melemahkan. Semua tergantung cara pandang kita. Hantaman dapat menghancurkan jika kita adalah pot tanah liat yang murah, tetapi dapat mengeraskan apabila kita pot yang terbuat dari baja.

Charles Kettering adalah penemu terbesar kedua dari Amerika setelah Thomas Edison. Ia mengatakan bahwa pada periset yang baik, ia bisa saja gagal 999 kali, namun hanya keberhasilan pada kali yang ke-1000 lah yang berarti. Menurutnya kegagalan bukanlah sesuatu hal yang memalukan, dan kita harus menganalisa setiap kegagalan untuk menemukan sebabnya. Kita harus mempelajari cara gagal secara cerdas. Gagal merupakan salah satu seni terbesar di dunia. Satu kegagalan mengantarkan kita lebih dekat pada keberhasilan. Sedang Henry Ford melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk mulai lagi, dengan lebih cerdas.

Karakteristik pendiri bisnis umumnya menghargai kemungkinan gagal sebagai harga dari sebuah kemajuan.

Bagi inovator sejati, tidak ada yang namanya kesalahan. Setiap kekeliruan dianggap sebagai bagian dari proses, tanda pada peta yang menunjukkan arah yang harus dihindari, yang bahkan lebih penting daripada tanda yang menunjukkan arah yang benar. Kesalahan berasal dari tindakan, begitu pula keberhasilan.

Dalam organisasi, mereka yang bekerja dengan baik di ‘kolam yang terlalu kecil’ mengalami peningkatan visi yang terbatas. Mereka harus melakukan migrasi ke ‘danau besar’ di mana mereka dipaksa membuat lebih banyak kesalahan dan berkembang untuk menghadapi tantangan tersebut. Seperti manusia, perusahaan yang tidak berbuat kesalahan kurang dapat beradaptasi dengan perubahan. Malahan, tidak adanya toleransi terhadap kesalahan merupakan penyebab jatuhnya korporasi yang terlalu matang.

Tidak Ada Kegagalan Seperti Keberhasilan

Orang yang mengalami kaya mendadak tahu apa arti keberhasilan. Bahwa perubahan status yang mendadak mendorong adaptasi yang melelahkan. Mereka akan menemukan bahwa hampir tidak ada teman yang benar-benar senang dengan keberhasilan mereka. Mereka tidak dapat lagi berbincang tentang hal-hal sehari-hari karena situasi mereka dan teman-temannya sudah berbeda jauh. Mereka baru menyadari bahwa mereka tidak bahagia. Memang menyenangkan memiliki apa yang diimpikan setiap orang, tetapi perubahan itu sesungguhnya sulit dan kadang menyakitkan. Pada suatu titik tertentu kita harus menyadari bahwa keberhasilan juga mempunyai sisi suram.

Persahabatan sejati umumnya paling dapat dinikmati oleh mereka yang berada pada posisi sejajar. Semakin tinggi jenjang karier seseorang, semakin sedikit kesetiakawanan yang dapat dinikmatinya. Ini berlawanan dengan konsep kita bahwa orang yang gagal dijauhi sedang orang yang sukses dikelilingi para pengagum. Mengapa demikian? Karena respons terhadap kekalahan biasanya lebih baik daripada terhadap kemenangan. Orang lebih mudah bersimpati pada kesusahan dan kegagalan, dan cenderung merasa rikuh atau cemburu pada keberhasilan. Itulah mengapa orang yang berhasil sering kehilangan teman-teman mereka di masa lalu. Padahal sebenarnya teman-teman yang tertinggal itu merasa kurang percaya diri melihat temannya berhasil.

Seperti semua hal lainnya, keberhasilan ada harganya. Pada umumnya orang yang telah berhasil mencapai puncak: penulis yang memenangkan hadiah Pullittzer, tokoh yang memenangkan Nobel, atau aktor yang mendapatkan Oscar, biasanya prestasinya malah menurun setelah kemenangan itu. Emily Dickinson menggambarkan keberhasilan sebagai berikut: “Keberhasilan dianggap paling manis oleh mereka yang belum pernah berhasil”.

