Thursday, December 31, 2009

Kaleidoskop Baca Buku Fanda 2009

Akhirnya sampailah kita di penghujung 2009. Ini saatnya untuk ‘bersih-bersih’. Bersih-bersih hati, pikiran maupun secara fisik. Buat para blogger, mungkin ini saatnya bersih-bersih blognya. Sadarkah anda bahwa setelah hari ini berlalu, semua posting anda sepanjang 2009 akan tersimpan hanya dalam satu kata : "2009" di file anda di blogger.

Karena itu, hari ini aku menyempatkan diri untuk membongkar-bongkar lagi posting-postingku selama 2009 ini. Aku pribadi juga akan memilih posting-postingku dalam 2 kategori: ulasan buku dan posting yang jadi favoritku. Rencananya aku mau posting juga semua buku yang udah aku baca, tapi masalahnya banyak buku yang aku udah baca tapi aku ga sempat posting. Jadi sekarang aku ga tau lagi buku mana aja yang sudah terbaca.

7 Ulasan Buku Favoritku

Catatan Harian Anne Frank (Januari 2009)
Pemikiran Anne Frank-lah yang memukau aku, yaitu pemikiran tentang perdamaian dan harapan.

The Chamber - John Grisham (Januari 2009)
Sebenarnya ini bukan murni review, melainkan menuangkan pemikiranku sendiri terhadap buku ini. Sebenarnya ceritanya agak membosankan, tapi justru sisi psikologis buku ini yang membuat buku ini berkesan buatku.

Flowers For Algernon (April 2009)
Ini buku yang sangat unik, sehingga aku sangat menyukai baik bukunya sendiri maupun ulasannya.

Five People You Meet In Heaven (Mei 2009)
Dalam ulasan ini aku menggunakan cara maju-mundur (yah...bukunya sendiri begitu sih alurnya). Unik... aku suka deh!

Winners Never Cheat (Juli 2009)
Tak sia-sia aku beli buku ini dulu. Ternyata isinya simple namun amat berguna. Aku juga suka pada ulasanku, yang bisa dibuat bahan renungan juga.

Skandal Perjamuan Natal Agatha Christie (Agustus 2009)
Cara penulisanku untuk novel ini lain dari yang lain. Tanpa sengaja aku memadukan pengalaman pribadi dengan ulasan buku. Ternyata setelah aku baca lagi...mmm...I like it!

Aku & Marley (Oktober 2009)
Aku juga suka buku ini, dan menuliskan ulasannya seolah aku melihat Marley sendiri...

Sebenarnya aku mau menjadikannya 10 ulasan buku favorit, tapi setelah aku baca-baca lagi, hanya 7 ini yang istimewa menurutku. Jadi berpikir....sudah waktunya nih untuk bikin ulasan yang lain daripada yang lain lagi!


10 Tulisan Favoritku

7 Hal Yang Membuat Aku Tersenyum Setiap Hari (February 2009)
Sebenarnya ini posting award plus PR. Tapi aku suka banget karena posting ini benar-benar menggambarkan diriku, dan aku sangat enjoy waktu menuliskannya (meski saat ini ada yang udah ga valid lagi ceritanya…).

3 Alasan John Grisham Layak Disebut Penulis Hebat (Januari 2009)
Aku suka banget menganalisa. John Grisham adalah salah satu penulis favoritku, dan aku takjub karena setelah aku pilah-pilah karya-karyanya, ternyata sulit untuk memasukkan tulisan John ke dalam satu genre saja. Mengapa? Yah…baca aja lagi tulisan ini deh… Yang jelas aku enjoy banget waktu nulis ini.

Margaritas Murder (Maret 2009)
Loh, ini kan review buku? Kok ga ditaruh di atas sih, Fan? Jawab: suka-suka aku dong, kan aku yang punya blog! Hehehe… Memang tulisan ini adalah ulasan buku, tapi menulis ulasan ini dalam bahasa Inggris merupakan tantangan tersendiri buatku. Kan Fanda suka tantangan? Dan ketika aku baca-baca lagi, hmm….ga jelek-jelek amat ternyata… (I should do this more often!)

Where Has That Smile Gone (April 2009)
Tulisan ini (yang berbentuk puisi) merupakan curahan hatiku sendiri mengenai seorang sahabat terbaikku. Tak perlu dijelaskan lagi, tulisan ini tercipta benar-benar dari hatiku, dan karenanya sangat berkesan buatku.

Pilihan Yang Membuat Perbedaan (April 2009)
Meski tulisan ini aku ambil dari versi bahasa Inggris yang lalu aku terjemahkan, kisahnya begitu bagus, dan aku menuliskannya benar-benar dengan hati.

Awakenings (Mei 2009)
Ini film yang bagus, dan aku menuliskan ulasannya segera setelah nonton filmnya, dengan rasa haru masih tersisa, sehingga sekali lagi aku terpaksa menangis waktu menyelesaikan posting ini.

Jadilah Dirimu Sendiri (Juni 2009)
Posting ini kutulis saat berita kematian the King Of Pop Michael Jackson ramai diberitakan. Saat aku menulis ini, aku merasa benar-benar bangga menjadi diriku sendiri yang seutuhnya.

Sudahkah Kau Pakai Pensilmu? (Juli 2009)
Tulisan ini tercipta di benakku begitu saja, karena membaca posting di sebuah blog. Postingnya tentang pensil, dan tiba-tiba saja sederetan kata-kata mengalir lewat jari-jariku di tuts keyboard laptopku...

Kisah Menyepi Di Darmaningsih (Juli 2009)
Membaca kembali kedua bagian kisah 'menyepi'ku ini aku jadi terpesona sendiri. Kok tumben ya aku bisa menulis dengan begitu indah (ini menurutku sendiri ya, kalo anda ga setuju dilarang protes!). Mungkin suasana sangat mempengaruhi ya...

Belajar Dari Film A Few Good Men (September 2009)
Aku suka filmnya, dan aku paling suka kalimat terakhir dalam tulisanku. I really enjoy writing it!

Akhirnya aku mengucapkan kepada teman-teman semua...

SELAMAT TAHUN BARU 2010
Semoga kesuksesan, kebahagiaan, dan kedamaian melingkupi kita semua ya! Teruslah berkarya bersama-sama denganku...



Tuesday, December 29, 2009

Malam Di Atas Lautan

Inilah buku pertama dari Ken Follet yang pernah aku baca. Dulunya aku menganggap tulisan Ken terlalu serius (dan bukunya tebal), tapi membaca sinopsis Night Over Water atau Malam Di Atas Lautan ini, aku jadi tertarik untuk membacanya. Ternyata benar... Ken Follet ternyata penulis yang piawai meramu berbagai konflik ke dalam ketegangan plus romansa yang menjadi asyik untuk dibaca.

Semua ketegangan itu berlatar belakang awal Perang Dunia II, dan terakumulasi di atas pesawat Pan America Clipper, pesawat yang dirancang dengan kemewahan, dan uniknya...bisa mendarat di air layaknya pesawat amphibi. Naik pesawat ini, penumpang akan merasa seperti berada di atas kapal pesiar, namun dengan waktu tempuh yang jauh lebih singkat daripada kapal. Clipper sendiri adalah penerbangan trans-atlantik. Berangkat dari Southampton (Inggris) menuju ke New York (Amerika). Pesawat ini memang sesungguhnya pernah ada, dan dipakai oleh Ken Follet sebagai background kisah yang menarik ini.

Jangan anda kira bahwa para penumpangnya hanya ingin berlibur semata. Ternyata mereka semua menyimpan problem masing-masing, dan selama sekitar 36 jam, mereka semua akan berkumpul di Clipper dan akan mengalami hal-hal paling luar biasa dalam hidup mereka. Ada sebuah keluarga yang nampak rukun, namun menyimpan perpecahan di dalam. Sang ayah yang fasis dan otoriter terhadap anak-anaknya, membuat putrinya yang sosialis ingin membangkang. Margareth tak ingin berangkat ke Amerika karena ingin berperan serta dalam perang. Namun, karena pelariannya yang gagal, ia pun terpaksa menumpang Clipper bersama keluarganya yang melarikan diri ke Amerika karena takut ditangkap karena aliran politik sang ayah.

Ada juga seorang istri yang sudah muak akan kelakuan suaminya yang dingin dan acuh, lalu menemukan kehangatan dan romantisme dari seorang pria lain, memutuskan untuk melarikan diri meninggalkan sang suami yang pengusaha, dan bersama kekasihnya menumpang Clipper menuju Amerika. Namun sang suami ternyata tak rela melepaskannya, dan ia pun berupaya untuk mendapatkan tempat di Clipper, mengejar istrinya.

Di lain pihak, muncul seorang wanita yang memiliki pabrik sepatu yang sedang berjuang untuk menghentikan perbuatan adiknya yang mau mengambil alih perusahaannya. Si adik ternyata menumpang Clipper, sehingga si wanita pun harus bisa mengejar Clipper bersama-sama dengan si pengusaha tadi.

Ada juga seorang pencuri perhiasan yang amat pandai dan menyenangi hidup mewah serta pecinta perhiasan mahal, yang selalu beruntung. Namun suatu saat ia nyaris tertangkap polisi, dan merasa saatnya tiba untuk melarikan diri. Dan karena transportasi sulit didapat menjelang perang, maka Clipper-lah pilihannya.

Selain itu, ada juga seorang ilmuwan Fisika yang ahli nuklir, dan diincar oleh Nazi untuk membuat bom hebat untuk kepentingan perang. Ia bepergian bersama seorang teman. Ada juga seorang agen FBI bersama seseorang yang disinyalir adalah seorang pembunuh. Dan untuk menambah heboh, ada juga bintang film Hollywood yang terkenal dan seorang putri bangsawan Rusia. Hebat kan daftar penumpangnya?

Konflik yang jauh lebih besar justru dialami oleh Eddie Beakin, seorang kepala teknisi di Clipper. Tepat sebelum Clipper tinggal landas, Eddie menerima kabar bahwa istrinya diculik, dan ia harus membuat Clipper mendarat darurat di tengah lautan untuk melihat istrinya kembali dalam keadaan hidup. Eddie yang selama ini dikenal teknisi yang jujur, berdedikasi, dan pekerja serius, harus mengkhianati rekan-rekannya. Tujuan Clipper dihentikan paksa adalah untuk menjemput salah seorang dari para penumpang. Yang mana?

Lalu, dapatkah para penumpang merealisasikan impian dan tujuan masing-masing? Atau justru semuanya akan berubah hanya dalam waktu 36 jam itu? Ken Follet ternyata mampu meramu ketegangan dari awal hingga akhir. Layak deh dibaca....

Judul asli: Night Over Water
Pengarang: Ken Follet
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 563
Harga: Rp 55.000,-



Friday, December 18, 2009

Malam Sunyi

Kayaknya pas banget untuk membaca buku ini menjelang atau selama perayaan Natal, karena tema novel ringan karangan Mary Higgins Clark ini mengambil suasana natal. Dan Mary juga memasukkan sebuah unsur yang pada jaman ini mungkin banyak ditinggalkan orang, yakni iman yang teguh kepadaNya pada saat terjadi musibah.

Kisahnya sendiri sebenarnya simple. Ada sebuah keluarga menengah di Amerika, ayah, ibu dan dua orang putera yang mengalami musibah bertubi-tubi menjelang hari Natal. Sang ayah baru saja didiagnosis menderita leukimia yang menyebabkannya harus menjalani operasi di rumah sakit. Sehari sebelum Natal, sang ibu mengajak dua putranya melihat-lihat pohon natal raksasa yang ada di Rockefeller, serta deretan toko-toko di Saks Avenue dengan lampu-lampu dan dekorasi natal yang indah dan semarak. Tujuannya, supaya kedua anak itu agak terhibur sebelum mereka bertiga menemani sang ayah di rumah sakit.

