Tuesday, June 28, 2011

Genghis Khan 1: Sang Penakluk

Aku sedikit mengenal tokoh pemersatu rakyat Mongol bernama Genghis Khan ini sejak kecil. Hanya saja, selama ini aku merasa ada dualisme dalam penilaian akan karakter Genghis Khan ini. Di satu sisi ia dianggap pahlawan, sementara di sisi lain ia adalah orang barbar. Mana yang benar? Mengapa satu orang yang sama bisa memiliki dua sisi sejarah? Mungkin ini alasannya…

It is hard to pass fair judgment on historical facts of which we have no eye witness (sulit juga membuat penilaian yang adil terhadap fakta sejarah yang tidak kita saksikan dengan mata kepala sendiri) ~Prakata

Beruntunglah kita, karena bulan April 2011 lalu Penerbit Bentang Pustaka telah menerbitkan versi terjemahan Buku Genghis Khan: Sang Penakluk ini untuk kita. Buku ini mengungkapkan sejarah seorang pria Mongolia bernama Temujin, yang kelak akan menjadi seorang penakluk terbesar yang pernah hidup di dunia: Genghis Khan. Luas wilayah yang pernah ia taklukkan sekitar 35.000.000 kilometer persegi -- 2,2 kali lebih besar daripada wilayah taklukan Alexander Agung, dan 6,7 kali lebih luas daripada wilayah yang berhasil dikuasai Napoleon Bonaparte. Kekaisaran Romawi bahkan hanya seperempatnya saja. Namun yang menurutku membuat Genghis Khan layak disebut hebat, bukan hanya luasnya wilayah taklukan, melainkan lebih pada kecerdikannya, kebijaksanaannya dalam memerintah, serta semangat, kesabaran, ketekunan dan keberanian dalam karakternya. Hanya lewat buku inilah kita akan melihat karakter Genghis Khan sebagai manusia. Dan hanya setelah membaca buku ini, anda akan memahami mengapa Genghis Khan disebut sebagai pahlawan.

Kisah diawali dengan memperlihatkan ordu (perkampungan/desa) Yesugei yang merupakan markas suku Mongol Kyat, sebagai salah satu yang terkuat pada sekitar abad ke duabelas. Saat itu adalah masa-masa para nomad yang mendiami Dataran Mongolia terpecah belah menjadi ratusan klan dan suku yang berbeda-beda sehingga sering terlibat dalam konflik berkepanjangan. Saat itu, yang kuat akan menghancurkan yang lemah. Sehingga yang lemah hanya punya dua pilihan: hancur atau bergabung pada kelompok yang lebih kuat. Semua orang, semua klan, semua suku tidak memiliki teman atau musuh yang tetap. Kawan hari ini bisa menjadi musuh esok hari bilamana berbeda pandangan, karena kalau kau tak menghancurkan pihak lain duluan, pihak lainlah yang akan menghancurkanmu. Karena situasi seperti inilah orang Mongolia terpecah belah, dan kalau hal itu berangsur-angsur terjadi, suku Mongolia akan punah selamanya.

Yesugei adalah salah seorang yang memiliki impian untuk menyatukan seluruh Mongolia. Yesugei memiliki beberapa putra dan putri. Salah satu putra yang dibanggakannya adalah Temujin, yang lahir dari istri kedua, seorang wanita bernama Ouluun. Dari semenjak kecil, Temujin telah menunjukkan kualitasnya sebagai calon pemimpin besar. Ia tak hanya terampil menunggang kuda dan memanah, namun kecerdasan dan karakter kuatnya sudah mulai memancar. Sepertiga dari awal buku ini dengan sangat detail menggambarkan kehidupan Temujin kecil. Bagaimana ia belajar segala sesuatu (saat itu tak ada sekolah) dari berbagai sumber. Ajaran ayahnya, dongeng dari ibunya, pengalaman di alam bebas bersama Mamay (paman dari pihak ibunya). Singkatnya, setiap hal yang dilihat, didengar dan dialaminya selalu dicerna dengan kritis, mengapa A terjadi? Mengapa B melakukan C? Temujin bukan hanya merenungkan misteri-misteri itu, namun ia selalu menemukan jawabannya untuk dimasukkan ke dalam memorinya. Pendek kata, tak ada hal yang luput dari perhatiannya.

Ketika usianya baru 9 tahun, Temujin sudah akan ditunangkan dengan seorang anak perempuan berusia 10 tahun dari suku Olqunuud, bernama Borte. Saat Yesugei pulang dari mengantarkan Temujin ke ordu calon mertuanya, ia diracun oleh orang Tartar yang menjadi musuh kaum Mongol Kyat. Seharusnya, Temujin adalah pewaris Yesugei, dan berhak menjadi pemimpin suku mereka. Namun, karena rakyat merasa mereka menjadi lemah setelah kematian Yesugei, banyak pendukung Yesugei yang meninggalkan ordu. Bahkan kerabat Temujin. Salah satu yang masih setia pada Temujin adalah Yamuka. Yamuka telah menjadi sahabat Temujin sejak kecil, mereka tumbuh bersama-sama. Mereka berdua bahkan telah menjadi anda. Anda adalah dua orang yang bersumpah setia menjadi saudara.
Dari antara kaum nomad yang bergabung dengan Yesugei saat masih hidup, adalah kaum Taichut. Kaum Taichut merupakan nokhod (orang bebas yang bisa pergi kapan saja mereka mau). Begitu Yesugei meninggal, kaum Taichut mengambil alih ordu Yesugei yang seharusnya menjadi milik Temujin. Temujin terpaksa melarikan diri bersama ibu dan sedikit orang yang masih setia kepadanya. Dari sebuah ordu yang memiliki lima belas ribu kepala keluarga dan merupakan salah satu yang terkuat, tiba-tiba keluarga Temujin jatuh ke jurang kemiskinan yang amat dalam. Ini karena di stepa berlaku hukum, bila suatu klan memenangkan peperangan, ia berhak atas pampasan perang dari pihak yang dikalahkan, berupa ternak, harta benda, termasuk orang (kecuali tentu saja bagi yang melarikan diri). Saking miskinnya, keluarga Temujin bahkan tak bisa makan daging domba dan sapi yang menjadi makanan pokok orang Mongolia. Kekalahan dari kaum Taichut itu bukanlah akhir dari peperangan mereka. Karena beberapa tahun kemudian, tatkala Temujin sudah berusia empat belas tahun, kaum Taichut kembali memburu ordu Temujin. Perjalanan terjal pun kembali harus dilalui Temujin. Dalam keadaan terdesak, ia mampu menyelamatkan keluarganya meski ia sendiri akhirnya tertangkap kaum Taichut. Namun berkat kebaikan salah seorang mantan pengikut Yesugei, ia pun dapat melarikan diri.

