Thursday, March 31, 2011

The Christmas Bus

"Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Aku berkata kepadamu, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. ~Mat 25:35-36, 40

Mungkin saja ayat Injil di ataslah yang dipakai Melody Carlson sebagai dasar untuk menulis cerita yang sederhana namun penuh kehangatan ini: The Christmas Bus.

Pada saat Natal, ada satu adegan dalam sandiwara/operet Natal yang dipentaskan yang pasti selalu kita ingat: dua orang pengelana yang kelelahan bersama keledainya, seorang pria muda dan istrinya yang hamil tua, tertatih-tatih memasuki kota Betlehem pada waktu malam. Mengetuk setiap pintu penginapan yang mereka temukan, namun tak satupun yang memberi tumpangan. Mereka ditolak. Mungkin bukan hanya karena penginapan sedang penuh, tapi lebih pada penampilan orang asing yang lusuh dan kemungkinan besar tak mampu membayar sewa kamar. Penampilan mereka saja bisa membuat tamu lainnya menyingkir, dan itu buruk bagi bisnis penginapan. Adegan itu mirip dengan yang kita temukan di buku ini. Bedanya, Yosef dan Maria datang menunggang keledai di Betlehem pada 2000 tahun lalu, sedang cerita The Christmas Bus ini mengisahkan pasangan muda Collin dan Amy di masa sekarang, naik bus tua bobrok dan terdampar di kota kecil Christmas Valley di benua Amerika. Yang jelas, ada satu benang merah yang menghubungkan kedua cerita: Natal!

Christmas Valley adalah sebuah kota kecil yang hanya berpenduduk 2.142 jiwa. Sadar akan namanya yang unik, penduduknya membuat desa itu bertema Natal untuk menarik pengunjung. Penginapan, toko-toko maupun restorannya semuanya menggunakan tema Natal. Bahkan detil-detil kecil seperti serbet di restoran pun menggunakan tema Natal. Dan suasana di desa ini akan makin meriah pada masa Natal yang sesungguhnya. Ke kota inilah sebuah bus bobrok berwarna-warni cerah menggelindingkan roda-roda dengan ban ausnya sebelum mesinnya akhirnya mogok di depan sebua penginapan. Bus ini membawa pasangan muda yang uangnya hampir habis, tak memiliki apapun selain cinta satu sama lain, dan seorang jabang bayi di kandungan sang istri yang sudah hampir mencapai masa persalinan. Dalam keadaan inilah, mereka tertarik untuk singgah di Christmas Valley, di malam yang dingin beberapa hari menjelang Natal.

Menjelang Natal kali ini, Edith—istri pendeta sekaligus pemilik Penginapan Gembala sangat gundah karena anak-anak dan cucu-cucunya tak bisa pulang untuk merayakan Natal. Merasa kesepian, dan tersentuh oleh khotbah suaminya mengenai “menunjukkan keramahan dan berbuat baik pada orang asing, karena itu berarti kita melakukannya bagi Dia”, Edith memiliki ide untuk menyewakan kamar-kamarnya untuk siapapun yang ingin merayakan Natal jauh dari rumah. Edith membuka pintu rumahnya bagi orang-orang asing. Hal itu tidak sulit karena toh ia mengelola penginapan. Yang paling sulit ternyata, adalah membuka hatinya untuk orang-orang asing itu. Berhasilkah ia?

Lima orang penyewa kamar-kamar di Penginapan Gembala ternyata datang dengan keunikan dan masalah masing-masing. Ada nyonya tua keras kepala yang suka memaksakan kehendak, ada pasangan muda yang selalu bertengkar, ada pria sinis yang baru ditinggal mati istrinya, ada ibu dan anak yang baru ditinggal suami dan ayah. Pendek kata, jenis orang-orang yang kesepian dan merasa tak diterima dalam keluarganya. Di sini Edith dengan sepenuh hati menyiapkan segala sesuatu di penginapannya untuk menyambut mereka dengan tangan terbuka, dan membantu mereka mengalami Natal yang berkesan. Belum cukup dengan itu semua, di malam bersalju yang dingin itu, pintu rumahnya diketuk oleh pasangan asing yang lusuh dan mengendarai bus norak nan bobrok… Collin dan Amy.

Collin dan Amy tak memiliki cukup uang untuk memperbaiki mobil mereka sehingga tak dapat melanjutkan perjalanan. Kehadiran bus jelek dan orang-orang asing ini disambut dengan sinis oleh hampir semua orang di Christmas Valley. Mereka menganggap kehadiran Collin dan Amy (dengan bus bobroknya) akan membuat pemandangan desa menjadi jelek untuk pariwisata. Belum lagi kecurigaan mereka bahwa pasangan ini adalah hippie pecandu narkoba. Untunglah tak semuanya bersikap demikian. Pendeta Charles dan Edith tetap menerima pasangan itu di rumah mereka. Meski tak ada kamar tersisa, mereka dipersilakan untuk ikut makan dan mencuci pakaian di rumah itu kapan saja. Edith dan Charles menawarkan kehangatan, keramah-tamahan dan penerimaan yang tulus. Masalahnya, Natal makin mendekat. Warga tak menyukai Collin dan Amy, tapi bus mereka perlu waktu untuk perbaikan, sementara Amy tak memiliki waktu banyak sebelum persalinan tiba....

Mungkin ini adalah kisah sederhana yang pasti dapat kita tebak akhir ceritanya. Namun di dalamnya kental terkandung nilai-nilai kasih yang hakiki yang Tuhan ajarkan dan teladankan pada kita. Aku sangat tersentuh pada sikap Edith yang mau bersusah payah dan berlelah-lelah demi orang asing yang tak ada kaitannya dengan dirinya. Meski sempat terbersit pikiran: untuk apa aku melakukan ini semua, toh tak ada manfaatnya bagiku—namun Edith tetap melakukannya, semata-mata karena kasih, dan dengan kesadaran bahwa ia melakukan semuanya itu untuk Tuhan yang menjelma dalam diri-diri para orang asing yang malang itu.

