Wednesday, February 24, 2010

Ada Giveaway Buku!

Ciri-ciri seorang *kutubuku* sejati:

  1. Selalu ada buku di tasnya.
  2. Begitu ada waktu lowong dan tak bisa melakukan sesuatu (antre di praktek dokter, menunggu jadwal pesawat/KA berangkat, di jalan dan tidak sedang menyetir), selalu dimanfaatkan dengan membaca buku.
  3. Tidak bisa menghindari toko buku, dan ketika traveling ke kota manapun, selalu mencari toko buku.
  4. Keluar dari toko buku atau book fair selalu menenteng belanjaan (buku tentunya).
  5. Selalu bersemangat saat ada kesempatan mendapatkan buku meski ‘reading list’ masih menumpuk.

Dan sekarang aku terkena sindrom yang ke-5 itu! Padahal ada 1 buku yang belum sempat terbaca dari acara hunting buku akhir bulan lalu, lalu beberapa hari lalu baru saja menerima 2 buah buku kado dari seorang teman. Sekarang malahan berharap-harap dapat buku gratis lagi. Eh…gratis ?!??

Hari ini aku baru berkenalan dengan Dela, another bookworm! Ia saat ini mengadakan giveaway yang berupa buku, tepatnya ada 2 buku yaitu Forever Princess (Meg Cabot), dan Man and Wife (Tony Parson). Buat yang masih asing dengan istilah ‘giveaway’, di blogosphere sebenarnya ada banyak blogger yang suka memberikan giveaway, yaitu sebuah atau beberapa barang secara gratis bagi para pembaca blognya (selama ini kan kita sudah terbiasa memberi award). Namun barang-barang ini terbatas, jadi pembaca yang berminat akan memposting tentang giveaway ini di blognya, dengan link back ke pemberi giveaway. Nanti setelah periode tertentu, si pemberi akan memilih blogger yang berhak memenangkan giveaway itu.

Berhubung Dela pecinta buku, dan blognya juga tentang buku, pastilah buku yang di-giveaway. Kalau teman-teman berminat mendapat buku gratis, silakan baca peraturannya dan join di sini. Dan inilah buku-buku yang di giveaway…



Aku sih pilih Man & Wife, karena buku itu bukan roman kacangan, tapi jauh lebih fokus ke kehidupan dalam arti sesungguhnya (bukan hanya cinta-cintaan saja). Beberapa saat lalu aku pernah melihatnya di Gramed, tapi karena waktu itu aku sedang menggenggam 3 buku lainnya, Man & Wife terpaksa kembali ke rak tempatnya didisplay, dan urung pindah ke lemari bukuku. Begitulah kebiasaan jelekku, sering naksir buku, tapi karena terbentur budget jadi harus tertunda, dan ketika budget sudah ada, malah lupa buku-buku mana saja yang sedianya mau aku borong!

Sekalian dalam kesempatan ini aku ikut menyebar luaskan pengumuman bahwa KBO (Klub Buku Online) ala blogger telah kembali dimulai, setelah 5 bulan sempat vakum. Lihat peraturan untuk bergabung di sini. Yang jelas, kali ini buku yang dibaca adalah To Kill A Mocking Bird. Waktu penyelenggaraannya bulan Maret 2010 (tanggalnya menyusul). Jadi, kita semua punya waktu sekitar sebulan untuk merampungkan buku ini. Kalau teman-teman kesulitan mencari bukunya, bisa download e-booknya disini.

Seperti biasa, kita akan mendiskusikan buku bersama-sama dalam forum chatting via Yahoo Messenger (seandainya semua orang sudah punya akun Twitter, mungkin lebih mudah membuat forum disana yah…). Buat yang ingin tahu suasana dan bagaimana diskusi buku di KBO berlangsung, bisa mengintip KBO yang pertama tahun lalu.

Saturday, February 20, 2010

Buku Yang Mempengaruhi Hidupku

Sebelum seluruh dunia terjangkit 'demam' Piala Dunia, dunia blogosphere udah duluan terjangkit demam, yaitu demam 'tag buku'. Sudah 2 kali aku dapat tag yang tugasnya berkaitan dengan buku. Kali ini aku dapat dari Hendriawanz another tag tentang buku. Hendri bilang, kita harus menyebutkan buku-buku yang "harus" dan sampai sekarang kudu dipegang juga. Masih bingung dengan maksudnya, aku pergi ke blog Berita untuk negri buat cari bocoran. Di sana aku menemukan bahwa kita diharuskan membagi / share buku-buku apa saja yang pernah dan sampai saat ini masih jadi referensi kita. Nah..udah rada jelas deh. Berarti kita kudu ngumpulin buku-buku yang selama ini mempengaruhi hidup kita dan jadi referensi kita hingga sekarang. OK...inilah buku-bukunya (Ssttt... perasaan bukunya sama aja dengan tag-tag sebelumnya deh!)...

#1
Agatha Christie - Beliau ini adalah pengarang favoritku semenjak SMP (pertama kali aku mengenal karyanya, kalo ga salah yang judulnya 'Setelah Pemakaman'). Meski genrenya adalah cerita detektif, tapi karya Agatha juga mengandung unsur psikologis. Dengan membaca karya-karyanya, aku, yang saat itu sedang tumbuh ke arah dewasa, belajar banyak tentang watak dan karakter manusia, dan bagaimana karakter itu mempengaruhi banyak hal dalam hidup. Aku belajar juga tentang kebaikan vs kejahatan. Apa-apa saja yang membuat manusia yang asalnya baik, dididik dengan baik, dan sehari-harinya memang baik pada semua orang, bisa melakukan sebuah kejahatan terhadap orang yang dicintainya.

Hampir semua buku Agatha Christie pernah aku baca terutama yang tokohnya Hercule Poirot, namun hanya beberapa yang masih terus aku simpan, diantaranya: Tirai, Pembunuhan Atas Roger Ackroyd, dan Sepuluh Anak Negro. Tirai karena ceritanya yang tak biasa (luar biasa menurutku) karena selain endingnya tak terduga, disitu aku belajar juga tentang moral. Pembunuhan Atas Roger Ackroyd menunjukkan dengan gamblang karakter dan cara pandang si penjahat, yang notabene adalah orang baik, namun karena watak yang lemah dan keserakahan akhirnya bisa terperosok ke dunia yang jahat (waktu baca ini baru aku sadar bahwa ada orang yang memang dari sononya berwatak lemah!). Sedang Sepuluh Anak Negro aku suka karena cara deduksinya yang hebat. Bayangkan, kisah pembunuhan tanpa detektif, dan semua tokohnya mati...dan yang jelas...novel paling serem yang pernah kubaca!

#2
Kisah Petualangan Tintin - Meski buku-buku yang lama sudah tak kusimpan (saking lamanya sampai warnanya kecoklatan dan bau apek), tapi banyak ilmu yang telah kuserap selama aku memiliki dan membacanya. Banyak wawasan yang ada di setiap komik Tintin (aku punya semuanya yang edisi asli Herge loh..). Yang jelas, meski tak pernah ke luar negeri, dari sejak SD aku tahu bahwa Tibet itu letaknya di puncak Himalaya, dan di sana ada makhluk yang disebut Yeti (pengen ketawa sendiri kalo ingat Kapten Haddock waktu ketemu Yeti..), aku juga tahu bahwa di gurun pasir sering ada fenomena yang namanya fatamorgana, dan pohon yang bisa tumbuh di sana hanyalah pohon kurma, juga bahwa di bulan tak ada gravitasi. Dan buaanyaak lagi deh pengetahuan umum yang kudapat dari sana. Rasanya komik Tintin adalah buku yang paling sering kubaca ulang.

#3
To Kill A Mockingbird - Aku sudah sering membaca tentang buku ini sejak lama, yang di Amerika menjadi buku wajib baca oleh para siswa sekolah. Tapi, karena aku tak pernah menemukannya edisi terjemahannya di Indonesia (malas ah kalo baca versi Inggrisnya), jadi lama-lama aku lupa. Akhirnya aku menemukan juga edisi terjemahannya, dan memang...kalau buku ini dibaca sejak kecil bisa menjadi landasan cara pandang kita mengenai perbedaan, mengenai bahwa manusia itu diciptakan sama olehNya, dan tak ada manusia lain yang lebih atau kurang baik daripada kita, baik itu dari ras, sosial ekonomi, dst. Buku ini bisa membantu seorang anak untuk bersikap dalam menghadapi perbedaan yang ada.

#4
Catatan Harian Anne Frank - Awalnya papaku sering bercerita tentang Anne Frank, yang adalah gadis yang periang dan penuh optimistis meski dalam keadaan serba sulit. Meski masih muda, harapannya tentang hidup yang lebih baik tak pernah goyah. Aku penasaran waktu itu, dan ingin sekali aku bisa mengenal dan bisa menjadi seperti dirinya: membawa keceriaan pada sekitarku, dan selalu optimis, tak pernah putus asa, dan penuh harapan. Akhirnya aku dapat juga buku edisi terjemahannya beberapa tahun lalu.

#5
Change (Rhenald Kasali) - Buku yang membuka pikiranku pada paradigma baru dalam menjalani hidup, yaitu perubahan. Tak bisa tidak, kita harus mau berubah kalau kita tak mau grafik kehidupan kita terus menurun dan akhirnya tenggelam. Dan setiap perubahan selalu meminta pengorbanan. Setiap kali berubah, pasti ada penurunan sedikit dalam grafik itu, namun grafik itu akan naik lebih tinggi dari grafik kita yang lama. Begitulah kira-kira inti konsep Change-nya Rhenald Kasali ini.

#6
The Long Tail - Buku mengenai bisnis yang memperlihatkan kondisi di mana kita hidup di jaman ini, yaitu di era digital dan informasi. Di jaman ini konsumen tidak lagi didikte oleh produsen, dan orang makin merasa perlu untuk memilih produk yang sesuai keinginannya. Orang lebih percaya pada pengalaman sesama mereka ketimbang pada produsen yang sering membohongi konsumen. Konsep inilah yang akhirnya menjadi dasar pijakanku untuk menseriusi bisnis online.

Rasanya itu buku-buku yang paling menginspirasi dan mempengaruhi hidupku. Kalo buku yang 'harus' sih banyak banget, hehehe... Dan sesuai peraturannya, aku harus meneruskan tag ini ke 10 orang berikutnya. Kali ini yang kebagian adalah...


Silakan dikerjakan kalau berkenan, kalo gak....ya...ga pa pa sih...

Thursday, February 18, 2010

Sadarlah

Terus terang aku agak kecewa setelah membaca buku terbaru karya Mitch Albom ini. Aku sudah pernah membaca The Five People You Meet In Heaven yang sangat bagus, lalu Tuesday With Morrie yang, meski agak lamban alurnya, tetap enak diikuti. Sebenarnya banyak juga pelajaran yang bisa kita dapat dari buku ini, antara lain mengenai iman (karena judul aslinya memang “Have A Little Faith), dan perjalanan seseorang dalam menemukan Tuhan. Tapi yang agak mengganggu mungkin karena penitik-beratan buku ini adalah pada sosok karakter ‘Reb’ Albert Lewis, seorang rabi Yahudi yang memimpin sebuah sinagoga, dan merupakan pemuka agama Mitch ketika ia kecil dulu.

Terus terang, hampir seluruh kisahnya berputar di kehidupan sang Rabi, selain juga pemikiran-pemikirannya. Padahal selain Reb, ada juga tokoh pendeta bernama Henry yang menurutku lebih menarik dari segi background hidup dan fokus karyanya pada kaum gelandangan. Aku pribadi tak menghiraukan latar belakang ajaran agama masing-masing karena jelas-jelas memang berbeda (sekaligus berbeda dengan ajaran agamaku). Tapi menurutku karakter dan perjuangan Henry dalam pertobatannya jauh lebih menarik untuk dijadikan plot utama.

Tapi bagaimana lagi, kisah ini memang kisah nyata, jadi tak mungkin bisa diubah. Begini ceritanya…suatu kali Mitch didekati oleh Reb yang memintanya untuk menuliskan eulogi saat kelak sang rabi meninggal. Tentu saja Mitch kalang kabut, dan ia minta disediakan waktu seminggu sekali untuk datang ke rumah Reb dan mewawancarainya (persis seperti sesi-sesi dia bersama Morrie), sehingga Mitch mendapat gambaran pribadi Reb sebagai manusia, bukan hanya pemuka agama.

Hal yang direncanakan hanya untuk beberapa minggu itu ternyata berlangsung hingga bertahun-tahun. Di antara semuanya, mereka berdua banyak berdebat maupun berdiskusi tentang Tuhan. Yang paling menarik adalah pertanyaan Mitch tentang bagaimana Reb yakin bahwa Tuhan itu ada (pertanyaan banyak orang yang telah makin kritis berpikir di jaman modern dan kemajuan teknologi). Yang tak kalah menariknya adalah cerita Reb mengenai bagaimana ia memandang perbedaan dalam hal ajaran agama dan iman, dan bahwa yang terpenting baginya adalah mengasihi sesama manusia, tanpa memandang perbedaan.

Di saat yang sama, Mitch juga tanpa sengaja berkenalan dengan sosok Henry Covington. Berlawanan dengan sinagoga Reb yang bangunannya bagus dan besar, punya piano sendiri, ada gedung pertemuan maupun kantor-kantor, gereja Henry terletak di daerah kumuh, gedungnya hampir ambruk, dan jemaatnya adalah para gelandangan yang tak punya tempat berteduh. Perbedaan lain adalah latar belakang kedua pemuka agamanya.

Reb lahir dari keluarga rabi, dan semenjak kecil sudah diajar tentang agama. Sedang Henry berasal dari keluarga broken home, dan ia sudah biasa menjadi pencuri sejak kecil, pemakai sekaligus pengedar narkoba ketika besar. Reb telah berjalan di arah yang benar sejak awal, sedang Henry berkali-kali ingin bertobat namun berkali-kali pula jatuh lagi ke lembah yang lebih kelam dari sebelumnya.

Hingga akhirnya… di suatu malam yang pekat, Henry jatuh ke dalam sebuah situasi yang boleh dikatakan berada di antara hidup dan mati. Saat itulah Henry menengadahkan kepala kepadaNya, kali itu dengan sungguh-sungguh. Dan tampaknya Tuhan mendengarnya dan memberikan kemurahan hati. Akhirnya Henry menjadi pendeta yang banyak menolong para gelandangan sekaligus mereka yang terjerat dalam lembah hitam seperti dirinya dulu. Ia menghimpun para donator dan memberi banyak orang makanan dan tempat berteduh. Tetapi lebih dari itu, Henry memberikan kasih sayang dan perhatian kepada mereka yang terabaikan dan termarjinalkan di masyarakat.

Justru di sanalah aku merasakan keagungan Tuhan, dan tanganNya yang senantiasa bekerja dan tak pernah berhenti menolong umatNya. Hal yang sama pasti juga dirasakan Mitch, karena kalau tidak, mana mungkin ia mau bergaul dengan Henry dan jemaat gereja Kristennya? Bukankah Kristen dan Yahudi selalu ‘bermusuhan’?

Namun dari buku ini, kita bisa belajar bahwa agama hanyalah sarana atau media bagi manusia untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupan nyata, cara manusia untuk beribadah kepadaNya. Yang paling penting bukan ritual atau ajaran atau doktrin, namun justru isi dan inti dari semua ajaran itu, yaitu cinta kasih. Bukankah pada akhirnya inti semua agama adalah sama? Bahwa ada sebuah kekuatan yang jauh melebihi manusia, yang menciptakan alam semesta, dan yang menguasainya, yang kita sebut Tuhan, Allah, Sang Hyang Widhi, dll itu? Dan bahwa Ia yang kita sembah itu adalah sumber cinta kasih? Dan yang Ia inginkan dari kita manusia adalah mengasihiNya dan sesama kita?

Begitu indah rasanya ketika cinta kasih bahkan mampu melampaui perbedaan. Yakni ketika seorang rabi Yahudi bisa bergandengan tangan dengan romo Katolik. Atau saat Mitch yang Yahudi mau bersusah payah menggali dukungan bagi gereja Henry yang miskin, dengan mengulasnya di media di mana Mitch bekerja.

Lebih indah lagi melihat iman yang sungguh terasa di kalangan orang-orang sederhana (dan bisa dibilang adalah pendosa). Saat gereja Henry di suatu musim dingin tak mendapatkan aliran gas dari pemerintah (gara-gara kesalahan sepele), dan membuat pemanas udara mati, semua jemaat tetap dengan tekun dan setia berkumpul dan berdoa serta bernyanyi memuliakan Tuhan. Padahal udara sangat dingin, dan mereka hanya memiliki pakaian yang menempel di tubuhnya. Semua itu tak mengurangi semangat mereka untuk tetap beribadah, semata-mata karena ada cinta yang mengalir terus menerus di sana…cinta Henry sang pendeta, dan yang lebih besar lagi, cinta Tuhan. Baik Henry maupun Tuhan dengan tangan tangan terbuka menerima mereka semua, karena mereka semua tetaplah manusia…meski berdosa…

Note:
Jujur saja awalnya aku sendiri agak malas membaca buku ini, yah…karena faktor perbedaan ajaran itu. Tapi, kupikir kita tak seharusnya menutup diri. Mungkin kita justru perlu mencoba memahami pemikiran orang lain (termasuk agama atau ajaran di luar yang kita imani), karena hanya dengan begitulah kita tak akan mudah diadu-domba oleh pihak-pihak yang tak suka kedamaian dan lebih suka menyulut peperangan. Toh dengan memahami agama lain, bukan berarti kita harus pindah keyakinan kan? Maka, akhirnya aku menuntaskan membaca kisah ini, dan ternyata…begitu banyak pelajaran yang bisa aku dapatkan darinya!

Dengan berpikir positif dan terbuka, kita justru akan mendapat banyak wawasan,
sebaliknya,
Eksklusifitas dan kecurigaan berlebihan akan makin mengkerdilkan kita…

Judul asli: Have A Little Faith
Penulis : Mitch Albom
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 265
Harga : (lupa…kalo ga salah sekitar 40ribuan..)

Tuesday, February 9, 2010

Larasati

Sebuah karya dari Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan kisah roman bernuansa revolusi dari sudut pandang seorang aktris kenamaan bernama Larasati. Bersetting di Jakarta, sekitar tahun 1942 hingga 1945, yaitu saat peralihan dari penjajahan Jepang, lalu kembali ke Belanda, hingga akhirnya kemerdekaan ditegakkan di bumi pertiwi ini.



Larasati adalah aktris terkenal Indonesia pada jaman itu. Namun, meski ia pekerja seni dan seorang wanita, bukan berarti Larasati tak peduli pada perjuangan anak bangsa ini untuk meraih kemerdekaannya dari Belanda. Justru karena itulah ia pergi dari pedalaman Yogya yang (waktu itu masih) aman, melepaskan diri dari lindungan dan persahabatan Kapten Oding, seorang opsir yang selama itu membantunya dan bahkan membuatkan surat agar ia dapat aman tiba di Jakarta. Menuju ke kampung halamannya dan ibunya yang sudah renta.



Perjalanan yang ia tempuh itu bukannya tanpa resiko, namun Larasati telah memantapkan diri untuk turut berjuang demi kemenangan revolusi dengan caranya sendiri. Dari semenjak ia hendak menaiki kereta, hingga akhirnya tiba di Cikampek, dan bahkan hingga akhirnya ia dengan susah payah dapat bertemu dengan ibunya, ia mengalami petualangan-petualangan menyerempet bahaya.



Larasati sempat dicurigai sebagai antek Belanda. Ya, tak heran karena begitu banyak tawaran dari opsir-opsir Belanda, maupun para inlander yang memihak Belanda agar Larasati mau main film demi propaganda Belanda. Namun, tak sedikitpun Larasati tertarik. Biarpun kehidupan rakyat Indonesia saat itu ada di garis kemiskinan, seperti yang terjadi pada ibunya, namun Larasati tak pernah sedetikpun berpikir untuk pindah haluan.



Meski di kemudian hari Larasati, yang sebagai seorang wanita yang tak berdaya dan harus ‘berjuang’ sendirian, harus masuk ke dalam perangkap seorang pria pembela penjajah, hati dan pikiran Larasati selalu tertuju bagi kemenangan Revolusi, dan apa yang dapat ia lakukan dengan kemampuan seorang wanita yang lemah, untuk mewujudkan dan mendukung revolusi.



Sebenarnya aku pribadi bukan penggemar sastra berat macam Pramoedya ini, tapi membaca Larasati lumayan asyik juga ternyata. Karena backgroundnya tak bakal kita temui di novel terjemahan, perjuangan anak bangsa melawan penjajahan tanah airnya! Siapa bilang perang itu gak feminine? Baca aja Larasati…



Judul: Larasati

Pengarang: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara

Halaman: 178

Harga: Rp 35.000,-