Itu semua berarti bahwa keberhasilan dan kegagalan sama berbahayanya. Kita jangan lagi menggunakan kegagalan sebagai alasan atas ketidakbahagiaan. Namun jika keberhasilan tidak dapat membahagiakan kita, lalu apa yang bisa membahagiakan? Penulis mengemukakan beberapa contoh bahwa keberhasilan pada masa SMA tidak berkorelasi dengan keberhasilan setelah lulus. Banyak siswa yang menjadi pemimpin OSIS atau populer di kalangan teman-temannya justru memiliki profesi yang sama sekali tidak mengesankan setelah dewasa. Sebaliknya, siswa yang sama sekali tak pernah terdengar prestasinya justru akan melejit karirnya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ikuti lanjutan buku ini di seri ke-2....




Sunday, March 8, 2009

Pay It Forward

Di luar kebiasaanku, kali ini aku memposting tentang sebuah film yang sangat inspiratif. Pay It Forward, dibintangi oleh Kevin Spacey, Helent Hunt, dan Haley Joel Osment menunjukkan pada kita bahwa perbuatan baik dapat dilakukan oleh siapa saja, asalkan ada kemauan. Film ini diproduksi tahun 2000, dan di terbitkan di Indonesia tahun 2001.

----

Film ini dipecah menjadi 2 scene, yang nantinya baru diketahui bahwa yang satu terjadi saat itu, sedang satunya lagi adalah flashback. Dalam scene pertama, ada sebuah tindak kejahatan di sebuah rumah di Los Angeles. Polisi berkumpul di depan rumah itu. Lalu datang seorang wartawan dengan mobil bututnya yang ia parkir sembarangan di tepi jalan, lalu seperti biasanya, sibuk merecoki polisi yang sedang bertugas dengan bertanya ini-itu. Saat polisi lengah, si penjahat tiba-tiba melarikan diri naik mobil, dan saking cepatnya sempat menubruk mobil si wartawan. Para polisi segera mengejar penjahat, meninggalkan si wartawan merenungi mobilnya yang penyok. Tiba-tiba datang seorang laki-laki berkacamata yang hendak menolong si wartawan dengan memberinya sebuah mobil Jaguar. Ya! Mobil Jaguar! Jelas si wartawan amat heran, orang gila-kah lelaki itu? Masak memberi orang yang tidak dikenal sebuah mobil mewah tanpa minta imbalan apapun?

Lalu scene berpindah ke Las Vegas, di mana seorang anak lelaki berumur kira-kira 11 tahun masuk sekolah pada hari pertama di semester yang baru. Guru mereka (diperankan Kevin Spacey) adalah seorang pria dengan sebelah wajahnya agak rusak bekas luka bakar, namun tetap terlihat ganteng. Guru itu bernama Pak Simonet, orangnya serius dan jelas berpendidikan jika menilik kata-kata yang dipilihnya dalam percakapan maupun saat mengajar. Ia mengajar ilmu Sosial, dan ia memberi PR seluruh kelas untuk membuat sebuah proyek selama semester itu: Carilah sebuah ide bagaimana kalian dapat mengubah dunia, dan lakukanlah itu. (Gila ya! tugas hari pertama murid se-tingkat SD!).

Ketika si anak lelaki (namanya Trevor) pulang naik sepeda, di tengah jalan ia melihat sebuah perkampungan tunawisma. Ia menyaksikan bagaimana mereka mengais-ngais sampah, tidak punya tempat berteduh, dan kelaparan. Ia lalu mendapatkan ide cemerlang untuk proyek 'mengubah dunia' dari Pak Simonet. Ia mengajak salah seorang tunawisma itu (namanya Jerry) untuk menjadi temannya dan tidur di rumahnya. Mereka makan cereal bersama, dan malamnya Jerry disuruhnya tidur di gudang bawah tanah. Trevor sebenarnya tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya yang seorang pemabuk (diperankan Jon Bon Jovi) meninggalkan mereka begitu saja. Jadi ibunya harus bekerja dobel (sebagai pelayan kasino dan pelayan kelab malam), dan tekanan hidup itu membuat si ibu menjadi pemabuk.

