Tuesday, July 26, 2011

Salem Falls

Ketiklah kata “Salem” di mesin pencari di internet, maka anda akan menemukan banyak kata “witch” di hasil pencarian. Kota Salem yang terlatak di Massachusetts, USA tak dapat dipisahkan dari sejarah pengadilan penyihir Salem pada tahun 1692. Dan ternyata praktek sihir atau tenung itu pernah dipraktekkan pada abad modern ini. Mungkin bukan di dunia nyata, namun di benak Jodi Picoult ketika menulis novel ini: Salem Falls. Ada kesamaan antara sejarah pengadilan penyihir Salem dan kisah Salem Falls. Pada keduanya, anda akan menemukan para penenung dan pengadilan. Namun pengadilan di buku ini bukan untuk para penenung, melainkan untuk seorang mantan guru olahraga yang dituduh melakukan pemerkosaan. Lalu di mana unsur penenungnya? Teruskan membaca ya…

Jack St. Bride adalah seorang guru dan pelatih sepak bola sekolah putri yang amat berdedikasi pada pekerjaannya. Namun suatu hari muridnya menuliskan di diary-nya, pengalaman seksual yang seolah dilakukan Jack padanya. Akibatnya Jack dipenjara dan harus mengalami persidangan. Pembelanya menyarankan Jack untuk mengaku bersalah untuk mendapat keringanan hukuman. Setelah menjalani hukuman, Jack berharap ia dapat dengan bebas memulai hidup baru di tempat baru. Salem Falls adalah kota kecil yang ia pilih untuk tempat tinggalnya, lalu bekerja menjadi pencuci piring di kedai milik wanita bernama Addie Peabody. Alangkah kelirunya Jack. Berkat hukum yang mengharuskan mantan napi melapor pada kepolisian setempat, maka akhirnya masa lalu Jack pun (harus) terkuak. Meski mati-matian mengatakan bahwa ia tak bersalah, namun “praduga bersalah” terlanjur menempel di benak semua orang bak double tape yang sulit dilepas tanpa meninggalkan bekas sama sekali.

Di sisi lain, ada 4 orang gadis muda yang diam-diam menjadi pengikut situs penenung di internet: Wicca. Mereka senang melakukan aktivitas menenung, dan punya toko langganan yang menjual bahan-bahan untuk menenung, lilin, rempah dan buku-buku mantra. Mereka adalah Gillian (putri pengusaha farmasi), Meg (putri kepala polisi), Chelsea dan Whitney. Awalnya mereka hanya ingin melakukan sesuatu yang terlarang saja. Tak butuh waktu lama, mereka pun mengenal Jack yang bertubuh tinggi dan tampan saat mereka pergi ke kedai makan. Mereka (terutama Gillian) berusaha mendekati Jack meski Jack berusaha menghindar dengan sopan. Namun usaha Jack tak menyurutkan keputusan Kepala Polisi Charlie untuk memberlakukan “jam malam” bagi para gadis. Mereka dilarang berdekatan dengan Jack.

Lalu suatu malam, Gillian yang tak suka ditolak oleh Jack mengajak ke 3 kawannya untuk mengadakan semacam ritual menenung di dalam hutan. Ketika malam berakhir, Gillian mengaku dirinya telah diperkosa oleh Jack. Maka Jack pun kembali harus melalui mimpi terburuknya: ditahan, dipenjara, diadili, dicap sebagai pemerkosa, dijauhi orang dan dipandang dengan pandangan jijik. Namun yang terburuk mungkin adalah sikap Addie yang meragukan dirinya.

Sidang kasus pemerkosaan ini pun dimulai. Jordan, pengacara yang berkawan dengan Jack menjadi pembelanya. Kasus yang sulit, sebab Jack tak mampu mengingat peristiwa itu. Perlahan tapi pasti Jordan dapat mengumpulkan bukti-bukti yang dapat mematahkan kesaksian Gillian, namun ada 1 bukti fisik yang sangat jelas bahwa Gillian telah berhubungan seksual, meski siapa pasangannya tetap tak dapat dibuktikan.

