Friday, May 28, 2010

Berkelana Bersama Tiga Buku

Entah mengapa aku selalu terpesona pada semua yang berbau Paris. Mungkin aku telah jatuh cinta pada kota itu bahkan sebelum aku menginjakkan kakiku kesana. Jadi tak heran kalau aku selalu jatuh cinta pula pada buku-buku yang memakai sang kota cahaya itu sebagai backgroundnya. Salah satunya adalah novel metropop berjudul: Autumn In Paris.

Aku pergi ke Paris 10 tahun yang lalu, pada musim semi. Dan karena aku tak pernah ke Eropa pada musim lainnya (karena aku kesana ya cuma sekali itu seumur hidup!), aku hanya bisa membayangkan saja suasana musim gugur di Paris. Entah bagaimana denganmu, tapi menurutku berkelana melalui buku itu jauh lebih menyenangkan. Karena kita tak perlu secara fisik hadir di suatu tempat atau mengalami suatu peristiwa (yang mungkin saja bisa tak menyenangkan). Kita hanya perlu duduk dengan nyaman sambil membiarkan fantasi kita melayang kemana pun kita ingin pergi, dan suasana apapun yang ingin kita ciptakan. Indah, bebas, aman, dan...murah!

Begitulah yang aku alami dengan novel Autumn In Paris karangan Ilana Tan ini. Padahal secara cerita, novel ini biasa-biasa saja. Yah..novel ini masuk genre metropop yang biasanya bukan favoritku (kecuali aku sedang tak ada bacaan lain). Tapi membaca Autumn in Paris bisa mengasyikkan bagiku. Apalagi kalau bukan karena suasananya itu. Entah bagaimana, membayangkan Paris selalu menumbuhkan perasaan romantis pada diriku. Romantis gimana sih? Ah...sulit menjelaskan. Yang jelas, dengan setiap kata di novel itu, khayalanku bisa mengembara ke kota impianku sejak kuliah dulu... Paris..Paris... kapan yah aku bisa kembali kesana? Mungkin kalau aku boleh tinggal selama seminggu saja di sana, akan tercipta sebuah tulisan mahakarya dariku ya?

Bukti lain bahwa berkelana bersama buku itu mengasyikkan, adalah buku The Smoke Jumper (Sang Penerjun dalam versi terjemahannya) karya Nicholas Evans. Sungguh...aku ini memang cinta pada alam, walau sungguh juga, aku gak suka kegiatan pecinta alam. (Hehehe...jadi, ini cinta apa cinta ya?). Maksudnya, aku cinta pada alam kebanyakan lewat tulisan dan panorama pemandangan, baik dalam lukisan atau foto.

Novel The Smoke Jumper mewakili yang pertama, yaitu membawa alam lewat tulisan. Seperti dugaanku, Smoke Jumper itu ada hubungannya dengan kegiatan pemadaman api. Atau lebih tepatnya orang-orang yang bertugas memadamkan api. Tapi ternyata, yang satu ini bukan pemadam api di gedung-gedung nan tinggi (tadinya kutebak kata 'Jumper' ada hubungannya dengan tempat yang tinggi), melainkan khusus kebakaran yang terjadi di hutan. Wow...eksotis ya? Pikir-pikir, mungkin seharusnya negara kita mengirimkan para pecinta alam atau penerjun untuk mengikuti training Smoke Jumper di Amerika sono, supaya label 'eksportir asap' tak lagi disematkan pada bumi pertiwi kita tercinta ini!

