Monday, April 14, 2014

[Guest Post] Pengakuan Emak Alvina: Antara Baca, Ngeblog, dan Rutinitas

Kali ini blog Fanda’s Book Shelf kedatangan seorang blogger tamu. Ini dalam rangka merayakan ulang tahun BBI (Blogger Buku Indonesia) yang ke 3. Untuk saling mengakrabkan diri dengan sesama anggota, kami saling ‘bertamu’ ke blog anggota yang lain sesuai undian. Kebetulan ‘tamu’ blog ini adalah Alvina, salah seorang anggota BBI yang sudah aku kenal sejak awal bergabung, pemilik blog Mari Ngomongin Buku. Ia ingin berbagi tentang pengalaman membagi waktu antara ngeblog dan menjadi ibu rumah tangga. Sebelumnya, yuk kenalan sedikit dengan Alvina…

Nama saya Alvina Ayuningtyas. Saya lahir di Jakarta pada suatu Sabtu di bulan Agustus. Selain membaca, menonton film adalah salah satu hobi saya. Aktor favorit, Matt Bomer dan Leonardo Di Caprio. Suka cokelat, nggak suka keju. Warna favorit biru, cita-cita mau jadi astronot (silakan ketawa). Sekarang saya tinggal di Solo bersama suami yang nyentrik dan dua anak yang imut.  Selain menjadi ibu rumah tangga, saya juga menulis beberapa buku nonfiksi bersama Tim dan sedang mengerjakan Tugas Akhir kuliah (yang belum rampung rampung). Buat yang mau menghubungi saya, entah untuk bertanya ukuran sepatu atau untuk menawarkan unicorn untuk saya pelihara, bisa menghubungi saya di twitter @alvina13 :)

Dan inilah yang Alvina sampaikan tentang ngeblog dalam hidupnya:

@@@@@@

Ngeblog buat saya adalah pelampiasan positif dari apa yang ada di pikiran. Setidaknya dengan ngeblog saya merasa puas telah berbagi sesuatu dengan dunia luar, meskipun jarang ada yang berkunjung ke blog saya, tapi toh saya sudah bangga. (pede maks) XD

Sayangnya saya tidak selalu punya waktu lebih untuk ngeblog, meski sebenernya ngeblog itu semacam 'wisata pikiran' buat saya yang kudu dilakukan minimal seminggu sekali lah.
Dengan dua anak, saya terbangun di pagi hari lalu mengikuti rutinitas : mengantar anak sekolah, menyiapkan makan, mengurus bayi, membereskan rumah, belum lagi kalau ada kerjaan yang harus dilakukan. Semacam koreksi draft, mbahas soal buat naskah, lalu menjelang siang saya sudah harus menjemput si kakak dari sekolah.

Dua bocah aktif jelas membuat saya memilih menemani mereka berdua bermain, dan menyisihkan beban tugas kerjaan untuk dikerjakan malam hari setelah keduanya pulas. Baru deh setelah malam, saya sempat mengerjakan tugas sesekali nyambi blogwalking atau posting di blog sendiri.
Terus kapan “me time” nya? Membaca buku, contohnya, salah satu “me time” favorit saya, sering saya lakukan sebagai sambilan. Sambil menunggu jemput anak, sambil meninabobokan si bayi, atau sambil makan xD. (Iya saya multitasking banget yah?) Makanya saya selalu punya dua buku untuk dibaca, yang satu buku cetak dan satu lagi e-book. Sepet sih kadang baca e-book, tapi daripada nggak baca apa-apa, jadi mulai beralih ke e-book juga, meski ngga sesering buku cetak untuk intensitasnya. Dulu sempat bermasalah dengan membaca dua buku sekaligus, tapi kelamaan akan terbiasa kok. Ala bisa karena biasa. X)

Sesekali saya juga menemani anak-anak sambil membaca buku, si kakak mengisi majalah kesukaannya dan si adek saya berikan buku kain. Tapi buku cetak jauh lebih menggoda, rupanya, sampai-sampai tiap buku yang saya baca selalu direbut oleh Si Adek. Lucu loh ngliatin anak bayi buka-buka buku yang tebelnya 400-500 halaman, tapi kudu hati-hati juga. Soalnya tangan lincahnya bisa merobek halaman-halaman di buku itu. Ada dua atau tiga buku saya sudah jadi korban ‘rasa penasarannya’. :)

