Thursday, January 28, 2010

Boulevard De Clichy

Remy Sylado, siapa sih yang tak pernah mendengar nama salah seorang sastrawan Indonesia ini? Dan pertama kali aku membaca karyanya, Boulevard De Clichy-lah yang kupilih. Meski buku ini setebal 600 halaman lebih, dan aku sangsi apakah aku tak akan bosan di tengah jalan dan akhirnya tak menamatkannya, toh aku tetap membelinya. Judulnya yang berbau Prancis saja sudah menggelitikku, dan aku tak salah, karena memang sebagian kisah ini yang justru teramat penting, terjadi di kota Paris, tepatnya di sekitar Boulevard De Clichy.



Kalau anda kira tokoh-tokoh kisah ini adalah orang Prancis, anda keliru! Tokoh utamanya adalah seorang wanita Indonesia, bernama Indonesia banget: Anugrahati, dengan panggilan Nunuk. Seorang gadis lugu yang lumayan cantik namun sayang berbibir sumbing. Berayahkan seorang sopir metro mini di Jakarta dan beribukan seorang keturunan campuran Indonesia-Belanda yang hidup pas-pasan. Ayah Nunuk begitu ingin membahagiakan anaknya, sehingga ia rela merampok rumah seorang janda kaya demi membiayai operasi untuk menghilangkan sumbing di bibir Nunuk.



Tokoh utama lainnya adalah Budiman, cowok kaya nan biasa dimanja karena ia adalah anak seorang ketua DPRD di Jakarta bernama Waluyojati, dan seorang ibu keturunan Menado yang masih percaya pada ilmu hitam yang disebut opo-opo.



Kedua insan berbeda latar belakang ini dipertemukan oleh yang namanya cinta saat mereka sekolah di SMA yang sama. Cinta yang akhirnya membuahkan benih Budiman di tubuh Nunuk yang sudah berubah menjadi gadis yang cantik tanpa bibir sumbingnya. Maka sontak berubahlah jalan hidup kedua insan ini dan kedua keluarganya. Di sinilah masa lalu orang tua terbukti sangat mempengaruhi masa depan anak-anaknya.



Ibu Budiman pernah punya masalah dengan ibu Nunuk, sehingga ketika Budiman berniat untuk mengawini Nunuk sebab sang gadis sudah berbadan dua, niat itu ditentang habis-habisan oleh ibunya. Dan karena khawatir anaknya takkan bisa melupakan Nunuk, Waluyojati dan istrinya sepakat untuk menggunakan opo-opo untuk ‘menghapus’ memori Budiman akan Nunuk. Merekapun mengirim Budiman kuliah senirupa di Paris, kota pusat budaya di Eropa. Namun alih-alih belajar senirupa, Budiman malah menghabiskan uang ayahnya, yang mengalir terus menerus hasil korupsi sana-sini, untuk nongkrong bersama para pelukis jalanan di sepanjang Montmartre yang terkenal itu.



Ketika Nunuk sekeluarga mau minta pertanggungjawaban Budiman, Waluyojati mengusir mereka dengan cara yang menyakitkan. Nunuk pun patah hati, dan akhirnya bertekad menggapai cita-citanya menjadi penyanyi kenamaan dunia. Dan ke mana lagi ia akan mendarat, kalau bukan ke…Paris. Namun, alih-alih menjadi penyanyi yang sebenarnya, ia malah terperosok dalam dunia bisnis hiburan yang mempertontonkan ketelanjangan wanita ketimbang seni suara. Ya, Nunuk adalah pekerja seni sekaligus pelacur di area ‘merah’ yang terkenal di Paris: Boulevard de Clichy. Dengan itu, ia mampu menghidupi anaknya, sekaligus anak Budiman, yang dinamai Renata.



Dengan kepergian anak-anak mereka ke Prancis, bukan berarti hidup kedua orang tua Nunuk dan Budiman tenang-tenang saja. Ayah Nunuk harus masuk penjara untuk mempertanggung jawabkan perampokan yang ia lakukan. Sedang ayah Budiman, Waluyojati….nah… ia membuka keruwetan dalam kisah ini yang jauh-jauh lebih dalam dan ruwet lagi.



Adalah seorang pengusaha kaya bernama Bing Wijaya, yang (jadi mengingatkanku pada Anggodo nih) tak tersentuh oleh hukum padahal menjalankan multi-aneka bisnisnya dengan keji. Ia punya banyak bodyguard yang kalau perlu bisa disuruhnya membunuh orang yang ia anggap merintangi jalannya dalam memperoleh banyak uang, hanya dengan sebaris kalimat: “Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.” Dan seperti apa yang kita ketahui terjadi di negeri ini, orang seperti Bing Wijaya tak pernah bisa tertangkap karena adanya ikatan simbiosis mutualistis yang kuat antara pengusaha dan pejabat pemerintah, seperti halnya Bing dan Waluyojati.