Setelah kembali kepada calon mertuanya dahulu, dan kali ini benar-benar mempersunting Borte, Temujin pun mulai berupaya mempersatukan kaum Mongolia, sebuah cita-cita yang diamanatkan oleh mendiang ayahnya. Sebuah usaha yang nampak sia-sia! Berjuang membangun ordu besar dari titik nol merupakan usaha luar biasa. Tapi untuk mempersatukan dataran Mongolia? Mustahil. Mungkin bagi sebagian besar orang, namun tidak bagi Temujin. Saat itu mungkin ia tak punya dukungan dan harta berlimpah, namun ia memiliki modal kuat yang tak dimiliki orang lain: Visi. Kalau pun anda-nya, Yamuka memiliki visi yang sama, namun ia hanya berhenti pada cita-cita itu saja. Sebaliknya, Temujin telah memikirkan langkah demi langkah yang harus dilakukannya untuk meraih cita-cita itu. Visi semata tidaklah cukup, orang harus memiliki visi yang jelas, dan tahu apa yang perlu dilakukannya, bagaimana cara terbaik untuk melakukannya, dan tentu saja yang terpenting: keberanian dan kesabaran untuk mewujudkannya. Itu semua dimiliki Temujin, dan dalam usia muda itu, ia segera melakukannya. Sedikit demi sedikit kehormatan dapat ia raih. Banyak orang yang dulu melarikan diri, kini kembali bergabung dengannya. Bahkan Toghrul Khan, pemimpin klan terbesar saat itu pun mengangkat Temujin menjadi anak angkatnya. Apakah dengan semua itu berarti ia telah sukses? Belum, perjalanan masih jauh. Temujin harus berkali-kali mengalami jatuh bangun, diserang, dan dikhianati. Kadang memenangi pertempuran, kadang juga dikalahkan. Bahkan Borte, istrinya, harus mengalami penculikan dan pemerkosaan ketika ordu mereka kalah. Semuanya itu hanya makin membuat semangat Temujin menggelora. Sayangnya kita belum dapat mengikuti kisah Temjujin dalam kiprahnya sehingga menjadi sang penakluk paling besar dan mashyur di dunia: Genghis Khan. Kisah ini harus berlanjut di buku kedua, sedang buku pertama ini memperlihatkan perjuangan dan jatuh bangun yang dialami Temujin dari sejak kecil.

Meski demikian, setelah membaca buku pertama inipun, aku jadi dapat melihat sosok Genghis Khan yang sebenarnya. Kalau orang menilainya kejam, sadis, bahkan barbar, menurutku itu karena kondisi pada saat itu yang mengharuskannya membunuh lawan-lawannya. Kita harus ingat, bahwa sebagian besar kaum nomad memang masih barbar saat itu. Untuk mempersatukan mereka, memang harus dengan jalan kekerasan. Kalau tidak, selamanya mereka takkan pernah bersatu, dan malah akan punah karena selalu terlibat konflik dengan sesama orang Mongolia sendiri. Toh meski harus membunuh lawan, ia melakukannya ketika perang atau bila orang tersebut akan membahayakan ordunya. Pada mantan musuh yang ia pandang akan setia, ia akan mengangkatnya menjadi anggota pasukannya.


Yang aku kagumi juga dari Temujin adalah perlakuannya terhadap para pengikutnya. Temujin menuntut kesetiaan mereka kepadanya, dan sebagai imbal baliknya ia memberikan keadilan dan perlakuan yang setara bagi semua orang. Bahkan ia sendiri mengenakan pakaian yang sama dan makan makanan yang sama seperti yang dimakan bahkan oleh penggembala lembu (yang termasuk warga paling rendah). Hal ini membuat pengikutnya memandang Temujin sebagai pemimpin yang adil dan mau berbela rasa, dan merupakan hal yang tak lazim, mengingat pemimpin lainnya pada saat itu hidup dalam kemewahan.

Akhirnya, dari buku pertama ini aku bisa memahami sudut pandang Temujin dalam keputusannya untuk menggunakan kekerasan dalam mempersatukan Mongolia. Seperti yang dikatakan oleh Sam Djang di awal tulisanku ini, memang sulit membuat penilaian yang adil terhadap fakta sejarah, jika tidak kita saksikan dengan mata kepala sendiri. Karena kita tak mungkin dapat kembali ke masa lampau, kita harus mengandalkan buku ini untuk membawa kita ke masa itu, ke salah satu masa sejarah paling keemasan di muka bumi ini. Salut pada Bentang yang telah menerjemahkannya dengan baik!

Judul: Genghis Khan 1: Sang Penakluk
Judul asli: Genghis Khan: World Conqueror, volume 1
Penulis: Sam Djang
Penerbit: Bentang Pustaka
Penerbit versi asli: New Horison Books, North Hills, 2010
Penerjemah: Reni Indardini
Terbit: April 2011
Tebal: 503 hlm

Monday, June 27, 2011

Lee Raven Boy Thief

Pernahkah anda ketika membaca buku, merasakan bahwa buku itu, begitu dibuka pada halaman pertama, tiba-tiba seolah menjadi hidup? Dan selanjutnya, selama buku itu tetap terbuka, ia lantas memuntahkan kisahnya pada anda, dan berhenti setiap kali anda menutupnya? Pernahkah anda sadari, bahwa buku yang sama apabila dibaca oleh dua orang yang berbeda, akan bercerita pada kedua orang itu dengan cara yang berbeda pula?

Buku. Sebuah benda mati. Sekumpulan kertas berisi coretan (atau ketikan) yang dijilid menjadi satu. Bagaimana ia bisa menjadi hidup ketika kita membacanya? Itu karena saat kita membaca, kita mencurahkan kecintaan kita pada buku itu. Kita memegangnya dengan hati-hati, jangan sampai ia terlipat, jangan sampai ia terkena air. Kita mencurahkan perhatian pada kata demi kata yang muncul di sana dengan rasa takjub. Ketika kita dengan antusias mengikuti cerita di buku itu, maka buku itu akan dengan antusias pula memuntahkan cerita itu seperti yang kita inginkan. Bahkan, kadang-kadang, buku pun bisa bercerita kepada seorang anak yang tak dapat membaca. Tepatnya, kepada seorang remaja laki-laki penderita disleksia bernama Lee Raven. Atau kalau anda ingin, anda bisa menjulukinya Lee Raven Boy Thief. Karena memang itulah pekerjaannya, mencopet!