Anyway, dari yang aku baca di novel ini, profesi Smoke Jumper itu mengasyikkan loh, meski juga membahayakan. Tapi..aku memang selalu kagum pada orang-orang yang berani. Bukan hanya berani dalam arti fisik, tapi lebih pada orang-orang yang berani memegang teguh prinsipnya dan berani mengambil resiko. Seperti tokoh Connor di novel ini. Aku paling suka adegan sewaktu ia mengambil keputusan dengan cepat saat api kebakaran hutan mengejar Julia, wanita yang ia cintai. Dengan keberanian, tanpa keraguan, ia dengan kepala dingin menyelamatkan mereka berdua dari lalapan api. (Ngomong-ngomong aku baru sadar bahwa untuk mencegah api menjalar ke tempat kita berlindung, cukup bakar saja tanah di sekeliling kita, dan dengan begitu tanah itu akan kehabisan O2, sehingga ketika api tiba di tanah itu, ia akan kehabisan O2 dan akhirnya akan 'berbelok' ke arah lain. Pasti aku diketawain oleh guru Fisika deh, tapi sungguh aku baru sadar bahwa api harus dilawan dengan api!)

The Smoke Jumper sungguh membawaku ke 'alam lain' ketika aku membacanya. Ceritanyapun mengaduk-aduk emosi. Antara tegang dan romantis. Sungguh, aku akan bangga kalau punya suami seperti Connor (tapi deg-deg-an juga ya kalau suami kita hobbynya menentang bahaya? Ah..tapi apalah arti hidup ini kalau datar-datar saja kan?...).

Terakhir, buku yang membawaku berkelana juga (dalam pikiran tentu saja), adalah The Ghost Writer. Ghost Writer bukanlah penulis cerita-cerita hantu. Bukan pula hantu yang pintar menulis novel. Ghost writer adalah julukan bagi para penulis yang menulis bagi (dan atas pesanan) orang lain, seolah-olah orang lain itu yang menulisnya sendiri.

Ghost writer cukup dikenal di dunia internet marketing. Yaitu saat pemilik web atau blog harus menulis artikel padahal mereka tak mahir menulis, maka mereka memberikan job pada seorang penulis bayangan (begitu sebutan ghost writer dalam bahasa Indonesia) untuk menuliskan artikel, yang nantinya akan diakui sebagai tulisan sang pemilik web atau blog tersebut. Jadi...para penulis bayangan itu tak pernah tampil sebagai diri sendiri, dan oleh karenanya disebut ghost writer.

Profesi ghost writer juga dibutuhkan oleh orang-orang terkenal yang ingin menerbitkan memoarnya. Mungkin anda pernah bertanya-tanya...eh si A itu ternyata gak hanya pintar nyanyi, tapi pintar nulis juga ya? Atau si B itu kan politisi yang sibuk, tapi kok sempat-sempatnya nulis juga ya? Nah...jangan heran, karena mungkin saja (mungkin loh!) mereka juga menggunakan jasa seorang ghost writer.

Maka melalui novel ini, aku jadi bisa membayangkan bahwa ghost writer itu pasti penulis-penulis yang sangat berbakat. Bagaimana tidak? Menulis dari hati sendiri itu tidak mudah, tapi lebih tidak mudah lagi menulis melalui pandangan dan karakter orang lain, kan? Makanya, aku mengacungkan dua jempol pada para ghost writer. Tak terkecuali penulis novel The Ghost Writer ini. Ia sanggup menyandingkan detail liku-liku profesi seorang ghost writer, dan ketegangan yang menyertai petualangan tokohnya di buku itu.

Nah...aku sudah berkelana bersama 3 novel. Tak seperti biasanya, aku tak ingin bercerita pada kalian tentang isi cerita ketiganya. Aku hanya ingin bercerita apa yang kupikirkan dan kesan mendalam apa yang aku dapatkan dari ketiganya.

Terus terang saja, akhir-akhir ini begitu banyak buku yang aku baca, sehingga aku tak sempat menuliskan ulasannya, dan langsung larut lagi dalam kisah yang lain. Jadi...menulisnya keroyokan seperti ini saja ya...Moga-moga lebih menghibur daripada ulasannya.

------

P.S. Aku tadinya bingung mau memposting tulisan ini di blog mana (akibat dari kebanyakan melahirkan blog!). Aku pengen meletakkannya di Fanda's Thought (karena ini kan pemikiran seorang Fanda), tapi kan bahasannya mengenai buku ya? Dan blog ini kan juga tentang buku? Hehe...sudah deh, akhirnya aku posting di sini saja (gitu aja kok bingung? Apa ini karena aku kelamaan gak ngeblog ya, jadi pengennya nulis di semua blogku??).