Well, untunglah dalam kisah ini ada seorang wartawan koran di ibukota yang kritis dan pantang mundur dalam mengungkap kebobrokan yang terjadi di sekitarnya. Suko Jiwandono-lah yang mula-mula curiga bahwa anggota DPRD telah disuap oleh Bing Wijaya untuk menggolkan rencana sang taipan untuk membangun pusat judi di kepulauan Seribu. Yang mendukung akan mendapat untung, yang mencela akan mendapat celaka.



Tapi…bagaimana semua keruwetan itu bisa bertemu dengan para tokoh muda kita di Paris sana? Yah…di tangan Remy Sylado bisa saja! Kalau anda mau ikut beruwet-ruwet, mau memuaskan rasa penasaran anda apakah Nunuk akan jumpa Budiman di Paris, silakan baca saja bukunya. Tak habis satu posting kalau mau membahas buku setebal lebih 600 halaman itu!



Yang jelas, ada keunikan tersendiri membaca buku ini. Di sana-sini muncul kalimat-kalimat dalam bahasa Prancis yang bikin kerinduanku pada kota ini bertambah. Juga Remy mendeskripsikan beberapa tempat dan jalan di Paris dengan lengkap dan detail. Termasuk juga gereja berbangunan serba putih yang berada di area paling tinggi di sisi Montmartre: gereja Katolik Sacré du Coeur, tempat Nunuk dibimbing oleh tangan Tuhan untuk kembali ke jalan yang benar. Sosok Nunuk ini bisa dibilang unik. Dibilang beragama Katolik tidak, Islam juga tidak, dan agama lainnya juga tidak. Ia hanya merasakan kedekatan saja ketika berada di gereja itu. Ia sebenarnya tak memeluk agama apapun, namun mengalami kedekatan dengan Tuhan.



Bagi yang penasaran akan akhir ceritanya, (awas spoiler!), akhirnya sih happy ending, tapi ada yang sedikit menggangguku. Yaitu karena ending itu agak ‘too good to be true’. Seperti ending dongeng ala Cinderella dimana setelah tokoh antagonisnya ‘ditaklukkan’, maka tokoh protagosnisnya ‘live happily ever after’. Bagiku, ini terlalu dibuat-buat, terlalu sempurna. Bolehlah hidup bahagia dalam satu hal, tapi mungkin lebih baik kalau dibuat sedikit nelangsa di hal lainnya. Bukankah hidup itu selalu begitu? Tak pernah sempurna?



Judul lengkap: Boulevard de Clichy – Agonia Cinta Monyet

Pengarang: Remy Sylado

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Harga: Rp 42.500 (beli di Vixxio), Rp 85.000 (beli di Gramed)







Saturday, January 23, 2010

Dewey

Dewey adalah seekor kucing. Bukan kucing liar yang suka keluyuran di jalanan, bukan juga kucing peliharaan keluarga di sebuah rumah sederhana. Dewey adalah kucing perpustakaan kota kecil yang bikin dunia jatuh hati! Berlebihan? Tidak kalau anda sudah membaca ulasan kisah nyata ini hingga usai…



Pada suatu pagi paling dingin di bulan Januari, di sebuah kota kecil di Iowa yang bernama Spencer, para pegawai perpustakaan kota itu dikejutkan oleh sebuah suara lirih dari arah kotak pengembalian buku. Perpustakaan di sana biasanya menyediakan kotak besar yang bertutup di luar dinding perpustakaan, dan berpintu di dalam dinding itu. Gunanya adalah untuk masyarakat yang hendak mengembalikan buku di luar jam buka perpustakaan. Mereka tinggal memasukkan buku-buku ke dalam kotak itu, dan keesokan paginya pegawai perpustakaan akan mengambilnya.



Namun di pagi yang bersejarah itu, selain tumpukan buku, mereka menemukan seekor anak kucing yang gemetar kedinginan dan kurus kering meringkuk di antara buku-buku. Warna bulunya jingga, usianya baru delapan minggu. Rupanya ada orang yang memasukkan anak kucing itu ke kotak pengembalian semalam!



Yang menemukannya pertama kali adalah Vicky Myron, direktur perpustakaan Spencer. Dan pada detik ketika Vicky menggendongnya, anak kucing itu pun langsung menganggapnya sebagai ibu, yang menyelamatkannya, yang memberinya kehangatan dalam dekapannya, dan yang menyayanginya. Sejak saat itu, Vicky langsung memutuskan bahwa perpustakaan yang dipimpinnya akan memelihara kucing itu. Apalagi setelah melihat semua pustakawan (orang yang bekerja di perpustakaan) mencintai kucing itu, dan dewan kota akhirnya mengijinkan perpustakaan untuk memelihara seekor kucing.