London, Inggris, suatu malam di bulan April tahun 2046. Di sanalah kisah ini bermula. Tepatnya di kawasan Soho, ketika seorang remaja berusia sekitar 15 tahun memutuskan untuk mencopet dompet milik seorang wanita kaya. Ia berhasil, karena memang ia telah terbiasa mencopet. Bahkan ia lahir dan hidup dalam keluarga pencopet. Lee Raven memang pencopet kecil. Sama seperti ayahnya, serta saudara-saudaranya: Finn, Billy dan Ciaran. Hanya saja, kali ini dompet itu akan membawanya ke dalam sebuah petualangan seru, menegangkan sekaligus mengasyikkan.

Menghindar dari kejaran petugas keamanan si wanita kaya, kedua kakinya membawa Lee ke pintu belakang sebuah rumah. Sang pemilik rumah yang penuh buku itu adalah Mr. Maggs, seorang penjual buku antik yang tinggal di sana bersama asisten remaja perempuan yang ia anggap anak kandungnya: Janaki. Mr. Maggs mengira Lee tamu yang ditunggunya, dan menyuruhnya masuk. Ketika Mr. Maggs meninggalkannya di ruang kerjanya, tak sengaja Lee menemukan sebuah buku tua di dalam sebuah kotak penyimpan barang berharga. Dan secara tak sengaja pula buku itu meluncur masuk ke kantong rahasia yang ada di dalam jaket Lee tempat ia biasa menyimpan hasil copetannya, ketika ia nyaris ketahuan Mr. Maggs. Meski Lee tak dapat membaca karena disleksia, ia mengenali buku itu sebagai Beano Annual. Beano Annual adalah cerita anak-anak bergambar dengan banyak karakter, yang diterbitkan setiap tahun di Inggris pada bulan yang sama (pertama diterbitkan tahun 1939, dan tahun ini edisi ke 73 akan terbit). Salah satu karakter terpopuler di situ adalah Dennis The Menace. Cerita itu sering dibacakan oleh ibunya ketika Lee kecil. Beano itu merupakan satu-satunya persentuhan Lee dengan buku selama hidupnya. Yah...sampai saat ini tentu saja. Sampai ia tak sengaja mencuri buku, dan terlibat dalam petualangan yang akan membuatnya memandang buku dengan cara yang berbeda...


Salah satu cover Beano Annual, edisi ini terbit tahun 1976. Karena kepopulerannya, tokoh Dennis The Menace selalu tampil di setiap cover sejak tahun 1979


Salah satu yang menarik dalam buku ini adalah gaya bercerita dari sudut pandang tiap karakter, secara bergantian. Gaya ini akhir-akhir ini sering kujumpai di novel-novel terjemahan. Menurutku, gaya itu akan sukses apabila ceritanya memiliki hanya beberapa tokoh utama yang sangat kental perannya. Aku teringat pada buku The Other Side Of Midnight-nya Sidney Sheldon, di mana kisah berfokus pada dua wanita yang memperebutkan seorang pria. Karakter keduanya sangat kental karena pengenalan kita kepada mereka telah dibangun sejak awal kisah, silih berganti hingga akhir. Sehingga, kalaupun nama mereka ditiadakan, kita akan tetap mengenali siapa yang sedang diceritakan. Sedangkan buku ini, memiliki terlalu banyak tokoh untuk dapat digali lebih dalam. Sehingga saat membaca kita kadang bingung, tokoh siapa yang sedang berperan, karena terasa serupa satu sama lain. Ini ditambah dengan adanya beberapa kesalahan penempatan nama (entah dari buku aslinya atau saat penerjemahan).

Kembali pada kisah Lee, ketika meninggalkan rumah Mr. Maggs, Lee baru sadar bahwa dompet yang dicopetnya tertinggal di ruang kerja Mr. Maggs. Sebaliknya, buku Beano itu yang justru terbawa olehnya di dalam jaket. Dari pencopet dompet, Lee tiba-tiba menjadi pencuri buku. Namun anehnya, buku yang terbawa olehnya itu yang justru lebih diburu orang daripada dompet milik wanita kaya yang penuh uang tunai. Buku apa sebenarnya yang dibawa oleh Lee? Dan mengapa gara-gara buku itu, pemilik sebenarnya buku itu sampai dibunuh? Jawabannya tentu saja terletak pada dan di dalam buku itu sendiri. Maka dimulailah petualangan Lee yang malang, bersama dengan buku itu, yang ternyata memang bukan buku biasa.

Tiap kali buku itu dibuka, ia akan menampilkan cerita yang berbeda. Berbeda untuk setiap orang, dan berbeda setiap waktu. Cerita yang disajikannya akan disesuaikan dengan selera atau kebutuhan pembacanya. Ketika hari ini kita membaca kisah Cinderella misalnya, dan menutup buku itu sebelum kisahnya tamat, maka keesokan paginya ketika kita membuka buku itu lagi (di halaman pertama lagi), kita akan menemukan kisah lanjutannya. Tapi, jika kita sudah menamatkan Cinderella, maka selanjutnya ketika membuka halaman pertama buku itu lagi, kita akan menemukan kisah lainnya, Harry Potter misalnya. Asyik kan? Aku membayangkan...seandainya aku memiliki buku seperti itu. Buku yang ada sejak aku kecil, yang kubawa kemana-mana, dan tiap selesai membaca satu cerita, buku itu akan memilihkan cerita baru yang pasti kusenangi ketika aku buka lagi halaman pertamanya keesokan harinya. Aahhh...alangkah bahagianya hidupku kalau itu yang terjadi! Memiliki sebuah buku yang tak ada habisnya... Bahkan Lee Raven yang disleksia pun akhirnya bersahabat dengan buku itu. Dari buku itu, ia menggali banyak cerita indah dan mempesona. Bahkan buku itu memaparkan kisah sejarah tentang dirinya sendiri! Tapi...Lee kan tidak dapat membaca? Bagaimana ia bisa menikmati buku itu? Itu adalah salah satu misteri si buku tua yang oleh Lee diberi nama lucu: Booko. Anda pun harus membuka buku Lee Raven Boy Thief ini untuk mendapatkan cerita lengkap yang jauh lebih seru dan asyik daripada reviewku ini, dan tentu saja untuk memecahkan misteri si Booko!

