Terus terang aku agak kecewa setelah membaca buku terbaru karya Mitch Albom ini. Aku sudah pernah membaca The Five People You Meet In Heaven yang sangat bagus, lalu Tuesday With Morrie yang, meski agak lamban alurnya, tetap enak diikuti. Sebenarnya banyak juga pelajaran yang bisa kita dapat dari buku ini, antara lain mengenai iman (karena judul aslinya memang “Have A Little Faith), dan perjalanan seseorang dalam menemukan Tuhan. Tapi yang agak mengganggu mungkin karena penitik-beratan buku ini adalah pada sosok karakter ‘Reb’ Albert Lewis, seorang rabi Yahudi yang memimpin sebuah sinagoga, dan merupakan pemuka agama Mitch ketika ia kecil dulu.
Terus terang, hampir seluruh kisahnya berputar di kehidupan sang Rabi, selain juga pemikiran-pemikirannya. Padahal selain Reb, ada juga tokoh pendeta bernama Henry yang menurutku lebih menarik dari segi background hidup dan fokus karyanya pada kaum gelandangan. Aku pribadi tak menghiraukan latar belakang ajaran agama masing-masing karena jelas-jelas memang berbeda (sekaligus berbeda dengan ajaran agamaku). Tapi menurutku karakter dan perjuangan Henry dalam pertobatannya jauh lebih menarik untuk dijadikan plot utama.
Tapi bagaimana lagi, kisah ini memang kisah nyata, jadi tak mungkin bisa diubah. Begini ceritanya…suatu kali Mitch didekati oleh Reb yang memintanya untuk menuliskan eulogi saat kelak sang rabi meninggal. Tentu saja Mitch kalang kabut, dan ia minta disediakan waktu seminggu sekali untuk datang ke rumah Reb dan mewawancarainya (persis seperti sesi-sesi dia bersama Morrie), sehingga Mitch mendapat gambaran pribadi Reb sebagai manusia, bukan hanya pemuka agama.
Hal yang direncanakan hanya untuk beberapa minggu itu ternyata berlangsung hingga bertahun-tahun. Di antara semuanya, mereka berdua banyak berdebat maupun berdiskusi tentang Tuhan. Yang paling menarik adalah pertanyaan Mitch tentang bagaimana Reb yakin bahwa Tuhan itu ada (pertanyaan banyak orang yang telah makin kritis berpikir di jaman modern dan kemajuan teknologi). Yang tak kalah menariknya adalah cerita Reb mengenai bagaimana ia memandang perbedaan dalam hal ajaran agama dan iman, dan bahwa yang terpenting baginya adalah mengasihi sesama manusia, tanpa memandang perbedaan.
Di saat yang sama, Mitch juga tanpa sengaja berkenalan dengan sosok Henry Covington. Berlawanan dengan sinagoga Reb yang bangunannya bagus dan besar, punya piano sendiri, ada gedung pertemuan maupun kantor-kantor, gereja Henry terletak di daerah kumuh, gedungnya hampir ambruk, dan jemaatnya adalah para gelandangan yang tak punya tempat berteduh. Perbedaan lain adalah latar belakang kedua pemuka agamanya.
Reb lahir dari keluarga rabi, dan semenjak kecil sudah diajar tentang agama. Sedang Henry berasal dari keluarga broken home, dan ia sudah biasa menjadi pencuri sejak kecil, pemakai sekaligus pengedar narkoba ketika besar. Reb telah berjalan di arah yang benar sejak awal, sedang Henry berkali-kali ingin bertobat namun berkali-kali pula jatuh lagi ke lembah yang lebih kelam dari sebelumnya.
Hingga akhirnya… di suatu malam yang pekat, Henry jatuh ke dalam sebuah situasi yang boleh dikatakan berada di antara hidup dan mati. Saat itulah Henry menengadahkan kepala kepadaNya, kali itu dengan sungguh-sungguh. Dan tampaknya Tuhan mendengarnya dan memberikan kemurahan hati. Akhirnya Henry menjadi pendeta yang banyak menolong para gelandangan sekaligus mereka yang terjerat dalam lembah hitam seperti dirinya dulu. Ia menghimpun para donator dan memberi banyak orang makanan dan tempat berteduh. Tetapi lebih dari itu, Henry memberikan kasih sayang dan perhatian kepada mereka yang terabaikan dan termarjinalkan di masyarakat.
Justru di sanalah aku merasakan keagungan Tuhan, dan tanganNya yang senantiasa bekerja dan tak pernah berhenti menolong umatNya. Hal yang sama pasti juga dirasakan Mitch, karena kalau tidak, mana mungkin ia mau bergaul dengan Henry dan jemaat gereja Kristennya? Bukankah Kristen dan Yahudi selalu ‘bermusuhan’?
Namun dari buku ini, kita bisa belajar bahwa agama hanyalah sarana atau media bagi manusia untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupan nyata, cara manusia untuk beribadah kepadaNya. Yang paling penting bukan ritual atau ajaran atau doktrin, namun justru isi dan inti dari semua ajaran itu, yaitu cinta kasih. Bukankah pada akhirnya inti semua agama adalah sama? Bahwa ada sebuah kekuatan yang jauh melebihi manusia, yang menciptakan alam semesta, dan yang menguasainya, yang kita sebut Tuhan, Allah, Sang Hyang Widhi, dll itu? Dan bahwa Ia yang kita sembah itu adalah sumber cinta kasih? Dan yang Ia inginkan dari kita manusia adalah mengasihiNya dan sesama kita?
Begitu indah rasanya ketika cinta kasih bahkan mampu melampaui perbedaan. Yakni ketika seorang rabi Yahudi bisa bergandengan tangan dengan romo Katolik. Atau saat Mitch yang Yahudi mau bersusah payah menggali dukungan bagi gereja Henry yang miskin, dengan mengulasnya di media di mana Mitch bekerja.
Lebih indah lagi melihat iman yang sungguh terasa di kalangan orang-orang sederhana (dan bisa dibilang adalah pendosa). Saat gereja Henry di suatu musim dingin tak mendapatkan aliran gas dari pemerintah (gara-gara kesalahan sepele), dan membuat pemanas udara mati, semua jemaat tetap dengan tekun dan setia berkumpul dan berdoa serta bernyanyi memuliakan Tuhan. Padahal udara sangat dingin, dan mereka hanya memiliki pakaian yang menempel di tubuhnya. Semua itu tak mengurangi semangat mereka untuk tetap beribadah, semata-mata karena ada cinta yang mengalir terus menerus di sana…cinta Henry sang pendeta, dan yang lebih besar lagi, cinta Tuhan. Baik Henry maupun Tuhan dengan tangan tangan terbuka menerima mereka semua, karena mereka semua tetaplah manusia…meski berdosa…
Note:
Jujur saja awalnya aku sendiri agak malas membaca buku ini, yah…karena faktor perbedaan ajaran itu. Tapi, kupikir kita tak seharusnya menutup diri. Mungkin kita justru perlu mencoba memahami pemikiran orang lain (termasuk agama atau ajaran di luar yang kita imani), karena hanya dengan begitulah kita tak akan mudah diadu-domba oleh pihak-pihak yang tak suka kedamaian dan lebih suka menyulut peperangan. Toh dengan memahami agama lain, bukan berarti kita harus pindah keyakinan kan? Maka, akhirnya aku menuntaskan membaca kisah ini, dan ternyata…begitu banyak pelajaran yang bisa aku dapatkan darinya!
Judul asli: Have A Little Faith
Penulis : Mitch Albom
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 265
Harga : (lupa…kalo ga salah sekitar 40ribuan..)
Terus terang, hampir seluruh kisahnya berputar di kehidupan sang Rabi, selain juga pemikiran-pemikirannya. Padahal selain Reb, ada juga tokoh pendeta bernama Henry yang menurutku lebih menarik dari segi background hidup dan fokus karyanya pada kaum gelandangan. Aku pribadi tak menghiraukan latar belakang ajaran agama masing-masing karena jelas-jelas memang berbeda (sekaligus berbeda dengan ajaran agamaku). Tapi menurutku karakter dan perjuangan Henry dalam pertobatannya jauh lebih menarik untuk dijadikan plot utama.
Tapi bagaimana lagi, kisah ini memang kisah nyata, jadi tak mungkin bisa diubah. Begini ceritanya…suatu kali Mitch didekati oleh Reb yang memintanya untuk menuliskan eulogi saat kelak sang rabi meninggal. Tentu saja Mitch kalang kabut, dan ia minta disediakan waktu seminggu sekali untuk datang ke rumah Reb dan mewawancarainya (persis seperti sesi-sesi dia bersama Morrie), sehingga Mitch mendapat gambaran pribadi Reb sebagai manusia, bukan hanya pemuka agama.
Hal yang direncanakan hanya untuk beberapa minggu itu ternyata berlangsung hingga bertahun-tahun. Di antara semuanya, mereka berdua banyak berdebat maupun berdiskusi tentang Tuhan. Yang paling menarik adalah pertanyaan Mitch tentang bagaimana Reb yakin bahwa Tuhan itu ada (pertanyaan banyak orang yang telah makin kritis berpikir di jaman modern dan kemajuan teknologi). Yang tak kalah menariknya adalah cerita Reb mengenai bagaimana ia memandang perbedaan dalam hal ajaran agama dan iman, dan bahwa yang terpenting baginya adalah mengasihi sesama manusia, tanpa memandang perbedaan.
Di saat yang sama, Mitch juga tanpa sengaja berkenalan dengan sosok Henry Covington. Berlawanan dengan sinagoga Reb yang bangunannya bagus dan besar, punya piano sendiri, ada gedung pertemuan maupun kantor-kantor, gereja Henry terletak di daerah kumuh, gedungnya hampir ambruk, dan jemaatnya adalah para gelandangan yang tak punya tempat berteduh. Perbedaan lain adalah latar belakang kedua pemuka agamanya.
Reb lahir dari keluarga rabi, dan semenjak kecil sudah diajar tentang agama. Sedang Henry berasal dari keluarga broken home, dan ia sudah biasa menjadi pencuri sejak kecil, pemakai sekaligus pengedar narkoba ketika besar. Reb telah berjalan di arah yang benar sejak awal, sedang Henry berkali-kali ingin bertobat namun berkali-kali pula jatuh lagi ke lembah yang lebih kelam dari sebelumnya.
Hingga akhirnya… di suatu malam yang pekat, Henry jatuh ke dalam sebuah situasi yang boleh dikatakan berada di antara hidup dan mati. Saat itulah Henry menengadahkan kepala kepadaNya, kali itu dengan sungguh-sungguh. Dan tampaknya Tuhan mendengarnya dan memberikan kemurahan hati. Akhirnya Henry menjadi pendeta yang banyak menolong para gelandangan sekaligus mereka yang terjerat dalam lembah hitam seperti dirinya dulu. Ia menghimpun para donator dan memberi banyak orang makanan dan tempat berteduh. Tetapi lebih dari itu, Henry memberikan kasih sayang dan perhatian kepada mereka yang terabaikan dan termarjinalkan di masyarakat.
Justru di sanalah aku merasakan keagungan Tuhan, dan tanganNya yang senantiasa bekerja dan tak pernah berhenti menolong umatNya. Hal yang sama pasti juga dirasakan Mitch, karena kalau tidak, mana mungkin ia mau bergaul dengan Henry dan jemaat gereja Kristennya? Bukankah Kristen dan Yahudi selalu ‘bermusuhan’?
Namun dari buku ini, kita bisa belajar bahwa agama hanyalah sarana atau media bagi manusia untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupan nyata, cara manusia untuk beribadah kepadaNya. Yang paling penting bukan ritual atau ajaran atau doktrin, namun justru isi dan inti dari semua ajaran itu, yaitu cinta kasih. Bukankah pada akhirnya inti semua agama adalah sama? Bahwa ada sebuah kekuatan yang jauh melebihi manusia, yang menciptakan alam semesta, dan yang menguasainya, yang kita sebut Tuhan, Allah, Sang Hyang Widhi, dll itu? Dan bahwa Ia yang kita sembah itu adalah sumber cinta kasih? Dan yang Ia inginkan dari kita manusia adalah mengasihiNya dan sesama kita?
Begitu indah rasanya ketika cinta kasih bahkan mampu melampaui perbedaan. Yakni ketika seorang rabi Yahudi bisa bergandengan tangan dengan romo Katolik. Atau saat Mitch yang Yahudi mau bersusah payah menggali dukungan bagi gereja Henry yang miskin, dengan mengulasnya di media di mana Mitch bekerja.
Lebih indah lagi melihat iman yang sungguh terasa di kalangan orang-orang sederhana (dan bisa dibilang adalah pendosa). Saat gereja Henry di suatu musim dingin tak mendapatkan aliran gas dari pemerintah (gara-gara kesalahan sepele), dan membuat pemanas udara mati, semua jemaat tetap dengan tekun dan setia berkumpul dan berdoa serta bernyanyi memuliakan Tuhan. Padahal udara sangat dingin, dan mereka hanya memiliki pakaian yang menempel di tubuhnya. Semua itu tak mengurangi semangat mereka untuk tetap beribadah, semata-mata karena ada cinta yang mengalir terus menerus di sana…cinta Henry sang pendeta, dan yang lebih besar lagi, cinta Tuhan. Baik Henry maupun Tuhan dengan tangan tangan terbuka menerima mereka semua, karena mereka semua tetaplah manusia…meski berdosa…
Note:
Jujur saja awalnya aku sendiri agak malas membaca buku ini, yah…karena faktor perbedaan ajaran itu. Tapi, kupikir kita tak seharusnya menutup diri. Mungkin kita justru perlu mencoba memahami pemikiran orang lain (termasuk agama atau ajaran di luar yang kita imani), karena hanya dengan begitulah kita tak akan mudah diadu-domba oleh pihak-pihak yang tak suka kedamaian dan lebih suka menyulut peperangan. Toh dengan memahami agama lain, bukan berarti kita harus pindah keyakinan kan? Maka, akhirnya aku menuntaskan membaca kisah ini, dan ternyata…begitu banyak pelajaran yang bisa aku dapatkan darinya!
Dengan berpikir positif dan terbuka, kita justru akan mendapat banyak wawasan,
sebaliknya,
Eksklusifitas dan kecurigaan berlebihan akan makin mengkerdilkan kita…
sebaliknya,
Eksklusifitas dan kecurigaan berlebihan akan makin mengkerdilkan kita…
Judul asli: Have A Little Faith
Penulis : Mitch Albom
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 265
Harga : (lupa…kalo ga salah sekitar 40ribuan..)
setuju.
ReplyDeletewalau beda kepercayaan kita harus tetap saling memahami demi damainya hidup...
wow..!
ReplyDeletesangat bagus nih.. :)
Review yang bagus
ReplyDeleteYa, keindahan iman, bisa kita dapat sentuhan kisahnya darimana saja. Jadi sedikit tau isi buku ini berkat mbak fanda. Good review sobat.
ReplyDeletejadi pengen beli..
ReplyDeleteHalo mbak fanda......aq dah pasang link blog yang berii tutorial frontpage itu mnak...tak pasang di http://macdreamweaver.blogspot.com/
ReplyDeletentar di link back yah mbak....
waduh mbak...aq gak nemu url nya...aq pasang blog yang ini aja yah....thanks bgt
ReplyDeletewah mbak, aku sih kalo bukunya udah jelek suka males baca *jahat mode on*
ReplyDeletesalut deh mbak masih mau baca sampe abis XD
sama aku nasib tuh buku udah jadi pajangan aja
suka dengan kalimat penutup nya mba ^^
ReplyDeletebenar,dengan berpikir terbuka kita akan memahami orang lain meski beda keyakinan.
Disini selalu mendapatkan resensi buku2 yang bermakna, mbak fanda sungguh 2 kutu buku yang sejati.
ReplyDelete@Clara: aku bukan bilang buku ini jelek kok. Hanya 'ga pas' dgn keinginanku. Aku terusin baca, karena nilai2 yg bisa aku pelajari dalam hidup yg ingin kurengkuh.
ReplyDeletekalo baca dari review Mbak Fanda, tampaknya memang profil Henry lebih menarik untuk ditelusuri...ada kemungkinan bakalan ada sekuel tentang Henry gak?
ReplyDelete@Sinta: Memang, karakter Henry jauh lebih 'menggigit' sebenarnya. wah tentang sekuel, perlu ditanyakan ama Mitch Albom, tp berhubung no. HPnya ga terdaftar di phonebook-ku, jd aku ga bisa SMS deh. hehehe...
ReplyDeleteAku baru mau baca karya2nya Mitch Albom gara2 dapat rekomendasi dari Denny, katanya, "kau harus baca, sar.." hehehe
ReplyDeletemencoba memahami pemikiran orang lain adalah langkah yang bijak mbak. Karena pada dasarnya memahami pemikiran orang lain adalah belajar untuk lebih memahami diri sendiri...
ReplyDeleteReview yang mantap.
arttikel yang bagus
ReplyDeletenice artickel
ReplyDeletePerbedaan memang indah Mbak..
ReplyDeleteselama kita menghormati dan memahami setiap perbedaan, maka bumi ini akan damai, Fan ...
ReplyDeleteyang penting cuma baca kan mbak.. ngga masuk ke hati :)
ReplyDeleteBagus sekali kata-kata yang terakhir sist...
ReplyDeletesetuju banget dengan dua kalimat terakhir mbak karena sejatinya... agama hanya sebagai baju... yang penting adalah hati dan apa yang dilakukan untuk membalas cintaNya... dan perbedaan diciptakan agar kita bisa saling melengkapi sehingga dunia ini makin indah dan penuh kebahagiaan... salam kasih...
ReplyDeleteSetuju Mbak... walau bda kepercayaan, kita harus tetap menjaga toleransi
ReplyDelete"Dengan berpikir positif dan terbuka, kita justru akan mendapat banyak wawasan,
ReplyDeletesebaliknya,
Eksklusifitas dan kecurigaan berlebihan akan makin mengkerdilkan kita…"
Ini aku suka.
Tapi memang tidak mudah untuk bisa bersikap seperti itu.
emang beda yah mbak kalo baca 1 buku full sama baca postingan mbak fanda, ternyata lebih enak baca postingan mbak fanda coz nggak perlu capek2 baca banyak :)
ReplyDelete