Monday, September 8, 2014

[Puisi] Ekaristi by Mario F. Lawi

Ini mungkin pertama kalinya aku membaca buku kumpulan puisi. Yang membuatku tertarik adalah temanya; aku kurang suka puisi-puisi tentang cinta yang, yah…begitu-begitu saja. Sebaliknya, puisi-puisi karya Mario F. Lawi ini sangat berbobot [baca: membuatku berpikir keras secara logika maupun secara iman]. Ya, seperti nampak pada judulnya, puisi ini bernuansa biblis [(Sakramen) Ekaristi adalah salah satu sakramen yang ditetapkan oleh Yesus Kristus menurut Alkitab—wikipedia]. Ekaristi juga biasa disebut Perjamuan Kudus. Sebenarnya, tidak semua puisi di sini bernuansa biblis, karena Mario memasukkan juga unsur budaya Sabu, Nusa Tenggara, darimana Mario berasal. Sebagian bahkan terasa sangat hangat dan personal karena mengisahkan kehidupan ayah-ibu Lawi sendiri.

Total ada sekitar 68 puisi, sebagian panjang, sebagian hanya sependek dua sampai empat baris, semuanya dikemas apik ke dalam 90 halaman buku ini. Dari cover depannya pun, buku ini sudah terasa puitis sekaligus bernuansa ekaristi, dengan bintang cemerlang di langit berwarna biru malam. Ternyata bila cover depan bernuansa putih dibuka, barulah kau akan menemukan ‘harta’ yang sebenarnya, yaitu sebuah sibori [piala tempat hosti suci dalam Gereja Katolik] bertatahkan emas dan permata. Seolah-olah ingin mengatakan tidak semua orang dapat menemukan Kristus; hanya mereka yang mau menghampiri bintang itu dan mau dituntun olehnyalah yang lalu akan dibawa kepada harta yang sesungguhnya.

Ada banyak puisi yang menggugah dan indah, aku akan ulas beberapa yang menjadi favoritku. Puisi Nazarenus, 2 (bahasa Latin dari ‘orang Nazaret’?) ini adalah yang paling kusukai…

Nazarenus, 2

Membungkus tubuhnya dengan udara,
Ia pun berjalan ke Nazaret.

Wangi rerempah masih
Membayang di belakangnya.
Luka bermekaran di tubuhnya
Seperti roti yang dipecah-pecahkannya
Beberapa malam sebelum.

Dengan tangan yang koyak, ia usap guratan
Lapang meja kayu yang tak sempat diberi kaki
Karena ia lebih dahulu diburu kesunyian
Dan menyingkir ke Getsemani.

Ia menatap ke dalam bilik,
Melihat Maria yang tersedu
Sambil menutup wajah
Dengan telapak tangannya.

Ia pun menangis,
Sungguh sebagai manusia.


Biasanya, yang tak kusukai dari puisi adalah maknanya yang seringkali abstrak; kau harus berpikir keras untuk memahami apa yang sedang disampaikan penulisnya. Tapi tidak dengan puisi Nazarenus, 2 ini. Puisi ini menimbulkan kesan bak menonton adegan film. Aku langsung menangkap bahwa settingnya adalah beberapa saat setelah Yesus bangkit; dan Ia pun mengunjungi rumahNya di Nazaret. Ada rasa haru menyeruak saat ia mengusap meja buatannya yang belum sempat diselesaikannya, juga saat ia mengintip IbuNya yang sedang menangis sendirian di bilik. Puisi ini sangat menampakkan kemanusiawian Yesus. Kali ini kita diajak melihat peristiwa sengsara dan salib Yesus dari sisi manusiawi; Yesus yang tadinya tengah bekerja membuat sebuah meja, harus meninggalkannya begitu saja (belum sempat diberi kaki); dan ada kesedihan menyeruak di hatiNya (sebagai seorang anak) saat Ia harus menyaksikan IbuNya menangis sedih. Namun, ada juga makna yang lebih dalam. Meja yang ditinggalkan sebelum selesai digarap, seolah melambangkan ketaatan Yesus sepenuhnya pada Bapa, sehingga saat waktunya telah tiba, ia pun meninggalkan segala yang Ia cintai (sebagai manusia), untuk menunaikan tugasNya sebagai Putra Allah.