Aku selalu suka dengan kisah-kisah yang berkaitan dengan buku. Apalagi melihat kecintaan orang terhadap buku. Mungkin agak aneh kalau orang memperlakukan buku seperti memperlakukan harta karun. Namun kupikir, buku MEMANG merupakan harta karun yang, tak seperti emas atau berlian yang bisa berkarat atau hilang, sekali isi sebuah buku kita serap, kita takkan kehilangan makna dan pengetahuannya yang mempengaruhi cara pandang kita dalam hidup. Satu-satunya yang membuatku kurang puas pada buku ini, hanyalah sosok ke mana si Booko akan menjelma di akhir cerita. Rasanya, aku jauh lebih suka kalau Booko tetaplah sosok sebuah buku, dengan segala misterinya. Itulah sosok buku yang ingin selalu kukenang dari kisah ini.


Penulis buku ini, two in one

Kalau buku tentang buku yang bisa bercerita sudah unik, penulis buku ini juga tergolong unik. Dulu kusangka Zizou Corder adalah nama maskulin dari seorang pria. Ternyata dugaanku keliru. Zizou Corder adalah perempuan, dua orang perempuan. Mereka adalah ibu dan anak, Louisa Young dan Isabel Adomakoh Young. Karena nama mereka terlalu panjang sebagai penulis buku, maka mereka mencatut nama kadal peliharaan Isabel yang bernama Zizu. Dari situlah nama Zizou Corder diambil. Louisa, sang ibu memang seorang novelis. Hasil karya mereka yang pertama adalah trilogi Lion Boy, yang idenya berasal dari dongeng sebelum tidur ketika Isabel masih berusia 3 tahun! Lalu tujuh tahun kemudian barulah ibu dan anak ini berkolaborasi menelurkan bukan hanya 1 tapi 3 buku sekaligus. Ini salah satu bukti bahwa untuk menulis, pertama-tama anda harus: TERUS MEMBACA. Jadi, kalau belum mulai membaca, anda bisa mulai dari buku yang berkisah tentang buku ini. Semoga dengan begitu kecintaan anda akan buku makin bertambah...

Judul: Lee Raven Boy Thief (Pencopet Cilik)
Penulis: Zizou Corder
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: April 2011
Tebal: 295 hlm

Thursday, June 23, 2011

[Bukan Hanya Tentang] Ning, Anak Wayang

Dear sahabat,

Pernahkah kau membaca buku yang, mungkin bagi orang lain biasa saja namun entah bagaimana, telah menyentuh dirimu? Mungkin karena kesamaan kisah hidup walau hanya sekelumit, atau mungkin karena semangat kisah itu menyentuh satu titik dalam jiwamu? Aku pernah. Dan itu ada di buku yang baru saja tamat kubaca ini: Ning, Anak Wayang. Maka ijinkan aku kali ini, keluar dari kebiasaanku, untuk membagikan sekelumit curahan hatiku yang tiba-tiba saja “terbangun” dari tidur selama aku membaca buku ini. Sekali lagi, mungkin kau tidak akan menyebut tulisan ini review buku, karena aku ingin menulis bagaimana buku ini telah mempengaruhiku…

Seperti halnya Ning, aku dulu juga suka banget menari. Bedanya, aku tidak dibesarkan dalam keluarga penari. Menari bagiku sekedar hobby dan sedikit bakat. Bermula dari menari ballet, akhirnya aku jatuh cinta pada tarian tradisional-modern ala Bagong Kussudiarjo, yang juga pernah digeluti Ning dalam buku ini. Tari Yapong dan Tari Roro Ngigel, keduanya pernah aku bawakan, seperti Ning juga.

Ini salah satu fotoku ketika menari Roro Ngigel pada perayaan HUT Kemerdekaan di RW-ku.


Menarik menemukan di buku ini, makna sebenarnya tarian Roro Ngidel ini.

“Tarian ini menggambarkan keceriaan seorang remaja untuk menarik perhatian seorang pria. Tarian ini juga digunakan sebagai acara hiburan, bentuk keramahan atau penyambutan atas kedatangan kerabat atau teman. Gerakannya ceria dan energik”—hlm 108.

Dulu waktu menari, aku hanya sekedar meliak-liukkan tubuh sesuai gerakan yang diajarkan dan mengikuti musik belaka, tanpa tahu apa arti tiap gerakan itu. Namun tetap saja, sama seperti Ning, Roro Ngigel merupakan salah satu tarian favoritku.

Dalam tarian tradisional maupun tradisional-modern, sering dipakai perangkat pembantu payung. Ternyata payung ini memiliki filosofi tertentu juga, seperti yang kukutip dari buku ini,

“Payung melambangkan pengayoman atau perlindungan. ..Saat menarikan tarian itu, aku memutar-mutarkan paying yang kubawa. Gerakan yang satu ini juga ada artinya, aku diharapkan bisa mengayomi sekelilingku.” –
hlm 25.

Dan ini foto ketika aku serius mengikuti ujian tari dengan membawakan tari Payung, sayangnya payungnya pas dalam keadaan tertutup...


Tentu saja waktu itu aku tak paham sama sekali tentang filosofi mengayomi itu. Namun setelah aku mengalami apa yang terjadi pada keluargaku saat ini, aku sadar bahwa sejak semula aku memang telah ditakdirkan untuk mengayomi keluargaku, sama seperti payung yang kumainkan saat aku menarikan tari Payung itu dulu…

Aku, seperti Ning juga, pernah turut serta dalam beberapa sendratari. Ada yang berbeda saat kau membawakan sebuah tarian, baik solo atau dalam kelompok, dengan menari dalam sebuah sendratari. Sendratari sama seperti film. Bedanya, kau membawakan peranmu dengan menari sambil berakting. Dalam sendratari kau juga akan merasakan indahnya kebersamaan dengan teman-temanmu. Bukan hanya dalam tarian itu saja (yang notabene hanya berlangsung beberapa menit), namun justru dalam seluruh prosesnya. Saat latihan berulang-ulang, saat harus capek menunggu giliran tampil padahal kau sudah ber-make-up dan terkungkung dalam kemben yang sesak selama berjam-jam, saat kau harus makan tapi tak mampu menelan apapun karena campuran gugup, takut make-up mu luntur, dan kemben yang ketat yang menyebabkanmu tak bisa duduk santai untuk makan... Sebuah sendratari merupakan sebuah cerita, namun proses untuk menampilkan sebuah sendratari itu sendiri merupakan cerita kehidupan yang akan mempengaruhi hidupmu kelak!

Fotoku dalam salah satu sendratari yang sempat ditayangkan di TVRI (coba tebak yang mana aku!)


