Wednesday, August 26, 2009

Mata Ketiga - 2

Melanjutkan kisah nyata Tuesday Lobsang Rampa, seorang anak yang telah ditakdirkan untuk menjadi seorang rahib dan masuk biara sejak usia 7 tahun. Baca dulu bagian pertamanya disini.

Suatu hari Lobsang dipanggil menghadap ke istana Dalai Lama, karena sang pimpinan tertinggi Tibet ini telah mendengar bakat istimewa Lobsang sebagai seorang clairvoyance. Gurunya harus mengajarinya seharian tata cara rumit untuk menghadap seorang Dalai Lama. Saat masuk ke ruangan sambil membawa syal yang terbaik, ia harus mengarahkan matanya ke bawah, karena tidaklah sopan untuk melihat langsung ke arah Dalai Lama. Lalu ia harus menjulurkan lidah untuk memberi hormat (sama seperti orang Eropa melepas topi), lalu berlutut dan membungkuk 3 kali. Lalu ia harus membentangkan syal ke atas kaki Dalai Lama dan terus membungkuk sampai Dalai Lama menaruh syal itu ke leher Lobsang. Lalu ia harus berjalan mundur menuju jajaran bantal terdekat untuk duduk di situ.

Dalai Lama tinggal di Potala, sebuah kota mandiri di sebuah gunung kecil. Dan bangunan tempat ia tinggal berada di puncaknya. Untuk menuju kesana orang harus mendaki sebuah tangga batu yang sangat besar. Kepada Lobsang, Dalai Lama mengulangi kembali ramalan lengkap para astrolog tentang hidupnya: yaitu bahwa setelah mata ketiganya terbuka ia akan berjalan jauh ke negara-negara asing di seluruh dunia yang belum pernah ia dengar, mengalami masa-masa sulit pada awalnya, namun akan berakhir dengan keberhasilan. Ia akan melihat kematian, kehancuran dan kekejaman. Itulah intinya, dan Dalai Lama khusus memberi instruksi pada Lama Mingyar untuk mengajar Lobsang dengan baik.

Di istana Dalai Lama Lobsang sempat mencoba melihat melalui teleskop yang ada di bagian atas istana. Lucu juga reaksinya ketika pertama kali mencoba alat itu, ia merasa melihat orang naik kuda di dalam teleskop yang menuju langsung ke arahnya. Ia langsung mundur dengan wajah pucat! Lalu saat akan pulang ke Chakpori, tanpa sengaja Lobsang berpapasan dengan ayahnya di tangga, yang sedang menunggang kuda ke atas, sedang Lobsang hendak jalan kaki ke bawah. Pertemuan yang mengejutkan keduanya, namun sang ayah terus memacu kudanya naik tanpa mempedulikan Lobsang, dan membuat anak kecil itu kecewa dan hampir menangis.

Tentu saja, ayah Lobsang mengerti bahwa ‘mantan’ anaknya telah menemui Dalai Lama, dan ia tak berani menegurnya. Aku jadi membayangkan perasaan ayah Lobsang. Apakah ia bangga? Terkejut? Iri? Atau mungkin gabungan dari semuanya ya?...

Kembali ke biara, ia terus belajar sampai tiba waktunya menjalani ujian tepat pada ulangtahunnya yang ke 12. Kalau dipikir-pikir malang juga ya nasibnya, di beberapa moment ulang tahunnya, Lobsang harus berjuang. Dulu ia harus ketakutan pada waktu ultah ke 7, dan kini harus berjuang untuk lulus ujian di ultah ke 12.

Ujiannya agak menakutkan. Masing-masing anak diberi petak ruang kosong dari batu sebesar 2x3 mtr, tinggi 2,5 mtr. Setelah peserta masuk, pintunya dikunci, gembok dan segel. Lalu akan ada rahib memasukkan lewat lubang kecil di dinding, alat tulis dan satu set soal pertama. Mereka tidak boleh keluar sama sekali dari bilik itu selama 6 hari, dan hanya boleh makan tsampa 3 kali sehari, tapi boleh minum teh bermentega sebanyak yang mereka mau.

Lobsang lulus dengan nilai terbaik, dan boleh mengenakan jubah lama, meski ia baru akan mengikuti ujian untuk menjadi lama pada usia 16 tahun.

Selanjutnya Lobsang berkesempatan untuk ikut pergi bersama rombongan rahib yang bertugas mengumpulkan tumbuh-tumbuhan dan menerbangkan layang-layang. Layang-layang disini bukan yang biasa dimainkan anak-anak di negara kita, tapi sebuah layangan besar yang dapat dinaiki manusia. Untuk menerbangkannya butuh keahlian khusus, dan kalau sial pengendara layang-layang ini bisa jatuh dan meninggal!

Petualangan berikutnya, yang tak kalah mendebarkannya bagi Lobsang adalah kunjungan ke rumahnya sendiri! Bertahun-tahun menjadi rahib dengan disiplin yang keras membuat Lobsang merasa jengah untuk pergi ke bekas rumahnya sendiri, bertemu dengan ibu dan kerabatnya. Dan terutama, ia pucat gemetaran ketika kakak perempuannya yang beranjak dewasa dan saudara-saudara perempuan lainnya memandangi dan mendekatinya. Ternyata begitulah seorang rahib kalau berada di tengah perempuan!

Lobsang berkesempatan mempraktekkan mata ketiganya pada waktu ia dimintai tolong oleh Dalai Lama untuk menilai delegasi dari Cina yang akan bernegosiasi dengannya. Maka selama pertemuan, Lobsang bersembunyi dari balik sekat sehingga ia bisa melihat bahwa aura para delegasi Cina itu kelihatan serakah dan cenderung berkhianat. Mereka hanya ingin menguasai emas yang ada di tanah Tibet. Namun Lobsang tetap saja senang saat bisa ke istana Dalai Lama, karena di sana makanannya enak-enak. Ya, Lobsang memang sangat suka makan!!