Saturday, May 8, 2010

Mengupas Karakter Di Dimsum Terakhir

Pernahkah anda membandingkan karakter tokoh yang ada di buku yang sedang anda baca, dengan diri anda sendiri? Aku sih sering banget. Saat aku membaca buku, aku akan membayangkan tokoh-tokoh utamanya. Penampilannya, logat bicaranya, dan terutama karakternya. Dan seringkali aku membandingkannya dengan aku sendiri. Si A ini mirip denganku, tapi dia agak lebih sensitif daripada aku. Si B itu sama sekali bertentangan denganku. Si C itu kok gak kayak aku ya...kalau aku dihadapkan hal yang sama, aku akan begini-begitu.

Tentu saja itu biasanya terjadi pada buku-buku yang lebih banyak fokus pada karakter atau kehidupan tokoh-tokohnya. Bukan misteri, thriller atau roman. Tiga yang terakhir biasanya lebih fokus pada alur ceritanya. Nah, baru saja aku menamatkan sebuah buku yang memungkinkan aku 'bermain-main' dengan karakter tadi. Yaitu buku karangan Clara Ng, seorang novelis wanita Indonesia yang sudah banyak menelurkan karya best-seller. Kali ini aku membaca salah satu karyanya, yang menurut banyak orang adalah yang terbaik: Dimsum Terakhir.

Sebenarnya aku agak kecewa ketika selesai membaca buku ini. Dari masukan-masukan yang aku dapat (yang kuakui memang sering menyesatkan karena selera orang kan beda-beda) mengenai buku ini, banyak yang menggambarkan buku ini 'breath-taking', membuat orang menahan napas, takjub, terhanyut, dan reaksi-reaksi macam itu deh. Makanya aku, yang sebelum ini tak pernah membaca genre metropop, sangat antusias untuk membeli buku ini.

Ternyata setelah selesai membaca, aku jadi berpikir...wah, kok begini aja ya? Entahlah, mungkin aku terlalu banyak membaca John Grisham yang serius ya? Kupikir di buku ini tak ada satu konflik yang sangat menonjol yang biasanya jadi benang merah yang sangat pekat selama cerita yang panjang. Itulah yang kurasa kurang di novel ini. Tapi, apakah memang genre metropop seperti itu ya? Mungkin metropo memang bukan seleraku deh...

Aku tidak bilang tulisan Clara Ng jelek ya, sama sekali tidak. Aku akui bahwa Clara Ng pandai dalam menggambarkan karakter tokoh-tokohnya, yang di buku ini adalah empat wanita saudara kembar yang lahir dari etnis keturunan Tionghoa. Biarpun saudara kembar, ternyata karakter mereka masing-masing sangat berbeda. Saking fokusnya menggarap karakter mereka, aku bisa menggambarkan mereka dengan jelas, seolah-olah aku memang pernah punya kenalan seperti itu. Dan itulah satu-satunya kekuatan dalam novel ini. Karena dari segi konflik dan alur cerita ternyata biasa saja. Malahan di beberapa bagian, Clara terlalu berlebihan dalam usahanya untuk mempertegas karakter tokohnya, sehingga jadi terkesan 'lebay'.

Yang paling 'gak masuk' dalam cerita ini, dan malah merusak cerita keseluruhan adalah pembuka dan penutupnya. Padahal menurutku pembuka dan penutup (prolog dan epilog) adalah dua hal yang paling berperan penting untuk menciptakan kesan pada sebuah buku. Boleh saja sebuah buku isinya bagus banget, tapi kalau pembukanya datar-datar saja, kesan membosankan akan terbit di benak kita sehingga kita akan malas meneruskannya. Lebih penting lagi adalah penutup. Karena penutup adalah kesan terakhir yang akan terus kita bawa setelah kita menutup halaman terakhir sebuah buku. Kalau kesannya sangat baik, kita akan memuja-muja buku itu, meski setelah sekian tahun kita boleh saja lupa persis isinya. Dalam hal buku ini, kehadiran 'arwah' si ibu yang sudah meninggal, terasa tidak pada tempatnya.