Selain menyentuh dengan hal-hal kecilnya, buku ini juga menghibur dengan suasana natalnya yang bahkan amat terasa meski hanya lewat penuturan Melody Carlson. Aku membayangkan diriku seperti Megan kecil, yang sampai berteriak antusias begitu masuk ke Penginapan Gembala ini. Takjub melihat pohon cemara setinggi 3,6 meter dengan lampu-lampunya yang kemerlip, dekorasi khas Natal di sana-sini, juga kamar yang didesain khusus dan memiliki nama yang ada hubungannya dengan ayat Mazmur: Kamar Gembala Yang Baik, Kamar Air Yang Tenang, Kamar Padang Rumput Yang Hijau, bahkan ada juga Kamar Gada Dan Tongkat (aku jadi penasaran, seperti apa dekorasi untuk ruangan ini ya!). Belum lagi penataan meja makan yang diatur dengan gaya yang hangat dan kekeluargaan, sehingga para tamu merasa berada di rumah sendiri. Dan yang lebih membuatku kerasan membaca buku ini adalah penjabaran tentang hidangan-hidangan yang dimasak Edith, yang dikisahkan pintar sekali masak. Coba saja, bisakah anda terus membaca tanpa menelan ludah ketika tiba di bagian ini: roti kacang cranberry, roti dari labu kuning yang baru dipanggang, atau roti gulung aroma kayu manis?

Aku juga merasakan kehangatan yang terpancar dari pribadi Edith sendiri, yang bisa membuat kegiatan semacam menghias kue kering dengan gula menjadi kegiatan yang mengasyikkan dan menciptakan keakraban tamu-tamu di penginapan itu. Ah...tak cukup rasanya menuliskan review buku ini untuk menggambarkan sensasi ketika membaca bukunya. Yang jelas, setelah menutup buku ini, tak bisa tidak, aku merasa tersentuh sekaligus tertampar. Tersentuh oleh bagaimana kasih dapat mengubah banyak hal dalam hidup ini dan seringkali Tuhan bekerja dengan caraNya yang unik dan terduga, lewat tangan orang yang bahkan paling tak terduga. Tertampar oleh pesan mendalam dari buku ini yang sering kita lupakan di antara kesibukan kita: menyambut orang lain dengan keramahan dan ketulusan hati. Alih-alih takut merasa repot, takut rugi, dan takut-takut lainnya, kita semua seharusnya lebih membuka hati kita pada sesama meskipun itu orang asing. Ketika kita membuka hati kita, Tuhan pasti akan menjaga kita dan melakukan karyaNya melalui kita. Pertanyaannya sekarang, seperti yang disinggung Pendeta Charles pada kebaktian yang menginspirasi Edith itu: "Apakah anda siap? Apakah hati anda siap menyapa Tuhan (ketika siapapun yang diutusNya itu datang)?...."

Judul: The Christmas Bus
Pengarang: Melody Carlson
Penerbit: Gloria Graffa
Cetakan: Oktober 2007
Tebal: 191 hlm

Thursday, March 24, 2011

Gratis – Harga Radikal Yang Mengubah Masa Depan

GRATIS. Satu kata yang dapat memberikan dampak yang besar dan beragam bagi yang membaca atau mendengarnya. Dan di dunia kita saat ini, kata Gratis telah (semakin) banyak digunakan para pebisnis untuk menarik perhatian konsumen. Karena, sungguh!—meski kita tahu tak ada yang benar-benar gratis di dunia ini, kita masih saja tersihir oleh kata itu. Tapi…benarkah tak ada yang benar-benar gratis di dunia ini? Chris Anderson, penulis buku The Long Tail yang telah membuka wawasan kita, akan membeberkan dalam buku barunya ini bagaimana dunia akan segera menuju ke titik Gratis--di mana makin banyak barang akan ditawarkan dengan harga nol atau nyaris nol, dan bagaimana kita semua mesti menyikapinya, baik sebagai produsen maupun konsumen.

Di bagian awal buku, Chris Anderson mengajak kita untuk menengok asal-mula ‘Gratis’. Fenomena memberikan iming-iming produk gratis demi menarik konsumen untuk membeli, ternyata dipelopori oleh produsen Jell-O (produk agar-agar bubuk yang terkenal di Amerika) pada awal abad 20. Anda juga akan disuguhi cerita tentang King Gillette, seorang salesman tutup botol yang diperintah bosnya untuk menemukan sesuatu yang akan dipakai-kemudian-dibuang, dan akhirnya menemukan ide tentang pisau cukur sekali pakai. Menarik juga menyimak bagaimana strategi Jell-O dan Gillette menggunakan ‘Gratis’ untuk mengerek volume penjualannya.

Kalau bentuk ‘Gratis’ di abad 20 berupa iming-iming dan trik untuk memindahkan uang dari satu kantong ke kantong yang lain (mis. gratis untuk alat cukur tapi membayar untuk pisau cukur), maka ‘Gratis’ abad 21 adalah berkat kemampuan menekan biaya barang atau jasa hingga mendekati nol, berkat ekonomi bit (byte) yang menggantikan atom. Ketika dunia digital makin merajalela, maka ‘Gratis’ akan segera terwujud karena biaya produksinya hampir mencapai nol. Jadi, dapat dikatakan bahwa ‘Gratis’ ala abad 20 adalah gratis sebagai umpan, sementara di abad 21 ‘Gratis’ adalah gratis yang sebenar-benarnya. Selamat datang di dunia ‘Gratis’!