Membayangkan kehidupan sehari-hari Ning yang dibesarkan di kampung seniman dalam keluarga dan lingkungan penari, mengingatkanku pada pengalaman saat aku ikut sanggar tari-ku “nyantrik (=berguru)” di Padepokan Bagong Kussudiarjo di Yogya. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Ada 4 orang murid yang dipilih untuk “kulakan” tari di padepokan itu, dalam artian belajar tari-tarian baru untuk nantinya diajarkan di sanggar. Sebuah kehormatan bagiku yang saat itu merupakan murid paling yunior (dalam hal pengalaman menari) untuk menghabiskan beberapa hari di padepokan. Satu hal yang kurasakan, kedamaian. Ya, baru saat itulah aku menyadari bahwa menari itu bukan semata urusan gerak tubuh, tapi lebih pada olah jiwa. Ternyata dengan menari aku merasakan diriku lepas bebas tanpa beban, ketika seluruh energiku tercurah mengalir lewat tiap gerak tari. Semua yang ada dalam hatiku rasanya bisa kukeluarkan ketika menari. Setelah selesai, badan memang lelah, namun hati dan jiwa terasa segar dan ringan. Aku juga suka sekali mendengarkan alunan gamelan di tengah sunyinya suasana pedesaan. Sulit untuk menjelaskan di sini perasaan yang sesungguhnya. Yang jelas, aku amat terpesona ketika berada di padepokan itu. Aku bertemu dengan para seniman yang ramah dan rendah hati, apa adanya, dan memiliki penjiwaan penuh pada seni yang digelutinya.

Ini fotoku ketika menari Tari Merak, tarian ini aku pelajari secara kilat di Padepokan, dan setelah itu aku sempat dipercaya untuk mengajarkannya pada murid-murid di sanggar (bangganya…!)


Tak terasa waktu berlalu. Saat aku kembali ke Surabaya, aku sempat mengutarakan keinginanku untuk menjadi penari kepada orang tuaku. Sebenarnya aku kurang suka sekolah, karena aku merasa terkungkung pada banyak aturan. Aku juga merasa hanya otakku yang dipaksa bekerja, sementara jiwaku mencari-cari sesuatu pemenuhan yang tak aku dapatkan di sekolah. Aku ingin belajar di padepokan itu selepas SMA, dan menjadi seorang penari. Aku ingin bisa sebebas burung ketika aku menari. Tapi, seperti yang bisa kau duga, ortuku jelas menolak ide itu. “Apa yang kamu harapkan dengan menjadi seorang penari?”, terngiang selalu jawaban ortuku saat itu. “Tak ada masa depan, karena profesi menari itu tidak dihargai di negeri ini. Itu kenyataan yang harus bisa kamu terima! Kamu boleh menari untuk hobby, tapi jangan menjadikan menari mata pencarian, gak ada duitnya…”. Betapa sedih aku mendengarnya. Dan memang, seperti halnya yang dialami oleh Ning dan seniman lainnya saat itu, orang tak bisa hidup hanya dengan menari, apalagi menari tradisional. Maka aku terpaksa melepaskan harapanku, dan ketika kesibukan makin menumpuk, akhirnya aku pun terpaksa melepaskan angan-angan menjadi seorang penari…

Profesi penari sering disepelekan dan disalah artikan orang. Secara umum penari dianggap warga kelas dua, tidak bermartabat, dan bahkan ada yang men-cap penari wanita itu gampangan. Aku teringat rekan kerja papaku yang memiliki anak perempuan. Si anak ingin menari sepertiku. Ayahnya melarang. Alasannya? Takut dipandang buruk oleh orang lain karena pakaian penari (tradisional) yang memamerkan pundak (saat mengenakan kemben), katanya. Aku tak habis pikir dengan pemikiran semacam itu. Kalau kita menari dengan baik, bukankah yang akan diperhatikan orang tariannya, bukan kulit mulus pundaknya? Tapi begitulah…sulit menghapus stereotip-stereotip seperti itu. Salut pada Ning yang mampu melalui semua itu dengan tegar dan berani, karena toh ia tak melakukan kesalahan apapun. Biar saja orang memandang negatif, toh pada akhirnya Ning bisa membuktikan bahwa dengan menari dan menyanyi, ia mampu memiliki masa depan yang lebih baik.

Selain mengajakku mengenang masa lalu, iman Ning dan keluarganya yang kuat seakan ikut menguatkan aku, dalam kesulitan keluarga yang sedang kuhadapi saat ini. Meskipun kesulitanku mungkin tak sebesar keluarga Ning, namun keyakinannya yang teguh bahwa Tuhan pasti akan menolong dengan cara yang kita tak pernah tahu, benar-benar menguatkan aku juga. Saat kecil Ning harus berjalan puluhan kilometer hanya untuk bisa bersekolah. Ia harus menyalin ribuan kata dari buku teks pada waktu istirahat di sekolah hanya untuk bisa mengikuti pelajaran. Ia juga harus menahan lapar hanya untuk bisa menabung demi masa depan yang lebih baik. Dan semua itu ia jalani dengan sabar. Aku jauh lebih beruntung daripada Ning. Kesulitanku mungkin lebih tidak mendesak daripada Ning. Jadi, kalau Ning bisa terus berjalan untuk kemudian bangkit dari keterpurukan, bukanlah tak mungkin aku pun bisa melakukannya.

Menari merupakan masa lalu bagiku, dan tak pernah mempengaruhi lagi hidupku di masa selanjutnya. Namun, bukankah semua yang pernah terjadi dalam hidup kita memiliki andil entah bagaimana, untuk membentuk diri kita pada saat ini? Mungkin begitu pulalah, takdir membawaku kepada buku ini, yang membawaku pada kenangan masa lalu, sekaligus menguatkan diriku pada masa kini.

Ah...Ning, kau bukan hanya seorang anak wayang. Dan tulisan ini pun juga bukan hanya tentang sebuah buku…

Tertanda,
Pemilik Blog ini

Judul: Ning, Anak Wayang
Penulis: Niken & Anjar
Penerbit: Grasindo
Terbit: 2011
Tebal: 244

Friday, June 10, 2011

Manxmouse

Ketakutan itu adalah sesuatu yang tidak akan ada hingga seseorang membayangkannya. Kesimpulan itulah yang akan anda dapatkan setelah membaca buku ini, sama seperti yang akhirnya dipahami oleh Manxmouse, si tikus biru yang menjadi tokoh di kisah karya Paul Gallico ini.

