Monday, August 24, 2009

Mata Ketiga - 1

Mata Ketiga adalah sebuah otobiografi seorang berkebangsaan Tibet, yang menggunakan nama Tuesday Lobsang Rampa dalam buku ini. Ia sengaja menyamarkan nama-nama dalam kisahnya karena alasan politis. Meski demikian, buku ini jauh dari hal-hal politis. Lobsang adalah seorang lama Tibet. Lama tokoh agama dalam agama Buddha, setingkat di atas rahib. Kita semua tahu bahwa pemimpin tertinggi mereka bergelar Dalai Lama. Dalam buku ini ia berkisah tentang liku-liku perjuangannya untuk menjadi salah satu sosok tertinggi di Tibet. Selain itu, menarik juga untuk menjelajahi negeri Tibet, yang sering dijuluki 'atap dunia', sebuah negara yang cinta damai namun sejak lama kurang dipahami oleh dunia luar.



Sebagai negara teokrasi, Tibet tidak menginginkan 'kemajuan' seperti yang dialami dunia luar. Yang mereka inginkan hanyalah bermeditasi dan mengatasi segala keterbatasan fisik mereka sendiri. Khazanah kekayaan Tibet banyak menggiurkan negara-negara lain, dan bila mereka datang, maka kedamaian di Tibet dipastikan akan hilang. Hal ini telah lama diramalkan oleh Orang-Orang Bijak di Tibet.



Kali ini, di luar kebiasaan, aku bukan hanya mengulas buku ini secara umum, tapi aku ingin membeberkan sedetail mungkin kebudayaan dan kehidupan di Tibet, selain mengikuti perjalanan hidup Lobsang. Makanya, jangan heran kalo ulasan ini akan terbagi dalam 2 posting.



Mengapa Tibet disebut atap dunia? Karena Tibet memang terletak di puncak pegunungan Himalaya, titik tertinggi di seluruh muka bumi ini. Ibukota Tibet, Lhasa, terletak di ketinggian 3600 meter dari permukaan laut. Di musim panas suhu di Lhasa pada siang hari 24 derajat Celcius, dan mencapai minus 4 derajat Celcius di malam hari. Pada musim dingin, suhu bisa lebih dingin lagi. Karena cuaca yang ekstrem ini, orang Tibet sangat keras dalam mendidik anak-anak mereka. Tanpa disiplin yang tinggi, mereka takkan dapat bertahan hidup. Dan orang-orang yang lemah akan membahayakan hidup yang lain. Orang luar yang tak mengerti, mungkin menganggap cara mereka membesarkan anak terlalu kejam, padahal itu memang sesuai dengan kerasnya kehidupan di tempat itu.



Lobsang sendiri adalah anak seorang tokoh penting di Tibet. Semakin tinggi derajat seorang anak, semakin keras pula latihan yang ia terima. Menurut ayah Lobsang, anak miskin tak punya kans untuk hidup senang di kemudian hari, maka selagi masih muda diberikan kebaikan dan perhatian. Sebaliknya, anak kaya punya banyak kesempatan kelak untuk hidup senang, maka waktu muda harus dididik keras agar bisa merasakan susahnya kehidupan dan memiliki perhatian pada yang lain.



Masa kecil Lobsang dipenuhi dengan penggemblengan dan permainan yang bertujuan untuk memperkuat tubuh. Belajar berkuda poni mulai usia 4 tahun, memanah sasaran yang bergerak, main layangan. Di kelas ia juga belajar Bahasa dan Hukum. Hukum di Tibet sangat sederhana namun tegas.



Begitu mencapai usia 7 tahun, para astrolog akan meramalkan karier seorang anak di masa depan. Acara itu akan dibuat pesta meriah. Dalam kasus Lobsang, pestanya super meriah dan prestisius karena ortunya orang-orang penting. Ketua penyelenggara tentu saja ibu Lobsang, karena di Tibet dikenal kesetaraan gender. Namun untuk urusan dapur, penguasa tertinggi adalah istri. Maka dimulailah persiapan pesta dengan pengiriman undangan yang rumit, pembersihan rumah, dan (yang asyik nih) persiapan hidangan.