Di bab-bab selanjutnya, buku ini banyak mengulas tentang makna ‘Gratis’ dan aplikasinya dalam kehidupan kita, terutama dalam bisnis. Chris Anderson banyak sekali menyuguhkan contoh berbagai perusahaan yang mempraktekkan ‘Gratis’ dan ternyata sukses. Di sisi halaman yang menceritakan hal itu, Chris menyuguhkan semacam tabel atau ilustrasi yang menunjukkan bagaimana strategi yang dijalankan bisnis-bisnis itu sehingga bisa meraup sukses dengan ‘Gratis’. Tentunya contoh-contoh itu akan menjejali wawasan kita pada banyak ide yang dapat kita ambil dan terjemahkan sendiri untuk mendukung bisnis kita.

Yang tak kalah menariknya adalah penjabaran tentang psikologi ‘Gratis’, bagaimana tanggapan konsumen sendiri tentang ‘Gratis’. Ternyata, harga yang dibuat (terlalu) murah malah menyebabkan konsumen meragukan kualitas barang itu. Lain halnya dengan apabila barang itu di-gratiskan. Menarik? Itulah yang dijabarkan di buku ini sebagai “Kesenjangan Satu Sen”. Fenomena inilah yang harus benar-benar dipahami oleh pebisnis sebelum menentukan harga. Apakah harga yang diberikan (atau tidak diberikan alias nol) sudah sesuai dengan harapan target konsumennya secara psikologis?

Namun di sisi lain, ‘Gratis’ juga membuat orang tak menghargai suatu barang. Chris memberi contoh tiket bus yang digratiskan oleh sebuah lembaga sosial, cenderung sering dihilangkan oleh orang-orang yang memilikinya. Baru ketika tiket itu dihargai 1 dollar, orang akan lebih berhati-hati menjaganya, karena tiket itu sekarang lebih ‘bernilai’, dan akhirnya menjadi jarang hilang. Menarik bukan, bagaimana beda 1 dollar bisa mengubah cara pandang manusia? Namun, itu bukan berarti ‘Gratis’ harus dicoret dari rencana bisnis anda. Di akhir pembahasan segi psikologis ini, Chris akan memberikan sebuah model ‘Gratis’ yang ideal untuk diterapkan dalam bisnis anda dengan tetap mempertimbangkan sisi psikologi konsumen.

Gratis Digital

Bagian ini adalah salah satu yang paling menarik di buku ini. Pelajaran dari web:
Jika harga sesuatu menjadi tinggal separuhnya setiap tahun, ‘Gratis’ tidak dapat dihindari ~(hlm. 91).
Kita semua pernah bersinggungan dengan benda-benda digital macam musik, buku, file atau film yang bisa kita download di internet secara gratis. Semua itu bisa terjadi karena biaya penyimpanan dan pembuatan benda-benda digital itu menurun dengan cepatnya, hingga tak lama kemudian pasti akan mencapai titik nol atau hampir nol. Bahkan bukan benda digital saja. Di sini Chris mengambil contoh yang bagus sekali tentang perusahaan yang memproduksi semi-konduktor (elektronik parts) yang memiliki visi jauh ke depan. Alih-alih menetapkan harga untuk hari ini, ia langsung menjual dengan mempertimbangkan ‘biaya esok hari’ yang diprediksinya akan menjadi jauh lebih murah. Hal itu membuatnya berani menjual semi konduktornya hanya dengan 1,21 dollar, bukannya 100 dollar seperti harga pasaran saat itu. Gilakah ia? Apa ia tidak rugi? Chris akan membeberkan secara detail cara berhitung si penjual semi konduktor visioner ini, yang meski tak dapat anda ambil idenya secara langsung, namun mampu membuka cara pandang kita tentang ‘Gratis’.

Lalu bagaimana dengan barang lainnya? Bisakah kita berasumsi bahwa semua barang akan mencapai titik ‘Gratis’ pada suatu saat? Kuncinya terletak pada gagasan. Gagasan, seperti dijelaskan oleh Chris, adalah sebuah komoditas yang biayanya pembuatan dan penyebarannya nol. Jadi, semakin besar porsi gagasan mendasari produksi sebuah barang, maka makin besar (dan cepat) kemungkinannya untuk menjadi makin murah. Dalam hal ini, tentu saja semua yang ada di dunia digital memenuhi syarat untuk cepat menjadi murah, dan bahkan gratis. Bandwith yang terlalu murah untuk diukur membuat kita dapat mengakses YouTube, Flickr, Facebook dll. dengan gratis.

Kemudian, pertanyaan selanjutnya pastilah: bagaimana kita dapat bersaing dengan ‘Gratis’? Siapakah yang diuntungkan dengan ‘Gratis’, pemain pertama atau justru pemain terakhir dalam sebuah bisnis? Tak ada formula yang pasti, namun Chris menyuguhkan dua contoh persaingan perusahaan besar di dunia digital untuk menjadi yang terbaik: Microsoft vs Linux (memperebutkan pasar terbesar untuk OS komputer) dan Google vs Yahoo (memperebutkan pasar terbesar e-mail). Bab ini sangat menarik disimak, karena selain menyingkapkan jurus bisnis mereka berdua yang jarang terungkap, kedua kasus itu akan membuktikan bahwa :

1. Pengaplikasian ‘Gratis’ tidaklah mustahil.
2. Siapa yang paling sigap dan kreatif dalam mengelola ‘Gratis’, dia akan bisa menang walaupun kalah jauh dari pesaingnya dalam hal skala atau usia bisnis.

Setelah kita di ‘cuci otak’ tentang Gratis, maka pertanyaan kita yang terpenting: Nah, kalau begitu…duitnya datang darimana dong, kalo semua digratis-in? Jawaban pertanyaan ini akan dibahas pada bab tentang De-monetisasi, yang lagi-lagi mengambil Google sebagai contoh. Google mengaplikasikan ‘Gratis’ agar jangkauannya bisa maksimal, dan jangkauan luas itu akan mereka manfaatkan untuk mendapatkan pemasukan yang utama. Inilah rahasia sesungguhnya ‘Gratis’! Maka untuk dapat sukses, kita perlu kreatif (seperti halnya Google) untuk menciptakan sumber penghasilan di luar ‘Gratis’.