Kucing itu tumbuh sebagai kucing yang ramah pada semua orang, senang dibelai, dan benar-benar menganggap perpustakaan sebagai rumahnya. Kucing itu diberi nama Dewey Readmore Books (Dewey dari penemu system desimal Dewey, Readmore Books… yah… maksudnya mendorong orang untuk membaca lebih banyak buku pastinya). Meski Dewey bukan ikon resmi perpustakaan, namun banyak pengunjung yang mencintainya. Bagaimana mereka bisa tidak mencintainya, kalau Dewey sudah mengembangkan kebiasaan ini:



1. Menyambut ketika Vicky datang ke perpustakaan di pagi hari. Bahkan ketika Vicky mengalami hal terberat dalam hidupnya, Dewey bahkan mengembangkan kebiasaan untuk melambai pada Vicky. Ya! Kucing melambai! Tak bisa aku membayangkannya.



2. Menyambut para karyawan perpustakaan, menghampiri mereka satu persatu, dan kalau ada yang membutuhkan penghiburan, ia akan meringkuk di pangkuan orang itu lebih lama.



3. Duduk di depan pintu masuk untuk menyambut para pengunjung. Berpindah dari pangkuan satu ke pangkuan lainnya. Menyapa mereka, maupun sekedar mencerahkan hari mereka.



4. Nongkrong di atas kereta buku yang didorong di sepanjang lorong perpustakaan untuk mengembalikan buku-buku ke rak masing-masing.



5. Bahkan Dewey hanya mau digendong dengan 1 cara khusus: digendong di pundak kiri (harus pundak kiri, kalau tidak dia akan ngambek!), dengan kepala menyembul dari bahu.



Dan banyak lagi kebiasaan-kebiasaan lainnya.



Dan Dewey bisa dikatakan sudah menjadi bagian dari perpustakaan Spencer. Bahkan tak berlebihan jika ia misalnya dianugerahi dengan jabatan: Direktur Hubungan Masyarakat. Karena, Dewey seekor kucing yang sangat peduli kepada manusia. Ia tahu bagaimana bersikap terhadap macam-macam tipe pengunjung yang datang. Saat ada orang yang sedang memiliki masalah, Dewey dapat merasakannya. Ia akan duduk manis di pangkuan orang itu, membiarkan orang itu membelai bulunya sambil mendengkur, hingga orang itu akan lebih terhibur. Sesudah tugasnya selesai, ia akan mencari pangkuan lain untuk dihibur. Dan kebetulan pada saat Dewey memulai hidupnya di perpustakaan, Amerika dan Iowa khususnya sedang memasuki masa resesi. Banyak orang yang hidupnya porak poranda karena kehilangan pekerjaan atau terjerat utang.



Memang Dewey bukan pahlawan yang tiba-tiba dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang banyak, namun kehadirannya di perpustakaan, dan hal-hal yang sederhana yang dilakukannya bisa membuat orang paling tidak sedikit terhibur. Dan terutama, cintanya yang tulus pada manusia membuat para pengunjung perpustakaan merasa diterima dan dicintai, sehingga bangkitlah harapan dan semangat mereka di tengah masa sulit itu.



Dan ternyata Dewey bukan hanya milik warga kota Spencer saja. Berkat cerita dari mulut ke mulut dan surat kabar lokal yang mempublikasikan Dewey, si kucing perpustakaan ini tiba-tiba jadi beken ke banyak negara bagian Amerika. Bahkan ada keluarga yang rela menempuh 9 jam perjalanan pulang balik hanya demi menghabiskan beberapa saat bersama Dewey, dan mereka pun pulang dengan perasaan bahagia. Tampaknya….seekor kucing pun dapat menumbuhkan kebersamaan dan cinta pada manusia!



Itulah keunikan buku ini. Meski diselingi juga dengan kisah kehidupan Vicky sendiri, yang bagiku agak membosankan, namun secara keseluruhan membayangkan keimutan dan tingkah polah Dewey yang menggemaskan, cukup menghibur juga. Selain itu, ada hal-hal menyentuh yang bisa kupetik sebagai pelajaran.