Sebelum mereka bertiga berangkat, sang nenek menitipkan sesuatu yang ia percaya bisa membantu kesembuhan anaknya. Benda itu adalah sebuah medali Santo Christopher, yang dulu pernah menyelamatkan suami sang nenek pada Perang Dunia II. Saat menghadapi baku tembak, peluru yang mengarah ke tubuh sang kakek ternyata persis mengenai medali itu sehingga medali itu agak penyok sedangkan nyawa sang kakek terselamatkan.

Kedua cucunya begitu bergairah ingin cepat-cepat membawa medali itu ke ayahnya agar ayahnya cepat sembuh dan dapat merayakan Natal bersama mereka, namun sang ibu merasa skeptis. Ia tak percaya bahwa sebuah benda akan bisa menyembuhkan atau menyelamatkan orang. Peristiwa di medan perang itu kan hanya kebetulan saja…begitu pikirnya. Namun karena desakan mertua dan anak-anaknya, ia membawa juga medali itu di dompetnya.

Suasana di Rockefeller menjelang natal begitu penuh sesak dengan gelombang manusia, dan salah satunya adalah seorang janda muda miskin yang sedang dalam perjalanan pulang, dan yang ingin sekali membelikan hadiah natal buat putrinya namun tak mampu. Dan saat itu juga jagat raya seolah mengeluarkan tangan-tangannya dan mengatur sebuah adegan yang akan mengubah jalan hidup banyak orang di malam natal. Si janda muda tengah lewat dekat sang ibu dan kedua putranya, saat sang ibu tak sengaja menjatuhkan dompetnya ke tanah.

Entah kalut, atau bingung, si janda muda memungut dompet itu begitu saja dan berlalu dari tempat itu. Si anak bungsu, Brian namanya, melihat perbuatan si janda muda. Ia khawatir karena di dalam dompet itu ada medali yang (ia percaya) bisa menyembuhkan ayah tercintanya. Maka tanpa pikir panjang (khas anak kecil), Brian membuntuti si janda hingga ke apartemen kumuhnya. Meski dalam perjalanan si janda akhirnya menyesal telah mencuri dompet, namun ia memutuskan untuk membawa pulang dompet itu dulu dan esok harinya mengirim ke alamat yang ada di tanda pengenal pemiliknya.

Namun, semuanya tak sesederhana itu. Kakak si janda adalah narapidana yang sedang melarikan diri dari penjara. Ia mengancam kakaknya untuk minta uang. Dan ketika si napi hampir meninggalkan apartemen tanpa uang, Brian mengetuk pintu apartemen dan terang-terangan menuduh si janda telah mencuri dompet ibunya!

Tak perlu dijelaskan panjang lebar, si napi senang karena mendapat uang, tapi juga membawa Brian ikut kabur bersamanya sebagai sandera. Dan…dimulailah petualangan Brian (yang tadinya tampak berani) namun sekarang berubah menjadi berbahaya karena si napi tak segan-segan membunuh bila kakaknya melapor ke polisi.

Sama seperti ibu Brian, si napi hanya menertawakan dan mengejek Brian mengenai medali St. Christophernya. Ia akhirnya memberikan medali itu padanya supaya tak merengek terus. Brian memakainya di leher supaya tidak hilang. Dan akhirnya, medali St Christopher itu memang yang akan menyelamatkan Brian dari penculiknya. Dan semua orang pun kembali bahagia dan bisa merayakan Natal dengan damai dan gembira.

Ditilik dari ceritanya, sebenarnya kisah ini klise, dan unsur kebetulannya terlalu banyak. Namun, aku salut pada nilai yang disisipkan oleh Mary, yakni nilai keimanan. Bagi umat Katolik, medali santo atau santa, patung dan salib adalah sebagai alat untuk mengingatkan kita pada apa yang kita imani. Banyak orang non Katolik yang berpikir bahwa umat Katolik menyembah berhala atau praktek klenik. Padahal sesungguhnya bukan. St Christopher sendiri adalah seorang santo pelindung orang sakit. Dalam kisah ini juga diperlihatkan bahwa yang menyelamatkan si kakek dalam perang dan Brian bukanlah benda itu sendiri. Penyelamat mereka tetaplah Tuhan, namun melalui benda itulah, keselamatan itu akhirnya terjadi.

Saat orang yang sakit dan putus harapan umpamanya, melihat dan memakai medali itu, ia mungkin akan diingatkan setiap saat untuk mendekatkan diri kepadaNya, dan bahwa padaNya selalu ada harapan. Dan kemungkinan besar, justru iman dan harapan itu yang membuat tubuhnya kembali mampu berperang melawan penyakitnya.

Akhirnya dari kisah sederhana ini, aku menemukan keasyikan karena seolah bisa merasakan keindahan suasana Natal di Amerika. Namun yang terpenting, aku belajar…

Pertama, semua yang kita lakukan ada konsekuensinya, tak peduli apapun niat kita. Saat mengambil dompet, jelas niat awal si janda adalah mencuri. Namun, meski kemudian ia berubah pikiran, tetap ada konsekuensi dari perbuatannya. Dan mungkin karena ia telah membayar perbuatan awalnya dengan melapor ke polisi meski ia harus mengorbankan hidupnya, maka ia pun masih diberikan kesempatan untuk merayakan natal dengan layak.

Kedua, saat kanak-kanak iman kita sungguh besar kepadaNya sesuai didikan orang tua dan lingkungan kita. Namun dengan bertambah dewasa, seiring dengan makin bertambahnya pengetahuan dan pengalaman kita, iman itu sering menjadi luntur. Akibatnya kita lebih percaya pada apa yang bisa kita lihat dan pahami (ilmu kedokteran misalnya) daripada apa yang tidak kita lihat dan tidak kita pahami. Dari kisah ini kita diingatkan untuk tetap memelihara iman kita seperti seorang anak kecil. Tulus, dan tanpa prasangka….

Paling akhir, ijinkan aku untuk berpromosi sedikit ya! Buat yang tertarik dan pengen beli novel bekasnya, langsung aja ke Vixxio Buku Bekas Online ya! Harganya murah, kondisinya bagus kok….




Thursday, December 10, 2009

Ubud Writers & Readers Festival 2010

Ada pesan yang masuk ke inbox e-mailku beberapa hari lalu. Isinya mengajak para penulis dan pecinta sastra Indonesia untuk turut serta meramaikan sebuah even di Bali pada tahun 2010. Tahu bahwa aku banyak kenal para penulis dan pecinta sastra lewat blogger, sahabat yang mengirimiku e-mail itu minta tolong aku untuk menyebarluaskan berita ini pada teman-teman. Ini dia isi lengkap undangannya…

Pecinta sastra Indonesia….

Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) mengundang para penulis Indonesia untuk mengikuti festival sastra internasional yang akan berlangsung pada 6-10 Oktober 2010 dengan mengusung tema Bhineka Tunggal Ika.

Dewan Kurator UWRF akan memilih 15 penulis Indonesia yang kehadiran serta partisipasinya di festival akan didanai oleh UWRF dan lembaga funding mitra UWRF. Pemilihan akan didasari pada sejumlah kriteria, termasuk kualitas karya, prestasi dan konsistensi dalam berkarya, serta dedikasi pada pengembangan kesusastraan Indonesia.

Kegiatan festival meliputi: disksusi panel, pembacaan karya, bincang-bincang penulis, dan lokakarya.

Bila Anda adalah penulis Indonesia, atau mengenal penulis yang Anda anggap layak, layangkan pendaftaran sesuai syarat dan ketentuan di bawah ini:
• Penulis adalah warga negara Indonesia
• Menulis karya sastra, baik berupa puisi, prosa, naskah drama maupun karya non- fiksi baik yang sudah diterbitkan maupun belum.
• Penulis yang sudah menerbitkan buku dipersilahkan mengirim buku atau judul-judul buku yang telah diterbitkan.
• Penulis yang belum menerbitkan buku dipersilahkan mengirim 30 karya puisi terbaik atau 8 karya cerpen terbaik atau 3 naskah Drama.
• Biodata penulis
• Usulan topik yang dinilai menarik untuk dibahas selama festival.

Kirim ke sekretariat panitia UWRF paling lambat tanggal 1 Februari 2010 (cap pos)
Ditujukan kepada :

Kadek Purnami
Ubud Writers & Readers Festival
Jl. Raya Sanggingan Ubud - Indus Restaurant.
PO Box 181, Ubud Bali 80571.

Bagi penulis dari luar Bali yang terpilih, Panitia akan menangung biaya transportasi (penerbangan) dan akomodasi selama berlangsungnya acara.

Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa hubungi
Kadek Purnami:
Telp / Fax : 0361-977408
Email : Info@ubudwritersfestival.com / kadek.purnami@ubudwritersfestival.com
www.ubudwritersfestival.com

Ayoo….ikut aja rame-rame buat yang berminat. Lumayan kan, sekalian jalan-jalan ke Bali!




Saturday, December 5, 2009

Tuesdays With Morrie

Baru saja aku selesai menamatkan sebuah buku dari Mitch Albom (masih ingat kan, yang menulis Five People You Meet In Heaven?). Buku ini merupakan kisah nyata yang dialami Mitch dengan mantan dosennya, Prof. Morrie Schwartz. Ketika masih kuliah, Mitch mengagumi Morrie sebagai dosen Sosiologi yang jenius, namun ketika sudah jadi seorang pengusaha sukses yang selalu sibuk, Mitch sekali lagi mengikuti kuliah Morrie. Kali ini tempatnya di rumah Morrie, waktunya setiap Selasa, mata kuliahnya: tentang kehidupan, kematian, dan cinta….

Ketika kuliah dulu Mitch sangat dekat dengan dosennya, Morrie. Mereka sering berdiksusi bersama di kafetaria kampus, dan sering menggarap proyek bersama juga. Ketika acara wisuda, Mitch memeluk Morrie sambil mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan saling kontak, karena pada dasarnya Mitch dan Morrie saling menyayangi

Setelah itu Mitch mulai memasuki pusaran kehidupan yang sebenarnya, dan mulai jauh meninggalkan masa lalunya dan melupakan janjinya. Ia akhirnya menjadi seorang kolumnis yang cukup sukses dan sangat sibuk. Ia sudah hampir melupakan sosok Morrie, kalau saja ia tidak secara sengaja memencet sebuah channel televise yang sedang menayangkan reality show, persis pada saat si pembawa acara berkata “….Siapakah Morrie Schwartz…?”, dan membuat Mitch langsung mati rasa…

Morrie yang kini telah berusia tahun didiagnosis menderita ALS, yaitu penyakit yang menyebabkan satu persatu organnya lumpuh. Berawal dari kaki, dan selanjutnya merambat makin ke tubuh bagian atas, dan bila kelumpuhan itu melanda jantung dan paru-parunya, maka si penderita akan meninggal. Semua proses itu bisa berlangsung cepat, namun bisa juga amat lambat.

Maka kenanganpun berkelebat di benak Mitch, yang mendorongnya untuk mengunjungi mantan dosen kesayangannya itu. Dan…bukan main gembiranya Morrie dapat berjumpa kembali dengan Mitch di rumahnya yang sederhana. Mitch dalam usia puncaknya, 30 tahunan, sedang sibuk menapaki karier sebagai kolumnis olah raga di harian terkemuka, berkenalan dengan para selebriti olah raga dan hidupnya selalu sibuk. Morrie, di usia tua dengan tubuh makin ringkih, di desa yang tenang, dan kedamaian hidup merupakan keutamaan baginya. Kedua sosok yang berbeda itu kini memutuskan untuk membuat sebuah proyek besar yang terakhir.

Morrie akan memberikan 'kuliah'nya di rumah. Mahasiswanya hanya Mitch. Kurikulumnya mengenai bagaimana kita menjalani hidup, dan menghadpi kematian. Sumbernya dari pengalaman pribadi Morrie, tempatnya di ruang kerja atau kamar tidur Morrie, waktunya setiap hari Selasa. Tuesdays with Morrie...