Orang Buddha tidak membunuh. Mereka makan daging hewan hanya yang mati karena kecelakaan atau ditemukan sudah mati. Dagingnya bisa disimpan begitu saja tanpa alat pendingin, karena suhu di sana sangat dingin (seperti kulkas alami). Ibu Lobsang memilih hidangan yang langka dan mahal. Yaitu Kuntum Bunga Rhododendron. Beberapa minggu sebelum pesta, orang mengumpulkan kuntum-kuntum bunga yang belum mekar sepenuhnya, lalu di cuci dengan hati-hati, lalu dicelupkan ke dalam toples kaca besar berisi air dan madu. Toples ditutup, dan diletakkan di tempat yang disinari matahari selama berminggu-minggu. Bunga itu akan pelan-pelan mekar sambil terisi oleh nektar dari air dan madu. Setelah itu bunga-bunga itu diangin-anginkan agar kering dan menjadi renyah, lalu ditaburi gula di atasnya. Jadilah cemilan yang (mungkin) rasanya renyah dan manis.



Hari H pun tiba, dan tamu-tamu berdatangan. Cara menyambut tamu di Tibet cukup rumit dan dibedakan menurut tingkatan tamu dan tuan rumah. Penyambutan (diwakili oleh Pengurus Rumah) dilakukan dengan memberikan atau meletakkan syal sutra yang disebut 'khata' ke tangan tamu. Bila keduanya sederajat, cukup dengan menjulurkan tangan saja. Namun kalau tamu lebih tinggi derajatnya, tuan rumah berlutut sambil menjulurkan lidah (sebagai salam khas Tibet, seperti orang Barat dengan mengangkat topi), dan meletakkan syal di kaki tamu.



Pada puncak acara yang ditunggu-tunggu, 2 orang astrolog berdoa lalu mengumumkan ramalan mereka, yang akan mengubah hidup Lobsang seratus delapan puluh derajat. Ia akan masuk biara setelah berhasil melewati semua ujian. Di sana ia dididik menjadi rahib ahli bedah. Itu karena, ia adalah titisan seorang lama yang mempunyai kemampuan tinggi di masa lalu.



Maka, di usia yang baru 7 tahun (coba bandingkan dengan kita saat masih 7 tahun!!), Lobsang sudah harus keluar dari rumahnya, tiba-tiba berpisah dengan orang tuanya begitu saja, menjalani hidup sendiri nan miskin sebagai rahib di biara. Tanpa kehangatan kasih sayang dan perhatian dan tanpa ada waktu bermain dengan anak sebaya. Seolah itu belum cukup, proses 'keluarnya' Lobsang dari rumah juga cukup mengharukan bagiku.



Ia dibangunkan ketika matahari belum juga terbit, mengenakan pakaian rahib, dan dipersenjatai dengan tsampa (makanan pokok di Tibet yang bisa dibawa kemana-mana), mangkuk tsampa, cangkir, jubah dan sepatu bot. Lalu ia disuruh keluar begitu saja dari rumah, tanpa ada acara pamitan, tanpa apa-apa, diam-diam. Tentu saja, kemarin malamnya Lobsang sudah diberitahu ayahnya bahwa sejak Lobsang meninggalkan rumah, ia tidak boleh lagi kembali. Karena itu ia harus berjuang, apapun yang terjadi, untuk diterima menjadi rahib di biara, karena keluarganya tak akan menerima ia kembali. Bayangkan, semua itu harus ia alami ketika masih berumur 7 tahun!