Namun pengalaman yang paling menarik adalah ketika ia pergi berombongan bersama gurunya dan 14 orang rahib lain ke dataran tinggi Chang Tang, di daerah pegunungan utara yang sangat tinggi. Itulah tempat tertinggi di dataran Tibet. Tujuannya untuk mengumpulkan tanaman-tanaman langka yang akan diolah menjadi obat. Rombongan ini naik bagal, karena bagal lebih kecil dan kuat daripada kuda.

Semakin menanjak ke atas oksigen semakin tipis, dan pada titik tertentu bagal tak bisa naik lagi. Maka mereka ditinggal di sebuah tempat yang cukup terlindung bersama 5 anggota yang paling lemah. Sisanya melanjutkan perjalanan jalan kaki dan bahkan berayun menggunakan tali dari rambut Yak di tempat yang curam. Di tempat tertentu mereka melemparkan kait besi ke sisi seberang, lalu dengan tali salah seorang berayun untuk mencapai sisi seberang. Saat itu ada seorang rahib yang meninggal karena berayun terlalu keras dan menabrak batu. Betul-betul ekspedisi yang ekstra sulit dan membahayakan.

Lebih tinggi lagi, mereka tiba di lapisan yang tertutup es, dan mereka terus mendaki meski tanpa peralatan mendaki di es yang layak. Setelah 3 hari berjalan, rute menjadi menurun melingkari gunung. Lalu di suatu tempat tiba-tiba tampak semacam kabut atau awan sangat putih dan terbentang tak putus-putus. Dan setelah melewati kabut yang dingin dan basah itu, mereka mendadak terdampar di suatu tempat yang sama sekali tak mereka duga.

Di hadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang hijau, dan udara yang mendadak panas. Pepohonan ada di mana-mana dan bunganya berwarna warni indah. Sejenak Lobsang merasa ia sudah berada di surga karena mati kedinginan. Namun Lama Mingyar, yang sudah pernah pergi ke tempat itu menjelaskan bahwa itu adalah sebuah fenomena alam. Penyebabnya adalah panas dari dalam bumi yang menghangatkan sungai. Mengapa panasnya tak menguar keluar? Karena terhalang oleh padas yang sangat tinggi, sehingga uap panas itu tetap tinggal di dataran itu. Kabut yang dilalui Lobsang tadi adalah tanda batas pertemuan antara dingin dan panas.

Tahukah anda, bahwa konon Tibet terletak di dataran rendah di tepi laut, dan karena sebab alam yang tak diketahui, ada dataran yang tenggelam ke laut, tapi ada juga yang terangkat menjadi gunung-gunung. Mungkin sebuah gempa yang maha dahsyat ya? Tak heran, di Tibet sering ditemukan fosil-fosil laut dan kulit kerang purba.

Di dataran tinggi Chang Tang pula Lobsang menyaksikan sesuatu yang sampai saat ini masih menjadi misteri, yakni: makhluk yang disebut Yeti. Apakah Yeti itu ada? Dan makhluk apa ia sebenarnya? Mengapa orang jarang melihatnya? Kalau ia makhluk langka, bagaimana ia dapat bertahan hidup?

Menurut Lobsang Yeti memang ada, dan hidup di tempat paling tinggi di dataran Chang Tang. Yeti bertubuh mirip kera tapi tengkorak kepalanya mirip manusia, dan cara berjalannya lebih mirip manusia daripada kera. Menurut Lama Mingyar Yeti memiliki ciri-ciri sebagai nenek moyang ras manusia namun berbeda perkembangan evolusinya, dan hanya bisa hidup di tempat-tempat yang tak terjamah manusia. Ada mitos yang mengatakan bahwa yeti jantan melarikan wanita-wanita yang hidup sendirian. Mungkin inilah penyebab mereka tak pernah punah, karena bisa meneruskan keturunan. Namun, semuanya kembali kepada kita, mau percaya atau tidak.

Itulah beberapa kisah petualangan Lobsang melihat negeri tempatnya lahir dan dibesarkan. Sesudah ditahbiskan menjadi lama, ia harus berkeliling dunia, melanjutkan tugasnya sebelum ia berinkarnasi. Orang Tibet (dan Buddha) percaya bahwa ada orang-orang istimewa yang setelah mati akan berinkarnasi dalam kehidupan yang lain. Dalam buku ini banyak juga teori-teori lain yang menarik seperti perjalanan astral, atau bagaimana proses orang bermimpi pada waktu tidur, dsb. Semuanya dijelaskan secara gamblang. Itulah yang membuat buku ini merupakan bacaan berat. Namun, menarik juga untuk mempelajari sebuah budaya yang memang menarik.

Buku ini diakhiri dengan Lobsang yang pulang sejenak ke rumahnya, bertemu dengan keluarganya untuk yang terakhir kali, dan menuliskan namanya di buku keluarga sebagai seorang Lama. Dan aku akan mengakhiri tulisan ini dengan mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah me-request buku ini untuk aku ulas. Semoga anda telah menemukan sebuah wawasan baru yang menarik, sama seperti aku.




Monday, August 24, 2009

Mata Ketiga - 1

Mata Ketiga adalah sebuah otobiografi seorang berkebangsaan Tibet, yang menggunakan nama Tuesday Lobsang Rampa dalam buku ini. Ia sengaja menyamarkan nama-nama dalam kisahnya karena alasan politis. Meski demikian, buku ini jauh dari hal-hal politis. Lobsang adalah seorang lama Tibet. Lama tokoh agama dalam agama Buddha, setingkat di atas rahib. Kita semua tahu bahwa pemimpin tertinggi mereka bergelar Dalai Lama. Dalam buku ini ia berkisah tentang liku-liku perjuangannya untuk menjadi salah satu sosok tertinggi di Tibet. Selain itu, menarik juga untuk menjelajahi negeri Tibet, yang sering dijuluki 'atap dunia', sebuah negara yang cinta damai namun sejak lama kurang dipahami oleh dunia luar.