Setiap Selasa Mitch menyaksikan bagaimana kesehatan Morrie semakin memburuk. Awalnya ia hanya tak bisa berjalan, harus duduk di kursi roda, lambat laun ia harus terbaring di ranjang dan harus memakai kateter. Ditambah pula dengan penyakit paru-paru yang sangat mengganggu. Namun di tengah penderitaan fisik itu, pikiran dan perasaan Morrie tetap tak terganggu, ia tetap bersemangat dan tetap bisa mensyukuri apa yang (masih) ia miliki.

Salah satu pelajaran berharga dari Morrie adalah, bahwa begitu kita tahu kita akan mati, saat itulah kita belajar bagaimana harus hidup. Maka Morrie ingin mengajarkan pada kita semua rahasia hidup itu, agar kita tak perlu harus sekarat dulu untuk menyadarinya, di mana kemungkinan sudah tak ada waktu untuk melakukannya.

Dari Morrie kita belajar bagaimana cara menerima rasa sakit sekaligus menyisihkannya dari pikiran kita, sehingga kita dapat berkonsentrasi pada hal lainnya. Kita juga belajar bagaimana menghadapi kematian yang akan datang tanpa rasa takut. Kita belajar untuk memanfaatkan waktu lebih banyak untuk memberi perhatian pada orang-orang yang kita cintai, darpada pada uang dan karir. Kita belajar untuk menunjukkan rasa cinta dan penyesalan kita, untuk tidak menunda-nundanya hingga mungkin saja momen itu akan terlewatkan.

Membaca buku ini memang harus lebih banyak dengan perasaan ketimbang pikiran. Semua yang ada di dalamnya bukanlah hal baru, kita sudah mengetahui semuanya. Masalahnya, apakah kita menyadarinya? Jangan-jangan kita semua seperti Mitch yang terseret dalam pusaran arus kehidupan modern, di mana jabatan dan kekayaan adalah satu-satunya di dunia yang harus dikejar?

Membaca buku ini aku jadi ingat apa yang dikatakan Stephen Covey dalam buku Seven Habits-nya. Yaitu, kita perlu membayangkan apa yang akan disampaikan dan dikenang orang-orang lain ketika kita kelak meninggal. Seperti itulah hidup yang seharusnya kita kejar. Mana yang ingin anda dengar di sekeliling peti mati atau liang lahat anda: bahwa anda orang yang baik, penuh kasih pada sesama, sahabat yang perhatian, tetangga yang ringan tangan, orang tua yang bijaksana, karyawan yang jujur dan loyal...atau...bahwa rumah anda megah, namun tetangga tak pernah mengenal anda, bahwa anda atasan yang otoriter, bahwa anda selalu sibuk hingga teman-teman anda tak pernah sempat bertemu anda?

Kita mesti berterima kasih pada Morrie, dan pada Mitch Albom yang telah menuliskan proyek mereka berdua bagi hidup semua orang. Ternyata...kematian itu bukan akhir yang mengerikan, namun justru awal dari sebuah kesadaran akan makna hidup.

Judul : Tuesday With Morrie
Penulis: Mitch Albom
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Media
Halaman: 207



Monday, November 16, 2009

Puteri Kesayangan Ayah

Judul di atas milik sebuah novel Mary Higgins Clark yang judul aslinya: Daddy’s Little Girl. Seperti biasa Mary mengusung tema pembunuhan dalam bukunya. Kali ini korbannya adalah seorang gadis bernama Andrea. Andrea gadis yang centil, dan pria yang dicintainya adalah Rob, putra sebuah keluarga kaya. Sedangkan Paulie adalah cowok pendiam yang diam-diam naksir Andrea.

Ellie sama sekali berbeda dari Andrea, meski mereka berdua saudara kandung. Kalau Andrea selalu menjadi perhatian orang, Ellie cenderung pendiam dan tak banyak omong. Karena itulah Andrea mempercayakan sebagian besar rahasianya yang tak boleh dibagikan, terutama ke ayahnya yang seorang polisi dan tak merestui hubungannya dengan Rob. Rahasia itu dari yang kecil berupa kalung pemberian Rob yang berliontin hati bertatahkan batu biru dan bergravir dua huruf A dan R, hingga rahasia yang besar yaitu bahwa Andrea bersama teman-temannya sering bersembunyi di garasi rumah nenek Rob untuk merokok.

Selama ini Ellie memegang erat rahasia itu. Selama ini Andrea aman dari teguran dan amarah ayahnya, namun tidak dari seseorang yang hendak mengambil nyawanya!

Malam itu Andrea pergi ke rumah Joan sahabatnya untuk belajar bersama, dan tak pernah kembali ke rumah lagi. Ellie tahu di mana Andrea mungkin berada, maka ia masuk ke garasi itu, lalu menemukan mayat Andrea di sana!

Ada dua hal yang terus diingat Ellie tentang pembunuhan itu hingga ia beranjak dewasa, yaitu bahwa ia sempat memegang liontin kalung kesayangan Andrea, dan desah napas seseorang yang sempat ia dengar dalam kegelapan sebelum ia bagaikan terbang ke luar dan menjerit-jerit histeris hingga tiba di rumahnya. Hanya, karena saat itu ia masih seorang gadis kecil berusia 10 tahun, tak ada yang mempercayainya tentang liontin itu waktu ia menjadi saksi di persidangan.

Namun demikian, kesaksian Ellie sudah cukup untuk menjebloskan satu-satunya tersangka pembunuhan Andrea itu ke penjara: Rob. Ellie bersaksi bahwa Andrea telah berjanji untuk pergi ke pesta dansa bersama Paulie karena takut Paulie membocorkan rahasia tempat persembunyian Andrea kepada ayahnya. Rob sangat marah, dan malam ketika Andrea dibunuh itu, Andrea menemuinya untuk membicarakan hal itu. Tak heran bukan jika Rob langsung dijadikan terdakwa? Apalagi pada baju Rob ditemukan bekas darah meski Rob cepat-cepat mencucinya.

Setelah menjalani hukuman selama 22 tahun, tersiar kabar bahwa Rob akan dibebaskan secara bersyarat. Maka Ellie yang telah berkarir sebagai wartawan investigasi akhirnya kembali pulang ke kampung halamannya untuk menghentikan rencana itu.

Serangkaian usaha dilancarkannya untuk mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi pada malam naas itu. Apalagi setelah keluarga Rob mengungkapkan kemungkinan Paulie sebagai si pembunuh dan Rob adalah korban salah tangkap. Entah mengapa Ellie begitu yakin bahwa Rob adalah pembunuhnya, meski banyak teman dan penduduk kota itu tidak yakin.

Akhirnya satu-persatu hal yang telah tertutup sekian lamanya kembali muncul ke permukaan, semuanya itu berkat kegigihan dan keberanian Ellie. Ia bahkan tak peduli ketika beberapa kali menerima ancaman serta kebakaran yang nyaris mencabut nyawanya.

Untung bagi Ellie, ia memiliki ayah yang masih mencintainya, meski kenyataannya sang ayah meninggalkan ia dan ibunya setelah peristiwa Andrea.

Ide cerita ini memang bagus, meski seru di awal dan tegang di akhir cerita namun agak sepi di pertengahan. Namun demikian, keseluruhan kisahnya menarik. Meskipun tersangka utamanya sudah terungkap, namun misteri yang menyelimuti kasus itulah yang membuat kisah ini cukup terjaga ritmenya.

Judul: Putri Kesayangan Ayah
Pengarang: Mary Higgins Clark
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 439
Harga: 40.500,-




Monday, November 9, 2009

Aku & Marley

Dog is man's best friend, anjing adalah sahabat terbaik manusia. Siapa yang tak setuju dengan ungkapan itu? Namun, akankah kita tetap menggunakan ungkapan itu kalau anjing yang kita pelihara ternyata menderita neurotik, hiper-agresif, tak terkendali, dan perusak? Jawabannya bisa anda temukan di buku Aku & Marley ini, yang ditulis oleh seorang pemilik anjing bernama Marley, dan sudah difilmkan dengan bintang Owen Wilson dan Jennifer Aniston (Marley & Me).

-----

John Grogan adalah seorang kolumnis di sebuah surat kabar lokal dan tinggal di South Florida yang iklimnya sub tropis, bersama dengan istrinya Jenny yang berkarir di surat kabar juga. Sejak kecil John sudah memelihara anjing, dan pengalaman itu begitu membekas sehingga ketika di koran ada iklan menawarkan anjing Labrador, pasangan-baru-menikah itu langsung berangkat untuk melihatnya.

Cinta pada pandangan pertama, itulah yang bisa dikatakan tentang pertemuan John-Jenny dengan seekor anak anjing Labrador berwarna kuning. Anak anjing itu lain dari yang lain, kalau saudara-saudaranya yang lain tenang, ia begitu bersemangat, lincah dan pemberani. Kalau saja pasangan itu menerapkan 'teliti sebelum membeli', pasti mereka heran mengapa anak anjing itu diobral. Tapi...karena sudah merasa sreg, mereka langsung membelinya. Anjing itu mereka namai Marley (setelah melalui perdebatan panjang yang lebih njelimet dari proses menamai anak pertama mereka kelak!). Nama Marley itu mereka dapatkan ketika lagu Bob Marley mengalun, dan mereka memang fans beratnya...

Marley ternyata dulu diobral karena satu alasan. Anjing jenis Labrador Retriever seperti Marley adalah jenis anjing yang bertubuh kuat, cerdas, setia dan agresif. Namun khusus dalam kasus Marley, ia adalah seekor Labrador yang hiper-aktif, suka mengunyah (dan menelan) apa saja yang bisa ia raih dengan sangat cepat, dan sangat nakal. Ia tak bisa diam dan tenang, selalu saja bergerak. Semangatnya luar biasa, dan ketika John melatihnya ternyata ia tak dapat menangkapnya. Ketika dimasukkan sekolah kepatuhan, ia malah membuat malu gurunya. Dan yang lebih celaka lagi, ia mudah panik ketika terjadi badai.

Karena Florida adalah wilayah sub tropis, badai bukanlah hal yang aneh. Suatu hari ketika John dan Jenny pergi ke kantor, terjadilah badai. Dan begitu pulang ke rumah, mereka menemukan Marley dalam keadaan tubuhnya berbercak darah, karpet habis digigitnya, dinding kayu ruangan tempat ia dikurung selama tak ada orang di rumah pecah berantakan. Rupanya Marley merasa panik dan ketakutan, dan akibatnya ia melampiaskannya dengan bertindak destruktif.

John dan Jenny khawatir ketika mereka mengetahui bahwa Jenny sedang hamil. Bagaimana kira-kira reaksi Marley ketika tahu bahwa akan ada sosok manusia lain di rumah yang akan menjadi 'nomor satu' dan ia akan diduakan? Ternyata mereka tak perlu khawatir, karena justru Marley langsung menyayangi Patrick, putra pertama John-Jenny, begitu ia dibawa ke rumah setelah dilahirkan.

Banyak sekali kejadian-kejadian lucu, menegangkan, menjengkelkan dan menggemaskan yang dilalui keluarga Grogan bersama Marley. Ketiga anak mereka, Patrick, Connor dan Colleen besar bersama Marley. Mereka sangat menyayanginya meski Marley tiap pagi mencuri sarapan dari piring mereka. Di balik kelemahan dan kekurangannya, Marley telah menjadi anggota keluarga Grogan.

Memang Marley tampangnya agak bodoh dan penyayang, tapi saat dihadapkan pada kondisi yang kritis, Marley telah membuktikan diri sebagai penjaga keluarga yang andal. Ia siap untuk menyerang siapa saja yang bermaksud menyakiti keluarganya. Tak heran, meski Marley sering membuat malu keluarga Grogan, namun bagi mereka Marley adalah anggota keluarga, yang diterima dengan segala kelebihan dan (banyak) kekurangan.