Jelas saja si ibu marah besar ketika tahu Trevor mengajak seorang tunawisma menginap di rumahnya. Ia melabrak Pak Guru Simonet, yang menurut Trevor telah memberi PR, yang menjadi alasan ia berteman dengan si tunawisma. Saat itulah si ibu dan Pak Simonet bertemu, dan rupanya mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Trevor, yang mendambakan kasih seorang ayah akhirnya memasukkan Pak Simonet sebagai calon 'korban' proyek Pay It Forward-nya. Pay It Forward adalah proyek yang ia presentasikan di depan kelas sebagai tindakan kebaikan yang menular. Begini idenya: Jika 1 orang (aku) melakukan kebaikan kepada 3 orang, maka ketiga orang itu harus mencari 3 orang lainnya yang akan ditolong. Begitu seterusnya, sehingga akan ada semacam rantai perbuatan baik dimana orang akan saling menolong. Bukankah itu akan mengubah dunia menjadi lebih baik? Sungguh ide yang brilian yang keluar dari otak (dan hati) seorang anak berusia 11 tahun! Maka Pak Simonet mengangkat proyek itu menjadi proyek bersama seluruh kelas semester itu.

Suatu pagi ibu Trevor mendengar suara di gudang bawah. Ia menemukan Jerry s tunawisma yang kapan hari diusirnya sedang mengutak-atik mobil tuanya. Jerry ternyata bukan hendak mencuri, melainkan malah membantu memperbaiki mobil tua itu. Dan Jerry-pun menceritakan bahwa selain memberinya tempat berteduh yang hangat dan makanan yang layak, Trevor juga memberinya uang. Dari uang itu ia membeli pakaian dan sepatu baru, yang memungkinkan ia melamar dan diterima bekerja menjadi pelayan toko. Ia yang dulunya pecandu narkoba, berkat 'Pay It Forward' kini bisa hidup layak.

Trevor kini beralih pada 'korban' proyeknya yang kedua: Pak Simonet. Ia ingin me-mak-comblangi gurunya dengan ibunya. Maka ia membuat surat palsu seolah-olah dari Ibunya untuk Pak Simonet, dan sebaliknya, seolah-olah Pak Simonet akan datang ke rumah untuk membicarakan tentang dirinya. Maka datanglah sang Pak Guru bertemu ibunya, dan sedang mereka berbincang, Trevor menyiapkan meja untuk dua orang lengkap dengan lilin dan bunga untuk makan malam (perhatian banget ya!).

Ketika kedua proyek itu nampaknya akan berhasil, Trevor tiba-tiba menyadari bahwa menolong orang lain itu tidak mudah. Ketika ia ingin menemui Jerry di apartement murahannya, teman-temannya mengatakan Jerry tidak mau ditemui. Sadarlah Trevor bahwa Jerry sudah kembali kecanduan, dan kecewalah ia. Dicoretnya nama Jerry dari daftarnya. Sekarang Pak Simonet...yang sementara itu sedang merajut kasih dengan ibunya. Hanya saja, tampak ada resistensi dari Pak Simonet untuk semakin intim dengan ibunya. Itu karena masa lalu Pak Simonet yang ternyata lahir dari keluarga broken home seperti Trevor, dan luka bakar yang dideritanya ia dapat dari ayahnya yang tak pernah mencintainya. Tak heran bila ia memilih berada di tempat yang 'aman', tidak ingin dan takut pada perubahan dalam hidupnya. Ini membuat Trevor hampir putus asa, dan akhirnya mencoret Pak Simonet juga dari daftarnya.

'Korban' ketiga Trevor (dan harapan terakhirnya) adalah teman sekelasnya yang bertubuh mungil dan sering jadi korban pengopasan teman-temannya yang lebih besar. Namun, proyek yang inipun gagal karena pada saat ia melihat dengan mata kepala sendiri saat temannya dikeroyok teman-temannya, ia hanya diam termangu, tak dapat berbuat apa-apa. Ia frustrasi.

