"Perang akan terus terjadi hingga manusia belajar untuk menghilangkan keserakahan dan kecurigaan dari hati mereka. Selama anak masih meragukan ayah mereka, dan ayah meragukan anak mereka, tak ada yang bisa menghentikan sanak saudara menjadi musuh bebuyutan. Selama majikan, pelayan dan teman-teman tidak saling mempercayai, maka tanpa pertumpahan darah sekalipun, kehidupan di dunia ini akan menjadi neraka."
Itulah yang akan anda temukan hampir di sepanjang buku ini. The Heike Story ini merupakan sebuah epic novel yang ditulis oleh Eiji Yoshikawa dari sudut pandang salah satu klan samurai paling berpengaruh di Jepang pada abad 12, yaitu klan Heike. Pada saat itu, kondisi sosial dan politik khususnya di ibukota Kyoto sedang dalam keadaan carut marut. Secara teori Kaisar memang berkuasa di istananya, namun sebenarnya roda pemerintahan dipegang oleh para bangsawan Fujiwara yang menduduki pos-pos strategis di pemerintahan. Namun kekaisaran ini juga memiliki “bayangan”. Mantan kaisar juga ingin tetap memiliki kekuasaan. Beliau memiliki istana juga yang disebut Istana Kloister. Untuk urusan militer, kedua kaisar mengandalkan pengabdian para samurai untuk melindunginya serta memerangi musuhnya. Musuh itu bisa berarti dari pihak oposisi, tapi kadang kala para biksu juga bisa saja mengangkat senjata untuk memberontak. Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, sesama anggota salah satu klan samurai bisa saja membela 2 pihak yang berlawanan. Contohnya ketika Genji Tameyoshi yang membela Mantan Kaisar harus berhadapan dengan putranya: Yoshitomo yang membela Kaisar, dalam peristiwa Hogen.
Kiyomori: Pemimpin Heike yang sukses
Di masa itu ada 2 klan samurai besar yang saling berkompetisi dan bermusuhan: klan Heike dan klan Genji. Kisah ini dibuka saat pamor Heike sedang kalah cemerlang dari Genji. Pemimpin Heike saat itu adalah Tadamori, seorang pria miskin bertubuh kecil dan pendiam. Namun tokoh yang akhirnya membawa klan Heike ke tempat tertinggi dan mengalahkan Genji, adalah putra Tadamori yang bernama Kiyomori. Kiyomori sebenarnya bukan putra kandung Tadamori. Ibu Kiyomori dulunya merupakan gundik Kaisar, dan setelah Kiyomori, yang merupakan buah cinta mereka, lahir, Kiyomori dan ibunya di”titip”kan pada Tadamori. Kiyomori kecil sering berkeliaran di jalanan Kyoto sebagai bocah miskin yang kurus kering, nyaris tak nampak sebagai putra samurai. Saat beranjak remaja, ia pun mulai bekerja bersama ayahnya melayani junjungan mereka. Dan saat Tadamori meninggal, Kiyomori pun menjadi kepala klan Heike dan resmi terjun ke dalam politik.
Kesempatan pertama bagi Kiyomori untuk menunjukkan kekuatannya adalah ketika terjadi semacam pemberontakan biksu-biksu bersenjata dari Gunung Siei yang hendak menyerang Istana Kloister. Sebagai pengawal Mantan Kaisar, Kiyomori pun maju untuk meredakan pemberontakan itu, juga karena anggota klannya lah yang telah membangkitkan amarah para biksu itu. Kiyimori berhasil melakukannya dengan penuh keberanian serta taktik yang jitu, dan bahkan melahirkan pujian dan rasa hormat dari beberapa biksu Gunung Hiei sendiri. Di kemudian hari, apa yang telah ia tabur dalam insiden pada hari itu, akan mendatangkan hasil yang manis dalam kiprahnya yang lain.
Setelah itu kemashyuran dan kemakmuran klan Heike pun melaju dengan pesat. Kepercayaan dari kekuasaan tertinggi makin besar, penghormatan dari rakyat pun makin banyak, dukungan dari luar pun mengalir. Contohnya dari saudagar kaya yang bernama Bamboku (si Hidung Merah) yang menjadikan Kiyomori patron sekaligus sahabat. Bamboku mungkin satu-satunya orang yang mengenal karakter asli Kiyomori. Bagiku pribadi, justru karakter si tokoh ini yang menarik, ketimbang intrik yang rumit. Dari muda Kiyomori selalu rikuh saat menghadapi wanita. Boleh dibilang kelemahan Kiyomori adalah wanita cantik. Tokiwa adalah kekasih (gundik) samurai Genji Yoshitomo yang tewas dikalahkan Heike. Tokiwa aslinya adalah geisha yang terkenal sangat cantik. Ia memohon pada Kiyomori agar ketiga putra Yoshitomo diampuni (biasanya keturunan pihak yang kalah juga akan dihukum mati). Berkat kecantikan Tokiwa yang rapuh, hati Kiyomori pun meleleh. Ia membebaskan ketiga putra Tokiwa dan mengasingkan mereka di biara. Tokiwa sendiri akhirnya dijadikan gundik oleh Kiyomori. Meski keputusannya tidak membunuh keturunan Yoshitomo ini dipuji banyak orang, namun terbukti bahwa keputusan itu kelak akan membawa malapetaka bagi klan Heike.