Dunia ‘Gratis’ juga diulas dengan menarik oleh Chris. Selama ini fenomena pembajakan dan barang super murah “made-in-China” selalu menjadi polemik. Namun, mungkin kita tak pernah benar-benar berpikir bagaimana dunia ‘Gratis’ bisa eksis di China? Bagaimana pula dengan pembajakan? Karena bahkan artis-artis lokal mereka juga tak luput dari pembajakan ini. Namun, mereka bukannya teriak-teriak protes, mereka malah memanfaatkan pembajakan itu dengan cerdiknya untuk kepentingan mereka, mengkonversikannya sebagai pendapatan. Menarik bukan? Mungkin artis-artis kita juga perlu membaca buku ini. Alih-alih terus menerus menghamburkan energi melawan pembajakan dan ‘Gratis’ yang takkan pernah habis, lebih baik memikirkan bagaimana menggunakannya untuk mendongkrak publisitas mereka.

Dan yang terakhir yang juga tak kalah menariknya adalah cara pikir orang-orang yang skeptis tentang ‘Gratis’ (yang ternyata sangat banyak dan datang dari bisnis-bisnis besar juga!). Chris akan membahas keberatan-keberatan mereka tentang ‘Gratis’, lalu menunjukkan di mana kesalahan mereka, serta memberikan solusi yang terbaik yang dapat kita pakai. Tak kurang dari 14 kasus yang disuguhkan Chris di sini, dan boleh aku pastikan bahwa setelah anda membacanya, anda pasti akan merasa yakin bahwa ‘Gratis’ bukan saja telah tiba di dunia kita, namun akan mengubah masa depan kita. Tentu saja, jangan anda berhenti hanya dengan membaca buku ini. Segeralah memikirkan, ‘Gratis’ macam apa yang bisa anda aplikasikan ke dalam bisnis anda, dan mulailah berubah SEKARANG! Karena kalau tidak, jangan-jangan pesaing anda akan menyalip diam-diam…

Buku ini jelas merupakan buku yang perlu dibaca. Memang, non fiksi kurang greget karena tak ada unsur-unsur ketegangan atau klimaks yang biasa ada di fiksi. Namun Chris Anderson, untungnya, menyelingi hasil pemikirannya dengan contoh-contoh yang faktual sehingga kita bak membaca sebuah berita-misteri, yang membuat kita selalu berpikir: “Bagaimana hal itu bisa terjadi ya?” Dan dengan demikian kita takkan pernah bisa melepaskan buku ini sebelum tamat. Meskipun…(mengaku nih)..aku membutuhkan waktu yang agak lama untuk menamatkannya. Tapi memang, non fiksi kan tidak untuk dihambur-hamburkan halaman-halamannya dengan cepat begitu saja, sebaliknya justru diserap isinya sebagai landasan gagasan-gagasan yang kita sendiri bangun sendiri selanjutnya. Setuju kan?

Judul: Gratis-Harga Radikal Yang Mengubah Masa Depan
Pengarang: Chris Anderson
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2010
Tebal: 314 hlm

Monday, March 21, 2011

Shakespeare's Landlord

Buku ini bukan tentang William Shakespeare, sang pujangga dunia itu. Shakespeare di sini adalah nama sebuah kota kecil nan tenang di Arkansas, Amerika. Shakespeare menjadi kota pilihan Lily Bard untuk menjadi tempat tinggalnya selama empat tahun terakhir. Lily adalah seorang wanita muda pembersih rumah, atau orang yang dibayar warga kota Shakespeare untuk melakukan pekerjaan membersihkan rumah mereka. Meski kubayangkan wajah Lily lumayan manis, namun gaya tomboy dengan rambut berpotongan pendek, jins longgar dan kaos, kesukaannya berlatih karate, serta pekerjaannya yang tidak menarik, membuatnya kurang menonjol di Shakespeare. Apalagi Lily jarang sekali bersosialisasi dengan warga, meski ia tahu sangat banyak tentang detail pribadi mereka, berkat pekerjaannya sebagai pembersih rumah. Ketertutupan Lily itu bukanlah tanpa sebab, ia memang sengaja membuatnya begitu, dan selama empat tahun ia berhasil mempertahankan irama hidup yang membosankan namun menenangkan itu. Hingga malam itu....

Malam ketika Lily memutuskan ingin berjalan-jalan dalam sepi, saat seisi kota telah mulai terlelap. Atau begitu sangkanya pada mulanya. Karena ternyata ada orang lain juga yang belum naik ke tempat tidur malam itu. Lily memperhatikan dalam gelap ketika orang misterius itu mendorong sesuatu menggunakan gerobak sampahnya (gerobak sampah Lily maksudnya!). Orang itu mendorong gerobak hingga ke sudut gelap di taman, lalu kembali lagi dengan gerobak kosong. Merasa curiga, Lily memeriksa 'bungkusan misterius' itu, dan mendapatinya berisi mayat seseorang yang ia kenal!

Hingga tiba di bagian ini, Charlaine Harris--penulis buku ini, juga menyisipkan beberapa 'clue' yang mengindikasikan adanya sebuah masa lalu yang tersembunyi pada diri Lily, yang ingin ia kubur agar tak menghantuinya lagi. Masa lalu itu jugalah yang membuat Lily enggan melaporkan peristiwa pembunuhan itu langsung pada polisi, dan hanya membuat panggilan telepon anonim tengah malam saja pada Kepala Polisi: Claude Friedrich. Dengan begitu, Lily sudah merasa aman bahwa masa lalunya tak akan terkuak, yang akan terjadi jika ia terekspos sebagai penemu mayat, namun sekaligus ia juga memuaskan tanggung jawab moralnya sebagai penemu tindak kejahatan. Setelah malam itu berlalu, ia ingin kembali menjadi Lily sang pembersih rumah dengan rutinitasnya yang membosankan dalam denyut kehidupan kota kecil Shakespeare. Oh, betapa salahnya ia....

