Thursday, December 31, 2009

Kaleidoskop Baca Buku Fanda 2009

Akhirnya sampailah kita di penghujung 2009. Ini saatnya untuk ‘bersih-bersih’. Bersih-bersih hati, pikiran maupun secara fisik. Buat para blogger, mungkin ini saatnya bersih-bersih blognya. Sadarkah anda bahwa setelah hari ini berlalu, semua posting anda sepanjang 2009 akan tersimpan hanya dalam satu kata : "2009" di file anda di blogger.

Karena itu, hari ini aku menyempatkan diri untuk membongkar-bongkar lagi posting-postingku selama 2009 ini. Aku pribadi juga akan memilih posting-postingku dalam 2 kategori: ulasan buku dan posting yang jadi favoritku. Rencananya aku mau posting juga semua buku yang udah aku baca, tapi masalahnya banyak buku yang aku udah baca tapi aku ga sempat posting. Jadi sekarang aku ga tau lagi buku mana aja yang sudah terbaca.

7 Ulasan Buku Favoritku

Catatan Harian Anne Frank (Januari 2009)
Pemikiran Anne Frank-lah yang memukau aku, yaitu pemikiran tentang perdamaian dan harapan.

The Chamber - John Grisham (Januari 2009)
Sebenarnya ini bukan murni review, melainkan menuangkan pemikiranku sendiri terhadap buku ini. Sebenarnya ceritanya agak membosankan, tapi justru sisi psikologis buku ini yang membuat buku ini berkesan buatku.

Flowers For Algernon (April 2009)
Ini buku yang sangat unik, sehingga aku sangat menyukai baik bukunya sendiri maupun ulasannya.

Five People You Meet In Heaven (Mei 2009)
Dalam ulasan ini aku menggunakan cara maju-mundur (yah...bukunya sendiri begitu sih alurnya). Unik... aku suka deh!

Winners Never Cheat (Juli 2009)
Tak sia-sia aku beli buku ini dulu. Ternyata isinya simple namun amat berguna. Aku juga suka pada ulasanku, yang bisa dibuat bahan renungan juga.

Skandal Perjamuan Natal Agatha Christie (Agustus 2009)
Cara penulisanku untuk novel ini lain dari yang lain. Tanpa sengaja aku memadukan pengalaman pribadi dengan ulasan buku. Ternyata setelah aku baca lagi...mmm...I like it!

Aku & Marley (Oktober 2009)
Aku juga suka buku ini, dan menuliskan ulasannya seolah aku melihat Marley sendiri...

Sebenarnya aku mau menjadikannya 10 ulasan buku favorit, tapi setelah aku baca-baca lagi, hanya 7 ini yang istimewa menurutku. Jadi berpikir....sudah waktunya nih untuk bikin ulasan yang lain daripada yang lain lagi!


10 Tulisan Favoritku

7 Hal Yang Membuat Aku Tersenyum Setiap Hari (February 2009)
Sebenarnya ini posting award plus PR. Tapi aku suka banget karena posting ini benar-benar menggambarkan diriku, dan aku sangat enjoy waktu menuliskannya (meski saat ini ada yang udah ga valid lagi ceritanya…).

3 Alasan John Grisham Layak Disebut Penulis Hebat (Januari 2009)
Aku suka banget menganalisa. John Grisham adalah salah satu penulis favoritku, dan aku takjub karena setelah aku pilah-pilah karya-karyanya, ternyata sulit untuk memasukkan tulisan John ke dalam satu genre saja. Mengapa? Yah…baca aja lagi tulisan ini deh… Yang jelas aku enjoy banget waktu nulis ini.

Margaritas Murder (Maret 2009)
Loh, ini kan review buku? Kok ga ditaruh di atas sih, Fan? Jawab: suka-suka aku dong, kan aku yang punya blog! Hehehe… Memang tulisan ini adalah ulasan buku, tapi menulis ulasan ini dalam bahasa Inggris merupakan tantangan tersendiri buatku. Kan Fanda suka tantangan? Dan ketika aku baca-baca lagi, hmm….ga jelek-jelek amat ternyata… (I should do this more often!)