Sebagai negara teokrasi, Tibet tidak menginginkan 'kemajuan' seperti yang dialami dunia luar. Yang mereka inginkan hanyalah bermeditasi dan mengatasi segala keterbatasan fisik mereka sendiri. Khazanah kekayaan Tibet banyak menggiurkan negara-negara lain, dan bila mereka datang, maka kedamaian di Tibet dipastikan akan hilang. Hal ini telah lama diramalkan oleh Orang-Orang Bijak di Tibet.



Kali ini, di luar kebiasaan, aku bukan hanya mengulas buku ini secara umum, tapi aku ingin membeberkan sedetail mungkin kebudayaan dan kehidupan di Tibet, selain mengikuti perjalanan hidup Lobsang. Makanya, jangan heran kalo ulasan ini akan terbagi dalam 2 posting.



Mengapa Tibet disebut atap dunia? Karena Tibet memang terletak di puncak pegunungan Himalaya, titik tertinggi di seluruh muka bumi ini. Ibukota Tibet, Lhasa, terletak di ketinggian 3600 meter dari permukaan laut. Di musim panas suhu di Lhasa pada siang hari 24 derajat Celcius, dan mencapai minus 4 derajat Celcius di malam hari. Pada musim dingin, suhu bisa lebih dingin lagi. Karena cuaca yang ekstrem ini, orang Tibet sangat keras dalam mendidik anak-anak mereka. Tanpa disiplin yang tinggi, mereka takkan dapat bertahan hidup. Dan orang-orang yang lemah akan membahayakan hidup yang lain. Orang luar yang tak mengerti, mungkin menganggap cara mereka membesarkan anak terlalu kejam, padahal itu memang sesuai dengan kerasnya kehidupan di tempat itu.



Lobsang sendiri adalah anak seorang tokoh penting di Tibet. Semakin tinggi derajat seorang anak, semakin keras pula latihan yang ia terima. Menurut ayah Lobsang, anak miskin tak punya kans untuk hidup senang di kemudian hari, maka selagi masih muda diberikan kebaikan dan perhatian. Sebaliknya, anak kaya punya banyak kesempatan kelak untuk hidup senang, maka waktu muda harus dididik keras agar bisa merasakan susahnya kehidupan dan memiliki perhatian pada yang lain.



Masa kecil Lobsang dipenuhi dengan penggemblengan dan permainan yang bertujuan untuk memperkuat tubuh. Belajar berkuda poni mulai usia 4 tahun, memanah sasaran yang bergerak, main layangan. Di kelas ia juga belajar Bahasa dan Hukum. Hukum di Tibet sangat sederhana namun tegas.



Begitu mencapai usia 7 tahun, para astrolog akan meramalkan karier seorang anak di masa depan. Acara itu akan dibuat pesta meriah. Dalam kasus Lobsang, pestanya super meriah dan prestisius karena ortunya orang-orang penting. Ketua penyelenggara tentu saja ibu Lobsang, karena di Tibet dikenal kesetaraan gender. Namun untuk urusan dapur, penguasa tertinggi adalah istri. Maka dimulailah persiapan pesta dengan pengiriman undangan yang rumit, pembersihan rumah, dan (yang asyik nih) persiapan hidangan.



Orang Buddha tidak membunuh. Mereka makan daging hewan hanya yang mati karena kecelakaan atau ditemukan sudah mati. Dagingnya bisa disimpan begitu saja tanpa alat pendingin, karena suhu di sana sangat dingin (seperti kulkas alami). Ibu Lobsang memilih hidangan yang langka dan mahal. Yaitu Kuntum Bunga Rhododendron. Beberapa minggu sebelum pesta, orang mengumpulkan kuntum-kuntum bunga yang belum mekar sepenuhnya, lalu di cuci dengan hati-hati, lalu dicelupkan ke dalam toples kaca besar berisi air dan madu. Toples ditutup, dan diletakkan di tempat yang disinari matahari selama berminggu-minggu. Bunga itu akan pelan-pelan mekar sambil terisi oleh nektar dari air dan madu. Setelah itu bunga-bunga itu diangin-anginkan agar kering dan menjadi renyah, lalu ditaburi gula di atasnya. Jadilah cemilan yang (mungkin) rasanya renyah dan manis.



Hari H pun tiba, dan tamu-tamu berdatangan. Cara menyambut tamu di Tibet cukup rumit dan dibedakan menurut tingkatan tamu dan tuan rumah. Penyambutan (diwakili oleh Pengurus Rumah) dilakukan dengan memberikan atau meletakkan syal sutra yang disebut 'khata' ke tangan tamu. Bila keduanya sederajat, cukup dengan menjulurkan tangan saja. Namun kalau tamu lebih tinggi derajatnya, tuan rumah berlutut sambil menjulurkan lidah (sebagai salam khas Tibet, seperti orang Barat dengan mengangkat topi), dan meletakkan syal di kaki tamu.



Pada puncak acara yang ditunggu-tunggu, 2 orang astrolog berdoa lalu mengumumkan ramalan mereka, yang akan mengubah hidup Lobsang seratus delapan puluh derajat. Ia akan masuk biara setelah berhasil melewati semua ujian. Di sana ia dididik menjadi rahib ahli bedah. Itu karena, ia adalah titisan seorang lama yang mempunyai kemampuan tinggi di masa lalu.



Maka, di usia yang baru 7 tahun (coba bandingkan dengan kita saat masih 7 tahun!!), Lobsang sudah harus keluar dari rumahnya, tiba-tiba berpisah dengan orang tuanya begitu saja, menjalani hidup sendiri nan miskin sebagai rahib di biara. Tanpa kehangatan kasih sayang dan perhatian dan tanpa ada waktu bermain dengan anak sebaya. Seolah itu belum cukup, proses 'keluarnya' Lobsang dari rumah juga cukup mengharukan bagiku.