Setelah itu cerita bergulir dalam tempo sedang, meski kadang diselipi kejadian-kejadian yang lumayan seru seperti ketika Lily diserang dan harus memamerkan jurus karatenya. Namun sebagian besar kisah ini menceritakan dengan detail keseharian Lily yang hidup sendirian di sebuah rumah kecil. Bagaimana ia berlatih karate (yang dengan cerdiknya dihidangkan juga menjadi bagian pembuka buku ini oleh Charlaine Harris), bagaimana ia bersiap-siap untuk berangkat bekerja, bagaimana ia bekerja dengan semangat dan dalam profesionalitas tinggi, meski pekerjaannya sesederhana: mengepel, mengelap perabot, membersihkan kamar mandi dll. Alih-alih membosankan, bagian ini justru menjadi urat nadi keseluruhan cerita yang membuatnya unik, menarik, lain dari kisah misteri lainnya. Siapa bilang pekerjaan pembersih rumah itu membosankan?....

Kita seolah membaca diary atau blog seseorang yang menceritakan kesibukannya dari bangun tidur hingga tidur malam. Apa yang ia masak, caranya melakukan pekerjaan bersih-bersih, jadwalnya setiap hari: jam sekian untuk rumah siapa, latihan karatenya, latihan angkat bebannya, kebiasaan tetangganya, dan sebagainya, hingga ehm...kehidupan cintanya. Kadang kala, hal-hal rutin yang membosankan bagi seseorang, justru menarik bagi orang lain, kan? Apalagi bila budaya dan kebiasaan mereka berbeda dengan kita. Begitu asyiknya aku menikmati membaca keseharian Lily ini, hingga ketika halaman yang belum terbaca telah semakin menipis, aku merasa sedih, karena aku pasti merindukan membaca lebih banyak lagi tentang Lily Bard dan kota Shakespeare. Sepertinya, malah kehidupan Lily Bard ini yang paling menarik bagiku, lebih daripada menemukan misteri pembunuh salah satu warga kota itu....

Sosok Lily Bard sendiri memang karakter yang menarik, pemberani dan lugas. Sejarah kelamnya (yang akan terungkap juga di pertengahan buku ini) membantunya membangun sosoknya saat ini. Yang menggembirakan, Charlaine Harris membuat kisah Lily Bard dan kota Shakespeare ini sebagai serial, yang diberi judul: The Lily Bard Mystery, dan hingga saat ini telah terbit 5 serial. Shakespeare's Landlord ini merupakan yang pertama dari kelima serial tersebut. Semoga Penerbit Kantera, yang menerbitkan versi terjemahan buku ini segera menerbitkan seri ke 2 dan seterusnya. Karena, terus terang saja, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada Lily Bard dan kawan-kawannya di kota Shakespeare.

Shakespeare's Landlord adalah sebuah kisah misteri, namun menurutku Charlanie Harris telah memberi sentuhan warna baru pada genre "kisah misteri". Bukannya memasang seorang detektif atau jagoan untuk mengupas misterinya, namun justru menampilkan sosok yang sering kita anggap tak berarti: petugas pembersih rumah. Kalau dipikir-pikir, para pembersih rumah ini adalah orang-orang yang paling mengenal kita dan keluarga kita, lho. Lihat saja cara Lily Bard menemukan kunci misteri pembunuhnya, bukan dengan penyelidikan ala polisi, namun justru dari pengalamannya sehari-hari di berbagai rumah warga Shakespeare. Ah...aku jadi tak sabar menantikan seri selanjutnya terbit. Jangan lama-lama ya, Kantera...!!

Judul : The Lily Bard Mystery #1: Shakespeare's Landlord
Pengarang: Charlaine Harris
Penerbit: Penerbit Kantera
Cetakan: Desember 2010
Tebal: 288 hlm

Wednesday, March 9, 2011

Social Media, Pentingkah? - Lomba Resensi Buku Serambi 2011


Judul buku: The Social Media Marketing Book
Pengarang: Dan Zarella
Penerjemah: Agung Prihantoro
Penerbit: Serambi
Cetakan: Januari 2011
Tebal: 209 hlm


Bagi anda yang sudah biasa menggunakan Twitter atau Facebook, tentu saja social media adalah salah satu alat bersosialisasi dan berinteraksi di dunia maya. Namun sebenarnya, lebih daripada itu, social media merupakan alat pemasaran yang paling canggih saat ini. Anda mungkin berpikir, ah..ini pasti buku bisnis yang membosankan, berhubung aku bukan pengusaha, tak perlulah membaca buku ini. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Karena siapapun anda, apapun pekerjaan anda, social media telah menjadi bagian penting hidup manusia modern jaman ini. Dan buku The Social Media Marketing Book ini akan mengupas beberapa social media terpopuler yang telah banyak mengubah cara hidup kita dalam bidang sosial, politik, budaya, pendidikan, serta bisnis.

Social media terpopuler
Dan Zarella mengupas sembilan jenis social media yang dianggap paling popular saat ini. Masing-masing memiliki karakteristik sendiri, dan mungkin tidak semuanya penting bagi kita. Tapi cukup mengasyikkan juga membaca semua social media ini untuk menambah wawasan, dan mungkin...siapa tahu ada social media jenis baru yang belum pernah kita coba? Buku ini menawarkan cara menggunakannya, fitur-fitur yang ada, sejarahnya, juga kiat-kiat untuk memanfaatkannya bagi kepentingan kita. Yang lebih menarik lagi, Zarella juga mewawancarai para petinggi social media itu untuk mendapatkan saran mereka bagi para pemakai seperti kita. “Suggestion from the first hand” nih! Yuk kita intip ke-9 jenis social media itu. Jangan sampai anda dibilang ketinggalan jaman loh...

Blogging
Anda yang membaca tulisanku ini, pasti sudah mengenal blog kan? Tapi apa anda tahu siapa cikal bakal blog, penulis catatan harian pertama di internet? Dan bagi anda yang memiliki bisnis, ternyata blogging itu suatu keharusan lho!...

Micro Blogging
Lagi-lagi ini social media yang sedang nge-tren di negara kita. Yes, Twitter! Anda belum punya Twitter? Buku ini akan memandu anda untuk membuat dan menggunakan Twitter. Bagian ini lumayan detail mengulas tentang elemen-elemen Twitter seperti: apa itu retweet, hashtag, dan trending topic. Tak hanya itu, buku ini membahas juga tentang aplikasi-aplikasi pendukung Twitter seperti bit.ly (untuk memperpendek URL) atau TweetDeck. Dan yang lebih penting, Zarella membagikan tips tentang etika ber-tweeting. Jangan sampai saking antusiasnya, anda terus saja membuat twit, tapi lupa untuk 'bercakap-cakap' dengan follower anda, yang merupakan tujuan utama anda membuat akun Twitter!

Jejaring Sosial
Bagian ini diwakili oleh Facebook, MySpace dan LinkedIn. Kalau anda ingin menggunakan jejaring sosial, mana yang harus anda pilih? Apakah harus menggunakan semuanya? Buku ini akan menjelaskan secara terperinci, bukan saja sejarah terbentuknya jejaring sosial di internet, tapi juga sifat unik masing-masing jejaring sosial. Tahukah anda bahwa rata-rata user Facebook berusia antara 35-54 tahun? Pantas saja, tampilan Facebook agak formal, antara LinkedIn yang konvensional dan Myspace yang lebih "remaja", demikian menurut Dan Zarella.

Media Bersama
Anda pernah nonton video di YouTube? Atau menyimpan foto di Flickr? Keduanya merupakan jenis social media yang bertajuk Media Bersama, selain SlideShare. Bagian ini sangat menarik, karena ternyata kita bisa menggunakan YouTube, Flickr dan SlideShare untuk mendukung marketing produk kita atau perusahaan kita loh! Zarella akan membedah masing-masing media itu sehingga kita akan memiliki gambaran yang jelas tentangnya, juga ide-ide segar untuk kita gunakan demi kepentingan kita. Oh ya, sudah tahukah anda bahwa YouTube itu didirikan oleh tiga orang karyawan situs pembayaran yang terkenal di internet? Bagiku, bagian Media Bersama ini adalah yang paling menarik, karena kita belum banyak mengenal manfaat sesungguhnya dari YouTube, Flickr dan SlideShare.

Berita Sosial dan Bookmarking
Mengulas tentang situs-situs seperti Digg, Delicious, Reddit, StumbleUpon. Kalau anda pernah mendapat tips untuk menggunakan semua social bookmarking untuk mengoptimalkan pemasaran, Zarella lebih bijak untuk mengupas satu-persatu karakter situs-situs itu, sehingga anda bisa lebih efektif dan focus menggunakan situs yang benar-benar sesuai dengan target pasar bisnis anda.

Forum
Yang satu ini mungkin tak asing bagi kita. Anda sudah pernah mengintip Kaskus, forum terbesar di negara kita kan? Meski bukan sesuatu yang baru, ada yang menarik di bagian: "Haruskah Anda Membuat Forum Sendiri?". Di sini Zarella memberikan sarannya untuk anda, juga daftar software untuk membuat forum sendiri.

Rating & Review
Dua social media yang ini kurang populer di negara kita, namun tak berarti mereka tak menarik untuk kita baca. Rating dan Review adalah situs-situs untuk memberikan rating bagi bisnis atau produk. Yang menarik di sini barangkali adalah tips Zarella untuk merespons review negatif. Ini hal yang jarang kita temukan di tutorial social media lainnya.

Lalu yang terakhir adalah...

Dunia Virtual
Media ini sebenarnya tak sesuai untuk kita karena koneksi internet kita yang masih jauh dari sempurna agak menyulitkan untuk bermain di dunia virtual seperti World of Warcraft dan SecondLife. Namun tetap saja bahasan tentang Dunia Virtual ini mengasyikkan untuk disimak, apalagi ditambah dengan gambar-gambar yang disertakan, makin membuat para pecandu game akan memimpikan bisa membangun rumah di SecondLife, rumah virtual tentunya...

Setelah begitu banyak wawasan kita bertambah, Zarella masih memberikan strategi, saran, taktik serta cara kita memonitor penggunaan social media kita di akhir buku ini. Sudah tepatkah pilihan cara social media marketing kita? Atau jangan-jangan anda selama ini hanya asyik twitter-an saja tanpa menganalisa manfaatnya untuk bisnis atau karier anda? Penutup buku ini jangan sampai anda lewatkan, karena kalau tidak, sia-sia saja kita membaca seluruh buku ini kan?

Entah mengapa, kali ini aku mampu menghabiskan buku ini sekaligus hanya dalam waktu dua hari (biasanya buku non fiksi bertema bisnis harus kukunyah secara bertahap, yang memakan waktu lama sehingga akhirnya malah tak pernah tuntas kucerna). Namun, The Social Media Marketing Book ini memberi nuansa yang ringan dan akrab pada topik bahasan yang agak serius. Bentuk buku yang melebar kesamping memudahkanku untuk meletakkan buku ini di meja sambil menyimak dan sesekali mengambil pena untuk mencatat yang penting di kertas di sebelah buku. Apalagi Serambi telah bermurah hati menyelipkan sebuah pembatas buku mungil berwarna merah secerah covernya agar lebih mudah menandai buku ini ketika dibawa dalam perjalanan. Sayangnya, penampilan gambar-gambar pendukung yang kadang terlalu kecil agak menyulitkan untuk melihat contoh tampilan sebuah halaman situs. Akan lebih baik mungkin, bila satu halaman diperuntukkan satu gambar, selain lebih memanjakan mata, juga lebih informatif.


bentuk buku yang melebar + pembatas buku mungil


Nah, sudahkah anda memanfaatkan keberlimpahan fitur social media bagi hidup anda? Kalau belum, anda bisa memulainya dengan membaca buku sexy ini (oh ya, aku bilang buku ini sexy karena ia ramping namun tetap padat berisi...).

Monday, March 7, 2011

Dongeng Ketiga Belas

"Semua anak memitoskan kelahirannya sendiri. Itu karakteristik umum. Kau ingin mengenal seseorang? Hati, pikiran, dan jiwanya? Tanyakan padanya tentang saat dia lahir. Yang akan kaudapatkan bukanlah kebenaran: kau akan mendapatkan sebuah dongeng. Dan tak ada hal yang lebih menggugah selain dongeng..." ~Vida Winter

Dan memang, seperti kutipan di atas yang membuka kisah ini, dongeng jualah yang akan kita santap dalam buku ini. Bukan dongeng untuk anak-anak yang berpoles dan selalu berakhir indah, namun dongeng gelap kehidupan seorang manusia. Lebih tepatnya dongeng tentang seorang pendongeng: Vida Winter.

Sepanjang karirnya yang cemerlang, Vida Winter telah menelurkan banyak novel. Ia menjadi salah satu penulis besar dunia yang karyanya mungkin bisa disejajarkan dengan Charlotte Bronte atau Jane Austen dalam kehidupan nyata. Mengapa ia begitu disenangi pembaca? Selain karena karyanya, juga karena misteri yang selalu melingkupinya. Tak ada yang tahu siapa sebenarnya Miss Winter, selain sebagai penulis. Tiap kali ia diminta untuk menceritakan tentang dirinya sendiri, selalulah sebuah dongeng baru akan tercipta dari mulutnya. Dongeng yang akan dipercayai pembacanya, hingga wawancara berikut dengan dongeng berikutnya yang berbeda isinya. Dan di puncak semuanya itu, terbitlah karyanya yang berjudul asli Dongeng Ketiga Belas. Ketika buku itu sudah terbit, ternyata hanya duabelas dongeng yang dapat ditemukan pembacanya. Bahkan salah satu edisi aslinya yang tidak sempat ditarik kembali oleh penerbit, berisi halaman-halaman kosong pada bab yang seharusnya memuat dongeng ketiga belas ini. Apakah Miss Winter sengaja mengosongkan dongeng ketiga belas ini? Karena suatu hari nanti ia akan mengisinya dengan kisah hidupnya yang sebenarnya, yang bahkan jauh lebih menarik, lebih gelap dan lebih misterius ketimbang dongeng-dongeng asli yang diceritakannya kembali dengan nuansa brutal dan dingin? Mungkin saja begitu.

Kini saat pengungkapan kebenaran itu telah tiba, yaitu saat penyakit berat tengah menggerogoti tubuh Vida Winter di usia tuanya. Maka dipilihnya seorang penulis esai biografi bernama Margaret Lea untuk menuliskan kisah kehidupannya itu. Margaret adalah putri seorang pemilik toko buku antik yang sangat mencintai buku dan suka membaca sejak kecil. Ia sendiri memiliki sebuah rahasia kepahitan dalam hidunya. Terlahir sebagai anak kembar, saudari kembarnya meninggal saat lahir dan dipisahkan darinya, dan membuat hidupnya sebagai manusia dewasa tak pernah terasa utuh. Hal inilah yang akan membantunya memahami Vida Winter. Karena ternyata kisah kehidupan Miss Winter juga mengenai anak yang terlahir kembar...

Keluarga Angelfield memang keluarga yang aneh. Anggota-anggotanya tak suka bersosialisasi dengan tetangga, hidup terkungkung di rumah, dan beberapa di antara mereka memiliki masalah mental dan moral. Bukan hanya itu, rumah mereka pun sama sekali tak terawat, kotor berdebu, banyak lubang di atap, bau karena sampah menggunung tak terbuang. Kisah sejarah kehidupan mereka benar-benar bak dongeng yang suram. Dimulai dari Isabelle yang liar dan kakaknya, Charlie, yang mencintai Isabelle bukan sebagai adik, dan terutama kesukaan keduanya pada sadomasokisme. Tak berhenti hingga disitu, kedua anak kembar yang dilahirkan Isabelle: Adeline dan Emmeline juga tumbuh tak normal. Tapi memang, kalau anda tinggal bersama ibu yang abai, paman eksentrik, rumah tua yang jorok dan nyaris ambruk karena tak terawat, dan hanya diasuh pembantu rumah tangga dan tukang kebun, bagaimana anda akan tumbuh normal? Adeline si gadis liar nan kejam, dan Emmeline si gadis bodoh yang memuja Adeline. Keduanya tak terpisahkan satu sama lain, dan sering membuat keonaran bagi keluarga dan tetangga mereka, bahkan sering membahayakan jiwa.

Seiring pertumbuhan si kembar menuju kedewasaan, banyak peristiwa menghampiri silih berganti, makin lama kehidupan mereka makin suram setelah hampir semua penghuni rumah pergi dan tak kembali. Lalu terjadilah sebuah kebakaran yang bukan saja meluluh lantakkan rumah besar Angelfield House, namun juga mempengaruhi kehidupan mereka yang masih tersisa di sana.