Where Has That Smile Gone (April 2009)
Tulisan ini (yang berbentuk puisi) merupakan curahan hatiku sendiri mengenai seorang sahabat terbaikku. Tak perlu dijelaskan lagi, tulisan ini tercipta benar-benar dari hatiku, dan karenanya sangat berkesan buatku.

Pilihan Yang Membuat Perbedaan (April 2009)
Meski tulisan ini aku ambil dari versi bahasa Inggris yang lalu aku terjemahkan, kisahnya begitu bagus, dan aku menuliskannya benar-benar dengan hati.

Awakenings (Mei 2009)
Ini film yang bagus, dan aku menuliskan ulasannya segera setelah nonton filmnya, dengan rasa haru masih tersisa, sehingga sekali lagi aku terpaksa menangis waktu menyelesaikan posting ini.

Jadilah Dirimu Sendiri (Juni 2009)
Posting ini kutulis saat berita kematian the King Of Pop Michael Jackson ramai diberitakan. Saat aku menulis ini, aku merasa benar-benar bangga menjadi diriku sendiri yang seutuhnya.

Sudahkah Kau Pakai Pensilmu? (Juli 2009)
Tulisan ini tercipta di benakku begitu saja, karena membaca posting di sebuah blog. Postingnya tentang pensil, dan tiba-tiba saja sederetan kata-kata mengalir lewat jari-jariku di tuts keyboard laptopku...

Kisah Menyepi Di Darmaningsih (Juli 2009)
Membaca kembali kedua bagian kisah 'menyepi'ku ini aku jadi terpesona sendiri. Kok tumben ya aku bisa menulis dengan begitu indah (ini menurutku sendiri ya, kalo anda ga setuju dilarang protes!). Mungkin suasana sangat mempengaruhi ya...

Belajar Dari Film A Few Good Men (September 2009)
Aku suka filmnya, dan aku paling suka kalimat terakhir dalam tulisanku. I really enjoy writing it!

Akhirnya aku mengucapkan kepada teman-teman semua...

SELAMAT TAHUN BARU 2010
Semoga kesuksesan, kebahagiaan, dan kedamaian melingkupi kita semua ya! Teruslah berkarya bersama-sama denganku...



Tuesday, December 29, 2009

Malam Di Atas Lautan

Inilah buku pertama dari Ken Follet yang pernah aku baca. Dulunya aku menganggap tulisan Ken terlalu serius (dan bukunya tebal), tapi membaca sinopsis Night Over Water atau Malam Di Atas Lautan ini, aku jadi tertarik untuk membacanya. Ternyata benar... Ken Follet ternyata penulis yang piawai meramu berbagai konflik ke dalam ketegangan plus romansa yang menjadi asyik untuk dibaca.

Semua ketegangan itu berlatar belakang awal Perang Dunia II, dan terakumulasi di atas pesawat Pan America Clipper, pesawat yang dirancang dengan kemewahan, dan uniknya...bisa mendarat di air layaknya pesawat amphibi. Naik pesawat ini, penumpang akan merasa seperti berada di atas kapal pesiar, namun dengan waktu tempuh yang jauh lebih singkat daripada kapal. Clipper sendiri adalah penerbangan trans-atlantik. Berangkat dari Southampton (Inggris) menuju ke New York (Amerika). Pesawat ini memang sesungguhnya pernah ada, dan dipakai oleh Ken Follet sebagai background kisah yang menarik ini.

Jangan anda kira bahwa para penumpangnya hanya ingin berlibur semata. Ternyata mereka semua menyimpan problem masing-masing, dan selama sekitar 36 jam, mereka semua akan berkumpul di Clipper dan akan mengalami hal-hal paling luar biasa dalam hidup mereka. Ada sebuah keluarga yang nampak rukun, namun menyimpan perpecahan di dalam. Sang ayah yang fasis dan otoriter terhadap anak-anaknya, membuat putrinya yang sosialis ingin membangkang. Margareth tak ingin berangkat ke Amerika karena ingin berperan serta dalam perang. Namun, karena pelariannya yang gagal, ia pun terpaksa menumpang Clipper bersama keluarganya yang melarikan diri ke Amerika karena takut ditangkap karena aliran politik sang ayah.

Ada juga seorang istri yang sudah muak akan kelakuan suaminya yang dingin dan acuh, lalu menemukan kehangatan dan romantisme dari seorang pria lain, memutuskan untuk melarikan diri meninggalkan sang suami yang pengusaha, dan bersama kekasihnya menumpang Clipper menuju Amerika. Namun sang suami ternyata tak rela melepaskannya, dan ia pun berupaya untuk mendapatkan tempat di Clipper, mengejar istrinya.

Di lain pihak, muncul seorang wanita yang memiliki pabrik sepatu yang sedang berjuang untuk menghentikan perbuatan adiknya yang mau mengambil alih perusahaannya. Si adik ternyata menumpang Clipper, sehingga si wanita pun harus bisa mengejar Clipper bersama-sama dengan si pengusaha tadi.

Ada juga seorang pencuri perhiasan yang amat pandai dan menyenangi hidup mewah serta pecinta perhiasan mahal, yang selalu beruntung. Namun suatu saat ia nyaris tertangkap polisi, dan merasa saatnya tiba untuk melarikan diri. Dan karena transportasi sulit didapat menjelang perang, maka Clipper-lah pilihannya.

Selain itu, ada juga seorang ilmuwan Fisika yang ahli nuklir, dan diincar oleh Nazi untuk membuat bom hebat untuk kepentingan perang. Ia bepergian bersama seorang teman. Ada juga seorang agen FBI bersama seseorang yang disinyalir adalah seorang pembunuh. Dan untuk menambah heboh, ada juga bintang film Hollywood yang terkenal dan seorang putri bangsawan Rusia. Hebat kan daftar penumpangnya?

Konflik yang jauh lebih besar justru dialami oleh Eddie Beakin, seorang kepala teknisi di Clipper. Tepat sebelum Clipper tinggal landas, Eddie menerima kabar bahwa istrinya diculik, dan ia harus membuat Clipper mendarat darurat di tengah lautan untuk melihat istrinya kembali dalam keadaan hidup. Eddie yang selama ini dikenal teknisi yang jujur, berdedikasi, dan pekerja serius, harus mengkhianati rekan-rekannya. Tujuan Clipper dihentikan paksa adalah untuk menjemput salah seorang dari para penumpang. Yang mana?

Lalu, dapatkah para penumpang merealisasikan impian dan tujuan masing-masing? Atau justru semuanya akan berubah hanya dalam waktu 36 jam itu? Ken Follet ternyata mampu meramu ketegangan dari awal hingga akhir. Layak deh dibaca....

Judul asli: Night Over Water
Pengarang: Ken Follet
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 563
Harga: Rp 55.000,-



Friday, December 18, 2009

Malam Sunyi

Kayaknya pas banget untuk membaca buku ini menjelang atau selama perayaan Natal, karena tema novel ringan karangan Mary Higgins Clark ini mengambil suasana natal. Dan Mary juga memasukkan sebuah unsur yang pada jaman ini mungkin banyak ditinggalkan orang, yakni iman yang teguh kepadaNya pada saat terjadi musibah.

Kisahnya sendiri sebenarnya simple. Ada sebuah keluarga menengah di Amerika, ayah, ibu dan dua orang putera yang mengalami musibah bertubi-tubi menjelang hari Natal. Sang ayah baru saja didiagnosis menderita leukimia yang menyebabkannya harus menjalani operasi di rumah sakit. Sehari sebelum Natal, sang ibu mengajak dua putranya melihat-lihat pohon natal raksasa yang ada di Rockefeller, serta deretan toko-toko di Saks Avenue dengan lampu-lampu dan dekorasi natal yang indah dan semarak. Tujuannya, supaya kedua anak itu agak terhibur sebelum mereka bertiga menemani sang ayah di rumah sakit.

Sebelum mereka bertiga berangkat, sang nenek menitipkan sesuatu yang ia percaya bisa membantu kesembuhan anaknya. Benda itu adalah sebuah medali Santo Christopher, yang dulu pernah menyelamatkan suami sang nenek pada Perang Dunia II. Saat menghadapi baku tembak, peluru yang mengarah ke tubuh sang kakek ternyata persis mengenai medali itu sehingga medali itu agak penyok sedangkan nyawa sang kakek terselamatkan.

Kedua cucunya begitu bergairah ingin cepat-cepat membawa medali itu ke ayahnya agar ayahnya cepat sembuh dan dapat merayakan Natal bersama mereka, namun sang ibu merasa skeptis. Ia tak percaya bahwa sebuah benda akan bisa menyembuhkan atau menyelamatkan orang. Peristiwa di medan perang itu kan hanya kebetulan saja…begitu pikirnya. Namun karena desakan mertua dan anak-anaknya, ia membawa juga medali itu di dompetnya.

Suasana di Rockefeller menjelang natal begitu penuh sesak dengan gelombang manusia, dan salah satunya adalah seorang janda muda miskin yang sedang dalam perjalanan pulang, dan yang ingin sekali membelikan hadiah natal buat putrinya namun tak mampu. Dan saat itu juga jagat raya seolah mengeluarkan tangan-tangannya dan mengatur sebuah adegan yang akan mengubah jalan hidup banyak orang di malam natal. Si janda muda tengah lewat dekat sang ibu dan kedua putranya, saat sang ibu tak sengaja menjatuhkan dompetnya ke tanah.

Entah kalut, atau bingung, si janda muda memungut dompet itu begitu saja dan berlalu dari tempat itu. Si anak bungsu, Brian namanya, melihat perbuatan si janda muda. Ia khawatir karena di dalam dompet itu ada medali yang (ia percaya) bisa menyembuhkan ayah tercintanya. Maka tanpa pikir panjang (khas anak kecil), Brian membuntuti si janda hingga ke apartemen kumuhnya. Meski dalam perjalanan si janda akhirnya menyesal telah mencuri dompet, namun ia memutuskan untuk membawa pulang dompet itu dulu dan esok harinya mengirim ke alamat yang ada di tanda pengenal pemiliknya.

Namun, semuanya tak sesederhana itu. Kakak si janda adalah narapidana yang sedang melarikan diri dari penjara. Ia mengancam kakaknya untuk minta uang. Dan ketika si napi hampir meninggalkan apartemen tanpa uang, Brian mengetuk pintu apartemen dan terang-terangan menuduh si janda telah mencuri dompet ibunya!

Tak perlu dijelaskan panjang lebar, si napi senang karena mendapat uang, tapi juga membawa Brian ikut kabur bersamanya sebagai sandera. Dan…dimulailah petualangan Brian (yang tadinya tampak berani) namun sekarang berubah menjadi berbahaya karena si napi tak segan-segan membunuh bila kakaknya melapor ke polisi.

Sama seperti ibu Brian, si napi hanya menertawakan dan mengejek Brian mengenai medali St. Christophernya. Ia akhirnya memberikan medali itu padanya supaya tak merengek terus. Brian memakainya di leher supaya tidak hilang. Dan akhirnya, medali St Christopher itu memang yang akan menyelamatkan Brian dari penculiknya. Dan semua orang pun kembali bahagia dan bisa merayakan Natal dengan damai dan gembira.