Yang pertama bahwa untuk melakukan hal yang baik bagi dunia kita tak perlu menjadi pahlawan, seperti yang dikatakan Vicky tentang Dewey: “Dewey terasa istimewa bukan karena dia pernah melakukan sesuatu yang luar biasa, melainkan karena dia sendiri memang istimewa. Dia seperti orang yang kelihatannya biasa saja yang, begitu kau mengenalnya lebih dekat, ternyata menonjol dari kalangannya.” Dalam artian, ketika kita mencintai pekerjaan kita, sekecil dan seremeh apapun itu, mau melakukan lebih dari yang dituntut dari kita, bekerja sepenuh hati dan tak pernah mengeluh, sesungguhnya kita adalah manusia-manusia yang istimewa. Atau bisa dibilang istimewa dalam kesahajaan kita, melalui semua yang kita lakukan bagi orang lain.



Kedua, bahwa seringkali kita hanya menghargai sesuatu yang indah dan menyenangkan bagi kita saja. Ketika Dewey mulai memasuki usia tuanya (18 tahun), ia menjadi makin lemah, bulunya kusam, tubuh makin kurus, tak bergairah lagi untuk menghibur orang, dewan kota hendak ‘menendangnya’ dari perpustakaan. Persis seperti yang banyak dilakukan masyarakat kepada para manula. Ketika mereka sudah tak dapat memberikan sumbangsih, mereka seakan-akan jadi tak berharga dan berguna lagi. Dari buku ini kita diingatkan bahwa justru di masa tua itulah, baik manusia maupun kucing, membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang lebih besar, yang sudah selayaknya mereka dapatkan dari kita mengingat kasih yang telah mereka curahkan bagi kita selama ini.



Dan terakhir, aku disadarkan kembali akan kekuatan cinta. Cukup berikanlah cintamu bagi orang lain dan dirimu sendiri untuk dicintai orang lain, maka pasti dunia di sekitarmu akan menjadi lebih indah. Dan tak menutup kemungkinan, pusaran cinta itu bahkan menjangkau radius yang lebih luas lagi tanpa sepengetahuanmu. Seperti halnya Dewey yang akhirnya tenar dan dikenal bukan hanya di Amerika, namun di Jepang dan negara-negara lain di dunia (bahkan Dewey pernah ditampilkan di stasiun TV kenamaan Jepang NHK loh!). Dan semuanya hanya karena sosok dirinya yang penuh cinta…



Bagaimana? Sudahkah anda jatuh cinta pada kucing jantan yang lucu dan cerdik ini? Baca aja detailnya di buku ini…



Judul : Dewey

Pengarang : Vicky Myron dan Bret Witter

Penerbit : Serambi

Jumlah Halaman : 393

Harga : Rp 49.000,-







Wednesday, January 20, 2010

15 Buku Paling Berkesan

Aku baru saja dapat tag dari Sinta di Facebook. Tapi, karena tag ini berhubungan dengan buku, kayaknya lebih pas kalau aku posting di blog ini saja. Tugasnya gampang banget, buatlah daftar 15 buku yang akan selalu kau ingat (berarti buku-buku yang paling berkesan dong!). Tak perlu susah-susah berpikir. Cukup tuliskan 15 buku yang pertama dapat kau ingat dalam 15 menit. Kalau suka baca buku, mestinya malah tak perlu sampai 15 menit…

Dan inilah ke-15 buku yang paling kuingat itu… Beberapa di antaranya sudah pernah aku posting juga di blog ini (kuberi link), dan juga sering aku sebut-sebut.

To Kill A Mockingbird – Harper Lee
Ini buku paling berkesan bagiku hingga saat ini. Alasannya sudah terlalu sering aku ceritakan…

The Alchemist – Paulo Coelho
Kisah sederhana yang bermakna sangat dalam. Buku ini salah satu yang berhasil membuka relung-relung hatiku kepadaNya.

Catatan Harian Anne Frank – Anne Frank
Aku sudah sering menyebutkan buku ini juga. Aku suka pada sikap Anne yang optimistis dan yang tak pernah padam impiannya meski didera cobaan.

Harry Potter 7 – JK Rowling
Sebenarnya aku suka semua seri ini, tapi no. 7 benar-benar menekankan makna ‘kasih’ yang sesungguhnya.

The Chamber – John Grisham
Buku yang sebenarnya ceritanya membosankan, tapi sisi kemanusiaannya begitu menyentuh.

Tirai – Agatha Christie
Tak ada kisah detektif yang seistimewa ini… Endingnya begitu mengejutkan sekaligus mengharukan (baru kali ini cerita detektif bisa bikin aku menangis!)

The Five People You Meet In Heaven – Mitch Albom
Ceritanya memukau sekaligus membeberkan inti kehidupan yang sesungguhnya.

The Swordless Samurai – Kitami Masao
Banyak pelajaran yang bisa aku dapat dari sosok Hideyoshi, diantaranya mengubah pandanganku tentang karier.