Seekor tikus berwarna biru? Tentu saja tikus ini bukanlah sebuah spesies baru hasil mutasi gen atau semacamnya. Si tikus biru itu bermula dari seorang spesialis pembuat tikus keramik di Inggris yang tiba-tiba mempunyai inspirasi untuk membuat sebuah maha karya nan sempurna. Sayangnya, inspirasi itu timbul semata-mata karena ia sedang mabuk. Setelah semalam suntuk menyelesaikan maha karya itu, si pembuat keramik meletakkan tikus keramik kebanggaannya di atas nakas, lalu berangkat tidur. Kesadaran barulah datang keesokan harinya, ketika ia mendapati bahwa tikus ciptaannya jauh dari sempurna. Bahkan boleh dibilang itu bencana paling mengerikan bagi seorang pembuat keramik. Tikus itu tak mirip tikus, tubuhnya berwarna biru, kakinya serupa kaki kangguru, telinganya telinga kelinci, dan ekornya buntung. Lalu pada suatu pagi tikus keramik itu menghilang….

Bisa dikatakan hari kelahiran si tikus biru yang bernama Manxmouse ini adalah saat ia tiba-tiba berubah menjadi makhluk hidup, alih-alih pajangan di meja nakas pembuat keramik tua. Seperti layaknya makhluk manapun, Manxmouse memulai hidupnya bak selembar kertas putih. Ia belum melihat apapun, belum pernah berkomunikasi dengan siapapun, bahkan ia belum mengenal dirinya sendiri. Tentu saja, ia juga belum mengenal apa itu rasa takut. Sampai ia bertemu dengan sesosok Clutterbumph. Clutterbumph adalah sosok yang pekerjaannya membawa ketakutan dalam pikiran semua makhluk. Clutterbumph bisa menjadi sosok seperti apa saja, tergantung apa yang dibayangkan “korbannya”. Kalau anda membayangkan tengkorak itu menakutkan, maka Clutterbumph anda akan mewujud sebuah tengkorak. Di sini, anda yang pecinta Harry Potter mungkin akan teringat sesuatu? Kalau anda menjawab “Boggart”, anda benar! Mungkin saja J.K. Rowling mengambil ide Clutterbumph ini untuk menciptakan sosok Boggart di Harry Potter. Tak mengherankan juga, karena buku ini ternyata sempat menjadi buku favorit J.K. Rowling. Bahkan Rowling membubuhkan endorsement juga untuk buku ini.

Kembali pada kisah Clutterbumph. Nah, di malam hari nan sial itu, si Clutterbumph gagal membuat Manxmouse ketakutan. Alih-alih, Manxmouse malah bersimpati pada Clutterbumph yang menangis karena baru kali ini gagal menakut-nakuti makhluk hidup! Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, si Clutterbumph pun memberikan peringatan kepada Manxmouse untuk berhati-hati pada Kucing Manx. Saat itulah lembar bersih putih dalam hidup Manxmouse mulai diisi dengan kekhawatiran…

Selanjutnya, dalam pengembaraan Manxmouse, ia hampir selalu terlibat dalam petualangan yang kadang menyenangkan, namun tak jarang juga seru dan menegangkan. Dalam tiap petualangan, ia menemukan teman-teman baru. Yang pertama adalah seekor Billibird yang menunjukkan jalan pada Manxmouse, lalu Kapten Hawk si burung elang yang membawa Manxmouse pada penagalaman terbangannya yang pertama. Kemudian Manxmouse juga berkesempatan menolong Nellyphant si gajah bintang film yang suka gugup kalau melihat tikus. Berkat Manxmouse, tikus yang tidak berpembawaan seperti tikus, Nelly menemukan kembali keberaniannya. Burra Khan, seekor harimau sirkus adalah juga salah satu yang menerima kebaikan Manxmouse untuk mengembalikannya dengan selamat ke kandang sirkusnya. Begitulah, di setiap perhentian, ia menemukan kehangatan persahabatan dari teman-teman baru. Namun di sisi lain, ia juga mulai memahami banyak hal, termasuk juga tentang musuh bebuyutan yang, menurut teman-temannya, harus diwaspadai, dikhawatirkan dan ditakuti, bahkan tercantum dalam ramalan Hari Akhir-nya: Kucing Manx.

Hingga pada suatu hari, ketika takdir membawa perjalanan Manxmouse ke pulau Man, maka akhirnya Manxmouse pun bertemu dengan Kucing Manx. Apakah yang akan terjadi? Akankah Manxmouse menyerah pada takdirnya dan menjadi milik Kucing Manx? Akankah Kucing Manx menyantap Manxmouse dalam sebuah pertarungan yang tak sepadan? Di saat itulah, Manxmouse harus memilih antara selamanya menjadi penakut, atau memerangi rasa takut itu sendiri dengan menjalani hal yang telah membuatnya ketakutan selama ini.

Kisah Manxmouse ini merupakan kisah yang unik. Cukup sulit bagiku untuk menentukan, masuk ke dalam genre apakah buku ini. Fabel? Mungkin saja, namun dalam kisah ini ada juga tokoh-tokoh manusia yang mengambil peran cukup penting dalam petualangan Manxmouse. Contohnya anak perempuan bernama Wendy H, Troy yang sempat bersahabat dengan Manxmouse, bahkan memberinya nama keren: Harrison G. Manxmouse. Petualangan Manxmouse yang lumayan seru sekaligus unik adalah ketika ia jatuh ke tangan pemilik toko hewan peliharaan yang tamak. Menyadari keanehan Manxmouse, dan yakin bahwa tikus Manx adalah spesies langka, ia berusaha menjual Manxmouse dengan harga setinggi-tingginya. Akibatnya Manxmouse sempat membuat heboh kota London dan bahkan dunia berkat berita yang menyatakan bahwa Manxmouse hendak dilelang! Bayangkan kalau suatu hari balai lelang terkenal Sotheby's tiba-tiba mengumumkan akan melelang seekor tikus biru! Pasti akan terjadi kehebohan kan? Di sini nampaknya Paul Gallico ingin menyindir manusia yang begitu tamak pada kekayaan dan prestise. Yang mereka inginkan adalah kekayaan dan sanjungan, bukan si tikus sendiri. Menggelikan sekali proses pelelangan Manxmouse ini, yang bahkan membawanya hingga ke museum Madame Tusaud, di mana Manxmouse menemukan duplikat dirinya, Manxmouse II dalam wujud patung lilin!

Memasukkan Manxmouse ke dalam genre fantasi mungkin lebih pas, namun toh aku tak begitu merasa bahwa ini kisah yang fantastis. Benar yang dituliskan J.K. Rowling dalam endorsement-nya: Gallico menjalin fantasi dan realitas dengan sangat terampil, sehingga kisah yang paling fantastis sekalipun terasa masuk akal. Memang, selama membaca dan menikmati kisah ini, semuanya nyaris terasa nyata bagiku. Sulit untuk memisahkan bagian mana yang fantasi, dan mana yang tidak, semuanya membaur dengan natural. Menurutku, sosok Manxmouse sendirilah yang merupakan fantasi yang tak nyata. Namun sebaliknya, karakter Manxmouse sendiri malah lebih terasa manusiawi daripada manusia-manusia yang menganggap diri mereka agung.