Membaca buku ini membuat kita, seperti halnya pasangan Grogan, belajar tentang hal-hal penting dalam hidup. Ya, bahkan seekor anjing neurotik pun bisa mengajari manusia untuk menjalani hidupnya.

Pertama, saat kita sadar bahwa salah satu anak kita memiliki kekurangan, janganlah kita membuang atau mengabaikannya. Bentuklah dan terimalah ia dengan kekurangan itu. Seperti kata John Grogan: "Sebagian dari perjalanan kami sebagai pemilik Marley adalah membentuknya sesuai dengan keinginan kami, tetapi sebagian yang lain adalah untuk menerima Marley apa adanya. Kami telah membawa pulang sebuah makhluk hidup, bukan aksesoris pakaian yang bisa ditumpuk di suatu sudut rumah. Baik atau jelek, Marley adalah anjing kami."

Itulah sebabnya keluarga Grogan tak pernah menjual Marley, meski uang yang dikeluarkan untuk merenovasi rumah dan membeli perabotan yang dirusak Marley mungkin cukup untuk membeli kapal pesiar! Namun, apa yang mereka dapatkan dari Marley tak dapat dinilai dengan uang. Kesetiakawanan, cinta dan persahabatan, serta kegembiraan, keberanian dan nilai-nilai dalam hidup. Ketika John memasuki usia 40, ia belajar dari Marley bagaimana menyikapinya: "Meski Marley telah mencapai usia paruh baya (6 tahun dari 12 tahun usia normal anjing), ia tak pernah berlambat-lambat, ia tak pernah memandang ke belakang, mengisi hari-hari dengan semangat remaja, keingintahuan dan sikap selalu bermain-main. Kalau anda berpikir anda masih muda, maka mungkin anda memang masih muda, apapun kata kalender."

Ketika keluarga Grogan pindah ke rumah yang lebih luas di Pensylvania, Marley mulai memasuki masa tuanya. Kegesitannya mulai berkurang, dan berturut-turut juga pendengaran dan penglihatannya. Namun, meski memelihara Marley sudah tak terasa menghibur, malah membebani (seperti ketika kita merawat orang tua yang sakit-sakitan), keluarga Grogan tetap memeliharanya dengan penuh kasih sayang. Menurut mereka, setiap hubungan pasti membutuhkan pengorbanan. Dan toh mereka rela menanggungnya, karena apa yang mereka korbankan demi Marley telah memperoleh balasan yang tak ternilai harganya.

Ketika Marley bertambah tua, ketika naik tangga saja ia sudah tak kuat, marley mengajarkan pada John cara terbaik menjalani hidup. "Marley mengingatkanku kepada keberanian dalam hidup, kepada kegembiraan yang kita alami dan kepada kesempatan yang kita biarkan lepas dari genggaman . Ia mengingatkanku bahwa kita semua hanya memiliki satu kesempatan emas, tanpa ada kesempatan kedua." Begitu gamblang John menulis tentang semua penderitaan Marley ketika menjadi tua. Namun semuanya tetap ia jalani dengan semangat dan usaha yang keras.

Suatu hari terjadi situasi yang kritis. Marley mengalami kembung parah yang dapat mengakibatkan kesakitan yang amat sangat dan membawa pada kematian. Saat itu usianya sudah 12 tahun. Pilihannya ada 3: membiarkan ia sembuh (yang kemungkinannya hanya 1%), mengoperasinya (yang sangat riskan karena ia sudah tua), atau 'menidurkannya' (istilah eutanasia dengan menyuntik anjing yang sudah tua agar tak menderita). John dan Jenny memilih yang pertama, namun sudah menyiapkan diri untuk menghadapi nomor tiga bila opsi pertama gagal.

Dan....Marley berhasil melampaui 1%-nya! Ia sembuh dan pulih perlahan. Meski demikian, kondisinya makin buruk, dan diperparah dengan kakinya yang invalid hingga suatu hari ia tak mampu lagi naik ke lantai atas, dan harus menerima hidup di lantai bawah saja.

Hingga akhirnya, saat yang tak terelakkan itu tibalah. Saat itu keluarga Grogan baru saja pulang dari berlibur ke Disney World di Florida. Marley sekali lagi mengalami perut kembung yang parah. Dan kali ini John dan Jenny langsung tahu bahwa saatnya akhirnya telah tiba, hidup Marley takkan dapat diselamatkan lagi. Kemungkinan untuk mendapat 1% mukjijat seperti waktu yang lalu adalah mustahil, operasi...tak mungkin. Satu-satunya jalan hanyalah...menidurkannya.

Momen-momen terakhir ini benar-benar menguras emosiku. Aku harus menghentikan membaca sejenak karena aku tak mau sampai harus menangis di kantor! Aku membaca khusus bagian akhir itu ketika malam, sendirian, di dalam kamarku.

Ketika hendak membawa Marley ke dokter, Jenny dan anak-anak telah mendapat kesempatan terakhir untuk sejenak membelai Marley. Lalu John mengantarkan Marley ke dokter. Suntikan 'penidur' itu diberikan setelah dokter mencoba tiga kali tanpa hasil untuk membuka sumbatan di perut Marley. John, dalam kesempatan yang diberikan untuk sendirian bersama Marley, membelai dan mengucapkan kata perpisahannya yang emosional kepada Marley. "Kamu adalah anjing yang hebat", itu kata-kata terakhir John kepada Marley....

-----

Ketika aku membeli buku Aku & Marley ini, aku mengharapkan kisah yang lucu dan menggemaskan, sebuah drama rumah tangga yang apik dan menghibur. Tapi ketika menyelesaikannya, aku mendapati banyak nilai hidup yang bagus dari seekor anjing Labrador Retriever yang abnormal ini. Aku jadi sadar bahwa walaupun dianggap sebagai makhluk nomor dua, lebih rendah derajatnya dari manusia (bahkan manusia akan marah bila dikatai "anjing!"), namun anjing adalah makhluk yang mampu mencintai dengan tulus tanpa syarat, dan kesetiaannya tak terpatahkan oleh apapun. Manusia bisa berubah, cinta dan kesetiaan manusia bisa luntur, tapi tidak dengan anjing. Lihat kesaksian yang diberikan John, yang telah menulis buku ini dengan sangat apik. Jujur, apa adanya, sederhana, namun menghibur dan sekaligus mengena.

"Anjing tidak butuh mobil bagus atau rumah besar atau pakaian buatan desainer. Simbol status tidak berarti apa-apa baginya. Sepotong kayu sudah cukup baginya. Seekor anjing menilai (makhluk) yang lainnya tidak berdasarkan warna kulit, keyakinan atau kelas, tapi berdasarkan apa yang ada dalam hati mereka. Seekor anjing tidak peduli apakah anda kaya atau miskin, berpendidikan atau buta huruf, pandai atau bodoh. Berikan hati anda, dan ia akan memberikan hatinya untuk anda. Sederhana sekali. Tetapi kita manusia, yang jauh lebih bijak, selalu kesulitan untuk menimbang mana yang perlu dan mana yang tidak. Sementara aku menulis kolom perpisahan untuk Marley, aku menyadari betapa semuanya sudah ada di hadapan kita semua, seandainya saja kita mau membuka mata kita. Kadang kala kita membutuhkan seekor anjing dengan napas bau, perilaku nakal dan niat murni untuk membantu kita melihat..."

Judul : Aku & Marley (kisah nyata)
Penulis : John Grogan
Penerbit : Trans Media
Jumlah halaman : 297
Harga : sekitar 40 ribu (lupa tepatnya)



Monday, November 2, 2009

The Winner Stands Alone

Ini adalah novel terbaru Paulo Coelho. Selalu exciting saat pertama kali membuka bukunya Paulo Coelho, karena kita tak pernah tahu apa yang akan kita dapatkan di kedalaman tulisannya. Yang jelas, Paulo selalu mengajak pembacanya untuk berpikir dan merenung dalam-dalam tentang makna hidup, di balik kisah yang diceritakan dengan amat indah.

Kali ini kisahnya mengambil Festival Film Cannes sebagai latar belakangnya. Otomatis, para tokohnya adalah, yang pertama kaum ‘Superclas’ atau orang-orang yang setingkat di atas orang kaya, kedua para selebrities, ketiga orang-orang muda yang berharap dapat menjadi selebrities.

Adalah seorang pria pengusaha telekomunikasi berkebangsaan Rusia yang bernama Igor. Saat muda ia pernah dikirim ke medan perang Vietnam yang kejam, dan walaupun ia selalu mengatakan bahwa perang itu tak meninggalkan bekas pada dirinya, ternyata trauma masih menghantuinya ketika ia sudah jadi orang kaya dan punya istri cantik.

Igor mencintai dan memuja Ewa, istrinya. Ewa mendampinginya mulai saat Igor harus merangkak dan jatuh bangun membangun kesuksesan, hingga mencapai puncak kekayaan yang hanya dapat diraih segelintir manusia di dunia ini. Namun di balik semua kebahagiaan pasangan itu, Ewa menyimpan kenangan akan sebuah kejadian yang menggelitik nuraninya. Hal itu terjadi di suatu malam ketika pasangan itu menikmati makan malam romantis di tengah liburan mereka di Siberia. Tiba-tiba ada pengemis yang menghampiri meja mereka dan merusak momen romantis mereka. Bukannya marah dan mengusir pengemis itu keluar, Igor justru menemani pengemis itu ke luar restoran. Dan sekembalinya ke dalam restoran, secara implisit Igor mengatakan bahwa semua yang menghalangi atau mengganggunya harus dimusnahkan.

Ewa merasa ngeri, dan baru beberapa tahun kemudian sadar bahwa trauma perang itu masih melekat di jiwa suaminya, yang membuatnya berubah menjadi pribadi yang sadis dan kejam. Maka pada suatu hari ketika Ewa berkenalan dengan Hamid, seorang fashion designer yang sedang menanjak dan mengaguminya, Ewa pun meninggalkan Igor. Begitu saja, tanpa pamit. Tentu saja Igor meradang. Namun, bukannya merenungkan kesalahannya sehingga istrinya meninggalkannya, ia malah berusaha menarik perhatian sang istri dengan ‘menghancurkan sebuah atau beberapa dunia’, yang tidak lain berupa pembunuhan!

Itulah tujuannya datang ke Festival Film Cannes, karena tahu bahwa Hamid, sang designer haut-couture kelas dunia akan datang dalam rangka pembuatan film pertamanya. Dan ia pasti akan datang bersama Ewa. Korban yang dipilih oleh Igor beragam, cewek maupun cowok, ada yang pria kaya raya, ada gadis miskin. Senjatanya juga beragam, dari pisau, seni bela diri hingga racun. Memang Igor bukanlah pembunuh berantai yang ingin menghebohkan dunia (kalau demikian halnya ia justru akan meninggalkan sebuah jejak hingga dunia menangkap pesannya), namun ia hanya melakukan pembunuhan, lalu mengirimkan SMS dari nomor tak dikenal kepada istrinya. Mengabarkan bahwa sebuah dunia telah hancur.

Dalam petualangan Igor ini, banyak tokoh yang bersinggungan jalan dengannya. Ada gadis muda Brazil yang cantik, yang menjual aksesoris murahan di pinggir jalan. Ada juga sutradara film independen yang terobsesi untuk masuk ke Hollywood, ada milyarder nyentrik yang berkuasa di dunia perfilman, juga ada peragawati dan aktris muda yang sama-sama menapaki karir pertama mereka di perhelatan yang prestisius itu. Dan tentu saja ada pula Hamid, sang anak miskin dari Negara Arab yang akhirnya menapaki karir sukses sebagai designer kelas dunia.

Banyak filosofi hidup yang kita dapatkan dari buku ini. Antara lain bahwa apa yang selama ini kita saksikan serba glamor dan fantastis di layar TV atau layar lebar, sebenarnya penuh dengan kemunafikan dan politik kotor. Semuanya lagi-lagi hanya berdasarkan uang dan keuntungan. Hanya segelintir orang yang murni bekerja atas nama seni, sementara yang lainnya mengorbankan dan memakai apapun demi untuk meraih kenikmatan duniawi dan popularitas yang semu.