Aku & Marley – John Grogan
Suka banget pada penggambaran penulisnya tentang Marley si anjing Labrador. Aku merasakan cinta dan persahabatan yang hangat di buku ini. Juga karena Marley sosok anjing yang istimewa di balik kesahajaannya.

Winnetou – Karl May
Kisah petualangan yang dipenuhi dengan persahabatan dan kemanusiaan. Mestinya Winnetou harus jadi bacaan wajib siswa SMP atau SMA untuk menanamkan moral dan integritas dalam hidupnya kelak.

Living In Harmony – Fariz RM
Aku ngefans pada Fariz RM, dan di buku ini aku menemukan sosok asli seorang seniman yang berkarakter.

Flowers For Algernon – Daniel Keyes
Buku yang amat unik, dan mengajarkan kepadaku untuk menghargai kekurangan sesame manusia. Buku yang berhasil menumpahkan airmataku meski saat pembacaan yang kesekian kalinya (apa aku yang termasuk cengeng ya??)

Mata Ketiga – Tuesday Lobsang Rampa
Lewat buku ini aku jadi belajar tentang kebudayaan di negeri yang selama ini tak banyak terungkap, yakni Tibet.

Change – Rhenald Kasali
Buku yang membuka cakrawala berpikirku tentang menjadi yang terbaik. Atau lebih tepatnya, apa yang harusnya dilakukan setelah kita berhasil mencapai target kita. Berhenti? Maju? Mundur?

Memoir Of A Geisha – Arthur Golden
Buku yang eksotik, menceritakan liku-liku kehidupan seorang geisha. Asyik saja mendalami kebudayaan Jepang yang kaya dan menakjubkan itu.

Buat Sinta, makasih sudah memberi aku kesempatan untuk mengabadikan buku-buku yang sangat mengesankan aku selama ini.

Sebenarnya aku harus men-tag 15 orang teman untuk mengerjakan tugas ini, tapi kali ini aku ambil 10 orang aja yah… yaitu Anazkia, Fanny, mbak Risma, Henny, Yunna, mas Setiawan, Insanitis, mbak Ajeng, Sari, dan mbak Elly.

Selamat bekerja…




Friday, January 15, 2010

The Swordless Samurai

Mendengar kata "Samurai" langsung menampakkan gambaran sebilah pedang yang amat tajam, dibawa oleh seorang pendekar, diayunkan dengan amat cepat dan mematikan dalam sebuah pertempuran. Lalu, bagaimana kesan anda saat membaca judul buku ini? Samurai Tanpa Pedang? “Tanpa pedang, kan bukan samurai namanya?”, begitu komentar mamaku saat membaca judul buku yang aneh ini.

Namun Toyotomi Hideyoshi telah membuktikan bahwa tanpa tubuh yang kekar, tanpa keahlian bertarung, bahkan tanpa pedang pun, ia dapat menjadi salah satu penguasa tertinggi Jepang dengan menaklukkan banyak musuhnya, memenangkan banyak perang. Beda dengan banyak buku tentang ksatria Jepang dan samurainya, buku ini bukanlah cerita fiksi, dan tidak bermaksud bercerita tentang kejayaan para samurai jaman dulu.

The Swordless Samurai adalah pelajaran tentang kepemimpinan yang sangat menginspirasi. Toyotomi Hideyoshi adalah tokoh panutan yang hidup di jaman kekacauan di Jepang, sekitar abad XVI. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari setiap peristiwa yang dikisahkan kembali oleh Kitami Masao. Dari keberhasilan Hideyoshi hingga kegagalan-kegagalannya.

Toyotomi Hideyoshi lahir dari keluarga miskin dari kasta paling rendah, petani. Tubuhnya pendek, mukanya amat jelek hingga sering dijuluki “si monyet”. Ia tak pernah sekolah, dan kemampuannya bermain pedang sangat amat payah. Mungkin semua orang pada jaman itu akan melihat anak yang tak bermasa depan, dan menatapnya dengan rasa kasihan. Namun Hideyoshi muda pantang menyerah. Ia punya pemikiran yang luar biasa optimis dan visioner yang bercita-cita untuk menjadi seorang samurai meski dengan segala kekurangannya.

Langkahnya dimulai dengan mencari dan memilih pemimpin yang tepat kepada siapa ia akan mengabdi. Kedengarannya aneh bukan? Bukankah saat kita pertama kali mencari pekerjaan, kita biasanya menerima pekerjaan apapun tanpa melihat siapa pemimpinnya? Menurut Hideyoshi, pemimpin yang patut diikuti adalah yang pandai, hebat dan visioner. Selanjutnya, berdedikasilah kepadanya. Lakukan semua tugas dengan baik. Jangan menolak tugas apapun. Bila kau menunjukkan kesungguhanmu dalam melakukan tugas-tugas kecil, maka pemimpinmu akan melihatnya, menghargainya, dan akan memberimu tugas dan jabatan yang lebih besar.

