Dear sahabat,
Pernahkah kau membaca buku yang, mungkin bagi orang lain biasa saja namun entah bagaimana, telah menyentuh dirimu? Mungkin karena kesamaan kisah hidup walau hanya sekelumit, atau mungkin karena semangat kisah itu menyentuh satu titik dalam jiwamu? Aku pernah. Dan itu ada di buku yang baru saja tamat kubaca ini: Ning, Anak Wayang. Maka ijinkan aku kali ini, keluar dari kebiasaanku, untuk membagikan sekelumit curahan hatiku yang tiba-tiba saja “terbangun” dari tidur selama aku membaca buku ini. Sekali lagi, mungkin kau tidak akan menyebut tulisan ini review buku, karena aku ingin menulis bagaimana buku ini telah mempengaruhiku…
Seperti halnya Ning, aku dulu juga suka banget menari. Bedanya, aku tidak dibesarkan dalam keluarga penari. Menari bagiku sekedar hobby dan sedikit bakat. Bermula dari menari ballet, akhirnya aku jatuh cinta pada tarian tradisional-modern ala Bagong Kussudiarjo, yang juga pernah digeluti Ning dalam buku ini. Tari Yapong dan Tari Roro Ngigel, keduanya pernah aku bawakan, seperti Ning juga.
Ini salah satu fotoku ketika menari Roro Ngigel pada perayaan HUT Kemerdekaan di RW-ku.
Menarik menemukan di buku ini, makna sebenarnya tarian Roro Ngidel ini.
“Tarian ini menggambarkan keceriaan seorang remaja untuk menarik perhatian seorang pria. Tarian ini juga digunakan sebagai acara hiburan, bentuk keramahan atau penyambutan atas kedatangan kerabat atau teman. Gerakannya ceria dan energik”—hlm 108.
Dulu waktu menari, aku hanya sekedar meliak-liukkan tubuh sesuai gerakan yang diajarkan dan mengikuti musik belaka, tanpa tahu apa arti tiap gerakan itu. Namun tetap saja, sama seperti Ning, Roro Ngigel merupakan salah satu tarian favoritku.
Dalam tarian tradisional maupun tradisional-modern, sering dipakai perangkat pembantu payung. Ternyata payung ini memiliki filosofi tertentu juga, seperti yang kukutip dari buku ini,
“Payung melambangkan pengayoman atau perlindungan. ..Saat menarikan tarian itu, aku memutar-mutarkan paying yang kubawa. Gerakan yang satu ini juga ada artinya, aku diharapkan bisa mengayomi sekelilingku.” –
hlm 25.
Dan ini foto ketika aku serius mengikuti ujian tari dengan membawakan tari Payung, sayangnya payungnya pas dalam keadaan tertutup...
Tentu saja waktu itu aku tak paham sama sekali tentang filosofi mengayomi itu. Namun setelah aku mengalami apa yang terjadi pada keluargaku saat ini, aku sadar bahwa sejak semula aku memang telah ditakdirkan untuk mengayomi keluargaku, sama seperti payung yang kumainkan saat aku menarikan tari Payung itu dulu…
Aku, seperti Ning juga, pernah turut serta dalam beberapa sendratari. Ada yang berbeda saat kau membawakan sebuah tarian, baik solo atau dalam kelompok, dengan menari dalam sebuah sendratari. Sendratari sama seperti film. Bedanya, kau membawakan peranmu dengan menari sambil berakting. Dalam sendratari kau juga akan merasakan indahnya kebersamaan dengan teman-temanmu. Bukan hanya dalam tarian itu saja (yang notabene hanya berlangsung beberapa menit), namun justru dalam seluruh prosesnya. Saat latihan berulang-ulang, saat harus capek menunggu giliran tampil padahal kau sudah ber-make-up dan terkungkung dalam kemben yang sesak selama berjam-jam, saat kau harus makan tapi tak mampu menelan apapun karena campuran gugup, takut make-up mu luntur, dan kemben yang ketat yang menyebabkanmu tak bisa duduk santai untuk makan... Sebuah sendratari merupakan sebuah cerita, namun proses untuk menampilkan sebuah sendratari itu sendiri merupakan cerita kehidupan yang akan mempengaruhi hidupmu kelak!
Fotoku dalam salah satu sendratari yang sempat ditayangkan di TVRI (coba tebak yang mana aku!)