Ia dibangunkan ketika matahari belum juga terbit, mengenakan pakaian rahib, dan dipersenjatai dengan tsampa (makanan pokok di Tibet yang bisa dibawa kemana-mana), mangkuk tsampa, cangkir, jubah dan sepatu bot. Lalu ia disuruh keluar begitu saja dari rumah, tanpa ada acara pamitan, tanpa apa-apa, diam-diam. Tentu saja, kemarin malamnya Lobsang sudah diberitahu ayahnya bahwa sejak Lobsang meninggalkan rumah, ia tidak boleh lagi kembali. Karena itu ia harus berjuang, apapun yang terjadi, untuk diterima menjadi rahib di biara, karena keluarganya tak akan menerima ia kembali. Bayangkan, semua itu harus ia alami ketika masih berumur 7 tahun!



Maka berangkatlah Lobsang ke biara Chakpori. Untuk diterima masuk ke biara tidaklah mudah. Lobsang bersama dengan 3 orang anak lainnya disuruh masuk dan ditanyai latar belakangnya. Karena Lobsang adalah anak yang datang dari keluarga yang paling kaya, ia mendapat ujian masuk yang paling keras. Harus duduk bersemadi tanpa boleh bergerak sedikitpun di halaman biara sejak matahari terbit sampai terbenam. Meski kepanasan saat teriknya matahari bersinar, Lobsang tak berani bergerak sedikitpun, mengingat pesan ayahnya. Matilah ia kalau ia tak lulus ujian masuk itu. Saat senja, ia baru boleh bergerak, diberi makan tsampa dan teh bermentega, lalu boleh tidur. Tapi keesokan harinya ia harus sudah duduk bersemadi sebelum matahari terbit. Dan itu berlangsung selama 3 hari penuh! Setelah itu baru ia resmi diterima di biara.



Di biara, semua rahib muda harus mengikuti pelajaran, berdoa, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan keras. Salah satu yang menarik adalah mengolah tsampa dan teh bermentega. Keduanya makanan dan minuman pokok di Tibet. Tsampa terbuat dari biji barley panggang yang sudah pecah. Biasanya para rahib selalu mengantongi biji-biji barley ini kemana-mana. Saat lapar, mereka menaruh segenggam biji-biji itu ke dalam mangkuk, lalu menuanginya dengan teh mentega yang panas lalu mengaduknya terus sampai menjadi adonan yang (mungkin) agak kenyal. Lalu memakannya begitu saja, atau bisa ditambahkan sayuran. Makanan ini sangat mengenyangkan dan praktis untuk daerah yang bercuaca ekstrem seperti Tibet.



Sedang teh bermentega, sesuai namanya adalah campuran air, daun teh, sedikit garam dan soda yang dididihkan, lalu ditambahkan mentega yang sudah dibeningkan, lalu campuran itu dididihkan lagi berjam-jam. Teh ini harus selalu dalam keadaan panas, untuk konsumsi seluruh biara.



Mengetahui bahwa Lobsang adalah anak istimewa, karena titisannya dahulu, ia langsung dipisah pendidikannya dari anak-anak lainnya. Seorang guru khusus ditunjuk oleh Dalai Lama sendiri untuk mengajar Lobsang, yakni Lama Mingyar Dondup. Lama Mingyar adalah seorang yang humoris, bijaksana, sangat pandai, dan merupakan orang kepercayaan Dalai Lama. Ia salah satu orang yang mempunyai kemampuan clairvoyance, seperti halnya yang sudah ditakdirkan terjadi pada Lobsang setelah ulang tahunnya yang ke-8.



Clairvoyance itu bisa diartikan sebagai kemampuan paranormal. Dengan kemampuan ini, seorang manusia bisa melihat aura orang atau benda lain. Dengan demikian, ia akan mengetahui penyakit yang diderita, juga isi hati seseorang. Menurut testimoni Lobsang sendiri dalam buku ini, ia bisa tahu bahwa seseorang itu hatinya bersih, atau tamak dan tidak jujur. Lalu bahwa seseorang tengah menderita penyakit pada jantungnya, atau bahwa orang lainnya lagi sudah mendekati ajalnya. Tentu saja, hal-hal itu merupakan bakat yang sudah ada pada seseorang, namun untuk menajamkannya, Lobsang harus menjalani sebuah operasi untuk menambahkan ‘mata ketiga’nya.



Dan itu terjadi tepat setelah ulang tahunnya yang ke delapan. Yang melakukan operasi adalah gurunya, Lama Mingyar. Mata ketiga itu diletakkan di tengah-tengah dahinya. Caranya dengan mengebor (ya..mengebor!) tulang tengkorak dengan alat bor tanpa ulir berbentuk huruf U dengan gigi-gigi kecil di ujungnya. Malam sebelumnya, dahi Lobsang sudah dibaluri ramuan tumbuh-tumbuhan. Lalu paginya Lama Mingyar melakukan ‘pengeboran’ setelah mensterilkan alatnya terlebih dulu. Lobsang merasakan seperti dahinya ditusuk duri, tapi setelah itu tak terasa sakit, hanya sedikit nyeri dan ada tekanan (mungkin ramuan itu semacam anestesi ya?).



Sesudah mata bor mengenai tulang tengkorak, dimasukkanlah sepotong kayu kecil ke dalam lobang itu setelah disterilkan dan dibalur ramuan yang membuatnya sekeras baja. Potongan kayu itu dibiarkan selama dua minggu, dan selama itu Lobsang harus tinggal di tempat yang temaram, dan hanya makan minum secukupnya. Setelah potongan kayu diambil, maka terbukalah mata ketiga Lobsang. Ia kini memulai sebuah hidup yang baru. Untuk cerita yang lebih seru, baca bagian kedua kisah Mata Ketiga ini ya!









Monday, August 10, 2009

Chicken Soup For The Writer’s Soul

Entah mengapa, tapi setiap kali aku masuk ke toko buku atau ke bursa buku, selalu aku akan pulang dengan membawa paling sedikit sebuah buku. Beberapa waktu lalu adik angkatku mengajakku masuk ke toko buku rohani. Aku merasa aman-aman saja karena tidak berencana beli buku rohani, paling cuma nemenin si adik. Eh, tak tahunya aku menemukan Chicken Soup for the Writer’s Soul ini di barisan rak terakhir yang aku susuri. Ya ampun...kenapa ya kok Chicken Soup dijual di toko buku rohani?? Yah..akhirnya aku malah lebih cepat dapet buku daripada adikku yang asli memang pengen ke toko itu. Nasib!

Tapi, setelah membaca bab-bab awal buku ini, aku merasa beruntung sekali menemukan buku ini. Buku ini mengumpulkan kisah-kisah nyata para penulis, yang kebanyakan memiliki jalan yang unik, panjang, dan kadang berliku untuk akhirnya menyadari bahwa menjadi penulis adalah jalan hidupnya. Di buku ini aku menemukan banyak inspirasi, juga pelajaran berharga tentang dunia menulis, serta motivasi untuk terus menyalakan impianku untuk menjadi penulis.

Kalau menilik dari cerita para kontributor itu, kebanyakan penulis adalah orang-orang biasa seperti kita. Pada awalnya mereka tak pernah membayangkan akan menjadi penulis, meski sebagian dari mereka memang menikmati aktivitas menulis dari awal. Contohnya Cookie Potter (sungguh..ini ga ada hubungannya ama Harry Potter!). Ayah Cookie sering membacakan cerita untuknya saat ia masih kecil. Lalu suatu hari si ayah meminta Cookie kecil untuk bercerita tentang dirinya sendiri, sementara si ayah menuliskan tepat seperti yang dikatakan Cookie. Tanpa sepengetahuannya, ayah Cookie telah mengirimkan tulisan itu ke majalah anak, dan cerita itu diterbitkan. Kegembiraan Cookie hanya sebentar karena tepat setelah itu si ayah bercerai dengan ibunya dan meninggalkan mereka berdua.

Namun, bibit yang telah ditanamkan oleh sang ayah terus bersemi di jiwa Cookie. Saat Cookie bersekolah dan bisa menulis, ia pun jadi sering menulis dan mengirimnya ke majalah. Dan sampai tua pun Cookie tetap suka menulis, dan menulis sudah menjadi panggilan jiwanya. Cerita yang sangat menyentuh! [hal. 33]

Kadang-kadang jalan untuk menulis itu datangnya tak disangka-sangka. Seperti Kate M. Brausen, yang ketika kecil adalah anak yang aktif dan suka memanjat pohon dan mengkhayal sambil duduk di dahannya. Suatu hari ia didiagnose mengidap kanker sehingga tak dapat lagi menekuni aktivitas fisik. Maka Kate yang amat sedih dan marah mengeluarkan notes dan mulai menulis untuk menumpahkan kekesalannya. Ia terus saja menulis sampai akhirnya terciptalah puisi yang indah tanpa ia sadari. Kini ia telah menjadi penulis full time dan selalu bergairah saat menulis. [hal. 22]

Bisa juga hasrat menulis itu datang setelah sebuah penghinaan yang menyakitkan, seperti yang dialami Chet Cunningham. Ia dianggap murid bebal dan diprediksi takkan lulus dari mata kuliah jurnalisme oleh seorang profesor. Hatinya hancur! Namun penghinaan itu melevut dirinya untuk bekerja 3x lebih keras dari mahasiswa lainnya, untuk membuktikan pada sang profesor bahwa ia mampu. Dan itu tak sia-sia. Ia akhirnya mendalami dunia menulis dengan serius, dan menjadi penulis yang sukses. Hal itu takkan terjadi kalau tak ada seorang profesor yang meragukan kemampuannya. [hal. 118]

Mayoritas penulis yang berkontribusi di sini pernah dan telah berulang kali gagal. Ada yang terus berusaha, ada pula yang putus asa sehingga waktu bertahun-tahun telah terbuang sia-sia hanya karena tak percaya dirinya bisa menulis tulisan yang bagus. Itulah kisah Nora Profit. Saking inginnya menulis artikel tentang seorang aktris, ia nekad menelpon sang aktris dan berbohong bahwa ia wakil sebuah majalah nasional yang hendak mewawancarai si aktris. Ia benar-benar datang untuk wawancara sambil mengajak temannya yang memiliki kamera untuk pura-pura jadi fotografer.

Semuanya berjalan baik, hingga tiba pada artikel yang harus ia tulis. Ia telah menulisnya, dan mengirimkannya lewat pos kepada redaktur majalah nasional itu. Namun, yang ada di pikirannya adalah ‘pasti majalah itu akan mengirim kembali naskahnya dengan stempel JELEK’. Apa yang terjadi?

Tiga minggu kemudian si majalah memang mengirimkan kembali naskah itu. Karena Nora tak mampu membaca surat penolakannya, maka ia tak pernah membuka amplop itu dan menyimpannya di lemari. Lima tahun kemudian, ketika pindah apartemen, Nora menemukan kembali amplop itu lalu membukanya. Dan apa yang ia temukan? Ternyata artikel itu sebenarnya diterima oleh majalah tersebut!