Dari mereka yang memang berbakat dan ambisius, kita bisa belajar bahwa bila kita mau bekerja keras dan tak berhenti berharap, maka impian kita akan bisa tercapai.

Lalu dari Igor sendiri kita juga bisa mengambil pelajaran penting bahwa kekayaan seringkali malah menghalangi orang untuk merasakan kebahagiaan dan menikmati hidup. Kekayaan dan kemewahan juga menutup hati dan nurani kita akan kekayaan hidup yang sesungguhnya. Seperti halnya Igor, banyak orang begitu keranjingan untuk bekerja, dan alasan mereka selalu sama: sebentar lagi saja, setelah ini aku akan bersantai lalu membeli rumah di pedesaan, bermain bersama anak-anak, memperhatikan keluarga, dll. Namun kenyataannya ‘sebentar lagi’ itu tak kunjung datang karena si workaholic tak mampu untuk berhenti dari pekerjaannya, tak mampu membendung keserakahannya untuk terus menambah kekayaan.

Kesimpulannya, buku ini menyajikan filosofi hidup yang dibalut dengan ketegangan ala kisah detektif atau misteri, sekaligus dengan latar belakang dunia gemerlap film dan modeling. Lengkap deh, dan menarik untuk dibaca!

Judul : The Winners Stands Alone
Pengarang : Paulo Coelho
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Media
Harga : Rp 50.000,-



Wednesday, October 28, 2009

The Runaway Jury

Novel-novelnya John Grisham memang selalu asyik untuk dibaca ulang. Kali ini aku mengulas The Runaway Jury (Juri Pilihan). Buku ini seperti karya Grisham lainnya, tetap bercerita tentang seluk beluk hukum, namun kali ini difokuskan pada pengalaman para juri yang bertugas pada sebuah kasus.

Kasus itu adalah gugatan seorang janda dari pria yang meninggal karena kanker paru-paru, Celeste Wood. Ia menggugat sebuah perusahaan rokok raksasa yang dianggap menyebabkan kematian sang pria. Salah menarik dari peradilan Amerika adalah adanya para juri yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan dakwaan maupun besarnya denda atau hukuman pada si terdakwa.

Dan seperti biasa, sebuah korporasi besar selalu mampu menggunakan sumber dayanya yang juga besar untuk mengatur jalannya persidangan. Begitu pula perusahaan yang jadi terdakwa kali ini, mereka menyewa jasa seorang Rankin Fitch yang bisa mempengaruhi sebuah proses peradilan sesuai permintaan penyewa. Fitch pula yang mengumpulkan dan memilah-milah para calon dewan juri agar hasil persidangan bisa disetir.

Adalah seorang Nicholas Easter, pria muda yang bekerja di toko komputer. Beberapa kali ia didekati oleh wanita muda yang pura-pura mau membeli komputer, namun Nicolas tahu wanita itu mengujinya sebagai calon juri. Fitch dan antek-anteknya memeriksa Nicolas dan tak menemukan sesuatu yang aneh, sehingga loloslah Nicolas menjadi calon juri.

Dari sejak awal Nicolas sudah menarik perhatian. Pada pagi hari sebelum perdiangan pertama dimulai, seseorang memberikan bocoran kepada Fitch pakaian apa yang akan dipakai Nicolas hari itu dengan amat detail. Dan ketika para juri berbaris keluar, detail pakaian Nicolas cocok dengan kisikan yang diterima Fitch. Ada apa ini?

Di dalam dewan juri pun Nicolas tampaknya selalu membuat kejutan. Dengan gampang ia memperoleh kepercayaan dari para juri lainnya karena ia memperjuangkan hak-hak mereka. Dan karena pengetahuannya tentang hukum lumayan banyak, tak sulit untuk sedikit demi sedikit mempengaruhi mereka semua. Padahal, sebenarnya para juri dilarang untuk mendiskusikan kasus di luar pengadilan. Tapi, siapa sih yang bisa menghindarinya? Apalagi para juri itu adalah sekumpulan orang asing yang dipertemukan oleh hanya satu kesamaan: kasus itu sendiri!

Makin lama sidang itu berjalan, makin nampak bahwa proses persidangan kasus yang bernilai jutaan dollar itu jauh dari keadilan. Terlalu banyak pihak-pihak di luar pengadilan yang mempunyai pengaruh atas jalannya persidangan. Bahkan seorang wanita yang meng-klaim sebagai rekan kerja Nicolas mulai menekan Fitch. Ia menyodorkan sebuah penawaran yang sangat menarik. Kelihatannya Nicolas memang memiliki power yang besar atas keputusan yang akan diambil dewan juri. Ingat, keputusan juri kan harus satu? Tidak bulat tidak apa, tapi harus melebihi 50%. Bagaimana Nicolas bisa memanipulasinya? Dan apa yang ia kejar sesungguhnya? Baca aja langsung deh...

Pokoknya, novel John Grisham yang satu ini sangat menarik bagiku! Yang pertama adalah karena Grisham membidik salah satu komponen terpenting dari proses peradilan, yaitu juri. Di buku ini kita jadi tahu seluk beluk tugas seorang juri. Bagaimana tekanan, baik dari luar maupun di dalam pengadilan itu sendiri bisa mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang. Dan bagaimana beratnya saat kita harus memutuskan bersalah atau tidaknya seseorang, yang pasti akan mengubah jalan hidup seseorang (atau bahkan dunia jika kasusnya besar).

Kedua, aku menyadari begitu gampangnya mempersuasi orang untuk mengambil keputusan yang kita inginkan. Seringkali kita berpikir bahwa kita mengambil keputusan sendiri untuk hidup kita, padahal nasihat keluarga, komentar teman, atau tulisan seseorang yang kit abaca, banyak mempengaruhi pandangan kita, yang akhirnya menghantar kita pada suatu keputusan.

Menarik dan tegang, itu dua kata yang pas untuk menggambarkan novel ini. Anda pengen baca?

P.S.
Kalo anda berminat, buku milikku ini (bekas) aku jual di Vixxio Buku Bekas Online.




Thursday, October 15, 2009

Vixxio Buku Bekas Online: Cara Murah Baca Buku

Dengan hati bangga dan gembira, aku umumkan kepada teman-teman semua, bahwa pada tanggal 15 Oktober 2009, bisnis baruku: Vixxio Pusat Buku Bekas Online telah diluncurkan!!!

VIXXIO adalah nama pusat buku bekas online, di mana anda akan bisa menemukan buku-buku berkualitas, dari novel misteri macam Agatha Christie, John Grisham, Mary Higgins Clark, Sidney Sheldon hingga kisah-kisah Harlequin. Bagi penggemar non fiksi, di Vixxio anda bisa menemukan juga buku-buku pengembangan diri, bisnis dan marketing, iptek, dll. Semuanya dengan HARGA MURAH, karena buku-buku itu memang buku bekas.


Kok bekas sih? Kenapa gak yang baru aja? Karena, aku merasa bahwa harga buku baru itu semakin lama semakin melangit. Memang, membeli sesuatu yang baru terkesan lebih ‘gaya’, tapi kalau tujuan kita untuk membaca adalah untuk menyerap intisari dari buku itu, tak ada salahnya mencoba buku bekas. Jelas harganya jauh lebih murah. Untuk lebih jelasnya, baca aja Mengapa Beli Buku Bekas itu Asyik? Dengan adanya toko buku bekas online, anda bisa lebih mudah dan murah untuk menambah wawasan atau sekedar mencari hiburan yang berkualitas, kan?


Karena alasan itulah aku memutuskan untuk masuk dalam bisnis buku bekas online. Aku senang membaca, dan apa salahnya kegemaran itu aku jadikan bisnis juga. Jangan khawatir bahwa buku bekas yang aku jual kualitasnya tidak bagus, karena sebelum menentukan apakah sebuah buku layak jual atau tidak, aku selalu mengecek kondisi buku lebih dahulu. Karena aku adalah pecinta buku, aku juga tidak rela kalau ada buku yang sudah teraniaya oleh pembaca terdahulunya, padahal isinya bagus! Malahan ada juga di Vixxio yang kondisi buku seperti baru, hanya tanpa plastic pembungkus dan label harga saja. Cara dapetnya? Cari aja yang ada tulisan ‘Seperti Baru’ pada bagian kondisi buku di akhir tiap posting.


Jadi…sekarang buruan mampir ke Vixxio Buku Bekas Online-ku ya! Mau lihat-lihat aja boleh, mau kasih kritik dan saran tidak dilarang, apalagi kalo mau jadi Anggota Vixxio dan melakukan transaksi…ditanggung pasti puas deh!


O ya, di Vixxio Buku Bekas Online, aku juga bikin Bursa Buku Bekas yang mirip pasar dalam dunia nyata. Di sana anda bisa berinteraksi dengan para anggota lainnya untuk menjual/mencari/membeli buku-buku koleksi masing-masing anggota. Lihat aja disini. Asyik deh pokoknya!

Aku tunggu ya kedatangannya di Vixxio Buku Bekas Online! Dan nantikan beberapa hari lagi akan ada program menarik buat teman-teman blogger!


P.S. Kalo mau tahu cerita selengkapnya tentang berdirinya Vixxio Buku Bekas Online, baca aja di Curhat Fanda hari ini juga…

Monday, October 12, 2009

Bumi Yang Subur

Sejak membaca novel Maharani, aku jadi ketagihan membaca karya-karya Pearl S. Buck lainnya. Bumi Yang Subur ini adalah bagian pertama dari sebuah trilogy, yang mengisahkan suka duka kehidupan Wang Lung, seorang petani di China pada awal abad keduapuluh yang begitu mencintai tanah miliknya. Dalam Bumi Yang Subur ini dikisahkan liku-liku perjalanan hidup Wang Lung dari hidup melarat sebagai petani hingga akhirnya menjadi tuan tanah yang kaya raya.

Membaca buku ini, kita menyadari bahwa manusia itu begitu gampangnya berubah. Tak ada manusia di muka bumi ini yang tak ingin menjadi kaya dan sukses, meski tanpa disadarinya bahwa kekayaan itu juga turut mengubah sikap dan pandangan hidupnya. Kehidupan Wang Lung adalah cermin siklus kehidupan manusia yang selama ini kita jalani tanpa kesadaran dan mungkin juga tanpa makna. Dari Wang Lung, kita belajar untuk menghargai hidup, baik itu dalam kemiskinan maupun dalam kemewahan, karena pada akhirnya kebahagiaan itu selalu ada dalam hati kita dan merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya…

----

Wang Lung adalah seorang petani yang amat mencintai tanahnya, ladangnya, gandum dan jagungnya. Seluruh hidupnya berkaitan dengan tanahnya itu. Ia hidup miskin bersama dengan ayahnya yang sudah tua. Bahkan minum teh pun dianggap sebagai kemewahan. Pagi itu Wang Lung akan menikah, maka sedikit pemborosan boleh lah. Ia membelanjakan uangnya dengan begitu irit dan hati-hati.

Calon istrinya adalah seorang budak di rumah keluarga Hwang, seorang tuan tanah kaya yang rumahnya bak istana, namun anggota keluarganya tidak ada yang beres. Istrinya pengkonsumsi candu yang berat, putra-putranya suka selingkuh dengan para budaknya. Orang kaya pada jaman itu bisa membeli budak perempuan, yakni anak perempuan dari keluarga miskin. Karena anak perempuan pada jaman itu tidak dihargai sama sekali, maka sejak kecil dijual kepada orang kaya. Para budak itu (terutama yang cantik) harus melayani tuan tanah dan para putranya, sedang yang tidak cantik biasa bekerja keras di dapur atau di ladang.