Tugas pertama Hideyoshi di rumah Lord Oda, junjungannya, adalah sebagai pembawa sandal. Pembawa sandal yang baik tentu saja, yang siap setiap saat Lord Oda mau memakai sandalnya, yang memeluk sandalnya ketika hujan sehingga sandal itu tetap hangat meski tubuhnya sendiri kedinginan. Dedikasi!

Ketika Lord Oda membutuhkan seseorang untuk melakukan tugas yang amat berbahaya, dan tak ada seorang pun yang mau mati konyol melakukannya, Hideyoshi mengajukan dirinya dengan berani. Dan ternyata, 'si monyet' yang tak pernah dididik militer itu berhasil, dan mencuri perhatian sang pimpinan. Ada sebuah kisah yang menarik, yang menunjukkan bahwa dalam banyak hal kecerdikan otak jauh lebih bernilai daripada keahlian manapun.

Pada suatu hari, demi menjaga nama baik junjungannya, Hideyoshi terpaksa harus melakoni kompetisi untuk membuktikan bahwa tombak panjang lebih efektif untuk perang daripada tombak pendek. Lawannya adalah seorang ahli tombak. Keduanya harus melatih sekelompok prajurit yang akan saling berhadapan. Bagaimana cara Hideyoshi melatih prajuritnya, kalau ia sendiri tak bisa main tombak, baik yang pendek maupun yang panjang? Ternyata kuncinya hanya 1: kerja sama tim. Kelemahan masing-masing pribadi bila disatukan dalam kekompakan tim akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Sebaliknya prajurit si ahli tombak mati-matian belajar segala macam teori ilmu tombak, hingga akhirnya mereka hanya mengandalkan keahlian pribadi masing-masing dan malah mati kutu menghadapi serangan yang kompak.

Pokoknya, anda akan menemukan strategi-strategi aneh ala Hideyoshi yang cerdik, yang menomorsatukan akal dan diplomasi, dan meletakkan kekerasan pada prioritas terakhir. Alih-alih menyerang musuh yang lebih besar, Hideyoshi lebih memilih untuk diam-diam mendekati orang-orang berbakat yang ada di pihak musuh, dan menawarkan untuk bergabung dengannya. Atau di satu kesempatan ia dengan cerdik pura-pura menjadi saudagar yang hendak membeli beras dengan harga murah, dan membuat musuhnya ramai-ramai menjual persediaan makanan mereka. Padahal, Hideyoshi berencana membuat benteng lawan kebanjiran, persis di saat mereka sudah tak punya bahan makanan. Mau tak mau, lawanpun akan menyerah. Maka menanglah Hideyoshi tanpa menumpahkan darah setetespun!

Yang membuat buku ini makin memikat, adalah di akhir kisah juga diperlihatkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Hideyoshi saat ia makin kaya dan berkuasa. Ternyata, bahkan seorang yang pernah miskin pun bisa lupa diri saat berada di puncak. Ini menunjukkan betapa rapuhnya makhluk yang bernama manusia. Kesombongan dan keserakahan selalu menjadi momok yang menakutkan.

Kalau buku-buku kisah motivasi selalu tampak 'sempurna', sehingga kita justru merasa makin putus asa, apakah kita akan bisa mencapai apa yang dibeberkan buku itu, maka The Swordless Samurai dengan jujur menguraikan kegagalan-kegagalan terburuk Hideyoshi, dan bagaimana seharusnya kita bersikap. Tak ada manusia yang sempurna, kan?

Akhirnya, buku ini bukan melulu untuk pemimpin atau calon pemimpin, namun dapat bermanfaat bagi semua orang. Buat anda yang masih jadi karyawan, buku ini akan mengajarkan bagaimana anda dapat menjadi karyawan yang baik dan dapat meniti jenjang karir lebih tinggi. Bagi anda yang minder dengan kekurangan anda, Hideyoshi menunjukkan bagaimana kelemahan anda bisa berbalik menjadi keunggulan bila anda mau berpikir dan bersikap positif. Benar-benar buku yang mencerahkan sekaligus menghibur! Tak salah kalau berburu buku ini selama berbulan-bulan sebelum menemukannya (tinggal satu pula!) di sebuah rak toko buku. Membeli buku ini bagai mendapatkan permata yang berharga, berharga bagi hidup anda!