Pesan moralnya: kalau anda sudah bertekad ingin serius menulis, bersiaplah menerima penolakan. Namun jangan buat penolakan itu sebagai penghinaan, sebaliknya anggaplah itu cambuk agar anda berusaha terus. Jangan pernah meragukan diri sendiri! [hal. 36]

Ada sebuah kisah yang mengharukan dari Erik Olesen, yang memperlihatkan kekokohan semangatnya untuk (tetap) menulis. Erik adalah penulis yang lumayan bersinar saat ia jatuh dan mengakibatkan otaknya cedera. Kecelakaan itu membuatnya frustrasi karena ia jadi tak mampu menulis sebanyak dulu dan daya ingatnya melemah. Namun, alih-alih putus asa, ia mengikuti program rehabilitasi, dan di sana ia belajar tentang ‘menggunakan sebuah takaran yang berbeda’. Artinya bila anda penulis yang biasa menelurkan enam artikel setiap minggu, lalu karena sakit kemampuan anda jadi terbatas, jangan malah menjadi putus asa. Sebaliknya terapkan sebuah takaran yang berbeda. Buatlah jadwal baru, andai anda cuma bisa menghasilkan 2 karya selama seminggu, tetap lakukanlah itu dengan sepenuh hati. Yang terpenting adalah hasil akhirnya: tulisan yang menarik, dan kesuksesan...[hal. 131]

Ada pula ungkapan-ungkapan yang memotivasi anda, para penulis dan calon penulis:

Emosi manusia mungkin selalu sama, tapi di bumi ini tidak pernah ada seorang pun sebelum dirimu yang persis sepertimu, dan yang melihat cinta serta benci persis seperti kau melihatnya melalui matamu. (Irving Wallace)

Apa yang harus kulakukan untuk menjadi penulis sukses? Kau harus menginginkannya lebih daripada kau menginginkan yang lain. (Howard Fast)

Buat anda yang ingin memilih menulis sebagai karier, ingatlah pesan Gregory Poririer: Jangan buat uang sebagai alasan untuk menulis! Dan buat anda yang bercita-cita menjadi penulis: jalan ini (menjadi penulis) tidak cocok untuk kalian jika kalian ragu-ragu. Tapi jika inilah satu-satunya pekerjaan yang cocok dan menghidupkan jiwa kalian, terjun dan bekerja keraslah. Dan jangan lupa untuk mencintainya, bahkan ketika tulisan kalian mulai menghasilkan. [hal. 32]

Ketika kamu bicara, kata-katamu hanya bergaung ke seberang ruangan atau di sepanjang koridor. Tapi ketika kamu menulis, kata-katamu bergaung sepanjang jalan. (Bud Gardner).

Setelah membaca buku ini, aku jadi terinspirasi dan termotivasi untuk lebih serius menekuni jalan sebagai penulis. Bagaimana dengan anda? Mau membaca? Beli dulu dong bukunya! Ini rinciannya...

Judul: Chicken Soup for The Writer’s Soul – Harga Sebuah Impian
Penulis: Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Bud Gardner
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007
Halaman: 191
Harga: sekitar Rp 45.000,- (lupa tepatnya)



Friday, August 7, 2009

Anda Memilih Aku Mengulas

Paling menderita kalo lagi sakit di kepala. Pas sakit di bagian lainnya, paling tidak otak masih bisa dibuat mikir. Tapi kalo sudah kepala berdentam-dentam gini, susah buat konsentrasi. Lagian aku ini paling ga bisa diam di tempat tidur kalo lagi sakit.

Makanya sejak mendekam di rumah hari Selasa lalu, aku mengisi waktu dengan membaca buku. Sebuah novel terjemahan berjudul Anne Of Green Gables. Aku suka sekali karena temanya ringan, dan banyak metafora-metaforanya. Menggambarkan suasana pedesaan yang asri banget. Cocok untuk bacaan saat gloomy karena sakit begini. Tunggu saja ulasannya di sini ya!

Buku itu habis terbaca hari Rabu malam. Hari ini aku membaca Tintin yang judulnya Tintin di Congo. Melihat tampang Tintin dan Snowy yang lucu cukup menghibur juga.

O ya, kalo anda perhatikan di my reading list di blog ini, hanya ada 1 buku dalam antrean tuk dibaca. Tapi, berhubung aku lagi males baca non fiksi, dan karena jatah belanja buku habis untuk berobat sehingga takkan ada buku baru bulan ini, kupikir aku akan baca ulang buku lawasku aja.

Sekarang, anda bisa memilih buku mana yang anda ingin aku ulas:
Life of Pi atau Mata Ketiga. Keduanya buku yang bagus. Life of Pi menceritakan kisah survival seorang anak lelaki kecil yang harus mengarungi lautan luas dengan sebuah sekoci dan beberapa hewan buas. Benar-benar petualangan menegangkan.

Mata Ketiga juga tentang pergulatan hidup seorang anak lelaki kecil yang hidup di Tibet. Ia diramalkan akan menjadi Dalai Lama berikutnya. Maka iapun dikirim ke kuil dan mengalami penggemblengan berat untuk menjadi rahib. Yang menarik, kita bisa belajar banyak tentang budaya Tibet, yang notabene selama ini sangat tertutup.

Nah sekarang tugas kalian untuk memilih. Buku dengan pilihan terbanyak akan aku baca ulang dan kutulis ulasannya. Ditunggu votenya ya!

Sekalian aku mau bagi-bagi award sederhana bikinan sendiri. Tujuannya agar kita semua makin mencintai buku, dan untuk menyebarkan virus. Bukan virus H1N1, tapi virus membaca!

Buat para anggota KBO, dan semua yang blognya ada di blogroll maupun di My Friends, silakan mengambil award ini. Maaf aku ga bisa lama-lama di depan laptop, jadi ga bisa mencantumkan nama dan link anda semua. Syarat untuk mengambilnya cuma 1: sebar luaskan virus membaca buku!




Monday, August 3, 2009

Skandal Perjamuan Natal – Agatha Christie

Membaca sinopsis novel ini sudah cukup untuk membuatku memutuskan tuk membeli buku ini. Kenapa? Apakah karena ceritanya yang tegang? Bukan! (kan aku belum baca?) Pertama-tama karena ada nama Hercule Poirot di sinopsis itu, dan kedua karena ada ‘pudding natal’. Alasan yang romantis ya? Entah kenapa, aku suka dengan novel-novel yang menceritakan dengan detail tentang makanan. Apalagi makanan ala Inggris, Perancis atau Italy. Masih ingat kan dengan Lima Sekawan? Aku paling suka dengan bagian ketika mereka akan piknik, dan dari rumah dibekali dengan makanan yang (kedengarannya) enak-enak itu. Membacanya saja sudah bikin aku ngiler.