Para juri akhirnya menjatuhkan keputusan pada kasus Jack, namun teka-teki kebenaran di balik pengakuan Gillian itu belum terungkap sepenuhnya. Kalau memang Jack tidak melakukan pemerkosaan, lalu bagaimana dengan sebuah bukti fisik yang menandakan adanya aktivitas seksual itu? Apakah itu berarti ada orang lain yang telah melakukannya terhadap Gillian? Lalu siapakah dia? Jawaban atas pertanyaan ini akan terkuak secara samar pada paragraf terakhir di halaman terakhir. Kalau anda tak teliti, maka mungkin kebenarannya akan menguap begitu saja. Boleh dibilang, twisted ending itu yang memberikan sedikit greget pada buku ini, sementara di sepanjang kisah, aku tak menemukan sesuatu yang istimewa. Jodi Picoult memang piawai membawa emosi pembacanya terhanyut bersama kisahnya, namun hanya sampai di situ saja bagiku. Jadi, maaf Jodi, aku hanya bisa memberikan 3 bintang untuk buku ini. Mungkin aku memang bukan pembaca drama beralur datar yang baik…

***

“Sistem hukum memang terdengar baik di atas kertas, tapi kenyataannya, selama terdakwa duduk di samping pembelanya, setiap orang yang menghadiri persidangan itu akan menganggapnya bersalah sampai terbukti bahwa dia ternyata tidak bersalah.” ~hlm 451

Betapa sulitnya menjadi terdakwa, terutama kalau engkau tak bersalah. Asas praduga tak bersalah seringkali hanya bunga dalam dunia hukum, karena manusia cenderung melihat kejelekan dan kesalahan sesamanya ketimbang kebaikannya. Semoga hal ini mengingatkan kita untuk tak terlalu mudah memberikan label buruk pada orang lain, apalagi kalau “dosa”nya hanya berupa gosip di media massa saja…

Judul: Salem Falls
Penulis: Jodi Picoult
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2007
Tebal: 584 hlm

Monday, July 18, 2011

The White Tiger

Harimau putih adalah salah satu jenis harimau langka di India, yang kemunculannya hanya sekali pada tiap generasi. Balram Halwai, sebagaimana halnya harimau putih, adalah karakter langka yang muncul sendirian pada generasinya. Seorang anak penarik rickshaw yang menjadi pengusaha transportasi. Seorang pemuda dari wilayah “Kegelapan” yang berjuang membalikkan takdir untuk dapat hidup di wilayah “Terang”. Meski untuk itu ia harus menjadi pembunuh!

The White Tiger adalah potret kesenjangan sosial dan kebusukan politik yang parah di India. Jarak yang memisahkan antara rakyat yang terpuruk dalam jurang kemiskinan (Kegelapan) dan orang kaya yang bergelimang kemewahan (Terang) begitu besarnya sehingga mereka yang berada di Kegelapan mustahil menyeberang ke Terang. Aravind Adiga, penulis buku yang memenangkan Man Booker Price tahun 2007 ini, menyajikan potret itu dalam bentuk sebuah surat panjang yang ditulis Balram, yang telah menjadi entrepreneur, kepada Perdana Menteri Cina Wen Jiabao. Dalam suratnya yang ditulis selama 6 malam itu, Balram seolah curhat pada Jiabao tentang kemunafikan, kesemerawutan dan korupsi yang terjadi di negaranya, sekaligus menjelaskan makna "entrepreneur" menurut Balram, yang membawa dirinya dari Kegelapan pindah ke Terang.