Nah, untuk ngeblog biasanya saya sering terganggu kalau sudah online depan kompi. Yang ada malah Blogwalking atau buka FB atau twitteran atau tumblran atau nyari jurnal buat revisian tugas akhir (iya ini bo’ong banget). Saya menyiasatinya dengan menulis review buku yang telah saya baca, pertama-tama di ponsel dengan aplikasi tertentu, ada “Writer” atau kadang langsung saya tulis di gmail (untungnya di rumah pakai wifi). Setelah apa yang ada di pikiran saya itu tertuliskan, baru saya simpan dan bisa saya kopi ke M.word (iya ke word dulu) dicek hurufnya, ditambahin apa yang kurang, termasuk nambahin quote-quote yang sebelumnya ngga sempat saya tulis lewat ponsel. Setelah itu baru deh dikopi ke blog dan siap diposting.

Ribet yah? hahah.. Iya sih kalo diliat memang ribet, tapi ini membantu banget terutama kalau saya lagi banyak kerjaan atau lagi males ngedeprok di depan komputer. Ponsel sangat membantu saya dalam hal-hal kecil beginian, sampai-sampai selama tiga tahun terakhir ini saya sudah menghabiskan dua batu baterai untuk si ponsel. Mungkin kecapekan juga kalik ya karena sering saya pake aplikasi ini itu  XD

Ngeblog saya lakukan hanya sebentar-sebentar, sesekali saya curi waktu untuk membuka dashboard untuk melihat kolom komentar, tapi seringnya kelupaan untuk jawab komen x/ Ini masih belum kalau si kecil nangis tiba tiba, alhasil kerjaan belum selese, ngeblog pun batal. Hahahha. Tapi dibawa enjoy aja kalau saya sih. Karena kan tujuan baca-ngeblog itu buat senang-senang. Lagian saya juga nggak tiap hari sesibuk itu, jadi masih cukup sering bisa berselancar di dunia maya lewat komputer.

Begitulah, saya ‘mengatur’ waktu saya untuk membaca-ngeblog-dan menjalani hari. Hihi, terima kasih untuk Mbak Fanda yang sudah berkenan menerima saya sebagai tamu di blognya. Terima kasih juga untuk divisi event yang membuat saya punya kesempatan bertamu di rumah blogger buku lain. :D

Saya Alvina, si empunya @alvina13. Paling suka membaca buku bertema fantasi yang juga bermimpi bisa memelihara Naga dan Unicorn, apalagi kalau mereka juga suka baca. XD Saya gabung di BBI pada bulan Juni 2011, Kala itu masih newbie sekalee, dan masih ingat postingan baca bareng pertama saya The Day of The Jackal, (bulan Juli) yang saking semangatnya langsung saya buru di toko buku begitu judul baca barengnya telah ditetapkan. Bergabung di BBI memiliki banyak input positif bagi saya, yang emang dasarnya doyan baca dan nulis. Ritme tulisan saya jadi lebih teratur, hampir setiap saya selesai membaca buku, selalu saya sempatkan menulis resensinya, jadi saya lebih sering melatih kemampuan saya mengungkapkan suatu hal dalam bentuk kata-kata. (Iya sih kadang ngeresensinya juga ngasal jadi. Etapi kan yang penting nulis :p) Dari BBI saya jadi punya banyaaak daftar buku yang ingin dibaca, daftar belanjaan buku yang ingin dibeli, dan daftar timbunan yang menuh-menuhin lemari x_x. Semoga tiga tahun ini membuat anggota BBI makin solid, makin berkontribusi terhadap dunia sastra di Indonesia, dan makin berwarna bahasannya. :)

@@@@@@

Terima kasih untuk Alvina yang mau bertamu di blog ini, semoga makin giat membaca dan ngeblog meski dengan segudang kesibukan ya! Selamat Ulang Tahun juga untuk BBI yang ke 3, semoga makin dewasa usiamu, semakin banyak manfaat yang kami rasakan dengan bergabung denganmu! :)

Guest posts lainnya bisa dilihat di sini:


Friday, April 4, 2014

Never Let Me Go

What is the meaning of life? Why do we live? If someday we are meant to die, then, what are we supposed to live for? These questions were swirling in my head right after I closed the last page of Kazuo Ishiguro’s Never Let Me Go. This novel is a dystopian story about human cloning, where the cloned kids are brought up nicely only to donate their organs for sick people when they have grown up. In this novel Ishiguro is criticizing how, in the era of technology fast advances, human gets bolder in imitating God, by cloning His masterpiece: human beings. But on the other hand, he also brings us to reflect our own humanity, of the true value and meaning of being a human.