Nah, ternyata aku tidak salah. Novel ini adalah kumpulan cerita misteri. Cerita utamanya berjudul Skandal Perjamuan Natal, dengan Hercule Poirot sebagai detektifnya. Settingnya adalah pas hari Natal, dengan perjamuan ala Inggris kuno dengan ayam isi, kalkun, dan pudding plum dengan saus kental yang dicampuri sedikit brandi. Tuh kan...bikin ngiler ga?

Aku jadi teringat pada perayaan Natal khas keluarga kami waktu aku kecil dulu. Sorry ya tante Agatha, cerita tante aku ulas belakangan, abis pengen share dulu kenangan indah masa kecilku pas Natal...

Waktu aku umur 10-12 tahunan, kondisi keuangan keluarga kami sudah mulai membaik, namun waktu itu kami belumlah serius menjalankan ibadah kami. Kami menganggap Natal sebagai sebuah pesta kecil keluarga yang harus dirayakan. Perayaan itu selalu jatuh pada malam Natal, yakni tgl. 24 Desember. Beberapa hari sebelumnya kami sudah mengeluarkan pohon Natal plastik beserta semua mainannya, lampu-lampunya dan hiasan lainnya. Jaman itu, belum ada pohon Natal yang langsung jadi, melainkan harus dirakit. Perakitan itu kami kerjakan bersama-sama, aku, mama dan papaku. Dari batangnya dulu, lalu menancapkan kelompok daun-daun cemaranya. Habis itu melilitkan lampunya, lalu menggantung mainan-mainannya, dan terakhir menancapkan bintang besar di puncak cemara. Setelah selesai, kami akan mencoba menyalakan lampu-lampu Natalnya untuk mengecek apakah ada bolam yang mati dsb. Pohon Natal itu lalu kami letakkan di meja sudut di ruang tamu kami.

Untuk hidangan malam Natal, mamaku biasanya memasak sendiri, dibantu oleh pembantu setia kami waktu itu. Sedang untuk kue Natal, kami memesan di toko kue. Kue Natal itu sangat khas, namanya Kerstkraans (dalam bahasa Belanda, artinya ‘lingkaran Natal’). Sesuai namanya, kuenya berbentuk seperti donat, bulat dengan lubang di tengah. Diameternya sekitar 24 cm. Tekstur kuenya agak kering, mirip dengan Sosisbroot (bener ga ya tulisannya?). Bedanya kalo sosisbroot diisi daging, Kerstkraans ini diisi kacang tanah dan almond yang digiling halus. Lalu bagian luar kuenya diberi lapisan gula dan ada taburan kismis dan manisan kulit jeruk. Enak sekali deh rasanya!

Biasanya tgl. 24 sore, setelah mandi kami langsung mengenakan baju bagus. Heran ya, pesta sendiri di rumah tapi pake baju bagus? Begitulah tradisi kami. Lalu ketika hari mulai gelap, sekitar jam 6 kami mulai menutup korden (biar ga diganggu tamu!), mematikan lampu ruang tamu, lalu memasang lampu pohon Natal. Wow...sampai sekarang pun aku paling suka ngeliat lampu-lampu kecil berwarna warni yang bergantian berkerlap-kerlip itu. Rasanya ada suasana yang damai dan ayem. Oh ya ada yang kelupaan. Biasanya sebelum hari H kami juga telah menyiapkan kado-kado. 2 buah kado untuk masing-masing orang, jadi total ada 6 kado, yang akan dibungkus kertas kado, lalu ditaruh di kaki pohon Natal. Tentu saja kado-kado itu bukan barang-barang yang mahal. Cuma kotak pensil buatku, atau sebuah buku buat papa, atau seperangkat cermin dan sisirnya untuk mama. Memang semuanya hanya untuk fun saja.

Nah, diiringi dengan lagu-lagu Natal yang syahdu dari kaset, kami mulai makan kue Natal (biasanya sudah kami potong-potong lalu disajikan di dua piring berbentuk daun). Lalu kami saling bertukaran kado, membuka kado, sambil ngobrol. Kadang-kadang papaku yang hobi fotografi, mengabadikan momen-momen ini dengan kameranya. Lalu ketika sudah pk 7, atau ketika kami sudah mulai lapar, kami akan pindah ke ruang makan. Hidangannya biasanya Sup Merah, disajikan di mangkuk-mangkuk kecil, lengkap dengan sepotong roti tawar untuk dicelupkan ke kuah sup. Saat-saat ini biasanya mamaku mengeluarkan perangkat makan spesial, hadiah perkawinannya dulu (hebat ya barang pecah belah jadul, tahan sampai bertahun-tahun). Kemudian disambung dengan satu hidangan utama. Favoritku adalah Spaghetti Bolognese (hidangan utama bisa berbeda-beda tiap tahun). Harus kuakui, resep Spaghetti milik mamaku ini yang paling top dibanding dengan milik restoran manapun!.

Setelah itu kami cuma ngobrol-ngobrol di ruang tamu lagi sambil terus mendengarkan lagu Natal (dan aku menonton lampu Natal sambil terus terpesona..). Setelah perut tidak terlalu kenyang, kami makan Longans kalengan yang diberi es batu. Hmmm...nikmat. Dan itulah perjamuan Natal ala keluarga kami. Memang tidak seru karena cuma bertiga, namun momen-momen itu begitu menggoreskan kenangan bagiku yang selalu kuingat sampai kapanpun.