Balram tumbuh dalam keluarga penarik rikshaw di desa Laxmangarh. Desa ini termasuk wilayah miskin yang disebut "Kegelapan". Aravind menjabarkan kehidupan sosial di Laxmangarh ini dengan tajam dan terperinci. Lucunya, seringkali ia menggunakan analogi hewan dalam penggambarannya. Kehidupan rakyat miskin ia sebut sebagai "Kandang Ayam". Empat orang tuan tanah yang berkuasa dan menindas rakyat miskin ia sebut sebagai si Kerbau, si Bangau, si Gagak Hitam dan si Babi Hutan, sedang kakak majikannya ketika ia sudah menjadi sopir ia sebut si Luwak. Dalam usianya yang masih muda, Balram menyadari bahwa ia tak bisa selamanya terpuruk di "kandang ayam" Laxmangarh. Maka ia pun meninggalkan pekerjaan sebagai pelayan di kedai teh (yang digambarkan sebagai "laba-laba"), dan berupaya mencari pekerjaan sebagai sopir di rumah Mr. Ashok.

Ashok adalah pria muda yang pulang ke India setelah belajar di Amerika, membawa seorang istri Amerika yang dijuluki Pinky Madam oleh Balram. Ashok terheran-heran pada korupsi si negaranya. Balram sering mengantarkan majikannya ini berkeliling ke ATM, lalu pergi ke rumah asisten menteri untuk menyerahkan sekoper uang. Dan hal itu berlangsung terus menerus, seolah-olah takkan pernah berakhir, justru permintaan uang itu akan bertambah. Ashok digambarkan sebagai orang yang "lumayan" baik. Tak seperti ayah dan kakakknya, Ashok lebih manusiawi memperlakukan Balram, meski bagaimanapun juga, Balram tetaplah seorang sopir merangkap pelayan di rumah. Sebuah perbedaan kasta yang tak pernah terjembatani.

Pertanyaan yang mungkin hadir di benak kita, mengapa mereka yang berada di dalam "Kandang Ayam" itu tak pernah berontak? Mengapa mereka mau saja diperlakukan tidak manusiawi? Mengapa penindasan itu berlangsung dari tahun ke tahun tanpa ada seorang pun yang berusaha mengubahnya? Jawabnya ada pada keluarga. Karena ketika seseorang bekerja sebagai pelayan pada majikannya yang kejam, lalu ia melarikan diri atau memberontak, maka si majikan akan membalaskan dendamnya pada keluarga si pelayan. Itu hanya salah satu alasan saja, karena menurut Balram, penyebab sebenarnya adalah mental. Karena mereka sudah terkondisikan dengan pemikiran sebagai pelayan, maka tak pernah sekalipun terlintas untuk terpikir untuk keluar dari kondisi itu (thinking out of the box).

Inilah penjelasan Balram dalam suratnya kepada PM Wen Jiabao tentang cara berpikir Kandang Ayam:

“..di India tidak ada diktator. Tidak ada polisi rahasia. Itu karena kami punya kandang ayam.
Sepanjang sejarah manusia, belum pernah ada sekelompok yang sedemikian kecil berutang sedemikian besar kepada sedemikian banyak orang, Mr. Jiabao. Beberapa orang di Negara ini telah melatih 99,9% orang lainnya --yang sama kuatnya, sama berbakatnya serta sama cerdasnya dalam berbagai aspek—untuk terus menerus melayani: semangat melayani yang sedemikian kuat sehingga sekalipun Anda menaruh kunci kebebasan di tangan seseorang, dia pasti akan melemparnya kembali kepada Anda dengan marah.”

Balram yang memiliki keinginan dan keberanian untuk mengubah nasibnya, tak dapat menemukan jalan keluar untuk dapat meninggalkan Kegelapan. Sampai pada suatu saat Balram mengintip isi tas merah yang sering dibawa Mr. Ashok, yang ternyata berisi uang sejumlah tujuh ratus ribu rupee yang sedianya akan diberikan sebagai uang suap pada asisten menteri. Bagi Balram, hanya ada 1 jalan keluar. Ia harus membunuh Mr. Ashok, membawa kabur uang di tas merah itu, dan mencari peluang untuk menjadi entrepreneur.

Aku jadi berpikir. Apakah memang benar hanya ada satu cara untuk keluar dari Kegelapan? Mungkin ya, mungkin tidak. Aku tak akan pernah dapat menjawab karena aku tak tinggal di India untuk mengetahui persis kondisinya. Bagi keluarga Balram, yang akan disiksa dan dibunuh karena Balram merampok dan membunuh majikannya, mungkin Balram adalah pahlawan. Pahlawan yang berhasil mengangkat martabat dirinya sebagai manusia. Namun bagiku membunuh tetaplah salah, apalagi Ashok tak pernah mencelakai Balram. Mungkin saja bagi Balram itulah satu-satunya jalan untuk menjadi kaya dan sukses, tapi tetap saja, bagiku caranya salah.

Bagaimanapun juga Aravind Adiga telah sukses menuliskan kisah ini dengan caranya yang unik. Lugu, sinis, lucu. Tak heran ia mendapatkan Man Booker Price award. Dan karenanya, aku memberikan 3 bintang untuknya.

Judul: The White Tiger
Penulis: Aravind Adiga
Penerbit: Sheila (Penerbit Andi)
Terbit: 2010
Tebal: 352 hlm

Thursday, July 14, 2011

The Heike Story

"Perang akan terus terjadi hingga manusia belajar untuk menghilangkan keserakahan dan kecurigaan dari hati mereka. Selama anak masih meragukan ayah mereka, dan ayah meragukan anak mereka, tak ada yang bisa menghentikan sanak saudara menjadi musuh bebuyutan. Selama majikan, pelayan dan teman-teman tidak saling mempercayai, maka tanpa pertumpahan darah sekalipun, kehidupan di dunia ini akan menjadi neraka."

Itulah yang akan anda temukan hampir di sepanjang buku ini. The Heike Story ini merupakan sebuah epic novel yang ditulis oleh Eiji Yoshikawa dari sudut pandang salah satu klan samurai paling berpengaruh di Jepang pada abad 12, yaitu klan Heike. Pada saat itu, kondisi sosial dan politik khususnya di ibukota Kyoto sedang dalam keadaan carut marut. Secara teori Kaisar memang berkuasa di istananya, namun sebenarnya roda pemerintahan dipegang oleh para bangsawan Fujiwara yang menduduki pos-pos strategis di pemerintahan. Namun kekaisaran ini juga memiliki “bayangan”. Mantan kaisar juga ingin tetap memiliki kekuasaan. Beliau memiliki istana juga yang disebut Istana Kloister. Untuk urusan militer, kedua kaisar mengandalkan pengabdian para samurai untuk melindunginya serta memerangi musuhnya. Musuh itu bisa berarti dari pihak oposisi, tapi kadang kala para biksu juga bisa saja mengangkat senjata untuk memberontak. Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, sesama anggota salah satu klan samurai bisa saja membela 2 pihak yang berlawanan. Contohnya ketika Genji Tameyoshi yang membela Mantan Kaisar harus berhadapan dengan putranya: Yoshitomo yang membela Kaisar, dalam peristiwa Hogen.

Kiyomori: Pemimpin Heike yang sukses

Di masa itu ada 2 klan samurai besar yang saling berkompetisi dan bermusuhan: klan Heike dan klan Genji. Kisah ini dibuka saat pamor Heike sedang kalah cemerlang dari Genji. Pemimpin Heike saat itu adalah Tadamori, seorang pria miskin bertubuh kecil dan pendiam. Namun tokoh yang akhirnya membawa klan Heike ke tempat tertinggi dan mengalahkan Genji, adalah putra Tadamori yang bernama Kiyomori. Kiyomori sebenarnya bukan putra kandung Tadamori. Ibu Kiyomori dulunya merupakan gundik Kaisar, dan setelah Kiyomori, yang merupakan buah cinta mereka, lahir, Kiyomori dan ibunya di”titip”kan pada Tadamori. Kiyomori kecil sering berkeliaran di jalanan Kyoto sebagai bocah miskin yang kurus kering, nyaris tak nampak sebagai putra samurai. Saat beranjak remaja, ia pun mulai bekerja bersama ayahnya melayani junjungan mereka. Dan saat Tadamori meninggal, Kiyomori pun menjadi kepala klan Heike dan resmi terjun ke dalam politik.

Kesempatan pertama bagi Kiyomori untuk menunjukkan kekuatannya adalah ketika terjadi semacam pemberontakan biksu-biksu bersenjata dari Gunung Siei yang hendak menyerang Istana Kloister. Sebagai pengawal Mantan Kaisar, Kiyomori pun maju untuk meredakan pemberontakan itu, juga karena anggota klannya lah yang telah membangkitkan amarah para biksu itu. Kiyimori berhasil melakukannya dengan penuh keberanian serta taktik yang jitu, dan bahkan melahirkan pujian dan rasa hormat dari beberapa biksu Gunung Hiei sendiri. Di kemudian hari, apa yang telah ia tabur dalam insiden pada hari itu, akan mendatangkan hasil yang manis dalam kiprahnya yang lain.

Setelah itu kemashyuran dan kemakmuran klan Heike pun melaju dengan pesat. Kepercayaan dari kekuasaan tertinggi makin besar, penghormatan dari rakyat pun makin banyak, dukungan dari luar pun mengalir. Contohnya dari saudagar kaya yang bernama Bamboku (si Hidung Merah) yang menjadikan Kiyomori patron sekaligus sahabat. Bamboku mungkin satu-satunya orang yang mengenal karakter asli Kiyomori. Bagiku pribadi, justru karakter si tokoh ini yang menarik, ketimbang intrik yang rumit. Dari muda Kiyomori selalu rikuh saat menghadapi wanita. Boleh dibilang kelemahan Kiyomori adalah wanita cantik. Tokiwa adalah kekasih (gundik) samurai Genji Yoshitomo yang tewas dikalahkan Heike. Tokiwa aslinya adalah geisha yang terkenal sangat cantik. Ia memohon pada Kiyomori agar ketiga putra Yoshitomo diampuni (biasanya keturunan pihak yang kalah juga akan dihukum mati). Berkat kecantikan Tokiwa yang rapuh, hati Kiyomori pun meleleh. Ia membebaskan ketiga putra Tokiwa dan mengasingkan mereka di biara. Tokiwa sendiri akhirnya dijadikan gundik oleh Kiyomori. Meski keputusannya tidak membunuh keturunan Yoshitomo ini dipuji banyak orang, namun terbukti bahwa keputusan itu kelak akan membawa malapetaka bagi klan Heike.

Di luar itu, Kiyomori punya kepribadian yang sederhana, blak-blakan dan ceria, membuatnya gampang disukai orang lain. Aku selalu senang membaca dialog antara Kiyomori dan Bamboku, layaknya mendengarkan guyonan dua sahabat yang saling menggoda. Aku juga kagum pada impian dan visi Kiyomori yang ingin membangun kota pelabuhan dekat perbatasan Cina, yang memungkinkan mereka bisa berdagang dengan Cina. Entah bagaimana nasib impiannya ini, karena tak diungkapkan di buku ini (moga-moga terjawab di buku lanjutannya). Paling tidak, Kiyomori tak melulu berpikir seperti seorang samurai yang hanya berperang saja. Kiyomori jauh daripada itu, ia adalah seorang pemimpin yang bervisi. Terbukti selama bertahun-tahun di bawah pengaruh Heike, rakyat mengalami hidup penuh kedamaian. Kiyomori memang tidak sempurna. Ia punya kelemahan, tapi bukankah kiprah seorang pemimpin dilihat dari hasilnya?....