Semua kisah panjang ini diungkapkan sedikit demi sedikit oleh Vida Winter pada Margaret. Sedikit demi sedikit selubung misteri hidup Miss Winter terkelupas, namun tetap saja banyak potongan-potongan kisah yang seolah tak cocok dengan kisah Miss Winter, bagaikan potongan-potongan puzzle yang tercerai-berai, menunggu seseorang menempatkan mereka di tempat yang benar agar keseluruhan gambar bisa mewujud. Tak puas dengan cerita Miss Winter saja, Margaret melengkapi tulisannya dengan melakukan penyelidikan baik lewat data sejarah maupun berkeliling Angelfield sendiri. Di sana ia bertemu dengan Aurelius, seorang pria kesepian yang terus mencari asal-usulnya dan sering berkeliaran di antara bobroknya Angelfield House karena ia merasa itulah rumahnya ketika dilahirkan.

Kisah keluarga Angelfield yang suram ini ditingkahi dengan kisik-kisik orang tentang "hantu" yang ada di Angelfield. Bagaimana kau akan tiba-tiba melihat sekelebatan bayangan menghilang di pojokan dinding, atau sosok bayangan di cermin. Dan banyak lagi potongan-potongan kisah lainnya yang tak dapat dijelaskan, namun tetap terjadi. Di luar semua itu, kisah keluarga Angelfield ini begitu mempengaruhi Margaret secara psikologis hingga ia merasa dihantui juga oleh almarhumah saudari kembarnya. Sama seperti keterikatan Adeline dan Emmeline yang begitu kuat hingga keduanya bagai bunga yang layu dan mati saat terpisah, begitu juga Margaret menjadi makin lemah dan kuyu saat mendekati hari ulang tahunnya, karena sekali lagi ia akan diingatkan pada sakitnya jiwa saat dipisahkan dengan kembarannya yang mengisi sebagian dirinya.

Ketika cerita Miss Winter mendekati akhir, demikian juga kesehatannya. Kejutan demi kejutan akan menghadang anda termasuk pembunuhan, namun kunci dari semua misteri ini terletak pada karakter unik dari Adeline dan Emmeline sebagai anak kembar. Kita akan diajak untuk menyadari akibat buruk dari ketiadaan kasih dan pengabaian pada anak-anak, dan bagaimana -seperti digambarkan Vida Winter di kutipan pembuka- situasi kelahiran seorang anak akan banyak mempengaruhi bagaimana ia kelak akan bertumbuh sebagai manusia dewasa.

Ada dua hal yang membuatku jatuh cinta pada buku ini. Pertama, kecintaan Vida dan Margaret pada buku. Vida adalah pengagum buku Jane Eyre karya Charlotte Bronte. Ia memiliki satu rak khusus di perpustakaannya yang memajang semua edisi Jane Eyre yang pernah diterbitkan, dalam banyak bahasa dan dari banyak edisi serta penerbit. Bayangkan, satu rak khusus untuk satu judul buku saja! Kebetulan pula, Vida dan Margaret berbagi kecintaan pada novel Jane Eyre dan novel-novel klasik lain seperti Wuthering Heights dan The Woman In White. Bahkan penggalan cerita Jane Eyre berperan besar dalam pemecahan misteri tragedi Angelfield ini! Sedangkan kecintaan Margaret pada buku jelas sekali terlihat dari bagaimana ia memperlakukan buku-buku di tokonya dengan kelembutan seorang penyayang binatang pada hewan peliharaannya.

Kedua, aku juga suka pada cara penjabaran Diane Setterfield (penulis buku ini) yang sangat pas mengenai sensasi membaca buku:

"Tahukah kau perasaan yang muncul saat kau mulai membaca buku baru sebelum pelapis buku terakhir sempat menutup? Kau meninggalkan ide dan tema buku sebelumnya --bahkan karakter-karakternya-- terperangkap di serat-serat pakaianmu, dan ketika kau membuka buku baru, semua ide, tema, dan karakter buku sebelumnya masih melekat bersamamu."

Selain itu, seperti karya-karya klasik yang banyak disinggung di buku ini, gaya penulisan Diane Setterfield juga tak kalah cantiknya, dan membuat keseluruhan isi buku ini menjadi sebuah hiburan yang komplit, kendati nuansa muram dan sesekali gelap tetap terasa. Seperti efek cerita Vida pada Margaret, Diane Setterfield juga telah berhasil membetot perhatian dan seluruh perasaanku pada Dongeng Ketiga Belas ini. Kalaupun ada kekurangan pada buku ini, seperti layaknya pada setiap karya, aku pasti tak menyadarinya karena begitu membaca dari halaman pertama pun, seolah aku telah pindah dari alam nyata ke alam nyata lain bersama keluarga Angelfield dan Vida Winter....

Judul asli: The Thirteenth Tale
Pengarang: Diane Setterfield
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: November 2008
Tebal: 608 hlm

Tuesday, March 1, 2011

Bacaan Selama Februari 2011

Tak terasa Februari telah berlalu, dan selama 2 bulan pertama di tahun 2011 ini, aku telah melahap sekitar 22 buku (bagi sahabat di Goodreads mungkin jumlahnya menjadi 25 karena ada 1 serial komik yang disini aku jadikan 1 buku). Bulan lalu sendiri, ada 8 buku yang telah selesai kubaca. Eh… 7,5 deh, soalnya buku ke 20: The Tales of Terror & Detection hanya mampu kubaca sebagian. Mau tahu alasannya? Baca aja deh di sini. Anyway, inilah ke 8 buku itu…


Dan kalau bulan lalu buku favoritku adalah Water For Elephants, maka bulan ini adalah: The Phantom Of the Opera. Bagaimana denganmu, sudah baca berapa buku, hayooo….