Bagiku, Manxmouse mewakili kesederhanaan yang jarang dimiliki oleh manusia di jaman ini. Manxmouse mewakili diri kita sendiri tanpa terkecuali, ketika kita dulu lahir. Bersih. Tanpa ada prasangka. Tanpa ada rasa takut. Tanpa ada keserakahan. Tanpa ada rasa benci. Karena dalam keadaan begitulah kita diciptakan Tuhan sebagai manusia. Namun, dalam perjalanan hidup kita, kita jadi terseret oleh bermacam pengaruh yang datang dari luar. Kita jadi mengenal rasa takut, takut pada sesuatu yang kita bahkan mungkin belum tahu dan belum mengalaminya. Ketakutan itu akhirnya melumpuhkan kita, dan hanya ada satu cara untuk mengalahkannya, yaitu menghadapi ketakutan itu sendiri. Manxmouse juga membuat kita menyadari betapa selama ini kita disilaukan oleh harta dan kehormatan yang akhirnya menghalangi kita dari melihat hal-hal yang hakiki, seperti halnya para sheik dan pangeran yang sibuk menaikkan penawaran dalam lelang demi prestisenya, tanpa melihat apa sih sesungguhnya makhluk yang mereka tawar itu?

Akhirnya, aku malah bertanya-tanya...apakah Manxmouse ini termasuk buku anak-anak? Jangan-jangan buku ini ditulis justru untuk menyindir para orang dewasa yang sering lebih kekanak-kanakan daripada anak-anak? Dan pastinya, lebih tidak bijak daripada seekor tikus. Meskipun itu hanyalah seekor tikus biru, berkaki kangguru, bertelinga kelinci dan tidak berbuntut yang bernama Manxmouse...

Judul: Manxmouse
Penulis: Paul Gallico
Penerjemah: Maria Lubis
Penerbit: Media Klasik Fantasi (a Division of Mahda Books)
Original copyright at 1968 by Mathemata Anstalt
Cetakan: April 2011
Tebal: 227 hlm

Note: Review ini sekaligus kuikut sertakan dalam Lomba Resensi Penerbit Redline (Mahda Books). Mohon kritik dan saran dari teman-teman ya..!

Friday, June 3, 2011

The Innocent Man

Muak-ngeri-geram di awal. Bosan menggantikannya di pertengahan. Tapi mendekati akhir, trenyuh dan prihatin berganti menyeruak di dada. Akhirnya aku sampai pada pertanyaan: Masihkah ada keadilan di dunia ini? Semua kesan itu aku dapatkan ketika membaca karya John Grisham yang merupakan sebuah kisah nyata: The Innocent Man.

Jika kau percaya bahwa orang (di Amerika) tak bersalah, sampai dinyatakan bersalah, buku ini akan mengejutkanmu.
Jika kau percaya hukuman mati, buku ini akan mengusikmu.
Jika kau percaya sistem peradilan pidana itu adil, buku ini akan menyulut kemarahanmu.

Malam itu, 7 Desember 1982, sebuah pembunuhan terjadi di Ada, sebuah kota kecil di negara bagian Oklahoma, Amerika. Korbannya gadis bernama Debbie Carter, seorang waitress di bar bernama Coachlight. Keesokan harinya Debbie ditemukan tak bernyawa setelah diperkosa di apartemennya sendiri. Seperti biasa, proses penyidikan segera digelar, barang bukti diamankan, saksi-saksi (para pria tentunya) diwawancarai dan diminta menyerahkan sampel cairan tubuh, seperti layaknya prosedur tindak kriminal yang sering kita baca/tonton. Bedanya, dalam kasus ini polisi segera menjadi depresi karena setelah semua prosedur yang makan waktu lama itu dilalui, tak kunjung ditemukan seorang tersangka pun.

Maka mulailah mereka mengeluarkan "kreativitas" mereka dengan menyeret seorang pria yang sudah terkenal sebagai “troublemaker” karena suka mabuk-mabukan dan membuat keributan di bar. Alasannya gampang saja: Ron Williamson, nama pria itu, adalah tersangka yang besar kemungkinannya melakukan kejahatan itu. Pasti malam itu ia mabuk berat, lalu menginap di apartemen Debbie. Sesuatu yang seharusnya hanya dugaan, tiba-tiba berkembang menjadi obsesi polisi untuk secepatnya menetapkan tersangka. Apakah ada saksi yang melihat Ron pulang bersama Debbie malam itu? Tidak ada. Adakah yang melihatnya mendekati Debbie di bar? Tidak ada. Atau setidaknya adakah yang melihat Ron di Coachlight malam itu? Tak ada yang ingat. Lalu? Tak masalah. Ron tersangka yang sangat bagus, sekarang tinggal mendapatkan pengakuan darinya. Bagaimana kalau ia tak mengakui bahwa ia membunuh Debbie? Tak masalah. Polisi akan menerornya dengan bentakan dan ancaman yang persuasif hingga pada suatu titik, bahkan orang yang teguh pendiriannya pun akan menyerah dan membuat pengakuan yang lemah. Tak masalah. Pasti ada napi-napi lain yang bisa diancam untuk membual di pengadilan bahwa mereka mendengar Ron mengaku telah membunuh Debbie. Semua itu bisa direkayasa. Yang penting polisi telah menunaikan tugas.

Muak. Ngeri. Geram. Muak melihat kemalasan dan kebodohan polisi dalam melakukan tugas. Ngeri menyadari begitu gampangnya aparat hukum menjadikan seseorang yang tak berdosa tersangka pembunuhan. Geram membaca bahwa kebodohan dan ketidakadilan itu dilakukan hampir terang-terangan dan diketahui hampir semua orang, namun hanya didiamkan saja. Sementara polisi, yang menyimpulkan bahwa kejahatan itu pasti dilakukan 2 orang, berhasil pula menyeret seorang teman Ron: Dennis Fritz. Klop sudah.

