Wednesday, September 16, 2009

Belajar Dari Film A Few Good Men

Sudah lama sekali sebenarnya ketika aku pertama kali nonton film yang dibintangi oleh Tom Cruise, Jack Nicholson dan Demi Moore ini. Namun, begitu selesai nonton, aku sungguh-sungguh terkesan pada keseluruhan film ini. Ya pemainnya (sungguh..Tom Cruise di film ini kueereen banget!), ya dialog-dialognya, ya ceritanya (aku selalu suka cerita yang ada scene pengadilannya), dan terutama nilai hidup yang ada di dalamnya. Maka, setelah lama tidak nonton, beberapa saat lalu aku menemukan versi DVD-nya, jadi langsung kubeli, sehingga aku bisa nonton lagi. Kali ini aku jadi sadar bahwa ada pelajaran yang bisa kupetik dari film ini. Yuk kita bedah bersama...

Cerita dimulai di Guantanamo Bay, Kuba, di sebuah markas korps Angkatan Laut. Ada seorang prajurit bernama Santiago yang fisiknya tak terlalu kuat sehingga sering pingsan saat latihan. Ia mengajukan permohonan untuk dipindah ke korps lain. Melalui suratnya itu, ia menjanjikan akan membeberkan tentang sebuah kasus penembakan yang dilakukan kawannya, sebagai ganti transfer yang ia minta. Surat itu dibaca oleh pimpinan korps, Kolonel Nathan Jessup (diperankan dengan sangat pas oleh Jack Nicholson). Jessup adalah pemimpin yang kejam, congkak dan gila hormat. Kata-katanya selalu diucapkan dengan pelan namun sangat menusuk.

Anak buahnya (Kol. Markinson) minta agar si Santiago ditransfer saja, tapi Jessup tak sependapat. Cara Jessup menghina Markinson gara-gara Markinson mengatakan ide Jessup salah, sangatlah dingin dan tajam.

Lalu pada suatu malam masuklah 2 orang prajurit ke kamar Santiago, membekap mulutnya dengan secarik kain dan mengikat kaki dan tangannya. Tak lama kemudian Santiago muntah darah, dan akhirnya meninggal dunia.

Kasus ini diberikan kepada Daniel Kaffee (Tom Cruise) dan dibantu oleh Joanne Galloway (Demi Moore). Danny (panggilan Daniel Kaffee) adalah sosok pengacara selengekan yang ceroboh (suka lupa bawa bolpen dan lebih senang main baseball ketimbang ikut rapat) namun prestasi hukumnya luar biasa. Sedang Jo (panggilan Joanne) berambisi untuk menangani kasus ini, sehingga kecewa berat ketika tahu bahwa ia dikalahkan oleh pengacara muda yang baru bekerja 1 tahunan. Namun toh, mereka berdua harus bekerja sama.

Terdakwanya adalah Dawson dan Downey, prajurit yang (dituduh) membunuh Santiago. Hal pertama yang mengagetkanku adalah pengakuan Dawson bahwa ia melakukan penyergapan kepada Santiago karena Santiago dianggapnya melanggar ‘code red’, yaitu peraturan tidak tertulis bahwa prajurit yang melanggar kedisiplinan harus dihukum.

Hukuman itu kadang-kadang di luar batas kemanusiaan. Contohnya, prajurit yang melanggar suatu tindak kedisiplinan bisa dikurung di sebuah sel selama 7 hari, dan selama itu tidak diberi makan yang layak, hanya air minum dan sedikit biskuit. Alasan si petinggi karena tindakan ceroboh itu bisa membahayakan seluruh korps, padahal mereka ada untuk menjaga dan melindungi negara. Tidak heran, karena prioritas utama mereka urutannya begini: Units-Corps-God-Country (kesatuan-korps-Tuhan-negara). Ya...aku tidak salah mengetik. Mereka menganggap negara lebih tinggi daripada Tuhan! Gila ya?

Setelah bekerja keras mengumpulkan fakta dan menyusun strategi, akhirnya sidangpun dimulai. Di sidang ini tampak bahwa Danny dkk hanya memiliki kans kecil untuk memenangkan perkara. Itu karena kunci kasus ini terletak pada level tertinggi pada struktur jabatan di korps Angkatan Laut ini, yakni Kol. Jessup. Ia lah yang memerintahkan 'code red' pada anak buahnya, untuk menghabisi Santiago. Saksi kuncinya adalah Kol. Markinson. Ia terbebani secara moral karena ia seharusnya dapat mencegah kematian seorang anak manusia, namun ia tak berbuat apa-apa. Markinson akhirnya bunuh diri.

Kehilangan saksi kunci meluluhkan lantakkan semangat Danny. Ia sempat ingin mundur dari kasus itu, namun semangat dari Joanne dan hati nuraninya membuat ia bertekad untuk berjuang kembali, dengan cara mendudukkan Kol. Jessup di kursi saksi. Hari-hari itu mereka bekerja extra keras, menelusuri setiap jejak dan mengejar setiap fakta yang bisa dijadikan bukti yang kuat. Nyatanya, bukti yang mereka miliki sangat lemah, karena Kol. Jessup telah mengotak-atik bukti-bukti itu.

Jalan keluar satu-satunya adalah…dengan mempermainkan sisi manusiawi Jessup, yakni egonya yang tinggi! Dengan caranya yang cerdik, Danny berhasil memainkan ego Jessup hingga menggiringnya untuk mengatakan dengan lantang kalimat bersejarah itu: Ya, aku yang memerintahkan ‘code red’ itu! Dan dengan demikian, ditangkaplah Kol. Jessup sebagai penjahat!

Kedua terdakwa, Dawson dan Downey dibebaskan dari dakwaan pembunuhan, tetapi tetap harus kehilangan jabatan sebagai prajurit. Sungguh mengesankan jawaban Dawson ketika Downey mempertanyakan mengapa mereka masih harus dihukum, meski sudah terbukti Kol. Jessup-lah penjahatnya? Jawaban Dawson: kita memang bersalah. Kita mengikuti perintah begitu saja. Padahal kita harusnya bisa menolong kawan kita Santiago, tapi kita tak melakukannya…

Catatan Fanda:
Dari menonton film ini yang kedua kalinya, aku mendapatkan banyak pelajaran.

Yang pertama, bahwa kita mesti menempatkan Tuhan di atas segala-galanya, termasuk Negara, orang tua, suami-istri, anak, dan apa saja yang kita miliki. Sangatlah baik untuk mencintai Negara, untuk berjuang demi martabatnya. Namun Tuhanlah yang harus tetap kita junjung paling tinggi. Dan dalam ajaranNya, kita juga harus mengasihi sesama kita. Membunuh manusia yang tak bersalah dengan dalih melindungi Negara, sama saja dengan merendahkan Tuhan!

Yang kedua, bahwa salah satu kelemahan manusia yang paling menyedihkan adalah congkak. Gila hormat dan merasa diri selalu benar adalah tanda-tanda kecongkakan. Dan ternyata kecongkakan itu tak hanya ‘membunuh’ diri sendiri namun bisa ‘membunuh’ karakter maupun hidup orang lain juga. Itulah bahayanya kekuasaan tak terbatas (absolute power) bila diberikan pada manusia. Ia akan merasa dirinya Tuhan, atau bahkan melebihi Tuhan! Dan salah satu kunci untuk menjatuhkan orang seperti ini adalah: serang otoritasnya…pancing kemarahannya…

Yang ketiga, berkaitan dengan nomor dua, kehormatan itu bukan didapat dari lencana mengkilap yang disematkan pada seragam yang gagah. Kehormatan itu tak dapat ditemukan pada senjata yang mematikan. Sebaliknya, kehormatan itu terletak pada sikap seorang manusia yang memegang teguh prinsip dan nilai-nilai kebenaran dalam Tuhan. Terngiang di telingaku kata-kata Danny Kaffee setelah jawaban Dawson yang terakhir: “You don't need to wear a patch on your arm to have honor” (Kau tak perlu memakai tanda di lenganmu untuk mendapatkan kehormatan).