This novel is told from the first point of view of Kathy H., one of the cloned kids, when she is 31. All the cloned characters do not have family name, only a character following their first names. Kathy reflects her world and her life as a cloned kid, starting from (and especially about) her happy years in Hailsham, an English boarding school specially designed for the cloning project. Hailsham is the whole world for the cloned kids. They grow up, receive fine education, and socialize with their kinds, all inside Hailsham. Although never been introduced to the outside world, they are brought up as normal as possible like any children on the outside world.

The central figures of this novel are Kathy—a kind and principled girl, Ruth—Kathy’s best friend; a bossy girl, and Tommy—a hot-tempered boy who is often bullied by other students. Kathy is the only one who stands for him while he is bullied, and they become close friends. However, it is Ruth who later on become Tommy’s girlfriend. From the very beginning, they know—or rather have instinct—that they are not normal. Here and there lay mysteries, hinted by the teachers (whom they called ‘guardians’). They are encouraged to create as much and as best art works as possible, and the best ones would be picked by a mysterious woman they called ‘Madame’. Another mystery….

On their 16 years of age, they are ‘graduated’ Hailsham, and move to a closed resident called ‘The Cottages’, where they are introduced to the outside world. They are encouraged to live as normal people, having love and sexual relationship—even though they could not have children, and having a career as nurses—nursing the donors to get through every donation. However they also know that these are only formal preparations before entering life as donors—their main purpose of life (the ‘completion’). Whenever they are ready, they can register themselves as donors, and they would perform ‘donation’ after donation, until the process takes their life eventually. It is in her career as nurse, just before she decides to be a donor, that Kathy reflects her life and tells us the story.

I remember when I was reading Remains of the Day, I was amazed by Ishiguro’s narrative style. It was rather slow-paced, but very thoughtful and deep. And the same aspect comes again in Never Let Me Go. Several of my friends said that in their first attempt, they were stuck at the middle of the book, could not make it to the end. I was worried at fist that this would be slower than Remain s of the Day. However, as I started first chapter, I just knew that I was going to like it. It is even little smoother than Remains, and the moral and humanity theme make it more intense. Now I am grateful, I have swapped one of my books (I forget which one) with this book!

In the end, I came to two reflections: First, that human cloning is totally immoral. Only God can create human, and as creations, we cannot even imagine to be equal with our Creator. Ironically, my second reflection came from thinking about the human-cloning; from the lives of Kathy, Ruth, Tommy, and their kind. Even they are all the same kind (human-cloning), they have different opinion of their lives. My favorite here is Kathy. I think Kathy is the most positive of her friends. Instead of worrying her grim future and—like her friends—registering to be donor as soon as possible to end it; or—like Ruth—trying to hide the fact and pretend to be innocent until it’s time to ‘complete’ her life, Kathy accepts the nature of her fate and enjoys her works as a nurse. In short, she takes what life gives her, and does her best to fill it until it’s time for her to ‘complete’ it.

Then I had my reflection….isn’t Kathy’s life quite similar to us? I mean, besides our different origins, we all know that someday we would also ‘complete’ our life when we die. We do have freewill—unlike the cloned—but basically we are all mortal, and cannot change that. If the cloned—and the guardians—think their life is kind of doomed, poor, useless; that they were brought up only to donate their organs and die, how do WE see our lives? Is life really worth living, if we know for certain that we are going to die? If the cloned had lived only for donating their organs, what are WE living for? Through Kathy, I was reminded of how grateful I am to be God’s child; to be His special creation, and to have been living as myself. If Kathy the cloned can move on and make the best of her life, confound us if we waste ours that are so precious!

Thank you Ishiguro for writing this novel; I am really grateful to have decided to read this book. Please, therefore, accept my four stars for Never Let Me Go.

~~~~~~~~~

I read Indonesian translation from Gramedia Pustaka Utama

This book is counted as: