Baru saja aku selesai menamatkan sebuah buku dari Mitch Albom (masih ingat kan, yang menulis Five People You Meet In Heaven?). Buku ini merupakan kisah nyata yang dialami Mitch dengan mantan dosennya, Prof. Morrie Schwartz. Ketika masih kuliah, Mitch mengagumi Morrie sebagai dosen Sosiologi yang jenius, namun ketika sudah jadi seorang pengusaha sukses yang selalu sibuk, Mitch sekali lagi mengikuti kuliah Morrie. Kali ini tempatnya di rumah Morrie, waktunya setiap Selasa, mata kuliahnya: tentang kehidupan, kematian, dan cinta….
Ketika kuliah dulu Mitch sangat dekat dengan dosennya, Morrie. Mereka sering berdiksusi bersama di kafetaria kampus, dan sering menggarap proyek bersama juga. Ketika acara wisuda, Mitch memeluk Morrie sambil mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan saling kontak, karena pada dasarnya Mitch dan Morrie saling menyayangi
Setelah itu Mitch mulai memasuki pusaran kehidupan yang sebenarnya, dan mulai jauh meninggalkan masa lalunya dan melupakan janjinya. Ia akhirnya menjadi seorang kolumnis yang cukup sukses dan sangat sibuk. Ia sudah hampir melupakan sosok Morrie, kalau saja ia tidak secara sengaja memencet sebuah channel televise yang sedang menayangkan reality show, persis pada saat si pembawa acara berkata “….Siapakah Morrie Schwartz…?”, dan membuat Mitch langsung mati rasa…
Morrie yang kini telah berusia tahun didiagnosis menderita ALS, yaitu penyakit yang menyebabkan satu persatu organnya lumpuh. Berawal dari kaki, dan selanjutnya merambat makin ke tubuh bagian atas, dan bila kelumpuhan itu melanda jantung dan paru-parunya, maka si penderita akan meninggal. Semua proses itu bisa berlangsung cepat, namun bisa juga amat lambat.
Maka kenanganpun berkelebat di benak Mitch, yang mendorongnya untuk mengunjungi mantan dosen kesayangannya itu. Dan…bukan main gembiranya Morrie dapat berjumpa kembali dengan Mitch di rumahnya yang sederhana. Mitch dalam usia puncaknya, 30 tahunan, sedang sibuk menapaki karier sebagai kolumnis olah raga di harian terkemuka, berkenalan dengan para selebriti olah raga dan hidupnya selalu sibuk. Morrie, di usia tua dengan tubuh makin ringkih, di desa yang tenang, dan kedamaian hidup merupakan keutamaan baginya. Kedua sosok yang berbeda itu kini memutuskan untuk membuat sebuah proyek besar yang terakhir.
Morrie akan memberikan 'kuliah'nya di rumah. Mahasiswanya hanya Mitch. Kurikulumnya mengenai bagaimana kita menjalani hidup, dan menghadpi kematian. Sumbernya dari pengalaman pribadi Morrie, tempatnya di ruang kerja atau kamar tidur Morrie, waktunya setiap hari Selasa. Tuesdays with Morrie...
Setiap Selasa Mitch menyaksikan bagaimana kesehatan Morrie semakin memburuk. Awalnya ia hanya tak bisa berjalan, harus duduk di kursi roda, lambat laun ia harus terbaring di ranjang dan harus memakai kateter. Ditambah pula dengan penyakit paru-paru yang sangat mengganggu. Namun di tengah penderitaan fisik itu, pikiran dan perasaan Morrie tetap tak terganggu, ia tetap bersemangat dan tetap bisa mensyukuri apa yang (masih) ia miliki.
Salah satu pelajaran berharga dari Morrie adalah, bahwa begitu kita tahu kita akan mati, saat itulah kita belajar bagaimana harus hidup. Maka Morrie ingin mengajarkan pada kita semua rahasia hidup itu, agar kita tak perlu harus sekarat dulu untuk menyadarinya, di mana kemungkinan sudah tak ada waktu untuk melakukannya.
Dari Morrie kita belajar bagaimana cara menerima rasa sakit sekaligus menyisihkannya dari pikiran kita, sehingga kita dapat berkonsentrasi pada hal lainnya. Kita juga belajar bagaimana menghadapi kematian yang akan datang tanpa rasa takut. Kita belajar untuk memanfaatkan waktu lebih banyak untuk memberi perhatian pada orang-orang yang kita cintai, darpada pada uang dan karir. Kita belajar untuk menunjukkan rasa cinta dan penyesalan kita, untuk tidak menunda-nundanya hingga mungkin saja momen itu akan terlewatkan.
Membaca buku ini memang harus lebih banyak dengan perasaan ketimbang pikiran. Semua yang ada di dalamnya bukanlah hal baru, kita sudah mengetahui semuanya. Masalahnya, apakah kita menyadarinya? Jangan-jangan kita semua seperti Mitch yang terseret dalam pusaran arus kehidupan modern, di mana jabatan dan kekayaan adalah satu-satunya di dunia yang harus dikejar?
Membaca buku ini aku jadi ingat apa yang dikatakan Stephen Covey dalam buku Seven Habits-nya. Yaitu, kita perlu membayangkan apa yang akan disampaikan dan dikenang orang-orang lain ketika kita kelak meninggal. Seperti itulah hidup yang seharusnya kita kejar. Mana yang ingin anda dengar di sekeliling peti mati atau liang lahat anda: bahwa anda orang yang baik, penuh kasih pada sesama, sahabat yang perhatian, tetangga yang ringan tangan, orang tua yang bijaksana, karyawan yang jujur dan loyal...atau...bahwa rumah anda megah, namun tetangga tak pernah mengenal anda, bahwa anda atasan yang otoriter, bahwa anda selalu sibuk hingga teman-teman anda tak pernah sempat bertemu anda?
Kita mesti berterima kasih pada Morrie, dan pada Mitch Albom yang telah menuliskan proyek mereka berdua bagi hidup semua orang. Ternyata...kematian itu bukan akhir yang mengerikan, namun justru awal dari sebuah kesadaran akan makna hidup.
Judul : Tuesday With Morrie
Penulis: Mitch Albom
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Media
Halaman: 207
Ketika kuliah dulu Mitch sangat dekat dengan dosennya, Morrie. Mereka sering berdiksusi bersama di kafetaria kampus, dan sering menggarap proyek bersama juga. Ketika acara wisuda, Mitch memeluk Morrie sambil mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan saling kontak, karena pada dasarnya Mitch dan Morrie saling menyayangi
Setelah itu Mitch mulai memasuki pusaran kehidupan yang sebenarnya, dan mulai jauh meninggalkan masa lalunya dan melupakan janjinya. Ia akhirnya menjadi seorang kolumnis yang cukup sukses dan sangat sibuk. Ia sudah hampir melupakan sosok Morrie, kalau saja ia tidak secara sengaja memencet sebuah channel televise yang sedang menayangkan reality show, persis pada saat si pembawa acara berkata “….Siapakah Morrie Schwartz…?”, dan membuat Mitch langsung mati rasa…
Morrie yang kini telah berusia tahun didiagnosis menderita ALS, yaitu penyakit yang menyebabkan satu persatu organnya lumpuh. Berawal dari kaki, dan selanjutnya merambat makin ke tubuh bagian atas, dan bila kelumpuhan itu melanda jantung dan paru-parunya, maka si penderita akan meninggal. Semua proses itu bisa berlangsung cepat, namun bisa juga amat lambat.
Maka kenanganpun berkelebat di benak Mitch, yang mendorongnya untuk mengunjungi mantan dosen kesayangannya itu. Dan…bukan main gembiranya Morrie dapat berjumpa kembali dengan Mitch di rumahnya yang sederhana. Mitch dalam usia puncaknya, 30 tahunan, sedang sibuk menapaki karier sebagai kolumnis olah raga di harian terkemuka, berkenalan dengan para selebriti olah raga dan hidupnya selalu sibuk. Morrie, di usia tua dengan tubuh makin ringkih, di desa yang tenang, dan kedamaian hidup merupakan keutamaan baginya. Kedua sosok yang berbeda itu kini memutuskan untuk membuat sebuah proyek besar yang terakhir.
Morrie akan memberikan 'kuliah'nya di rumah. Mahasiswanya hanya Mitch. Kurikulumnya mengenai bagaimana kita menjalani hidup, dan menghadpi kematian. Sumbernya dari pengalaman pribadi Morrie, tempatnya di ruang kerja atau kamar tidur Morrie, waktunya setiap hari Selasa. Tuesdays with Morrie...