Wang Lung akan menebus calon istrinya dengan dua cincin perak dan sepasang subang perak sebagai tanda pertunangan. Ia memasuki rumah besar keluarga Hwang dengan takut-takut dan minder. Di sana ia diejek dan dibentak-bentak bahkan oleh penjaga pintu.

O-Lan nama wanita itu. Parasnya jauh daripada cantik, kakinya juga tidak kecil karena diikat (begitulah adat bagi anak perempuan jaman itu). Badannya kekar dan ia biasa bekerja keras. Maka begitu mengikuti Wang Lung dan menjadi istrinya, O-Lan langsung mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dan membantu Wang Lung berladang. Ia benar-benar wanita pekerja keras, pintar memasak, tak banyak omong (pendiam malah) dan taat pada suaminya. Benar-benar tipe istri yang dibutuhkan oleh seorang petani yang miskin dan pekerja keras.

Tak lama kemudian O-Lan pun hamil, dan melahirkan putra pertama bagi Wang Lung, yang amat girang (semua orang pasti menantikan anak laki-laki saat menunggui sang istri melahirkan). Untuk melahirkan bayinya, O-Lan melakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun. Bahkan setelah beristirahat sebentar ia langsung kembali bekerja di ladang seperti tak ada kejadian besar apapun sebelumnya.

Ternyata O –Lan punya impian terpendam. Ia ingin membawa anak laki-lakinya yang akan ia dandani dengan baik dan ia pamerkan ke rumah keluarga Hwang, untuk menunjukkan bahwa hidupnya sekarang telah makin makmur (pasti seperti itu juga keinginan kita kepada orang yang pernah mengejek dan merendahkan kita). Wang Lung pun membeli telur yang dicelup cairan warna merah untuk dibagi-bagikan kepada para tetangga, yang melambangkan bahwa ia baru memiliki anak laki-laki.

Pada saat-saat bahagia itu Wang Lung selalu pergi ke kuil dan menancapkan dupa di depan patung Dewa Bumi, sambil berpikir alangkah besar kekuasaan Dewa itu yang telah memberinya rejeki yang berlimpah. Bahkan setahun kemudian, ketika keluarga Hwang mulai jatuh dan mereka menjual tanah-tanahnya, Wang Lung pun mengambil keputusan untuk membeli tanah itu. Ya, Wang Lung adalah petani yang cerdik. Ketika para tetangganya menghambur-hamburkan uang saat panen mereka berhasil, Wang Lung tetap hidup sederhana, dan menggunakan uangnya untuk berinvestasi. Kini ia, Wang Lung, mampu membeli tanah keluarga besar yang dulu sangat ia takuti dan segani. Wang Lung dan O-Lan begitu bahagia.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Suatu kali datang kekeringan yang berkepanjangan hingga seluruh persediaan uang Wang Lung habis. Begitulah hidup petani, mereka amat bergantung pada kesuburan tanahnya. Air kering, sehingga tanamannya tak dapat air, dan merekapun kesulitan untuk minum. Tak ada toko yang menjual makanan, dan kalaupun ada, tak ada petani yang memiliki uang untuk membelinya, karena panenan mereka gagal dan tabungan mereka telah habis. Dan O-Lan kini mengandung anaknya yang ketiga. Dalam keadaan terpepet ketika mereka sudah berhari-hari tak makan, akhirnya mereka mencoba pindah ke kota di sebelah Selatan dan mendirikan gubuk di pinggir jalan.

Wang Lung menarik andong, sedang O-Lan dan putranya menjadi pengemis. Di sana mereka semua bisa makan kenyang. Tapi, uang yang didapat selalu habis untuk makan, sehingga kehidupan mereka hanya seperti itu saja dari hari ke hari. Yang miskin tetap miskin, dan kaya tetap dapat menikmati hidup di balik rumah gedongnya. Jurang yang selalu tampak, seperti di kota-kota besar di negara kita. Akhirnya, Wang Lung mulai memikirkan kembali tanahnya, dan ia memutuskan untuk memboyong keluarganya kembali ke desa. Saat itu ada kejadian menghebohkan. Karena perang, sebuah keluarga kaya terpaksa meninggalkan rumah megahnya yang mirip istana, dan melarikan diri. Banyak orang miskin, termasuk Wang Lung dan O-Lan masuk ke rumah itu dan mengambil benda-benda berharga. Wang Lung mendapat beberapa keeping uang emas, dan O-Lan mendapat sepasang giwang mutiara yang amat ia sayangi bagaikan harta yang sangat berarti baginya.

Kembali ke kampung halaman, mereka mulai menggarap tanahnya kembali, dan bumi yang subur kembali memberikan kemakmuran pada keluarga Wang Lung. Karena kejeliannya, ia sedikit demi sedikit menjadi orang kaya raya, salah seorang tuan tanah sama seperti keluarga Hwang. Makin banyak tanah subur yang ia beli, makin berlimpah uang tabungan dari panennya. Ia dapat menyekolahkan putra-putranya, sedang putri sulungnya tinggal di rumah. Anak itu idiot karena kurang gizi ketika terjadi bencana kekeringan. Meski tak ada yang mempedulikan anak itu, Wang Lung dan istrinya mencintai dan memeliharanya dengan sepenuh hati.

Hingga saat itu Wang Lung tak tahu apa-apa tentang menikmati hidup. Namun pada suatu hari ketika Wang Lung telah dapat menyerahkan pengerjaan sawah-sawahnya kepada pegawainya dan ia banyak menganggur, maka terlihatlah banyak kekurangan dalam hidupnya yang dulu tak ia sadari. Ia memandang istrinya, dan tiba-tiba sadar betapa jelek wajahnya, rambutnya yang kusut, kulitnya yang kasar, kakinya yang besar dan jelek, bajunya yang kusam. Tiba-tiba ia muak melihat istrinya sendiri, yang yelah memberinya banyak anak, yang mengikutinya dengan pasrah sewaktu miskin, dan yang mendampinginya bekerja keras. Istrinya hanya dapat menyembunyikan kakinya dan menatap Wang Lung dengan sorot mata pedih…

Sekarang Wang Lung malu bila masuk ke kedai minum yang murahan. Ia mulai mencoba kedai minum baru untuk orang-orang kaya yang juga menyediakan wanita. Di sanalah ia bertemu Lotus, wanita penghibur yang cantik jelita, kulitnya mulus, tubuhnya ramping dan kakinya kecil mungil. Wang Lung pun semakin tergila-gila pada Lotus, dan sering menghabiskan malam di kedai minum di kota itu. Wang Lung lalu mengambil Lotus sebagai istri keduanya, dan bahkan mencuri giwang mutiara yang amat disayangi O-Lan kepada Lotus. Betapa pedih hati O-Lan, namun ia diam saja.

Begitulah tahun demi tahun berlalu dalam kehidupan Wang Lung yang rupanya sudah lupa pada keadaannya saat miskin dulu. Dewa-dewi yang dulu disembahnya, sekarang tak ia pedulikan lagi karena ia telah jadi tuan tanah yang kaya. Apakah ia bahagia? Rupanya, baik dalam kemiskinan maupun kemewahan, yang namanya kesulitan dan konflik selalu datang silih berganti dalam hidup manusia. Suatu saat karena teguran anaknya, Wang Lung sadar dan menyesal atas kelakuan buruknya terhadap O-Lan. Saat itu O-Lan menderita komplikasi beberapa penyakit, dan pada akhir hayatnya Wang Lung selalu bersikap baik padanya.

Wang Lung kini menempati rumah besar bekas keluarga Hwang. Ia sekarang dipusingkan oleh ulah putra-putranya yang banyak ulah, para menantunya yang saling membenci, dan keluarga pamannya yang menggerogoti hartanya. Bahkan Lotus yang sudah mulai menua pun tak dapat menghiburnya. Wang Lung justru tertarik pada seorang budak muda bernama Pear Blossom.

Itulah sekilas kehidupan Wang Lung, sang petani dan tuan tanah. Pearl S. Buck mampu menuangkannya dengan apik dan enak dibaca. Tak salah bila karyanya ini dihadiahi Pulitzer di 1932. Membaca buku ini seolah melihat kehidupan banyak orang di dunia ini,. Kita hanya dapat belajar dari Wang Lung, bahwa hidup selalu ada pasang surut, dan bahwa dalam hidup ini tak ada yang sempurna. Namun karena keserakahannya, manusia itu selalu menuntut lebih. Padahal di akhir hayatnya, semua kemewahan itu takkan ada lagi artinya, kecuali kebahagiaan….

Judul buku: Bumi Yang Subur (The Good Earth)
Pengarang: Pearl S. Buck
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 507
Harga: 45.000,- (toko buku online)



Thursday, October 1, 2009

The Murder Game

Waktu membeli buku ini aku agak gambling. Karena pengarangnya bukan pengarang yang aku kenal, meskipun menurut buku ini, Beverly Barton adalah ‘The International Bestselling Author’. Mungkin karena bukunya belum pernah diterbitkan di Indonesia, atau aku saja yang belum pernah baca. Anyway, melihat genrenya yang ‘Fiction-Romantic Suspense’, kayaknya asyik juga ini buku. Dan setelah aku selesai membaca, memang tak salah pilihanku. Kalau karya Sandra Brown yang bergenre sama biasanya lebih dominan romance-nya daripada suspensenya, maka The Murder Game ini benar-benar sebuah thriller-suspense yang mencekam, hanya saja ada bumbu romancenya sehingga alur ceritanya jadi lebih hidup.

Cerita dibuka oleh seorang wanita bernama Kendall Moore, seorang wanita bertubuh atletis yang juga seorang atlet lari jarak jauh. Ia sedang tersiksa, berada dalam penguasaan seorang pria gila yang menculiknya dan membawanya ke sebuah rumah di dalam hutan, jauh dari peradaban. Pria itu suka melepaskannya di tengah hutan, lalu beberapa saat kemudian pria itu mengejarnya dengan sepeda motor lalu menangkapnya lagi. Bila Kendall sulit ditemukan, pria itu malah senang, dan akan menghadiahkan makan malam. Namun kalau Kendall lemah dan gampang ditemukan, ia menghukum Kendal dengan mengurungnya di kurungan kecil dan tak memberinya makanan.

Pada akhir hari ke 21, saat Kendall sudah lemas mengikuti permainan itu, pria itu akan menangkapnya untuk yang terakhir kali, dan menembaknya sampai mati, menguliti kepalanya dan menggantungkan mayatnya terbalik di sebuah pohon di area di mana Kendall tinggal.

Pria itu bernama Pudge, dan ia memang seorang psikopat. Sejak muda ia bersama sepupunya Pinkie menemukan bahwa mereka berdua menyenangi hal-hal berbau sadis. Lalu setelah dewasa mereka melakukan permainan maut dengan pembunuhan sebagai klimaksnya. Saat itu beberapa wanita peserta kontes kecantikan terbunuh sebagai korban, yang dikenal sebagai kasus The Beauty Queen Killer. Pinkie akhirnya tertangkap oleh polisi dan FBI dan mati kena tembakan.

Hanya Griffin Powell dan Nicole Baxter yang mencurigai bahwa Pinkie sebenarnya memiliki partner dalam kejahatan itu, karena tubuh Pinkie terkena 2 tembakan dengan 2 peluru berbeda, padahal polisi hanya menembak 1 kali. Namun karena jejak si partner tak ditemukan, kasus itu ditutup. Namun kini, sang partner mulai beraksi kembali. Dan kini ia melibatkan Griff (panggilan Griffin), seorang bujangan kaya, ganteng dan playboy yang memiliki biro penyelidikan swasta yang sering bentrok dengan FBI, dan Nic (panggilan Nicole), seorang wanita cantik agen FBI yang dingin, pembenci pria dan selalu ingin disamakan dengan pria.