Rajutan cerita ala Eiji Yoshikawa

Yang membuat buku ini menjadi demikian tebal (750 hlm), adalah karena kisahnya jadi melebar ke tokoh-tokoh yang nampaknya di luar tokoh utama kita. Contohnya kisah Morito, teman seangkatan Kiyomori di akademi samurai, yang membunuh wanita yang dicintainya sampai akhirnya menjadi biksu. Atau kisah Asatori, juru kunci Istana Mata Air Dedalu yang akhirnya menjadi tabib. Keduanya seolah tak ada hubungannya dengan tokoh utama, hingga aku awalnya bertanya-tanya mengapa kisah mereka dikisahkan dengan begitu detail? Setelah kurenungkan, mungkin semua tokoh yang diceritakan ini memang memiliki keterkaitan pada kisah utama, dan berperan untuk membentuk kisah utama itu. Apalagi, kisah ini tak berhenti di buku The Heike Story aja, melainkan berlanjut ke buku berikut. Di sanalah mungkin tokoh-tokoh “sampingan” di buku ini akan ambil peranan yang lebih banyak.

Membaca buku ini memang butuh perhatian ekstra. Begitu banyak (sekaligus begitu cepat) intrik-intrik terbangun, kadang ke kanan, kadang ke kiri. Sampai-sampai kita akan bingung saat ini tokoh A sedang membela B atau C? Di sisi lain, penggambaran Eiji yang super detail di buku ini membantu kita untuk merasakan atmosfer kehidupan dan budaya di Jepang saat itu. Seringkali kita merasa diajak melewati mesin waktu dan ikut berjalan bersama Kiyomori muda di pasar atau menikmati segarnya air dari mata air Dedalu yang disodorkan dengan penuh ketulusan oleh Asatori.

Kekuasaan itu sia-sia…

Akhirnya, dengan membaca buku ini kita sampai pada satu kesimpulan: kekuasaan itu pada dasarnya sia-sia. Karena setinggi apapun kekuasaan, pasti akan ada batasnya. Lalu setelah itu: apa? Sementara pihak yang berkuasa terbuai dalam kekuasaannya, pihak yang dikalahkan akan membangun kekuatan untuk mencoba mengambil alih kekuasaan. Begitu terus, siklus itu akan berputar. Dan kalau begitu, perang akan terus ada, pembunuhan akan terus ada, balas dendam akan terus ada. Kekuasaan pada akhirnya sia-sia karena kehidupan ini akan terus berubah, tak ada yang kekal. Tepat seperti bagaimana Eiji Yoshikawa mengawali epic ini dalam versi aslinya:

“Lonceng kuil menggemakan betapa mudahnya segala sesuatu berubah. Warna-warni bunga menegaskan kenyataan bahwa apapun yang berkembang dengan indah akan membusuk di kemudian hari. Kebanggaan hanya sejenak bertahan, bagaikan mimpi di malam musim semi. Dalam waktu singkat, kedigdayaan akan surut, dan segalanya akan menjadi debu yang tertiup angin.”

***

Aku memberikan 4 bintang untuk buku ini. 3 untuk kisahnya, 1 untuk ketekunan Eiji Yoshikawa membangun dan mengembangkan alur cerita.

Judul: The Heike Story – Kisah Epik Jepang Abad Ke-12
Penulis: Eiji Yoshikawa
Penerbit: Zahir Books (Grup Penerbit RedLine)
Terbit: Juli 2010
Tebal: 750 hlm

Wednesday, July 6, 2011

Angels Fall

Mengapa Angels Fall menjadi judul buku ini? Dari awal aku membaca hingga akhir, aku masih tak menemukan titik terang jawabannya. Namun, mari kita telusuri kembali kisah karya Nora Roberts ini, yang pernah memenangi Quill Award untuk Book of The Year 2007. Dan mungkin akhirnya kita bisa menebak, mengapa Angels Fall…