Membayangkan kehidupan sehari-hari Ning yang dibesarkan di kampung seniman dalam keluarga dan lingkungan penari, mengingatkanku pada pengalaman saat aku ikut sanggar tari-ku “nyantrik (=berguru)” di Padepokan Bagong Kussudiarjo di Yogya. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Ada 4 orang murid yang dipilih untuk “kulakan” tari di padepokan itu, dalam artian belajar tari-tarian baru untuk nantinya diajarkan di sanggar. Sebuah kehormatan bagiku yang saat itu merupakan murid paling yunior (dalam hal pengalaman menari) untuk menghabiskan beberapa hari di padepokan. Satu hal yang kurasakan, kedamaian. Ya, baru saat itulah aku menyadari bahwa menari itu bukan semata urusan gerak tubuh, tapi lebih pada olah jiwa. Ternyata dengan menari aku merasakan diriku lepas bebas tanpa beban, ketika seluruh energiku tercurah mengalir lewat tiap gerak tari. Semua yang ada dalam hatiku rasanya bisa kukeluarkan ketika menari. Setelah selesai, badan memang lelah, namun hati dan jiwa terasa segar dan ringan. Aku juga suka sekali mendengarkan alunan gamelan di tengah sunyinya suasana pedesaan. Sulit untuk menjelaskan di sini perasaan yang sesungguhnya. Yang jelas, aku amat terpesona ketika berada di padepokan itu. Aku bertemu dengan para seniman yang ramah dan rendah hati, apa adanya, dan memiliki penjiwaan penuh pada seni yang digelutinya.
Ini fotoku ketika menari Tari Merak, tarian ini aku pelajari secara kilat di Padepokan, dan setelah itu aku sempat dipercaya untuk mengajarkannya pada murid-murid di sanggar (bangganya…!)
Tak terasa waktu berlalu. Saat aku kembali ke Surabaya, aku sempat mengutarakan keinginanku untuk menjadi penari kepada orang tuaku. Sebenarnya aku kurang suka sekolah, karena aku merasa terkungkung pada banyak aturan. Aku juga merasa hanya otakku yang dipaksa bekerja, sementara jiwaku mencari-cari sesuatu pemenuhan yang tak aku dapatkan di sekolah. Aku ingin belajar di padepokan itu selepas SMA, dan menjadi seorang penari. Aku ingin bisa sebebas burung ketika aku menari. Tapi, seperti yang bisa kau duga, ortuku jelas menolak ide itu. “Apa yang kamu harapkan dengan menjadi seorang penari?”, terngiang selalu jawaban ortuku saat itu. “Tak ada masa depan, karena profesi menari itu tidak dihargai di negeri ini. Itu kenyataan yang harus bisa kamu terima! Kamu boleh menari untuk hobby, tapi jangan menjadikan menari mata pencarian, gak ada duitnya…”. Betapa sedih aku mendengarnya. Dan memang, seperti halnya yang dialami oleh Ning dan seniman lainnya saat itu, orang tak bisa hidup hanya dengan menari, apalagi menari tradisional. Maka aku terpaksa melepaskan harapanku, dan ketika kesibukan makin menumpuk, akhirnya aku pun terpaksa melepaskan angan-angan menjadi seorang penari…
Profesi penari sering disepelekan dan disalah artikan orang. Secara umum penari dianggap warga kelas dua, tidak bermartabat, dan bahkan ada yang men-cap penari wanita itu gampangan. Aku teringat rekan kerja papaku yang memiliki anak perempuan. Si anak ingin menari sepertiku. Ayahnya melarang. Alasannya? Takut dipandang buruk oleh orang lain karena pakaian penari (tradisional) yang memamerkan pundak (saat mengenakan kemben), katanya. Aku tak habis pikir dengan pemikiran semacam itu. Kalau kita menari dengan baik, bukankah yang akan diperhatikan orang tariannya, bukan kulit mulus pundaknya? Tapi begitulah…sulit menghapus stereotip-stereotip seperti itu. Salut pada Ning yang mampu melalui semua itu dengan tegar dan berani, karena toh ia tak melakukan kesalahan apapun. Biar saja orang memandang negatif, toh pada akhirnya Ning bisa membuktikan bahwa dengan menari dan menyanyi, ia mampu memiliki masa depan yang lebih baik.