Judul : The Swordless Samurai
Pengarang : Kitami Masao
Penerbit : Redline Publishing
Cetakan : I, Februari 2009
Harga : Rp 49.800,-



Tuesday, January 5, 2010

Fariz RM - Living In Harmony

Kalau anda pikir judul di atas adalah judul lagu atau album terbaru Fariz RM, anda salah! Itu adalah BUKU yang ditulis oleh Fariz RM. Ya! Salah satu musisi kenamaan Indonesia itu baru saja menelurkan karya tulisnya. Bukan otobiografi, atau biografi yang ditulis orang lain, melainkan pemikiran, idealisme, opini seorang Fariz RM yang ia tuangkan dalam semacam catatan ringan. Membaca buku yang berisi kumpulan catatan ini serasa membaca blog berisi pemikiran-pemikiran pribadi Fariz. [Gimana kalo kita rame-rame usul biar mas Fariz bikin blog? Trus aku dan Fanny bisa kolaborasi dengannya dan bikin blog F3, hehehe...].

Saat aku masih di bangku SMA, Fariz RM adalah satu-satunya artis idolaku. Poster dia adalah satu-satunya poster artis yang menempel di dinding kamarku. Aku juga mengkoleksi kaset hampir semua albumnya maupun single-single kompilasinya dengan musisi lain. Salah satu penampilannya di TVRI saat itu yang takkan pernah aku lupakan, adalah ketika ia menyanyikan lagu Nada Kasih, berduet dengan Neno Warisman. Saat itu Fariz memakai setelah jas putih, terlihat tampan dan gayanya macho, membawa setangkai mawar, dan dalam keremangan kabut, muncul dengan langkah pasti mendekati sofa (atau piano ya?) di mana Neno Warisman duduk. Yaah.... Fanda ABG langsung deh terpana, merasa bahwa yang duduk di sofa itu dirinya sendiri... Dan setelah itu Fariz mendekati piano dan main piano hingga lagu usai. Aneh ya...ada hal-hal yang tak bisa hilang dari benak kita meski sudah lebih 20 tahun berlalu!

poster yang dulu aku miliki, diambil dari sini

Jadi, tak salah bukan kalau ketika aku sedang jalan-jalan di Gramed, melihat buku Living In Harmony ini, akupun langsung membelinya. Ingin sekali mengetahui bagaimana pemikiran-pemikiran Fariz. Dan ternyata pilihanku tak salah. Fariz ternyata punya bakat terpendam juga, yakni bakat menulis! Tulisannya enak dibaca, mengalir, santai namun berisi dan blak-blakan. Selain berbakat, aku suka Fariz karena ia musisi yang punya visi. Bukan artis yang asal tampil dengan memakai aji mumpung. Mumpung wajah keren dan namanya sedang beken. Bukan artis yang hanya bisa jadi entertainer, tapi ketika sudah diajak ngobrol, omongannya tak berisi, alias tong kosong nyaring bunyinya.

Tak bisa dipungkiri bahwa artis Indonesia yang seperti ini lebih banyak dari yang tidak. Namun, itu tak berlaku buat Fariz RM. Musikalitasnya? Kita semua sudah tahu. 20 album solo, 72 album kolaborasi, dan 18 album soundtrack yang telah ia hasilkan adalah bukti nyata eksistensinya. Belum termasuk sderetan karya yang dirilis hingga ke Asia Pasifik dan Eropa. Tapi di balik itu, ternyata Fariz adalah sosok yang cerdas dan memiliki idealisme yang tinggi terhadap musik dan bangsanya, serta dedikasi untuk mengubah dunia lewat bahasa universal, musik. Satu hal lagi, aku menganggap karya Fariz itu berisi (tidak picisan) tapi disuguhkan dalam lagu yang ringan dan bisa dinikmati. Lagu-lagunya hingga sekarang tak pernah bikin jenuh, lain dengan musik pop yang mendayu-dayu jaman Rinto Harahap dulu.

Selain tentang perjalanan musiknya, di buku ini Fariz juga mengungkapkan idenya tentang industri musik. Misalnya tentang nama. Menurut Fariz nama itu penting, dan sebaiknya sekali nama itu terkenal, jangan pernah menggantinya. Dalam hal ini ia menganggap jalan yang ditempuh grup band Peterpan keliru. Apalagi karena ketidakcocokan yang ada di tubuh Peterpan memang sudah ditengarai dari awal. Ia bilang: (kalau memang tidak cocok) Lha, kok dulu dijadiin juga bandnya?...