Ditilik dari ceritanya, sebenarnya kisah ini klise, dan unsur kebetulannya terlalu banyak. Namun, aku salut pada nilai yang disisipkan oleh Mary, yakni nilai keimanan. Bagi umat Katolik, medali santo atau santa, patung dan salib adalah sebagai alat untuk mengingatkan kita pada apa yang kita imani. Banyak orang non Katolik yang berpikir bahwa umat Katolik menyembah berhala atau praktek klenik. Padahal sesungguhnya bukan. St Christopher sendiri adalah seorang santo pelindung orang sakit. Dalam kisah ini juga diperlihatkan bahwa yang menyelamatkan si kakek dalam perang dan Brian bukanlah benda itu sendiri. Penyelamat mereka tetaplah Tuhan, namun melalui benda itulah, keselamatan itu akhirnya terjadi.

Saat orang yang sakit dan putus harapan umpamanya, melihat dan memakai medali itu, ia mungkin akan diingatkan setiap saat untuk mendekatkan diri kepadaNya, dan bahwa padaNya selalu ada harapan. Dan kemungkinan besar, justru iman dan harapan itu yang membuat tubuhnya kembali mampu berperang melawan penyakitnya.

Akhirnya dari kisah sederhana ini, aku menemukan keasyikan karena seolah bisa merasakan keindahan suasana Natal di Amerika. Namun yang terpenting, aku belajar…

Pertama, semua yang kita lakukan ada konsekuensinya, tak peduli apapun niat kita. Saat mengambil dompet, jelas niat awal si janda adalah mencuri. Namun, meski kemudian ia berubah pikiran, tetap ada konsekuensi dari perbuatannya. Dan mungkin karena ia telah membayar perbuatan awalnya dengan melapor ke polisi meski ia harus mengorbankan hidupnya, maka ia pun masih diberikan kesempatan untuk merayakan natal dengan layak.

Kedua, saat kanak-kanak iman kita sungguh besar kepadaNya sesuai didikan orang tua dan lingkungan kita. Namun dengan bertambah dewasa, seiring dengan makin bertambahnya pengetahuan dan pengalaman kita, iman itu sering menjadi luntur. Akibatnya kita lebih percaya pada apa yang bisa kita lihat dan pahami (ilmu kedokteran misalnya) daripada apa yang tidak kita lihat dan tidak kita pahami. Dari kisah ini kita diingatkan untuk tetap memelihara iman kita seperti seorang anak kecil. Tulus, dan tanpa prasangka….

Paling akhir, ijinkan aku untuk berpromosi sedikit ya! Buat yang tertarik dan pengen beli novel bekasnya, langsung aja ke Vixxio Buku Bekas Online ya! Harganya murah, kondisinya bagus kok….




Thursday, December 10, 2009

Ubud Writers & Readers Festival 2010

Ada pesan yang masuk ke inbox e-mailku beberapa hari lalu. Isinya mengajak para penulis dan pecinta sastra Indonesia untuk turut serta meramaikan sebuah even di Bali pada tahun 2010. Tahu bahwa aku banyak kenal para penulis dan pecinta sastra lewat blogger, sahabat yang mengirimiku e-mail itu minta tolong aku untuk menyebarluaskan berita ini pada teman-teman. Ini dia isi lengkap undangannya…

Pecinta sastra Indonesia….

Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) mengundang para penulis Indonesia untuk mengikuti festival sastra internasional yang akan berlangsung pada 6-10 Oktober 2010 dengan mengusung tema Bhineka Tunggal Ika.

Dewan Kurator UWRF akan memilih 15 penulis Indonesia yang kehadiran serta partisipasinya di festival akan didanai oleh UWRF dan lembaga funding mitra UWRF. Pemilihan akan didasari pada sejumlah kriteria, termasuk kualitas karya, prestasi dan konsistensi dalam berkarya, serta dedikasi pada pengembangan kesusastraan Indonesia.

Kegiatan festival meliputi: disksusi panel, pembacaan karya, bincang-bincang penulis, dan lokakarya.