Sementara itu, di scene satunya, si wartawan berhasil menemui lelaki yang memberinya Jaguar. Lelaki itu pengacara kaya yang memiliki putri menderita asma. Suatu malam si putri kumat asmanya, dan ia membawanya ke UGD. Pada saat si putri tersengal-sengal hampir mati, perawat tidak mau mengurusinya, malah memilih pemuda berkulit hitam berandalan yang lengannya luka tertusuk karena berkelahi. Karena iba melihat kondisi si putri, si pemuda berandal merelakan dirinya tidak ditangani, dan menyuruh perawat mendahulukan si anak asma. Waktu si pengacara hendak berterima kasih karena menolong hidup putrinya, si pemuda berkata bahwa yang ia lakukan adalah 'Pay It Forward'.

Mendengar kisah ini makin penasaran-lah si wartawan. Ia menemui si pemuda (yang kini sedang mendekam di penjara) dan berhasil mengorek ceritanya bahwa 'Pay It Forward' ia dapatkan dari seorang wanita tua tunawisma di Las Vegas yang menolongnya waktu ia dikejar-kejar polisi. Maka berangkatlah si wartawan ke Las Vegas untuk mencari wanita tua itu, karena ia ingin menelusuri asal mula gerakan 'Pay It Forward' itu. Di Las Vegas bertemulah ia dengan si wanita tunawisma itu, wanita pemabuk yang kemudian berkisah tentang putrinya yang datang mengunjunginya di tempat ia tinggal pada suatu malam. Nah...inilah benang merah kedua scene yang sedari tadi tampak berjalan sendiri-sendiri. Ternyata, putri sang wanita tunawisma itu tak lain dan tak bukan adalah ibu Trevor!

Ibu Trevor dibesarkan oleh ibunya yang pemabuk dan tidak pernah mengurusi dirinya. Ia sakit hati dan setelah dewasa tidak berbicara dengan ibunya. Ibunya yang menyesal dan tidak bahagia akhirnya memilih jadi tunawisma. Tetapi malam itu ibu Trevor datang mengunjungi ibunya dan berkata bahwa ia memaafkan Ibunya atas semua yang dilakukan pada saat ia masih kecil. Ia juga berkata bahwa itu adalah bagian dari proyek 'Pay It Forward'. Maka si wartawan akhirnya berhasil menemukan si pelopor gerakan luar biasa itu: Trevor, si anak kecil itu. Pada saat Trevor berulang tahun yang kedua belas, wartawan itu mewawancarainya dan meliputnya untuk acara berita TV. Saat diwawancarai, Trevor mengatakan bahwa proyeknya sendiri gagal. Ada yang karena orang itu tidak mau ditolong, ada yang karena pengecut, tidak mau dan takut untuk berubah. Ternyata mengubah dunia itu tidak mudah! Padahal, tanpa setahu Trevor, sebenarnya Pay It Forward yang ia gagas tidaklah sepenuhnya gagal. Memang butuh waktu bagi orang dewasa untuk berubah, untuk sadar apa yang sesungguhnya amat bernilai bagi hidupnya. Jerry, misalnya, ketika sedang berjalan di kota hendak mencari narkoba, bertemu dengan wanita yang hendak bunuh diri di jembatan. Ia pun menolong wanita itu karena Pay It Forward juga. Pak Simonet pun, (karena disindir sebagai 'pengecut' oleh Trevor, akhirnya mau kembali berhubungan dengan ibu Trevor). Lalu bagaimana dengan proyek ketiga? Apakah Pay It Forward sebenarnya berhasil? Ya, bahkan di Los Angeles telah tercipta sebuah gerakan luar biasa, rantai kebaikan yang menjalar pada banyak orang. Proyek seorang murid berumur 12 tahun yang tidak kenal takut, yang bermimpi ingin mengubah dunia, dan bekerja keras untuk mewujudkannya, ternyata memang telah banyak mengubah orang-orang di sekitarnya, bahkan di kota yang jauh letaknya.

Itulah kekuatan kasih!

Dan film itu telah mengilhami aku untuk membuat 'my own project'. Tunggu ya, pada posting berikutnya akan aku jelaskan....