Selain mengajakku mengenang masa lalu, iman Ning dan keluarganya yang kuat seakan ikut menguatkan aku, dalam kesulitan keluarga yang sedang kuhadapi saat ini. Meskipun kesulitanku mungkin tak sebesar keluarga Ning, namun keyakinannya yang teguh bahwa Tuhan pasti akan menolong dengan cara yang kita tak pernah tahu, benar-benar menguatkan aku juga. Saat kecil Ning harus berjalan puluhan kilometer hanya untuk bisa bersekolah. Ia harus menyalin ribuan kata dari buku teks pada waktu istirahat di sekolah hanya untuk bisa mengikuti pelajaran. Ia juga harus menahan lapar hanya untuk bisa menabung demi masa depan yang lebih baik. Dan semua itu ia jalani dengan sabar. Aku jauh lebih beruntung daripada Ning. Kesulitanku mungkin lebih tidak mendesak daripada Ning. Jadi, kalau Ning bisa terus berjalan untuk kemudian bangkit dari keterpurukan, bukanlah tak mungkin aku pun bisa melakukannya.
Menari merupakan masa lalu bagiku, dan tak pernah mempengaruhi lagi hidupku di masa selanjutnya. Namun, bukankah semua yang pernah terjadi dalam hidup kita memiliki andil entah bagaimana, untuk membentuk diri kita pada saat ini? Mungkin begitu pulalah, takdir membawaku kepada buku ini, yang membawaku pada kenangan masa lalu, sekaligus menguatkan diriku pada masa kini.
Ah...Ning, kau bukan hanya seorang anak wayang. Dan tulisan ini pun juga bukan hanya tentang sebuah buku…
Tertanda,
Pemilik Blog ini
Judul: Ning, Anak Wayang
Penulis: Niken & Anjar
Penerbit: Grasindo
Terbit: 2011
Tebal: 244
wah, ternyata Fanda itu seorang penari, ayo menari lagi.. keep reading, writing, and dancing...
ReplyDeleteHuaaa... Mba Fanda reviewnya bikin aku terharu, hehe.. Ternyata senang menari juga ya..
ReplyDeletewaaahh...iya buku yg 'menyinggung' kehidupan yg dulu pernah deket bgt ama kt emang biasanya lebih menyentuh..
ReplyDeletebtw, keren loh ampe masuk tvri gitu..kenapa gak buka kursus menari saja mbak? hehe..lumayan kan buat nambah2 belanja buku..LOL..
yang dilatih anak2 SD atau SMP gitu..hehe..
Waaaaww.. tulisan mbak Fanda kali ini - walopun gak bisa disebut review - keren banget! Sebagian menceritakan pengalaman, sebagian curhat. Tarian tradisional sekarang ini dianggap udah ketinggalan zaman, mudah2an sih lewat tulisannya mbak Fanda ini anak muda jaman sekarang nggak ragu utk menghidupkan lagi kesenian tradisional sesuai minat n bakat masing2.
ReplyDeleteBravo mbak Fanda! d^_^b
I like dance very much and I have interest to watch dance shows. It is not only an entertainment. Many professional dancer are their. Surely I will buy this book. Thanks for your review.
ReplyDeletememang terkadang suatu cerita mirip dengan kisah hidup kita ya. saat SD dulu, saya membaca The Adventure of Tom Sawyer dan merasa gembira karena menurut saya petualangan Tom Sawyer itu mirip dengan keseharian saya waktu kecil itu. sampai sekarang pun saya masih merasa enjoy membaca Tom Sawyer.
ReplyDeleteTetapi, kemiripan Ning dengan pengalaman mbak fanda tentu lebih menyentuh ya. karena kisah hidup Ning seolah melekat dengan pengalaman mbak fanda.
saya rasa ini tetap review. dan kalau belum ada seorang pun yang menulis review semacam ini, berarti mbak fanda telah menulis genre review yang baru. selamat!!
ah.. saya sama sekali gak bisa nari. tapi jadi nambah pengetahuan tentang hal-hal dibali tarian nih :D
ReplyDeletewhoaa mbak Fanda penari toh.
ReplyDeletesaya waktu kecil juga suka nari hehe
WOW...
ReplyDeletekeren banget nih bisa menari...
AYO MENARI lagggiii.... :D