Sementara itu, cerita kemudian bergulir pada kehidupan Ron yang ironis. Sepanjang hidupnya Ron hanya memiliki satu impian, ambisi sekaligus obsesi, yaitu pada bisbol. Ditunjang tubuhnya yang setinggi 180 cm dan atletis, Ron yang egois karena selalu dimanja sejak kecil, tak kesulitan merintis jalan menuju seorang pemain bisbol profesional di liga besar. Ketika nampaknya pengorbanan keluarga Williamson terhadap si bungsu nan manja itu bakal berbuah kebahagiaan, datanglah kabar yang menyakitkan. Ron mengalami cedera bahu yang memaksanya untuk berhenti main bisbol selamanya. Ron yang tak pernah dewasa tak mampu menerima kenyataan impiannya harus pupus, justru ketika ia nyaris berhasil menembus liga besar dan menjadi pemain bisbol terkenal seperti para idola yang ada di kartu-kartu bisbol koleksi keramatnya. Ron lalu jatuh ke jurang minuman keras, dan menderita penyakit mental. Dan dalam keadaan demikianlah, Ron menapakkan kaki ke penjara Pontotoc County sebagai pembunuh…

Meski tak sedramatis perjalanan hidup Ron, Dennis Fritz harus merelakan kehidupan sebagai suami dan ayah yang bahagia, hanya karena fakta ia merupakan teman Ron dan pernah mabuk-mabukan bersamanya. Dengan teknik yang sama, polisi akhirnya berhasil menjerat Dennis ke penjara juga. Hanya butuh sebuah sidang dengan selusin saksi-saksi penipu, para pengadu, jaksa penuntut arogan dan hakim yang kurang teliti, maka Ron dan Dennis pun resmi menjadi narapidana. Dennis dengan hukuman seumur hidup, dan Ron dengan hukuman mati!

Di bagian ini, cerita menjadi datar. Aku sempat bosan membaca naik-turunnya kondisi Ron yang begitu cepat, namun dengan kepastian grafik itu menuju ke bawah. Pemenjaraan memang siksaan bagi semua yang mengalaminya, namun bagi seorang sakit mental seperti Ron, itu berarti merenggut hidup seorang manusia secara perlahan. Dan itu bukan saja karena penjara itu sendiri namun juga keacuhan semua pihak yang terlibat di dalamnya terhadap kesehatan mental dan fisik Ron. Dan itu terjadi selama dua belas tahun. Bayangkan, dua belas tahun menghabiskan hidup di penjara padahal anda tak melakukan apapun! Untunglah ada orang-orang seperti Barry Schenck dan Mark Barrett yang aktif di yayasan yang peduli terhadap orang-orang tak mampu yang mengalami peradilan yang buruk. Mereka bekerja sama dengan para pekerja medis yang tergerak oleh nurani memperjuangkan nasib Ron yang dijauhkan dari perawatan kesehatan. Berkat rasa keadilan mereka, Ron bersama Dennis akhirnya berhak mendapatkan sidang peradilan yang baru, yang (diharapkan) lebih bersih.

Di bagian-bagian akhir inilah cerita kembali memanas. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Ron dan Dennis menghadapi berita yang memberikan harapan besar ini. Setelah belasan tahun terpenjara dan pengajuan banding mereka ditolak di mana-mana, nyaris tak ada lagi harapan barang secuil pun bahwa mereka akan dapat kembali menghirup udara bebas. Kini secercah harapan nampak di ujung lorong panjang penantian itu. Apakah cahaya itu nyata? Bagaimana kalau ternyata sidang itu penuh kebohongan seperti pada sidang yang lalu? Di sinilah emosiku turut diaduk-aduk antara harapan dan kekhawatiran. Harapan bahwa akhirnya, keadilan akan ditegakkan. Sekaligus kekhawatiran bahwa harapan yang terlambung untuk kedua kalinya akan semakain membuat Ron dan Dennis makin terpuruk. Untunglah, Hakim Seay memiliki cukup keberanian untuk mendobrak sistem yang salah.

Dan akhirnya sidang pun dimulai. Sidang kedua pembunuhan Debbie Carter yang telah berlangsung 14 tahun lalu! Bahagiakah Ron dan Dennis setelah mereka dinyatakan bebas? Tentu saja! Namun yang membuatku trenyuh adalah perjuangan mereka untuk dapat kembali ke masyarakat, mengenyam hidup yang normal. Melewatkan dua belas tahun di penjara adalah satu hal, namun harus memulai hidup kembali setelah tertinggal dua belas tahun adalah hal lain yang bisa jadi lebih mengkhawatirkan. Bagi sedikit orang yang berkarakter kuat seperti Dennis, mereka akan berhasil melewatinya. Namun bagi orang-orang yang tak pernah bisa mandiri dan sepenuhnya dewasa seperti Ron, kebebasan itu terasa semu. Itulah menurutku dosa paling besar proses peradilan yang tidak jujur. Bukan hanya waktu yang tersia-sia di penjara, namun pemenjaraan itu bisa merusak hidup seseorang sepenuhnya hingga akhir hayatnya. Kalau anda tak percaya bacalah kata-kata terakhir Ron sebelum ia meninggal dunia, yang membuatku menangis...

"...Aku pernah bertanya pada diri sendiri apa alasan aku dilahirkan, saat aku dipenjara terpidana mati, jika aku harus melalui semua itu? Apa alasan kelahiranku? Aku hampir mengutuk ayah dan ibuku--jahat sekali--karena membuat aku lahir ke dunia ini. Bila aku harus melakukan semuanya itu lagi, aku tak ingin dilahirkan."

Sangat miris kalau orang sudah menyesalkan kelahirannya sendiri ke dunia ini. Dan itu gara-gara segerombolan aparat hukum sembrono yang tak mampu menegakkan hukum dengan adil. Jadi...apakah keadilan itu masih ada? Tentu saja! Hakim Seay, Mark Barrett dan Barry Scheck adalah contoh-contoh nyata. Kasus Ron itu mungkin saja menjadi titik balik dimulainya proses hukum yang lebih baik. Dan kalau demikian, mungkin saja pengorbanan Ron tak sia-sia, kelahiran Ron ke dunia bukannya tanpa tujuan. Ia memang harus mengalami semuanya itu, agar makin banyak orang yang boleh merasakan keadilan. Mungkin saja...

Yang membuat buku ini terasa spesial adalah foto-foto mereka yang tersangkut dalam cerita ini. Ada foto Debbie Carter yang manis, dan banyak foto-foto Ron. Di foto itu anda bisa membandingkan ketika Ron baru saja didakwa, dan ketika Ron keluar dari penjara. Anda takkan percaya bahwa tenggang waktunya hanya 12 tahun! Salut pada John Grisham yang keluar dari kebiasannya menulis fiksi. Meski mungkin saja fiksinya lebih "heboh", namun bukankah itu hanya fiksi? Ketidak adilan yang dialami orang-orang yang nyata, justru akan menjungkir balikkan emosi anda, dan akhirnya membuat buku ini semakin melekat di hati anda. Empat bintang untukmu John!

Judul: Tak Bersalah (The Innocent Man)
Penulis: John Grisham
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Mei 2011
Tebal: 537 hlm