Setiap Selasa Mitch menyaksikan bagaimana kesehatan Morrie semakin memburuk. Awalnya ia hanya tak bisa berjalan, harus duduk di kursi roda, lambat laun ia harus terbaring di ranjang dan harus memakai kateter. Ditambah pula dengan penyakit paru-paru yang sangat mengganggu. Namun di tengah penderitaan fisik itu, pikiran dan perasaan Morrie tetap tak terganggu, ia tetap bersemangat dan tetap bisa mensyukuri apa yang (masih) ia miliki.
Salah satu pelajaran berharga dari Morrie adalah, bahwa begitu kita tahu kita akan mati, saat itulah kita belajar bagaimana harus hidup. Maka Morrie ingin mengajarkan pada kita semua rahasia hidup itu, agar kita tak perlu harus sekarat dulu untuk menyadarinya, di mana kemungkinan sudah tak ada waktu untuk melakukannya.
Dari Morrie kita belajar bagaimana cara menerima rasa sakit sekaligus menyisihkannya dari pikiran kita, sehingga kita dapat berkonsentrasi pada hal lainnya. Kita juga belajar bagaimana menghadapi kematian yang akan datang tanpa rasa takut. Kita belajar untuk memanfaatkan waktu lebih banyak untuk memberi perhatian pada orang-orang yang kita cintai, darpada pada uang dan karir. Kita belajar untuk menunjukkan rasa cinta dan penyesalan kita, untuk tidak menunda-nundanya hingga mungkin saja momen itu akan terlewatkan.
Membaca buku ini memang harus lebih banyak dengan perasaan ketimbang pikiran. Semua yang ada di dalamnya bukanlah hal baru, kita sudah mengetahui semuanya. Masalahnya, apakah kita menyadarinya? Jangan-jangan kita semua seperti Mitch yang terseret dalam pusaran arus kehidupan modern, di mana jabatan dan kekayaan adalah satu-satunya di dunia yang harus dikejar?
Membaca buku ini aku jadi ingat apa yang dikatakan Stephen Covey dalam buku Seven Habits-nya. Yaitu, kita perlu membayangkan apa yang akan disampaikan dan dikenang orang-orang lain ketika kita kelak meninggal. Seperti itulah hidup yang seharusnya kita kejar. Mana yang ingin anda dengar di sekeliling peti mati atau liang lahat anda: bahwa anda orang yang baik, penuh kasih pada sesama, sahabat yang perhatian, tetangga yang ringan tangan, orang tua yang bijaksana, karyawan yang jujur dan loyal...atau...bahwa rumah anda megah, namun tetangga tak pernah mengenal anda, bahwa anda atasan yang otoriter, bahwa anda selalu sibuk hingga teman-teman anda tak pernah sempat bertemu anda?
Kita mesti berterima kasih pada Morrie, dan pada Mitch Albom yang telah menuliskan proyek mereka berdua bagi hidup semua orang. Ternyata...kematian itu bukan akhir yang mengerikan, namun justru awal dari sebuah kesadaran akan makna hidup.
Judul : Tuesday With Morrie
Penulis: Mitch Albom
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Media
Halaman: 207
Kematian itu bukan akhir yang mengerikan, namun justru awal dari sebuah kesadaran akan makna hidup.
ReplyDeletesaya setuju dengan kalimat itu Mbak.
Jangan takut mati, hidup kan cuma pinjam dari Tuhan.. manfaatkan dengan sebaik2nya, sebelum di tagih. :)
Great post.
kangennya mampir disini...
ReplyDeletebelajar tenatng hidup yang sebenarnyaitu malah biasanya baru dilakukan saat ajal menjelang. Aku setuju...
mesti gw buru nih buku
ReplyDeleteKisah yang menarik, barangkali dengan membaca buku ini kita akan tergugah untuk berbuat yang terbaik sebelum ajal menjemput..
ReplyDeleteHwaduh, aku suka nggak mikirin komentar apa yang akan diucapkan orang di atas petiku nanti. Mudah-mudahan mereka mengenang yang bagus-bagus aja. Jadi merasa nggak enak nih..