Di luar itu, Kiyomori punya kepribadian yang sederhana, blak-blakan dan ceria, membuatnya gampang disukai orang lain. Aku selalu senang membaca dialog antara Kiyomori dan Bamboku, layaknya mendengarkan guyonan dua sahabat yang saling menggoda. Aku juga kagum pada impian dan visi Kiyomori yang ingin membangun kota pelabuhan dekat perbatasan Cina, yang memungkinkan mereka bisa berdagang dengan Cina. Entah bagaimana nasib impiannya ini, karena tak diungkapkan di buku ini (moga-moga terjawab di buku lanjutannya). Paling tidak, Kiyomori tak melulu berpikir seperti seorang samurai yang hanya berperang saja. Kiyomori jauh daripada itu, ia adalah seorang pemimpin yang bervisi. Terbukti selama bertahun-tahun di bawah pengaruh Heike, rakyat mengalami hidup penuh kedamaian. Kiyomori memang tidak sempurna. Ia punya kelemahan, tapi bukankah kiprah seorang pemimpin dilihat dari hasilnya?....
Rajutan cerita ala Eiji Yoshikawa
Yang membuat buku ini menjadi demikian tebal (750 hlm), adalah karena kisahnya jadi melebar ke tokoh-tokoh yang nampaknya di luar tokoh utama kita. Contohnya kisah Morito, teman seangkatan Kiyomori di akademi samurai, yang membunuh wanita yang dicintainya sampai akhirnya menjadi biksu. Atau kisah Asatori, juru kunci Istana Mata Air Dedalu yang akhirnya menjadi tabib. Keduanya seolah tak ada hubungannya dengan tokoh utama, hingga aku awalnya bertanya-tanya mengapa kisah mereka dikisahkan dengan begitu detail? Setelah kurenungkan, mungkin semua tokoh yang diceritakan ini memang memiliki keterkaitan pada kisah utama, dan berperan untuk membentuk kisah utama itu. Apalagi, kisah ini tak berhenti di buku The Heike Story aja, melainkan berlanjut ke buku berikut. Di sanalah mungkin tokoh-tokoh “sampingan” di buku ini akan ambil peranan yang lebih banyak.
Membaca buku ini memang butuh perhatian ekstra. Begitu banyak (sekaligus begitu cepat) intrik-intrik terbangun, kadang ke kanan, kadang ke kiri. Sampai-sampai kita akan bingung saat ini tokoh A sedang membela B atau C? Di sisi lain, penggambaran Eiji yang super detail di buku ini membantu kita untuk merasakan atmosfer kehidupan dan budaya di Jepang saat itu. Seringkali kita merasa diajak melewati mesin waktu dan ikut berjalan bersama Kiyomori muda di pasar atau menikmati segarnya air dari mata air Dedalu yang disodorkan dengan penuh ketulusan oleh Asatori.
Kekuasaan itu sia-sia…
Akhirnya, dengan membaca buku ini kita sampai pada satu kesimpulan: kekuasaan itu pada dasarnya sia-sia. Karena setinggi apapun kekuasaan, pasti akan ada batasnya. Lalu setelah itu: apa? Sementara pihak yang berkuasa terbuai dalam kekuasaannya, pihak yang dikalahkan akan membangun kekuatan untuk mencoba mengambil alih kekuasaan. Begitu terus, siklus itu akan berputar. Dan kalau begitu, perang akan terus ada, pembunuhan akan terus ada, balas dendam akan terus ada. Kekuasaan pada akhirnya sia-sia karena kehidupan ini akan terus berubah, tak ada yang kekal. Tepat seperti bagaimana Eiji Yoshikawa mengawali epic ini dalam versi aslinya:
“Lonceng kuil menggemakan betapa mudahnya segala sesuatu berubah. Warna-warni bunga menegaskan kenyataan bahwa apapun yang berkembang dengan indah akan membusuk di kemudian hari. Kebanggaan hanya sejenak bertahan, bagaikan mimpi di malam musim semi. Dalam waktu singkat, kedigdayaan akan surut, dan segalanya akan menjadi debu yang tertiup angin.”
***
Aku memberikan 4 bintang untuk buku ini. 3 untuk kisahnya, 1 untuk ketekunan Eiji Yoshikawa membangun dan mengembangkan alur cerita.
Judul: The Heike Story – Kisah Epik Jepang Abad Ke-12
Penulis: Eiji Yoshikawa
Penerbit: Zahir Books (Grup Penerbit RedLine)
Terbit: Juli 2010
Tebal: 750 hlm
artinya akan ada kelanjutan kisahnya ya...? apa ini buku berseri?
ReplyDelete@htanzil: ya, ada kelanjutannya, cerita kejatuhannya Heike dan kebangkitan kembali Genji, judulnya Minamoto
ReplyDeletewaah panjangnya 4 halaman ukuran A4, sebanyak 1.145 kata (termasuk data buku)
ReplyDeleteini ada versi komiknya nggak mbak? sepertinya aku bakalan suka komiknya deh, hehehehe
Cerita serrru nih..jadi penasaran..lan kenal ya..if u wish, follback me ya..thank's...
ReplyDeleteaiiihhh, dari dulu pengen banget buku iniiii... tapi harganya bikin kantong jebol!
ReplyDeletedari dulu saya paling bingung membaja buku genre epik, apalagi dengan tokoh-tokoh yang namanya agak asing di kuping seperti nama-nama arab , jepang , atau dari babad tanah jawa. buta anyway 2 thumbs for this summary mbak ...
ReplyDeletembak fanda, njenengan punya style sendiri dalam me-review. saya suka sekali. tapi saya tidak sependapat dengan ini:
ReplyDeleteAkhirnya, dengan membaca buku ini kita sampai pada satu kesimpulan: kekuasaan itu pada dasarnya sia-sia.
kekuasaan tidak pernah sia - sia mbak. sekelompok orang membutuhkan pemimpin. dan kepemimpinan negara ada dalam kekuasaan. baik atau buruk sebuah kekuasaan akan selalu memberikan umpan balik bagi generasi penerus.
itu sih pendapat saya. anyway, good job! saya jadi pengin bukunya.