Pudge menelpon Griff dan Nic secara terpisah, untuk mengikut sertakan mereka ke dalam permainan barunya dengan memberikan masing-masing 2 petunjuk yang berbeda. Petunjuknya singkat saja, Stillwater-Texas-4 minggu lalu, dan Ballinger-Arkansa-kemarin. Dengan begitu, Griff dan Nic terpaksa harus bergabung untuk bersama-sama memecahkan petunjuk itu demi menemukan sang partner yang selama ini tak ditemukan. Masalahnya…Griff dan Nic saling membenci satu sama lain! Jelas dong, mana mungkin seorang feminis disatukan dengan playboy?

Setelah bergerak menyelidiki, Griff dan Nic menemukan kesamaan pada kedua kasus pembunuhan di Stillwater dan Ballinger (Kendall), yakni keduanya adalah wanita, dan atlet. Dan sementara kedua tokoh kita menyibukkan diri dengan penyelidikan, Pudge sudah mulai merencanakan aksinya lagi. Kali ini korbannya seorang pemain basket bernama Amber Kirby. Amber ternyata adalah calon korban keenam. Sebelum 2 pembunuhan yang diselidiki Griff dan Nic, sudah ada 3 pembunuhan serupa.

Mengapa korban selalu dalam keadaan tanpa kulit kepala (scalp)? Itu karena Pudge menyimpan scalp korban seolah sebagai piala. Dan ternyata, ia punya ambisi untuk mendapatkan piala yang sangat istimewa, yaitu scalp milik Nicole Baxter!

36 jam sebelum Pudge akan menculik Amber Kirby, ia menelpon Griff dan Nic untuk memberi mereka petunjuk. Petunjuk itu bila digabungkan: pirang, Debbie Glover, ruby dan permen lemon. Petunjuk yang kelihatannya mustahil disatukan, namun akhirnya mereka berdua berhasil menelusuri jejak hingga sampai pada Amber. Sayangnya mereka terlambat 3 jam. Amber Kirby sudah diculik!

Karena Griff dan Nic bekerja untuk dua instansi yang berbeda, maka baik FBI dan biro investigasi Griffin bisa bekerja dengan cara masing-masing, sementara Griff dan Nic selalu menunggu-nunggu Pudge menelpon mereka untuk menebarkan petunjuk. Dan dalam kerja sama itu, diam-diam tumbuhlah ketertarikan mereka satu sama lain, ketika mereka dapat melihat karakter sebenarnya masing-masing pihak.

Sementara itu The Hunter (begitu Pudge menjuluki dirinya sendiri) menelpon Nic dan menghubungkan Nic pada Amber yang sempat mengatakan : ‘hutan di mana-mana, air dan sungai’ sebelum telepon itu ditutup. Griff ditelponnya juga dengan tambahan pesan: Amber akan dibunuh dua setengah minggu kemudian. Meski ditunjang oleh FBI, penyelidikan mereka tak membuahkan hasil hingga mayat Amber ditemukan tergantung di pohon seperti korban-korban sebelumnya.

Permainan itu berlangsung terus, dan Griff serta Nic pun menghadapi kasus ini bersama-sama. Perlahan-lahan sisi pribadi keduanya yang misterius pun makin terkuak. Dan ketika Griff dan Nic baru saja menjadi sepasang kekasih, Pudge pun menculik korbannya yang paling tidak diduga pasangan kekasih itu: Nic!

Griff langsung panic begitu tahu Nic menghilang, dan menyadari bahwa ‘wanita spesial’ yang sebelumnya diberikan The Hunter sebagai petunjuk kepada dirinya, adalah Nicki-nya tersayang (panggilan sayang Griff terhadap Nic).

Sekarang Nic tahu mengapa Pudge selalu memilih korban yang bertubuh atletis. Karena The Hunter akan memburu mereka bagaikan hewan buruan. Diberi makan, lalu dilepaskan untuk dikejar, ditangkap lagi hingga suatu saat dibunuh! The Hunter tak suka pada wanita yang lemah dan mudah menyerah, maka tepatlah kalau ia memilih Nic sebagai buruan spesialnya. Nic yang pantang menyerah dan cerdas. Masalahnya, cukupkah itu semua untuk menghadapi seorang pembunuh psikopat yang gila dan sadis itu?

Apakah Griff akan menemukan Nic sebelum masa 21 hari itu lewat? Ataukah Nic akan bisa melarikan diri sebelum dibunuh? Ataukah the Hunter akan berhasil membunuhnya? Lalu siapakah Pudge itu sebenarnya? Akan dapat ditemukankah jejaknya? Setengah bagian ke belakang dari buku ini semuanya membawa kita dari ketegangan ke kengerian ke kejutan berikutnya. Pantaslah kalo aku mengatakan gaya berceritanya lebih memukau daripada Sandra Brown, dan memang Beverly Barton layak juga mendapat gelar The International Best Seller Author!

Mau beli bukunya? Beli aja di toko buku ya…

Judul: The Murder Game (edisi terjemahan bahasa Indonesia)
Pengarang: Beverly Barton
Penerbit: Dastan Books
Cetakan: Juni 2009 (I)
Harga: 47.200 (diskon 20% dari harga asli 59.000)




Wednesday, September 16, 2009

Belajar Dari Film A Few Good Men

Sudah lama sekali sebenarnya ketika aku pertama kali nonton film yang dibintangi oleh Tom Cruise, Jack Nicholson dan Demi Moore ini. Namun, begitu selesai nonton, aku sungguh-sungguh terkesan pada keseluruhan film ini. Ya pemainnya (sungguh..Tom Cruise di film ini kueereen banget!), ya dialog-dialognya, ya ceritanya (aku selalu suka cerita yang ada scene pengadilannya), dan terutama nilai hidup yang ada di dalamnya. Maka, setelah lama tidak nonton, beberapa saat lalu aku menemukan versi DVD-nya, jadi langsung kubeli, sehingga aku bisa nonton lagi. Kali ini aku jadi sadar bahwa ada pelajaran yang bisa kupetik dari film ini. Yuk kita bedah bersama...

Cerita dimulai di Guantanamo Bay, Kuba, di sebuah markas korps Angkatan Laut. Ada seorang prajurit bernama Santiago yang fisiknya tak terlalu kuat sehingga sering pingsan saat latihan. Ia mengajukan permohonan untuk dipindah ke korps lain. Melalui suratnya itu, ia menjanjikan akan membeberkan tentang sebuah kasus penembakan yang dilakukan kawannya, sebagai ganti transfer yang ia minta. Surat itu dibaca oleh pimpinan korps, Kolonel Nathan Jessup (diperankan dengan sangat pas oleh Jack Nicholson). Jessup adalah pemimpin yang kejam, congkak dan gila hormat. Kata-katanya selalu diucapkan dengan pelan namun sangat menusuk.

Anak buahnya (Kol. Markinson) minta agar si Santiago ditransfer saja, tapi Jessup tak sependapat. Cara Jessup menghina Markinson gara-gara Markinson mengatakan ide Jessup salah, sangatlah dingin dan tajam.

Lalu pada suatu malam masuklah 2 orang prajurit ke kamar Santiago, membekap mulutnya dengan secarik kain dan mengikat kaki dan tangannya. Tak lama kemudian Santiago muntah darah, dan akhirnya meninggal dunia.

Kasus ini diberikan kepada Daniel Kaffee (Tom Cruise) dan dibantu oleh Joanne Galloway (Demi Moore). Danny (panggilan Daniel Kaffee) adalah sosok pengacara selengekan yang ceroboh (suka lupa bawa bolpen dan lebih senang main baseball ketimbang ikut rapat) namun prestasi hukumnya luar biasa. Sedang Jo (panggilan Joanne) berambisi untuk menangani kasus ini, sehingga kecewa berat ketika tahu bahwa ia dikalahkan oleh pengacara muda yang baru bekerja 1 tahunan. Namun toh, mereka berdua harus bekerja sama.

Terdakwanya adalah Dawson dan Downey, prajurit yang (dituduh) membunuh Santiago. Hal pertama yang mengagetkanku adalah pengakuan Dawson bahwa ia melakukan penyergapan kepada Santiago karena Santiago dianggapnya melanggar ‘code red’, yaitu peraturan tidak tertulis bahwa prajurit yang melanggar kedisiplinan harus dihukum.

Hukuman itu kadang-kadang di luar batas kemanusiaan. Contohnya, prajurit yang melanggar suatu tindak kedisiplinan bisa dikurung di sebuah sel selama 7 hari, dan selama itu tidak diberi makan yang layak, hanya air minum dan sedikit biskuit. Alasan si petinggi karena tindakan ceroboh itu bisa membahayakan seluruh korps, padahal mereka ada untuk menjaga dan melindungi negara. Tidak heran, karena prioritas utama mereka urutannya begini: Units-Corps-God-Country (kesatuan-korps-Tuhan-negara). Ya...aku tidak salah mengetik. Mereka menganggap negara lebih tinggi daripada Tuhan! Gila ya?

Setelah bekerja keras mengumpulkan fakta dan menyusun strategi, akhirnya sidangpun dimulai. Di sidang ini tampak bahwa Danny dkk hanya memiliki kans kecil untuk memenangkan perkara. Itu karena kunci kasus ini terletak pada level tertinggi pada struktur jabatan di korps Angkatan Laut ini, yakni Kol. Jessup. Ia lah yang memerintahkan 'code red' pada anak buahnya, untuk menghabisi Santiago. Saksi kuncinya adalah Kol. Markinson. Ia terbebani secara moral karena ia seharusnya dapat mencegah kematian seorang anak manusia, namun ia tak berbuat apa-apa. Markinson akhirnya bunuh diri.

Kehilangan saksi kunci meluluhkan lantakkan semangat Danny. Ia sempat ingin mundur dari kasus itu, namun semangat dari Joanne dan hati nuraninya membuat ia bertekad untuk berjuang kembali, dengan cara mendudukkan Kol. Jessup di kursi saksi. Hari-hari itu mereka bekerja extra keras, menelusuri setiap jejak dan mengejar setiap fakta yang bisa dijadikan bukti yang kuat. Nyatanya, bukti yang mereka miliki sangat lemah, karena Kol. Jessup telah mengotak-atik bukti-bukti itu.

Jalan keluar satu-satunya adalah…dengan mempermainkan sisi manusiawi Jessup, yakni egonya yang tinggi! Dengan caranya yang cerdik, Danny berhasil memainkan ego Jessup hingga menggiringnya untuk mengatakan dengan lantang kalimat bersejarah itu: Ya, aku yang memerintahkan ‘code red’ itu! Dan dengan demikian, ditangkaplah Kol. Jessup sebagai penjahat!

Kedua terdakwa, Dawson dan Downey dibebaskan dari dakwaan pembunuhan, tetapi tetap harus kehilangan jabatan sebagai prajurit. Sungguh mengesankan jawaban Dawson ketika Downey mempertanyakan mengapa mereka masih harus dihukum, meski sudah terbukti Kol. Jessup-lah penjahatnya? Jawaban Dawson: kita memang bersalah. Kita mengikuti perintah begitu saja. Padahal kita harusnya bisa menolong kawan kita Santiago, tapi kita tak melakukannya…

Catatan Fanda:
Dari menonton film ini yang kedua kalinya, aku mendapatkan banyak pelajaran.

Yang pertama, bahwa kita mesti menempatkan Tuhan di atas segala-galanya, termasuk Negara, orang tua, suami-istri, anak, dan apa saja yang kita miliki. Sangatlah baik untuk mencintai Negara, untuk berjuang demi martabatnya. Namun Tuhanlah yang harus tetap kita junjung paling tinggi. Dan dalam ajaranNya, kita juga harus mengasihi sesama kita. Membunuh manusia yang tak bersalah dengan dalih melindungi Negara, sama saja dengan merendahkan Tuhan!

Yang kedua, bahwa salah satu kelemahan manusia yang paling menyedihkan adalah congkak. Gila hormat dan merasa diri selalu benar adalah tanda-tanda kecongkakan. Dan ternyata kecongkakan itu tak hanya ‘membunuh’ diri sendiri namun bisa ‘membunuh’ karakter maupun hidup orang lain juga. Itulah bahayanya kekuasaan tak terbatas (absolute power) bila diberikan pada manusia. Ia akan merasa dirinya Tuhan, atau bahkan melebihi Tuhan! Dan salah satu kunci untuk menjatuhkan orang seperti ini adalah: serang otoritasnya…pancing kemarahannya…

Yang ketiga, berkaitan dengan nomor dua, kehormatan itu bukan didapat dari lencana mengkilap yang disematkan pada seragam yang gagah. Kehormatan itu tak dapat ditemukan pada senjata yang mematikan. Sebaliknya, kehormatan itu terletak pada sikap seorang manusia yang memegang teguh prinsip dan nilai-nilai kebenaran dalam Tuhan. Terngiang di telingaku kata-kata Danny Kaffee setelah jawaban Dawson yang terakhir: “You don't need to wear a patch on your arm to have honor” (Kau tak perlu memakai tanda di lenganmu untuk mendapatkan kehormatan).




Wednesday, August 26, 2009

Mata Ketiga - 2

Melanjutkan kisah nyata Tuesday Lobsang Rampa, seorang anak yang telah ditakdirkan untuk menjadi seorang rahib dan masuk biara sejak usia 7 tahun. Baca dulu bagian pertamanya disini.

Suatu hari Lobsang dipanggil menghadap ke istana Dalai Lama, karena sang pimpinan tertinggi Tibet ini telah mendengar bakat istimewa Lobsang sebagai seorang clairvoyance. Gurunya harus mengajarinya seharian tata cara rumit untuk menghadap seorang Dalai Lama. Saat masuk ke ruangan sambil membawa syal yang terbaik, ia harus mengarahkan matanya ke bawah, karena tidaklah sopan untuk melihat langsung ke arah Dalai Lama. Lalu ia harus menjulurkan lidah untuk memberi hormat (sama seperti orang Eropa melepas topi), lalu berlutut dan membungkuk 3 kali. Lalu ia harus membentangkan syal ke atas kaki Dalai Lama dan terus membungkuk sampai Dalai Lama menaruh syal itu ke leher Lobsang. Lalu ia harus berjalan mundur menuju jajaran bantal terdekat untuk duduk di situ.

Dalai Lama tinggal di Potala, sebuah kota mandiri di sebuah gunung kecil. Dan bangunan tempat ia tinggal berada di puncaknya. Untuk menuju kesana orang harus mendaki sebuah tangga batu yang sangat besar. Kepada Lobsang, Dalai Lama mengulangi kembali ramalan lengkap para astrolog tentang hidupnya: yaitu bahwa setelah mata ketiganya terbuka ia akan berjalan jauh ke negara-negara asing di seluruh dunia yang belum pernah ia dengar, mengalami masa-masa sulit pada awalnya, namun akan berakhir dengan keberhasilan. Ia akan melihat kematian, kehancuran dan kekejaman. Itulah intinya, dan Dalai Lama khusus memberi instruksi pada Lama Mingyar untuk mengajar Lobsang dengan baik.

Di istana Dalai Lama Lobsang sempat mencoba melihat melalui teleskop yang ada di bagian atas istana. Lucu juga reaksinya ketika pertama kali mencoba alat itu, ia merasa melihat orang naik kuda di dalam teleskop yang menuju langsung ke arahnya. Ia langsung mundur dengan wajah pucat! Lalu saat akan pulang ke Chakpori, tanpa sengaja Lobsang berpapasan dengan ayahnya di tangga, yang sedang menunggang kuda ke atas, sedang Lobsang hendak jalan kaki ke bawah. Pertemuan yang mengejutkan keduanya, namun sang ayah terus memacu kudanya naik tanpa mempedulikan Lobsang, dan membuat anak kecil itu kecewa dan hampir menangis.

Tentu saja, ayah Lobsang mengerti bahwa ‘mantan’ anaknya telah menemui Dalai Lama, dan ia tak berani menegurnya. Aku jadi membayangkan perasaan ayah Lobsang. Apakah ia bangga? Terkejut? Iri? Atau mungkin gabungan dari semuanya ya?...

Kembali ke biara, ia terus belajar sampai tiba waktunya menjalani ujian tepat pada ulangtahunnya yang ke 12. Kalau dipikir-pikir malang juga ya nasibnya, di beberapa moment ulang tahunnya, Lobsang harus berjuang. Dulu ia harus ketakutan pada waktu ultah ke 7, dan kini harus berjuang untuk lulus ujian di ultah ke 12.

Ujiannya agak menakutkan. Masing-masing anak diberi petak ruang kosong dari batu sebesar 2x3 mtr, tinggi 2,5 mtr. Setelah peserta masuk, pintunya dikunci, gembok dan segel. Lalu akan ada rahib memasukkan lewat lubang kecil di dinding, alat tulis dan satu set soal pertama. Mereka tidak boleh keluar sama sekali dari bilik itu selama 6 hari, dan hanya boleh makan tsampa 3 kali sehari, tapi boleh minum teh bermentega sebanyak yang mereka mau.

Lobsang lulus dengan nilai terbaik, dan boleh mengenakan jubah lama, meski ia baru akan mengikuti ujian untuk menjadi lama pada usia 16 tahun.

Selanjutnya Lobsang berkesempatan untuk ikut pergi bersama rombongan rahib yang bertugas mengumpulkan tumbuh-tumbuhan dan menerbangkan layang-layang. Layang-layang disini bukan yang biasa dimainkan anak-anak di negara kita, tapi sebuah layangan besar yang dapat dinaiki manusia. Untuk menerbangkannya butuh keahlian khusus, dan kalau sial pengendara layang-layang ini bisa jatuh dan meninggal!

Petualangan berikutnya, yang tak kalah mendebarkannya bagi Lobsang adalah kunjungan ke rumahnya sendiri! Bertahun-tahun menjadi rahib dengan disiplin yang keras membuat Lobsang merasa jengah untuk pergi ke bekas rumahnya sendiri, bertemu dengan ibu dan kerabatnya. Dan terutama, ia pucat gemetaran ketika kakak perempuannya yang beranjak dewasa dan saudara-saudara perempuan lainnya memandangi dan mendekatinya. Ternyata begitulah seorang rahib kalau berada di tengah perempuan!

Lobsang berkesempatan mempraktekkan mata ketiganya pada waktu ia dimintai tolong oleh Dalai Lama untuk menilai delegasi dari Cina yang akan bernegosiasi dengannya. Maka selama pertemuan, Lobsang bersembunyi dari balik sekat sehingga ia bisa melihat bahwa aura para delegasi Cina itu kelihatan serakah dan cenderung berkhianat. Mereka hanya ingin menguasai emas yang ada di tanah Tibet. Namun Lobsang tetap saja senang saat bisa ke istana Dalai Lama, karena di sana makanannya enak-enak. Ya, Lobsang memang sangat suka makan!!

Namun pengalaman yang paling menarik adalah ketika ia pergi berombongan bersama gurunya dan 14 orang rahib lain ke dataran tinggi Chang Tang, di daerah pegunungan utara yang sangat tinggi. Itulah tempat tertinggi di dataran Tibet. Tujuannya untuk mengumpulkan tanaman-tanaman langka yang akan diolah menjadi obat. Rombongan ini naik bagal, karena bagal lebih kecil dan kuat daripada kuda.

Semakin menanjak ke atas oksigen semakin tipis, dan pada titik tertentu bagal tak bisa naik lagi. Maka mereka ditinggal di sebuah tempat yang cukup terlindung bersama 5 anggota yang paling lemah. Sisanya melanjutkan perjalanan jalan kaki dan bahkan berayun menggunakan tali dari rambut Yak di tempat yang curam. Di tempat tertentu mereka melemparkan kait besi ke sisi seberang, lalu dengan tali salah seorang berayun untuk mencapai sisi seberang. Saat itu ada seorang rahib yang meninggal karena berayun terlalu keras dan menabrak batu. Betul-betul ekspedisi yang ekstra sulit dan membahayakan.

Lebih tinggi lagi, mereka tiba di lapisan yang tertutup es, dan mereka terus mendaki meski tanpa peralatan mendaki di es yang layak. Setelah 3 hari berjalan, rute menjadi menurun melingkari gunung. Lalu di suatu tempat tiba-tiba tampak semacam kabut atau awan sangat putih dan terbentang tak putus-putus. Dan setelah melewati kabut yang dingin dan basah itu, mereka mendadak terdampar di suatu tempat yang sama sekali tak mereka duga.

Di hadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang hijau, dan udara yang mendadak panas. Pepohonan ada di mana-mana dan bunganya berwarna warni indah. Sejenak Lobsang merasa ia sudah berada di surga karena mati kedinginan. Namun Lama Mingyar, yang sudah pernah pergi ke tempat itu menjelaskan bahwa itu adalah sebuah fenomena alam. Penyebabnya adalah panas dari dalam bumi yang menghangatkan sungai. Mengapa panasnya tak menguar keluar? Karena terhalang oleh padas yang sangat tinggi, sehingga uap panas itu tetap tinggal di dataran itu. Kabut yang dilalui Lobsang tadi adalah tanda batas pertemuan antara dingin dan panas.

Tahukah anda, bahwa konon Tibet terletak di dataran rendah di tepi laut, dan karena sebab alam yang tak diketahui, ada dataran yang tenggelam ke laut, tapi ada juga yang terangkat menjadi gunung-gunung. Mungkin sebuah gempa yang maha dahsyat ya? Tak heran, di Tibet sering ditemukan fosil-fosil laut dan kulit kerang purba.

Di dataran tinggi Chang Tang pula Lobsang menyaksikan sesuatu yang sampai saat ini masih menjadi misteri, yakni: makhluk yang disebut Yeti. Apakah Yeti itu ada? Dan makhluk apa ia sebenarnya? Mengapa orang jarang melihatnya? Kalau ia makhluk langka, bagaimana ia dapat bertahan hidup?

Menurut Lobsang Yeti memang ada, dan hidup di tempat paling tinggi di dataran Chang Tang. Yeti bertubuh mirip kera tapi tengkorak kepalanya mirip manusia, dan cara berjalannya lebih mirip manusia daripada kera. Menurut Lama Mingyar Yeti memiliki ciri-ciri sebagai nenek moyang ras manusia namun berbeda perkembangan evolusinya, dan hanya bisa hidup di tempat-tempat yang tak terjamah manusia. Ada mitos yang mengatakan bahwa yeti jantan melarikan wanita-wanita yang hidup sendirian. Mungkin inilah penyebab mereka tak pernah punah, karena bisa meneruskan keturunan. Namun, semuanya kembali kepada kita, mau percaya atau tidak.

Itulah beberapa kisah petualangan Lobsang melihat negeri tempatnya lahir dan dibesarkan. Sesudah ditahbiskan menjadi lama, ia harus berkeliling dunia, melanjutkan tugasnya sebelum ia berinkarnasi. Orang Tibet (dan Buddha) percaya bahwa ada orang-orang istimewa yang setelah mati akan berinkarnasi dalam kehidupan yang lain. Dalam buku ini banyak juga teori-teori lain yang menarik seperti perjalanan astral, atau bagaimana proses orang bermimpi pada waktu tidur, dsb. Semuanya dijelaskan secara gamblang. Itulah yang membuat buku ini merupakan bacaan berat. Namun, menarik juga untuk mempelajari sebuah budaya yang memang menarik.

Buku ini diakhiri dengan Lobsang yang pulang sejenak ke rumahnya, bertemu dengan keluarganya untuk yang terakhir kali, dan menuliskan namanya di buku keluarga sebagai seorang Lama. Dan aku akan mengakhiri tulisan ini dengan mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah me-request buku ini untuk aku ulas. Semoga anda telah menemukan sebuah wawasan baru yang menarik, sama seperti aku.