Puisi “Penunjuk Jalan” juga menjadi favoritku, karena endingnya yang menyisakan perasaan… apa ya? #jleb banget lah. Aku kutip paragraf terakhirnya (terlalu panjang kalau semuanya):

Penunjuk Jalan

(…) Sekelompok orang lalu datang dari Timur
Memintaku menunjukkan jalan yang dilalui bintang.
Kata mereka Tuhan akan lahir esok pagi.
Kutunjukkan mereka jalan setapak,
Yang dulu pernah dilalui angin
Menuntun ibu dan ayah untuk saling menemukan.
“Di ujung jalan itu ada padang,
Sebuah bukit tempat kawanan dombaku bermain
Juga tiga kayu palang yang masih meneteskan darah.”

Masih ada beberapa puisi lagi yang istimewa bagiku: Lembing Dosa, Delapan Catatan Kecil Adventus, Retina, Onytha, 3, dan masih banyak lagi. Ada banyak bagian yang tak kumengerti maksudnya, namun secara keseluruhan kumpulan puisi ini menawarkan keindahan dan keagungan.

Empat bintang untuk Ekaristi dan untuk Mario yang sudah mengajakku untuk berpuisi dan ber-Ekaristi. Jujur, selain Kitab Mazmur, aku belum pernah membaca puisi. Setelah ini mungkin aku akan mencoba lebih banyak mengapresiasi puisi, namun tetap aku memilih topik rohani.


Monday, September 1, 2014

Tinker Tailor Soldier Spy by John le Carré

During the Cold War—when Sovyet was building its influence in the world—‘Control’ was the head of British intelligence called ‘Circus’. He suspected that there was a Sovyet’s mole (enemy’s secret agent who infiltrated intelligence) within the highest level of Circus. He secretly sent an agent to buy information from a defected Czech General, but Sovyet blew the operation, and the agent was shot on the back. The mole did exist!

About ten years later, an eccentric teacher, Jim Prideaux, arrived at a prep school in the suburban London. His body was military-built, and he liked to be alone. A student named Bill Roach maintained a close relationship with Prideaux, who praised him as a very good observer. One mysterious aspect which Bill observed from his new teacher, was that Mr. Prideaux often sent letters to himself and one of the teachers. He also saw Mr. Prideaux was maintaining a weapon which he hid underground his caravan.

Far away from the prep school, George Smiley—once a close assistant to Control, but was suddenly forced into retirement—got a surprise visit from an old friend. Peter Guillam, his ex-colleague in Circus brought him to a secret investigation of their old adversary: the secret mole—code name: Gerald, which must have been within the highest level of Circus. And so Smiley must take a thorough interview and patient investigation from his former friends and colleagues, whom he used to have personal relationship, and perhaps, even, whom he used to admire.

Tinker Tailor Soldier Spy turned out to be a great-genius spy thriller! I love how Carré opened the book with the school teacher Prideaux and Billy Roach; it made me wondering whether the spy things would happen in a small prep school. Billy Roach might not have any relation with the intelligence world, but his existence—and how he saw things through his eyes—built a solid difference between the real world and intelligence world, and it emphasized how smooth the spies work among us that we won’t suspecting anything. It makes you think, are people who are close to us all these times are really what they told us?

*spoiler alert*
One small problem with Tinker is how we must be groping in the dark for at least the first third of the book, before slowly beginning to understand what was happening. It is because Carré ‘played’ with mystery, and only after that lifted the veil little by little. But the final—and probably the second most important mystery—was not revealed until the end of the book. And we are left with big question mark: who murdered Haydon? When I came to think it over, maybe the biggest mystery is not the identity of the mole Gerald, but who has killed him; another enemy for Circus; another mole?

With puzzles on my mind, I tried to do small research on the internet; and found analysis which suggested that the murder was Jim Prideaux, to revenge the betrayal, and maybe, the people he was working with in Czech—whom were all killed. If that was true, then Carré has cleverly ended the book in an ironic-tragic-but genius way. It was ended just like it has been started, with Jim Prideaux and Bill Roach. It seemed so normal, but what about the gloomy atmosphere which Roach observed on his teacher’s face after his return from “his mother’s-funeral-absent”? Did it pointed out to his real feeling after murdering his best and closest friend? Oh, if that was true, then it became more tragic. And really, Bill might think he knew his teacher very well at the end, while actually there were much deeper and darker secrets in him. What do we really know about people’s untold secret? None…perhaps!

Four and a half stars for such a brilliant story!

~~~~~~~~~~

I read Sceptre mass-market paperback edition

This book is counted as: