Monday, May 21, 2012

The Last Secret


"Cotton Stone tidak sama seperti kita," kata Tyler. "Dia adalah..."
"Dia adalah keturunan malaikat," kata Sri Paus.
"Maaf?" Wyatt berkata, menghembuskan napas.

Dan seperti itulah juga reaksiku, berkali-kali sepanjang membaca buku ini, "maaf..?"

The Last Secret adalah sekuel dari The Holy Grail yang mengisahkan Cotten Stone--wanita muda jurnalis yang mengkhususkan diri pada liputan-liputan berbau keagamaan. Di Holy Grail ia menjadi pahlawan karena mematahkan rencana sebuah organisasi yang hendak mengkloning Kristus dengan menggunakan DNA dari darahNya yang tertinggal di Cawan Suci. [Errr..maaf...?]

Bagaimana Cotten bisa sehebat itu? Seperti sudah kuungkap lewat dialog awal tadi, Cotten adalah putri malaikat. Tepatnya salah satu Malaikat Jatuh, yaitu antek-antek Lucifer yang dulu memberontak terhadap Tuhan lalu dibuang dari surga. Saat ini para Nefilim (sebutan malaikat jatuh) sedang merencanakan pembalasan terhadap Tuhan, lewat agen-agen (manusia) mereka. Yang bisa menggagalkan mereka hanyalah Cotten yang harus menemukan tablet kristal berisi tulisan tangan Tuhan sendiri [sekali lagi..maaf...?] tentang cara menyelamatkan umat manusia dari kiamat. Hingga di sini jelaslah bahwa, seperti biasa, ini adalah pertempuran antara si jahat (legiun Lucifer digambarkan lewat kabut hitam tebal dan sekawanan kunang-kunang) dan si baik.

Sementara itu dunia sedang dilanda wabah bunuh diri yang kian mencemaskan, yang jelas adalah pertanda dan ancaman dari setan. Cotten dan orang-orang dari Vatican harus berlomba-lomba menemukan tablet kristal itu dan memecahkan rahasianya sebelum kekacauan melanda umat manusia.

Terus terang saja aku orang yang memegang prinsip yang tegas tentang masalah iman. Anda boleh menganggapku fanatik atau apa, tapi menurutku ada batasan tegas antara sesuatu yang pantas dan tidak pantas diutak-atik bila berkaitan dengan iman dan Tuhan. Sampai sekarang aku masih tak mengerti bagaimana para penulis macam Dan Brown dsb itu bisa mempermainkan iman mereka demi sensasi. Maka maaf saja kalau aku sama sekali tak mampu menikmati buku ini (atau buku-buku lain sejenis) yang isinya absurd bagiku. Bagaimana aku bisa mengagumi sebuah karya kalau aku tak mampu menghormati penulisnya?

Usaha mengkloning Kristus dari darah yang ada di cawan suci, errr...maaf, bukannya isi cawan itu anggur ya? Tapi mungkin saja ceritanya memang diubah karena penulis fiksi toh bisa menulis apapun, lagipula aku memang belum membaca Holy Grail, jadi aku pun tak bisa berkomentar banyak.

Kalau dimaksudkan sebagai kisah thriller, The Last Secret termasuk biasa-biasa saja. Mungkin yang membuatnya lumayan menghibur adalah settingnya yang mengambil peradaban yang telah lenyap, yaitu Macchu Pichu sehingga kita sempat melihat sedikit budaya mereka. Sedangkan penggambaran tentang tiga orang antek setan yaitu Eli, Mariah dan Richard...yah, cukup membuatku muak. Untunglah untuk endingnya, Sholes dan Moore menggiring pembaca untuk melihat kebenaran, bahwa satu-satunya cara menghindari 'kebinasaan' adalah kembali ke jalan yang benar alias bertobat. Semoga saja sang penulis juga 'bertobat' dan menulis hal-hal yang lebih bermanfaat dan membangun. Semoga!

Ada satu quote yang bisa kupetik dari buku ini:

"Jika kau tergesa-gesa, banyak yang akan terlewatkan dan kau akan melaluinya tanpa pernah melihatnya. Semua masalah--semua jawaban--diberikan kepads kita bila kita telah siap menerimanya." ~hlm. 121

Dua bintang untuk The Last Secret.

Judul : The Last Secret
Penulis: Lynn Sholes & Joe Moore
Penerjemah : Istiani Prajoko
Penerbit: Serambi
Terbit: April 2012
Tebal: 505 hlm