ReplyDelete"Begitu kita tahu kita akan mati, saat itulah kita belajar bagaimana harus hidup"
ReplyDeleteKutipan yang bisa dijadikan bahan renungan..
hm...
ReplyDeleteterkadang masih ngeri juga membayangkan kematian..tapi apa mau dikata..kematian adalah sesuatu yang pasti jika ada kematian..
nice review fan..
Tapi sebenarnya mbak, aku baru tau... betapa berartinya hidup ketika sangat dekaaattt dengan kematian. aku baru tau arti untuk tidak mengeluh dan ngga memaki hidup ngga adil dalam proses pemikiran selama aku ngga bisa ngapa-ngapain dengan bebas sama kakiku. bersyukur, meski gimanapun.. aku tetap punya dua kaki. dan aku baru kehilangan mama saat aku sudah bisa menilai baik buruk. Tuhan ngga akan ngasi kita cobaan yang diluar kapasitas sebenarnya. meski kadang pengen ngeluh, capek dan ngerasa gak adil. toh semua gak ada gunanya, mending jalani aja yg udah ada, untuk tetap bisa bersinar buat orang2 disekitar kita. seperti Morrie. dia bener-bener keren. aku salut.
ReplyDeletebuku yang bagus mbak ^^
ReplyDeletekadang orang bisa lupa sama masa lalunya kalo udah terseret di arus yang dia sukai.
Mbak.., aku yg saat ini sdg sibuk berkutat dg pekerjaanku serasa diingatkan membaca postingan ini.
ReplyDeleteKeren bukunya mbak.. reviewnya juga mantap. Thanks banget udah berbagi...
kematian adalah awal dari sebuah pertanggungjawaban yang kita perbuat.
ReplyDeletemba tolong ajari bagaimana bisa hobi membaca atau bagaimanan agar bisa jadi kutubuku
ReplyDeleteYa, sepanjang hidup kita sebetulnya adalah kuliah tentang cinta, kehidupan, dan kematian. Postingan menyentuh mbak Fanda. Tuesday With Morrie, segera saya cari bukunya ah.
ReplyDeletehiks, indah sekali.
ReplyDeletesangat inspiratif ya. kematian bisa menjadi sebgitu indahnya
kira2 kalo aku meninggal, orang bilang apa ya ttg aku?
ReplyDeleteMenyentuh sekali.
ReplyDeleteKita belajar untuk memanfaatkan waktu lebih banyak untuk memberi perhatian pada orang-orang yang kita cintai, daripada pada uang dan karir.
Menarik sekali, saat ini banyak dibahas masalah korupsi, Sering saya pikir apa para pelakunya tidak memikirkan keturunannya.
Wuahhhh....
ReplyDeleteSeneng ya punya banyak waktu baca Buku.
Andai ada Buku Elektronik yang bisa ngeluarin Suara, jadi sambil kerja kita tinggal ngedengerin.
reviewnya menarik banget mbak... menggugah dan membuka kesadaran... makasih mbak...
ReplyDeleteiya nih mbak, jadi tersadar kalau selama ini aku semakin jarang kumpul atau sekdar bertemu orang-orang yang aku sayangi..
ReplyDeletemakasih mbak, ceritanya menginspirasi aku :)
o iya, baru sadar juga. ternyata semakin sering berkunjung disini, semakin banyak pula buku yang dibaca. gratis+udah dirangkum lagi. hehe...
lhoh lhoh... kok perasaan sayah udang jarang banget yah kesasar disini..??? apa sayah yang keterlaluan yah... hihihihihi....
ReplyDeletelhoh lhoh... kok perasaan sayah udang jarang banget yah kesasar disini..??? apa sayah yang keterlaluan yah... hihihihihi....
ReplyDeleteHidup terkadang membelokkan qt dari jalan yg seharusnya ditempuh. satu pelajaran yg sy ambil dr tulisan ini bahwa tak ada yg abadi di dunia ini, semua kan bermuara pada satu pintu kematian
ReplyDeleteCerita-nya menyentuh banget, Fan
ReplyDeleteyang saya tangkap hikmah dari buku ini mungkin agak berbeda: hubungan mahasiswa dan dosen yang begitu dekat, bisa berdiskusi bahkan sampai pada topik keseharian yang begitu dekat.
ReplyDeleteIngin bisa jadi dosen seperti Morrie...