Angel’s Fist (bukan Angels Fall) adalah sebuah kota kecil nan tenang yang terletak di daerah pegunungan Grand Teton di Wyoming, USA. Anda bisa mencari kota itu di peta sampai 100x, tapi anda pasti takkan menemukannya, karena kota itu memang rekaan Nora Roberts belaka. Meski begitu, penggambaran Nora tentang keindahan kota beserta pegunungannya begitu detail dan memikat. Menurutku, itulah daya magnet buku ini yang sanggup mencengkeram minatku membacanya. Itu dan masakan-masakannya. Tak ada hubungannya ya? Tunggu sampai anda memahami kisahnya…

Seorang gadis memasuki kota Angel’s Fist dengan mobilnya. Tanpa rencana, begitu saja. Tertarik dengan pemandangan dan ketenangan kota itu, dan terutama karena mobilnya tiba-tiba menolak meneruskan perjalanan, ia akhirnya singgah di sana. Sebuah rumah makan menarik perhatiannya. Tentu saja, karena dulu ia adalah seorang chef berbakat dengan karir cemerlang. Itu dulu. Karena kenyataannya ia sekarang berkendara tanpa tujuan dan takut untuk tinggal di suatu tempat terlalu lama. Sesuatu sepertinya membuatnya takut…

Reece, nama gadis itu, tiba-tiba saja memiliki pekerjaan baru sebagai tukang masak di Joanie’s. Meski tertutup dan pendiam, ia jadi mengenal penduduk yang, seperti biasa terjadi di kota kecil, senang bergosip. Karena masakannya memang enak, Joanie pun berbaik hati menyewakan apartemen di atas rumah makan untuk Reece. Sementara kisah bergulir, perlahan-lahan Nora Roberts membangun karakter tokoh-tokohnya, sambil menebarkan masakan-masakan nikmat yang membuat pembacanya ngiler! Tak butuh waktu lama, anda akan mudah menebak bahwa yang menjadi tokoh utama adalah Reece dan penulis fiksi bernama Brody. Reece wanita yang rapuh dan paranoid, pernah menjadi saksi kejahatan yang merenggut nyawa 12 temannya, menyisakan dirinya sendiri selamat secara fisik namun sempat mengalami halusinasi dan masuk RS jiwa. Ia berada di Angel’s Fist untuk menata hidupnya kembali. Dan kini ia bahkan menemukan seorang pria yang menarik.

Suatu kali Reece sedang melakukan pendakian di salah satu tebing yang ada di sekitar Angel’s Fist. Ketika sedang meneropong burung-burung, tiba-tiba sebuah adegan memenuhi lensa teropongnya. Adegan perkelahian seorang pria dan wanita yang berbuntut pembunuhan! Si pria membunuh teman wanitanya. Adegan itu berlokasi amat jauh di kerimbunan hutan di seberang lembah. Ditemani Brody, Reece pun melaporkan kejadian itu pada sheriff setempat. Seperti biasa, gossip langsung menyebar dengan cepat. Dari awal nampak bahwa warga, termasuk sheriff tak mempercayai kesaksian Reece karena di lokasi kejadian tak ditemukan jejak sedikitpun. Tak ada juga kasus orang hilang atau lainnya. Pendek kata, di kolam kehidupan Angel’s Fist, tak tampak riak di permukaan air yang tenang yang menandakan ada batu yang dilemparkan ke sana.

Tak lama setelah pembunuhan itu, terjadi hal-hal aneh dalam keseharian Reece. Peta yang tiba-tiba tercorat-coret spidol, penggorengan yang tiba-tiba berpindah ke gudang, cucian yang tiba-tiba berpindah tempat. Hal-hal kecil yang sering kita alami, yang biasa kita sebut pikun. Ditambah kenyataan bahwa Reece pernah mengalami kejadian traumatis yang membuat mentalnya tak stabil, membuat orang-orang berpikir semua itu hanya bayangan atau halusinasi Reece, sama sepert pembunuhan yang ia saksikan.