Bila Anda adalah penulis Indonesia, atau mengenal penulis yang Anda anggap layak, layangkan pendaftaran sesuai syarat dan ketentuan di bawah ini:
• Penulis adalah warga negara Indonesia
• Menulis karya sastra, baik berupa puisi, prosa, naskah drama maupun karya non- fiksi baik yang sudah diterbitkan maupun belum.
• Penulis yang sudah menerbitkan buku dipersilahkan mengirim buku atau judul-judul buku yang telah diterbitkan.
• Penulis yang belum menerbitkan buku dipersilahkan mengirim 30 karya puisi terbaik atau 8 karya cerpen terbaik atau 3 naskah Drama.
• Biodata penulis
• Usulan topik yang dinilai menarik untuk dibahas selama festival.

Kirim ke sekretariat panitia UWRF paling lambat tanggal 1 Februari 2010 (cap pos)
Ditujukan kepada :

Kadek Purnami
Ubud Writers & Readers Festival
Jl. Raya Sanggingan Ubud - Indus Restaurant.
PO Box 181, Ubud Bali 80571.

Bagi penulis dari luar Bali yang terpilih, Panitia akan menangung biaya transportasi (penerbangan) dan akomodasi selama berlangsungnya acara.

Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa hubungi
Kadek Purnami:
Telp / Fax : 0361-977408
Email : Info@ubudwritersfestival.com / kadek.purnami@ubudwritersfestival.com
www.ubudwritersfestival.com

Ayoo….ikut aja rame-rame buat yang berminat. Lumayan kan, sekalian jalan-jalan ke Bali!




Saturday, December 5, 2009

Tuesdays With Morrie

Baru saja aku selesai menamatkan sebuah buku dari Mitch Albom (masih ingat kan, yang menulis Five People You Meet In Heaven?). Buku ini merupakan kisah nyata yang dialami Mitch dengan mantan dosennya, Prof. Morrie Schwartz. Ketika masih kuliah, Mitch mengagumi Morrie sebagai dosen Sosiologi yang jenius, namun ketika sudah jadi seorang pengusaha sukses yang selalu sibuk, Mitch sekali lagi mengikuti kuliah Morrie. Kali ini tempatnya di rumah Morrie, waktunya setiap Selasa, mata kuliahnya: tentang kehidupan, kematian, dan cinta….

Ketika kuliah dulu Mitch sangat dekat dengan dosennya, Morrie. Mereka sering berdiksusi bersama di kafetaria kampus, dan sering menggarap proyek bersama juga. Ketika acara wisuda, Mitch memeluk Morrie sambil mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan saling kontak, karena pada dasarnya Mitch dan Morrie saling menyayangi

Setelah itu Mitch mulai memasuki pusaran kehidupan yang sebenarnya, dan mulai jauh meninggalkan masa lalunya dan melupakan janjinya. Ia akhirnya menjadi seorang kolumnis yang cukup sukses dan sangat sibuk. Ia sudah hampir melupakan sosok Morrie, kalau saja ia tidak secara sengaja memencet sebuah channel televise yang sedang menayangkan reality show, persis pada saat si pembawa acara berkata “….Siapakah Morrie Schwartz…?”, dan membuat Mitch langsung mati rasa…

Morrie yang kini telah berusia tahun didiagnosis menderita ALS, yaitu penyakit yang menyebabkan satu persatu organnya lumpuh. Berawal dari kaki, dan selanjutnya merambat makin ke tubuh bagian atas, dan bila kelumpuhan itu melanda jantung dan paru-parunya, maka si penderita akan meninggal. Semua proses itu bisa berlangsung cepat, namun bisa juga amat lambat.