Fariz sempat juga mengkritik EO atau para produser sebuah acara konser yang karena sok sudah pernah menangani artis internasional, lalu jadi mengabaikan ide-ide dari sang artis yang punya gawe sendiri. Fariz bilang ia pernah diboikot salah satu EO besar Indonesia gara-gara ia protes konsep pentas yang mereka buat itu jauh melenceng dari karya yang ia ciptakan. ...Yang memboikot nggak pakai akal cerdas. Percumalah memboikot seorang kreator. Karena si pemboikot bukanlah seorang kreator. Siapa yang bodoh? Seperti mau menjual beras tapi nggak mau menabur bibit padi. Jadi, jangan heran kalau negeri kita akan terus jadi negara dunia ketiga, nggak maju-maju... [hal. 62]

Fariz ternyata seorang pengagum Eros Djarot. Menurut Fariz, Eros punya visi positif, yang pernah ia nasihatkan ke Fariz: ...Karena dalam hidup kita selalu berhadapan dengan pilihan antara negatif dan positif, pastikan kita selalu memilih yang positif. Dengan demikian, bisa dipastikan apapun yang kita pilih, kita akan memandangnya sebagai suatu perolehan manfaat daripada merasa rugi! Hidup jadi enteng! [hal. 65]. Kata-kata itu dibuktikan Eros dengan menghasilkan karya-karya lagu yang terangkum dalam album 'Badai Pasti Berlalu', padahal Eros Djarot sama sekali tidak bisa main satu instrumen musik pun secara benar! Kok bisa ya? Itu semua karena ia berkolaborasi dengan teman-temannya para musisi, termasuk Fariz RM, Yockie Suryoprayogo, atau Debby Nasution. Caranya? Eros tinggal menyanyikan melodinya, dan teman-temannya [para pelengkap penderita, kata Fariz!] harus pontang-panting mencari nada yang pas untuk melodinya sesuai kemauan Eros. Jenius kan? Orang yang tak bisa main musik ternyata bisa jadi musisi, dan itu berkat positive thingking!

Di buku ini Fariz juga menceritakan proses pembuatan lagu Sakura (album yang ke-2), yang ternyata dilakoninya sendirian! Fariz seorang diri yang main piano, drum, bass, gitar, iringan orkestrasi dan vokal. Semuanya dilakukan dengan sepasang tangannya. Kok bisa? Padahal saat itu belum ada teknologi digital dan komputer. Kata Fariz, bikin lagu itu ternyata yang terpenting adalah logika. Menarik kan? Aku juga mengagumi karyanya: Barcelona. Kalo didengerin, variasi instrumennya banyak loh, tapi bisa padu dengan rancak dan nikmat. Hmm...

Yang bikin aku trenyuh di buku ini adalah true story ketika Fariz baru saja menjadi selebritis yang beken. Saat itu ia baru berusia 20-an lebih, dan konsernya di Medan ditunda (ditunda, buka dibatalkan!). Tiba-tiba ada seorang ibu menelpon rumahnya sambil menangis karena anak perempuannya yang ABG melakukan aksi bunuh diri dengan memotong nadinya dengan pisau gara-gara gagal ketemu dengan pujaannya, dan saat itu masih koma! Apa yang dilakukan Fariz, sang bintang? Ia langsung terbang ke Medan, dan menuju ke rumah sakit. Ia menunggui si ABG agar keluarganya bisa pulang untuk istirahat, dan...ini yang bikin aku trenyuh... Fariz saat itu berdoa, ia bersyukur kepada Tuhan atas ketenaran yang sudah ia peroleh. Namun, kalau ketenaran itu mengakibatkan kesengsaraan buat orang lain, ia minta Tuhan menarik saja kembali karuniaNya. Ia tak mau kebahagiaannya membawa kesedihan bagi orang lain...

Berapa banyak artis yang sudah tenar yang mau melakukan ini?

Fariz waktu masih muda, ganteng kan?? Diambil dari sini

Masih banyak lagi hal-hal menarik yang diungkapkan Fariz, termasuk soal nasionalisme, orisinalitas, kultur Indonesia yang mulai luntur, pengabdian seorang seniman vs seniman asal tampil, komitmen di dunia hiburan, dll. Tak mungkin menuliskannya satu persatu di sini. Lebih baik anda mencari bukunya saja kalau berminat (yang jelas buku ini 'not for sale' in Vixxio ya!!).

By the way, ulasan ini sengaja aku terbitkan pada hari ini, yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Fariz Roestam Munaf yang ke 51. Selamat Ulang Tahun buat mas Fariz RM. Semoga saja Tuhan menganugerahkan umur panjang dan kesehatan sehingga Fariz tetap boleh berkarya dengan idealismenya dan lagu-lagunya yang indah di telinga. Sementara itu, kalau anda ingin bernostalgia, ayo kita dengarkan suara Fariz yang khas di lagu Nada Kasih ini. Atau anda ingin membaca bukunya saja? Ini dia detailnya....

Judul: Living In Harmony - Catatan Ringan Fariz RM
Penerbit: Kompas Penerbit Buku
Halaman: 299
Harga: Rp 48.000,-