Dimsum Terakhir bercerita tentang Siska, si "sulung" dari kembar 4, yang berarti lahir paling dulu. Siska adalah cewek yang mandiri, tegas, blak-blakan, cuek. Ia menjadi pengusaha yang sukses di Singapore, penampilannya selalu anggun, meski tak bermaksud genit. Tokoh SIska ini yang sering aku bandingkan dengan diriku. Aku suka dengan kemandirian dan ketegasannya. Tapi jelas aku tidak sejutek dia. Tapi di balik kecuekannya, ia juga perhatian pada keluarga dan saudara-saudaranya. Well, paling tidak dia orang yang tahu bagaimana menempatkan setiap aspek dalam kehidupannya. Dia bukan orang yang hanya memikirkan karir dan melupakan keluarga, bukan pula wanita yang menomorsatukan keluarga sehingga harus mengorbankan karir. Ia aka memberi masing-masing porsi tersendiri sesuai pilihannya.

Lalu ada Rosi. Ini mungkin tokoh yang paling menarik karena keunikannya. Rosi memang tomboi dari sejak kecil. Tapi, ternyata ia bukan hanya perempuan yang suka tampil maskulin, yang sering disebut tomboi. Tapi Rosi adalah pria yang kebetulan saja harus lahir dalam tubuh wanita. Jadi Rosi adalah tubuhnya, sedang jiwa, hati dan pikirannya adalah Roni. Kehebatan Clara disini menurutku adalah menggambarkan sosok Rosi atau Roni ini dengan begitu detail, tak menghakimi dan tak menolak maupun menerima. Clara hanya mau menunjukkan bahwa setiap orang mungkin diciptakan unik dan berbeda dari yang lain. Jangan menolak mengakuinya, melainkan terimalah dan berikanlah ia porsi sdalam kehidupan sesuai keunikannya, bukan sesuai standar kita sendiri. Sikap itu terutama timbul dari Siska, saudara kembar Rosi yang pertama kali menerima Roni, dan memperlakukannya sebagai Roni, bukan Rosi. Namun sesungguhnya wanita yang pertama kali mengetahui keberadaan Roni dalam tubuh Rosi adalah Dharma, cewek yang jadi pacar Roni.

Dua tokoh lainnya bagiku tak terlalu menonjol kepribadiannya. Ada Indah yang rapi, teratur, terkendali dan kaku. Tapi herannya, justru dialah yang sampai hamil dengan seorang pastor yang notabene harusnya selibat. Bagiku Indah adalah sosok yang paling bisa mengendalikan dan mengontrol diri sendiri. Tapi kok malah dia yang terjerumus ya?

Lalu ada si bungsu yang sakit-sakitan, tak percaya diri, dan peragu: Novera. Ia kehilangan rahimnya dan karena itu merasa minder untuk menjalin hubungan dengan pria. Karena ayah ke-4 bersaudara itu minta agar keempat anak gadisnya segera menikah sebelum beliau meninggal karena penyakitnya, Novera terpaksa berbohong. Ia minta pada seorang duda yang putrinya menjadi murid Novera, untuk berpura-pura menjadi kekasih Novera. Padahal, si duda sebenarnya mencintai Novera, dan setali tiga uang dengan Novera.

Di akhir cerita, keempat kembar itu mengeluarkan pengakuannya masing-masing pada ayah mereka. Dan sesuai tradisi keluarga mereka, mereka berempat pun berkumpul di rumah orang tua mereka untuk membuat dimsum dan menyantapnya bersama pada pagi hari tahun baru Imlek. Karena ayah mereka dalam keadaan kritis, kemungkinan besar dimsum itu adalah dimsum yang terakhir.

Jadi bagaimana pendapat anda yang sudah pernah membaca buku ini? Atau bagi yang belum, apa anda juga tertarik membacanya? Share yah...