Maka kenanganpun berkelebat di benak Mitch, yang mendorongnya untuk mengunjungi mantan dosen kesayangannya itu. Dan…bukan main gembiranya Morrie dapat berjumpa kembali dengan Mitch di rumahnya yang sederhana. Mitch dalam usia puncaknya, 30 tahunan, sedang sibuk menapaki karier sebagai kolumnis olah raga di harian terkemuka, berkenalan dengan para selebriti olah raga dan hidupnya selalu sibuk. Morrie, di usia tua dengan tubuh makin ringkih, di desa yang tenang, dan kedamaian hidup merupakan keutamaan baginya. Kedua sosok yang berbeda itu kini memutuskan untuk membuat sebuah proyek besar yang terakhir.

Morrie akan memberikan 'kuliah'nya di rumah. Mahasiswanya hanya Mitch. Kurikulumnya mengenai bagaimana kita menjalani hidup, dan menghadpi kematian. Sumbernya dari pengalaman pribadi Morrie, tempatnya di ruang kerja atau kamar tidur Morrie, waktunya setiap hari Selasa. Tuesdays with Morrie...

Setiap Selasa Mitch menyaksikan bagaimana kesehatan Morrie semakin memburuk. Awalnya ia hanya tak bisa berjalan, harus duduk di kursi roda, lambat laun ia harus terbaring di ranjang dan harus memakai kateter. Ditambah pula dengan penyakit paru-paru yang sangat mengganggu. Namun di tengah penderitaan fisik itu, pikiran dan perasaan Morrie tetap tak terganggu, ia tetap bersemangat dan tetap bisa mensyukuri apa yang (masih) ia miliki.

Salah satu pelajaran berharga dari Morrie adalah, bahwa begitu kita tahu kita akan mati, saat itulah kita belajar bagaimana harus hidup. Maka Morrie ingin mengajarkan pada kita semua rahasia hidup itu, agar kita tak perlu harus sekarat dulu untuk menyadarinya, di mana kemungkinan sudah tak ada waktu untuk melakukannya.

Dari Morrie kita belajar bagaimana cara menerima rasa sakit sekaligus menyisihkannya dari pikiran kita, sehingga kita dapat berkonsentrasi pada hal lainnya. Kita juga belajar bagaimana menghadapi kematian yang akan datang tanpa rasa takut. Kita belajar untuk memanfaatkan waktu lebih banyak untuk memberi perhatian pada orang-orang yang kita cintai, darpada pada uang dan karir. Kita belajar untuk menunjukkan rasa cinta dan penyesalan kita, untuk tidak menunda-nundanya hingga mungkin saja momen itu akan terlewatkan.

Membaca buku ini memang harus lebih banyak dengan perasaan ketimbang pikiran. Semua yang ada di dalamnya bukanlah hal baru, kita sudah mengetahui semuanya. Masalahnya, apakah kita menyadarinya? Jangan-jangan kita semua seperti Mitch yang terseret dalam pusaran arus kehidupan modern, di mana jabatan dan kekayaan adalah satu-satunya di dunia yang harus dikejar?

Membaca buku ini aku jadi ingat apa yang dikatakan Stephen Covey dalam buku Seven Habits-nya. Yaitu, kita perlu membayangkan apa yang akan disampaikan dan dikenang orang-orang lain ketika kita kelak meninggal. Seperti itulah hidup yang seharusnya kita kejar. Mana yang ingin anda dengar di sekeliling peti mati atau liang lahat anda: bahwa anda orang yang baik, penuh kasih pada sesama, sahabat yang perhatian, tetangga yang ringan tangan, orang tua yang bijaksana, karyawan yang jujur dan loyal...atau...bahwa rumah anda megah, namun tetangga tak pernah mengenal anda, bahwa anda atasan yang otoriter, bahwa anda selalu sibuk hingga teman-teman anda tak pernah sempat bertemu anda?

Kita mesti berterima kasih pada Morrie, dan pada Mitch Albom yang telah menuliskan proyek mereka berdua bagi hidup semua orang. Ternyata...kematian itu bukan akhir yang mengerikan, namun justru awal dari sebuah kesadaran akan makna hidup.

Judul : Tuesday With Morrie
Penulis: Mitch Albom
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Media
Halaman: 207