Untungnya Brody tak terpengaruh. Ia percaya pada Reece, dan mereka mulai berpikir bahwa tampaknya ada seseorang yang ingin membuat Reece menyadari kegilaannya, sekaligus mematahkan kesaksiannya tentang pembunuhan itu. Kalau begitu….pembunuh itu pasti ada di Angel’s Fist. Sang pembunuh yang bisa keluar-masuk apartemen Reece dan mengetahui kesehariannya. Seseorang yang mereka kenal. Lalu siapa? Si dokter, si pemilik toko, si sheriff, si playboy putra bos Reece, si pelayan rumah makan? Reece dan Brody tak memiliki waktu banyak untuk mengungkapkan kebenaran, karena makin lama si pembunuh makin nekat…

Untuk digolongkan sebagai kisah misteri rasanya kisah ini kurang “greget”. Aku sudah dapat menebak pelakunya bahkan pada awal-awal penyelidikan. Cukup dengan memperhatikan sikap atau pembicaraan orang yang tak sesuai kapasitasnya, atau yang sebenarnya tak perlu. Lagipula, seharusnya penulis memberikan kesimpulan di akhir bagaimana si pembunuh menghilangkan jejaknya. Meski kita sendiri sudah bisa menebak, tapi rasanya ada yang kurang. Untuk dibilang thriller, lebih tidak pas lagi karena si pembunuh baru “tampak mengancam” di bagian akhir kisah. Karena Nora Roberts spesialis kisah romantis, mungkin buku ini lebih tepat digolongkan sebagai romance? Hmm..mungkin saja, tapi menurutku kisah percintaan Reece dan Brody juga terlalu lancar dan tak ada konflik sama sekali.

Jadi?

Menurutku, ada tiga kekuatan buku ini. Pertama penggalian karakter Reece yang rapuh dan paranoid. Namun ada juga bagian yang tak perlu, yaitu cerita tentang Joanie dan sejarah hidupnya. Mengapa bagian ini perlu disisipkan? Apakah untuk membangun kecurigaan pada sosok si pembunuh? Jelas tidak, karena pembunuhnya jelas-jelas pria. Kekuatan kedua buku ini adalah keindahan pemandangan yang telah berhasil menggiring imajinasiku ke sebuah kota kecil di dalerah pegunungan. Setelah browsing di internet, aku menemukan sebuah landscape pemandangan di pegunungan Grand Teton:


Kekuatan ketiga buku ini adalah pada masakan-masakannya. Karena Reece adalah chef, di seluruh kisah anda akan menemukan deskripsi tentang makanan dan masakan yang (aku bayangkan) lezat dan menggugah selera. Bahkan kadang diselipkan juga proses memasaknya. Pokoknya, bagi anda yang hobi masak, buku ini lumayan menghibur. Jadi…3 kekuatan = 3 bintang.

Kembali lagi…mengapa Angels Fall? Aku tetap tak mengerti. Kalau “angel” mengarah pada sosok Reece, jelas bahwa alih-alih “fall”, ia justru sukses bangkit dari keterpurukan traumanya, dan siap memulai hidup yang baru. Mungkin saja Angels Fall itu mengacu pada air terjun (waterfall) yang banyak terdapat di pegunungan? Aku menemukan sebuah foto air terjun yang sedang membeku saat musim salju di pegunungan Teton, yang menurut pemilik foto namanya Angels Fall. Amazing ya?


Tapi..tetap saja..tak ada hubungannya kan dengan kisah di buku ini? Lalu mengapa Angels Fall? Yah…terserah interpretasi anda sendiri, dan mungkin hanya Nora Roberts saja yang tahu. Bagiku pribadi, buku ini tetap bisa aku nikmati, meski aku takkan repot-repot memberinya sebuah award apapun, karena masih banyak buku yang jauh lebih baik daripadanya.

Judul: Angels Fall
Penulis: Nora Roberts
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2008
Tebal: 651 hlm