Saat aku telah dewasa, dan ortuku mulai ‘bertobat’, kami lebih mementingkan malam Natal untuk mengikuti misa di gereja. Pohon Natal tetap ada, tapi yang langsung jadi dan ukurannya kecil. Tapi ritual itu sudah tak pernah kami lakukan lagi....

Nah, sekarang kembali pada Perjamuan Natal ala Inggris kuno, dimana Hercule Poirot diundang untuk melacak permata batu delima yang hilang, tentu saja di novelnya tante Agatha, bukan di rumahku yak! Anehnya sebelum perjamuan, Poirot mendapat peringatan untuk tidak makan pudding plum yang akan dihidangkan. Ada ritual yang unik dalam cerita ini yang berkaitan dengan hidangan khas Natal itu, pudding Natal. Dalam pudding akan disisipkan kancing baju, cincin dan uang logam. Kalo pas makan seseorang dapet kancing, berarti ia akan jadi perjaka seumur hidup (kebetulan yang dapet Poirot!! Cocok kan?), yang dapet cincin mungkin akan menikah ya? Yang tak disangka-sangka dan jelas tak ada dalam tradisi, si tuan rumah malah menggigit batu delima yang hilang itu.

Lebih seru lagi, beberapa anak muda di pesta itu ingin memberikan lelucon buat Poirot dengan sandiwara pembunuhan. Salah satu dari mereka pura-pura menggeletak jadi mayat, pake cat merah yang menyerupai darah dan ada jejak-jejak kaki juga di atas salju. Tentu saja Poirot takkan terkecoh, justru para anak muda itu yang gantian melongo ketika mendapati bahwa si ‘mayat’ benar-benar seperti sudah tak bernyawa! Pemecahannya ternyata simpel sekali, karena memang ini sebuah kisah misteri ringan. Tapi tetap saja menarik!

Yang jauh lebih menarik justru kisah kedua. Masih bertokoh-kan Hercule Poirot, kisah yang berjudul Misteri Peti Spanyol ini sangat menarik. Ada intrik cinta dan cemburu, dan pembunuhannya sendiri mirip sebuah seni. Seperti biasa khas Agatha, tak ada darah-darah atau ledakan yang sensasional. Hanya seonggok mayat yang ditemukan di sebuah peti besar di sebuah rumah. Padahal selama itu, ada lima orang lainnya yang sedang berpesta, minum-minum dan dansa-dansi di ruangan di mana peti itu berada. Padahal, si korban: Arnold Clayton juga diundang ke pesta itu, namun tak bisa datang.

Jika saja Poirot tidak tergelitik untuk memecahkan misteri kasus ini, sang tuan rumah: Mayor Rich atau pembantunya akan langsung dihukum karena pembunuhan. Habis, siapa lagi yang mungkin membunuh si korban dan memasukkannya ke dalam kotak? Namun..apa benar mereka melakukannya? Di sinilah kecerdikan Poirot akan diuji. Dan seperti biasanya juga, tante Agatha selalu membeberkan semua fakta dengan gamblang. Tinggal kitalah yang ditantang untuk beradu kepintaran dengan Poirot (atau dengan tante Agatha tepatnya?). Ah..aku menyerah deh! Mending menikmati saja kisah pembunuhan berseni ini.

Sebenarnya ada 4 kisah lagi dalam kumpulan cerita ini, selain 2 kisah utama itu. Hercule Poirot muncul di tiga kisah diantaranya, dan sebuah kisah - yang diibaratkan tante Agatha sebagai makanan pembuka pada sebuah jamuan Natal. Kisah ini, Greenshaws’ Folly, adalah satu-satunya kisah Miss Marple di kumpulan cerita ini. Tapi, untuk menutup postingku ini, aku hanya akan beberkan sebuah kisah yang menurutku cukup menarik dari judulnya: Buah Blackberry. Mungkin anda akan teringat pada gadget yang sekarang lagi beken, tapi sebenarnya aku mengharap ada cerita-cerita tentang makanan lagi. Hehehe...Dan ternyata memang benar.

Kali ini Poirot tergelitik pada kebiasaan seorang tua nyentrik yang suka makan di restoran yang sama selama 10 tahun. Harinya selalu Selasa dan Kamis, waktunya selalu setengah delapan malam. Menunya juga selalu sama. Info ini ia dapat ketika sedang makan ayam kalkun isi kenari (tuh..benar kan, makanannya mengundang selera?) bersama sahabatnya di resto yang sama. Si pelayan bingung, karena si tua pernah sekali ke resto itu pada hari Senin, dan memesan makanan yang tak biasa: sup tomat kental (padahal ia tak pernah pesan sup kental), dan juga kue tar buah blackberry, padahal tak pernah suka blackberry selama ini.

Sahabat Poirot, seperti mungkin banyak orang lain, akan menganggap enteng sesuatu yang di luar kebiasaan ini. Mungkin si tua sedang gundah, jadi tidak sadar akan apa yang dipesannya. Padahal menurut Poirot, orang yang sedang gundah justru akan secara otomatis melakukan sesuatu yang biasa ia lakukan, ia takkan ingin mencoba sesuatu yang baru. Masuk akal juga teori psikologis ini! Maka ketika si tua dikabarkan menginggal di rumahnya karena jatuh dari tangga, Poirot langsung curiga bahwa si tua dibunuh. Hebat kan? Mencurigai sebuah pembunuhan hanya karena kue tar blackberry? By the way, tahukah anda kalo buah blackberry itu membuat gigi menghitam? Satu lagi pelajaran dari tante Agatha kita yang tersayang. Bagi Poirot, itu salah satu cara menemukan pembunuh di kisah ini...

Akhirnya, kalo anda tertarik dengan buku ini, cepetan aja mencarinya karena kayaknya agak langka di toko buku. Ini rinciannya:

Judul buku: Skandal perjamuan Natal (The Adventure of Christmas Pudding)
Pengarang: Agatha Christie
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007
Halaman: 352
Harga: Rp 31.875,- (setelah diskon 15% - bukabuku.com)