Maka berangkatlah Lobsang ke biara Chakpori. Untuk diterima masuk ke biara tidaklah mudah. Lobsang bersama dengan 3 orang anak lainnya disuruh masuk dan ditanyai latar belakangnya. Karena Lobsang adalah anak yang datang dari keluarga yang paling kaya, ia mendapat ujian masuk yang paling keras. Harus duduk bersemadi tanpa boleh bergerak sedikitpun di halaman biara sejak matahari terbit sampai terbenam. Meski kepanasan saat teriknya matahari bersinar, Lobsang tak berani bergerak sedikitpun, mengingat pesan ayahnya. Matilah ia kalau ia tak lulus ujian masuk itu. Saat senja, ia baru boleh bergerak, diberi makan tsampa dan teh bermentega, lalu boleh tidur. Tapi keesokan harinya ia harus sudah duduk bersemadi sebelum matahari terbit. Dan itu berlangsung selama 3 hari penuh! Setelah itu baru ia resmi diterima di biara.



Di biara, semua rahib muda harus mengikuti pelajaran, berdoa, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan keras. Salah satu yang menarik adalah mengolah tsampa dan teh bermentega. Keduanya makanan dan minuman pokok di Tibet. Tsampa terbuat dari biji barley panggang yang sudah pecah. Biasanya para rahib selalu mengantongi biji-biji barley ini kemana-mana. Saat lapar, mereka menaruh segenggam biji-biji itu ke dalam mangkuk, lalu menuanginya dengan teh mentega yang panas lalu mengaduknya terus sampai menjadi adonan yang (mungkin) agak kenyal. Lalu memakannya begitu saja, atau bisa ditambahkan sayuran. Makanan ini sangat mengenyangkan dan praktis untuk daerah yang bercuaca ekstrem seperti Tibet.



Sedang teh bermentega, sesuai namanya adalah campuran air, daun teh, sedikit garam dan soda yang dididihkan, lalu ditambahkan mentega yang sudah dibeningkan, lalu campuran itu dididihkan lagi berjam-jam. Teh ini harus selalu dalam keadaan panas, untuk konsumsi seluruh biara.



Mengetahui bahwa Lobsang adalah anak istimewa, karena titisannya dahulu, ia langsung dipisah pendidikannya dari anak-anak lainnya. Seorang guru khusus ditunjuk oleh Dalai Lama sendiri untuk mengajar Lobsang, yakni Lama Mingyar Dondup. Lama Mingyar adalah seorang yang humoris, bijaksana, sangat pandai, dan merupakan orang kepercayaan Dalai Lama. Ia salah satu orang yang mempunyai kemampuan clairvoyance, seperti halnya yang sudah ditakdirkan terjadi pada Lobsang setelah ulang tahunnya yang ke-8.



Clairvoyance itu bisa diartikan sebagai kemampuan paranormal. Dengan kemampuan ini, seorang manusia bisa melihat aura orang atau benda lain. Dengan demikian, ia akan mengetahui penyakit yang diderita, juga isi hati seseorang. Menurut testimoni Lobsang sendiri dalam buku ini, ia bisa tahu bahwa seseorang itu hatinya bersih, atau tamak dan tidak jujur. Lalu bahwa seseorang tengah menderita penyakit pada jantungnya, atau bahwa orang lainnya lagi sudah mendekati ajalnya. Tentu saja, hal-hal itu merupakan bakat yang sudah ada pada seseorang, namun untuk menajamkannya, Lobsang harus menjalani sebuah operasi untuk menambahkan ‘mata ketiga’nya.



Dan itu terjadi tepat setelah ulang tahunnya yang ke delapan. Yang melakukan operasi adalah gurunya, Lama Mingyar. Mata ketiga itu diletakkan di tengah-tengah dahinya. Caranya dengan mengebor (ya..mengebor!) tulang tengkorak dengan alat bor tanpa ulir berbentuk huruf U dengan gigi-gigi kecil di ujungnya. Malam sebelumnya, dahi Lobsang sudah dibaluri ramuan tumbuh-tumbuhan. Lalu paginya Lama Mingyar melakukan ‘pengeboran’ setelah mensterilkan alatnya terlebih dulu. Lobsang merasakan seperti dahinya ditusuk duri, tapi setelah itu tak terasa sakit, hanya sedikit nyeri dan ada tekanan (mungkin ramuan itu semacam anestesi ya?).



Sesudah mata bor mengenai tulang tengkorak, dimasukkanlah sepotong kayu kecil ke dalam lobang itu setelah disterilkan dan dibalur ramuan yang membuatnya sekeras baja. Potongan kayu itu dibiarkan selama dua minggu, dan selama itu Lobsang harus tinggal di tempat yang temaram, dan hanya makan minum secukupnya. Setelah potongan kayu diambil, maka terbukalah mata ketiga Lobsang. Ia kini memulai sebuah hidup yang baru. Untuk cerita yang lebih seru, baca bagian kedua kisah Mata Ketiga ini ya!









29 comments:

  1. Saya tidah bisa membayangkan penjemputan tamu lebih tinggi derajatnya, tuan rumah berlutut sambil menjulurkan lidah .......

    ReplyDelete
  2. Saya pernah membaca buku-buku semacam ini namun baru kali ini mampu meresapinya. Terima kasih mbak Fanda.

    Jadi ibu dan guru di masa sekarang sungguh membahagiakan, karena setiap waktu bisa belajar meskipun rumahku di desa jauh dari toko buku. Sekali lagi terima kasih.

    mBak jangan kapok saya kunjungi, saya datang untuk belajar. saya tunggu lanjutannya.

    ReplyDelete
  3. Tuesday Lobsang Rampa, saya pertama tau ceritanya dulu dari serial TV 'Kera Sakti' bahwa Ia memiliki Mata Ketiga di dahinya melalui suatu "operasi" pada usia delapan tahun. pengembaraan spiritualnya baik sebagai seorang Recognized Incarnation, sebagai seorang dengan kemampuan claivoyance dan astral projection, maupun sebagai orang kepercayanan Dalai Lama, dan pemilik Mata Ketiga, dilalaui dengan jalan yang penuh liku yang sarat akan pesan moral ..

    ditunggu kelanjutannya yah mbak..

    ReplyDelete
  4. bukunya mengesankan. kapan2 jadi pengen baca mbak...

    ReplyDelete
  5. Siip mbak Fanda, Mata Ketiga yang direview. Kelihatannya menarik sekali ya. Tidak sekedar liku-liku perjalanan hidup Tueday Lobsang Rampay, juga soal adat dan budaya Orang Tibet itu sendiri. Jujur, Tibet lebih saya impikan ketimbang negara-negara adidaya itu mbak. Ada susasana tersendiri memang tentang Tibet, setidaknya itulah yang selama ini saya baca. Membaca ulasan mbak Fanda, jadi tau tentang kuliner kaum ningrat disana zaman dulu ya, kuntum bunga Rhododendron yang belum mekar, wow menarik. Nice posting.

    ReplyDelete
  6. Jadi, nanti kalo aku jalan-jalan ke Tibet, dan ada orang meletin lidah ke aku, aku nggak akan tersinggung.. :-P

    ReplyDelete
  7. Hm ....jadi ngak sabar nunggu lanjutannya.

    Meski belum baca bukunya tapi review ini cukup bisa menggambarkan isi bukunya.

    nice review mbak Fanda.
    Thanks

    ReplyDelete
  8. @Vicky: Iya Vick, rasanya ttg ini juga ada di Tintin di Tibet. Waktu itu kapten Haddock di-peletin anak-anak kecil trus dia ngamuk2. Itu karena dia belum baca ulasanku ini!!

    ReplyDelete
  9. akhirnya dibahas juga tentang buku ini.^^

    ReplyDelete
  10. satu lagi ulasan menarik yg bikin saya mau membaca buku ini. keuntungan mampir ke blog ini adalah membaca ulasan buku2 menarik, sehingga saya tahu buku apa lagi yg patut dibeli. tks ya, Fan.

    ReplyDelete
  11. Clairvoyance mungkin mirip dg indera ke 6 ya?

    teh pake mentega? hii..kyk apa rasanya..

    siang aja 24 derajat? buset...musim dinginnya pasti mengerikan.

    ReplyDelete
  12. kek baca buku sejarah mbak, keren sekali....

    dan soal anak orang kaya yang digembleng lebih keras, beda banget ya sama indonsia. anak orang kaya disini malah lebih diistimewakan dengan fasilitas2, kemanapun ia pergi.

    ReplyDelete
  13. lagi lagi lagi... pengen baca lagi...

    ReplyDelete
  14. Weleh-weleh
    seru perjalanan hidupnya yg tdak biasa
    kalau saya jadi lobsang, wuih, aku jadi tempe

    Fauzan NR ( fhom.blogspot.com )

    ReplyDelete
  15. jadi kepengen baca nih sebagai pengisi waktu senggang sambil ngabuburit.

    ReplyDelete
  16. bener-bener seru neh ceeritanya mbak.....
    jadi gak sabar nunggu edisi ke-2 nya... hehehehe

    ReplyDelete
  17. Ceritanya ternyata keren sekali ! Tak kusangka sekeras itu kehidupan orang-2 di Tibet.
    Usia 7 tahun sih disini baru kelas 1 SD, masih suka nangis..., la kok sudah disuruh hidup sendiri. Walah... walah....
    Mbak Fanda emang pinter kalau ngulas sebuah buku.
    Jadi gak sabar nunggu kelanjutannya mbak.. ^_^

    ReplyDelete
  18. ulasannya komplit banget mbak... jadi nambah pengetahuannya nih... cepetan dong dipostingin lanjutannya biar makin sempurna... salam kasih penuh cinta ya mbak...

    ReplyDelete
  19. seru mbak kayaknya.... hmmm penyakitku kumat niy mbak, tiap baca ulasan buku aku pasti pengen banget memiliki buku itu..... hehehehehe

    ReplyDelete
  20. konsepnya apa ya? gimana kalo ttg wanita lajang? he hehe...kita bikin artikel ttg suka dukanya. ttg cita2 dan harapan wanita lajang. ceritanya bisa diambil dari mana aja. dari buku,kisah teman, dll. atau kamu punya konsep lain?

    ReplyDelete
  21. oohh.. ada bagian keduanya yah mbak?? yausah deh ditunggu lanjutannya ^^

    ReplyDelete
  22. hidup di Tibet memang penuh tekanan
    tetapi menghasilkan orang2 yang bijak
    damai di atap bumi

    ReplyDelete
  23. aku kesini cuma ingin mengkonfirmasi email yang aku dapat beberapa waktu lalu,,aku baru saja mendapatkan email yang berbahasa inggris karena aku enggak mengerti apa yang dimaksudnya maka aku translate saja tuuh email..ternyata emailnya dari mbak fanda terus mengatakan kalo mbak fanda sedang ada masalah dihotel pilipina dan mbak membutuhkan dana cairan sebesar 1550$,,apa benar demikian mbak??kalo emang benar aku mintak maaf karena enggak bisa membantu

    ReplyDelete
  24. Mbak Fanda, saya Vifick Bolang dari Bali..
    Hmm, saya beberapa minggu ini mencari buku "Mata Ketiga" ini, di Bali & Malang tapi ga dapat. Pernah coba cari di beberapa toko buku di Jogja juga ga dapat.
    Jika mbak punya info dimana bisa kudapatkan buku ini, bisa tolong hubungi saya?
    via email saya : vifick_format@yahoo.com

    terima kasih mbak... :)

    ReplyDelete
  25. Dear Mbak Fanda, boleh dong di undang untuk isi buku bagian lainnya :} Salam, Ketut Teguh Utama

    ReplyDelete
  26. Buku Mata Ketiga karya T. Lobsang rampa, saat ini masih tersedia di www.aksiku.com - Toko Buku Bekas Online, silahkan kunjungi http://www.aksiku.com/2017/04/jual-buku-mata-ketiga-t-lobsang-rampa.html

    ReplyDelete