Tak seperti biasanya, aku membaca buku yang bergenre historical romance atau roman yang ber-setting jadul. Apa pasal? Karena aku menemukan bahwa buku Comanche Moon (atau Ramalan Cinta dalam terjemahannya) ini tak seperti novel-novel roman (termasuk historical romance) lainnya. Kalau novel roman biasanya berfokus pada kisah cintanya, buku Comanche Moon ini lebih menitik beratkan pada masalah humanisme. Lebih tepatnya pada permusuhan dua ras: ras kulit putih (dalam hal ini diwakili bangsa Amerika) dan ras kulit merah (diwakili oleh suku Indian Comanche). Buku ini mau menekankan bahwa cinta bisa melampaui perbedaan.
Ada sebuah ramalan di suku Comanche, bahwa pemimpinnya kelak akan tertambat hatinya pada wanita berkulit putih yang tak dapat bersuara. Meski dipisahkan jurang luas yang tak dapat terseberangi, namun si wanita akan mendatangi sang Comanche, dan bahwa mereka berdua akan memisahkan diri dari kaumnya.
Adalah Hunter, pemimpin suku Comanche pada saat itu, seorang pria muda yang kuat, dalam fisik maupun karakter. Ia disegani rakyatnya, dan ditakuti lawannya. Di sisi lain adalah Loretta, gadis Amerika yatim piatu karena kedua orangtuanya dibunuh dengan keji oleh suku Comanche. Ia kini tinggal bersama paman, bibi dan sepupunya. Karena trauma saat menjadi saksi pembunuhan brutal itu, Loretta mendadak jadi bisu. Suatu hari datanglah kawanan suku Comanche dipimpin oleh Hunter ke pondokan paman dan bibi Loretta untuk meminang Loretta menjadi istri sang kepala suku. Tentu saja awalnya mereka tak mau dengan sukarela memberikan Loretta pada orang Indian, karena sudah banyak desas-desus tentang kekejaman ras berkulit merah ini. Namun karena takut para Comanche akan melukai keluarganya, Loretta pun terpaksa menyerahkan diri pada para Comanche.
Ternyata Loretta adalah gadis yang tegar, pemberani, dan keras kepala. Dan sebenarnya Hunter adalah lelaki yang ideal baginya, karena ternyata, meski dari luar tampak garang dan menakutkan, Hunter adalah sosok pria yang gentleman, jujur dan lembut. Menarik mengikuti usaha Hunter yang tak sudah-sudahnya untuk menaklukkan hati Loretta meski si gadis yang dipanggilnya dengan nama Mata Biru itu membencinya setengah mati, dan kalau perlu bahkan menolak untuk makan makanan yang diberikannya. Namun bagaimanapun di hati Loretta sendiri mulai tumbuh benih-benih simpatik pada Hunter. Ia pun akhirnya dapat bersuara kembali ketika ia terpaksa berteriak saat ada ular derik yang nyaris menggigit lengan Hunter.
Dengan berlalunya waktu, Hunter sadar bahwa ada sesuatu yang tidak pas dilakukannya berdasarkan ramalan itu. Ramalan itu mengatakan bahwa sang wanita haruslah berjalan sendiri menemuinya, padahal ia dulu bisa dibilang mengambil paksa Loretta. Yakin bahwa ramalan itu harus dipenuhi dengan tepat agar semuanya berjalan lancer, maka Hunter rela mengantarkan Loretta kembali ke rumah paman dan bibinya. Apakah keputusan itu membuat Loretta bahagia? Awalnya memang ya, tapi setelah ia pulang ia menyadari bahwa pandangan orang-orang di sekitarnya menjadi berbeda terhadapnya, karena ia pernah hidup di perkampungan Indian. Mulailah terjadi pergolakan batin di hatinya. Sampai suatu saat ada sekelompok orang jahat membawa lari Amy, adik tirinya. Tak ada pilihan lain bagi Loretta selain berkuda kembali ke hutan yang lebat untuk meminta bantuan pada Hunter, karena hanya kepala suku Apache itulah yang mampu menyelamatkan Amy-nya yang amat disayanginya.
Hati Loretta makin tertawan pada Hunter ketika menyaksikan bagaimana lembut, sabar dan penuh kasihnya Hunter memperlakukan Amy setelah menyelamatkannya dari para penjahat yang telah memperkosanya dengan keji. Amy yang trauma akhirnya pulih sedikit demi sedikit semata-mata berkat kepercayaan yang tumbuh antara dirinya dengan Hunter yang merawatnya dengan penuh kasih.
Akhir ceritanya, wah…lebih baik tidak aku beberkan di sini. Yang jelas, banyak yang kemudian terjadi, membuat buku Comanche Moon ini tak seperti novel percintaan lainnya. Tegang dan menarik. Yang lebih menarik lagi adalah penuturan penulisnya, Catherine Anderson, tentang bagaimana ia mengadakan riset selama bertahun-tahun untuk menulis kisah yang menghibur sekaligus menyisipkan pesan moral di dalamnya. Saat itu banyak penerbit menolak naskahnya karena dianggap karyanya “tidak memenuhi genre manapun”. Namun bagiku, justru karena itulah buku ini menjadi sangat mengesankan ketika dibaca. Ah…lagi-lagi kita diingatkan oleh Catherine Anderson, untuk tidak menjatuhkan stigma pada sekelompok orang atau suku tertentu. Kita hanya bisa menilai orang dari karakter dan hatinya masing-masing, bukan secara umum.
Ada sebuah ramalan di suku Comanche, bahwa pemimpinnya kelak akan tertambat hatinya pada wanita berkulit putih yang tak dapat bersuara. Meski dipisahkan jurang luas yang tak dapat terseberangi, namun si wanita akan mendatangi sang Comanche, dan bahwa mereka berdua akan memisahkan diri dari kaumnya.
Adalah Hunter, pemimpin suku Comanche pada saat itu, seorang pria muda yang kuat, dalam fisik maupun karakter. Ia disegani rakyatnya, dan ditakuti lawannya. Di sisi lain adalah Loretta, gadis Amerika yatim piatu karena kedua orangtuanya dibunuh dengan keji oleh suku Comanche. Ia kini tinggal bersama paman, bibi dan sepupunya. Karena trauma saat menjadi saksi pembunuhan brutal itu, Loretta mendadak jadi bisu. Suatu hari datanglah kawanan suku Comanche dipimpin oleh Hunter ke pondokan paman dan bibi Loretta untuk meminang Loretta menjadi istri sang kepala suku. Tentu saja awalnya mereka tak mau dengan sukarela memberikan Loretta pada orang Indian, karena sudah banyak desas-desus tentang kekejaman ras berkulit merah ini. Namun karena takut para Comanche akan melukai keluarganya, Loretta pun terpaksa menyerahkan diri pada para Comanche.
Ternyata Loretta adalah gadis yang tegar, pemberani, dan keras kepala. Dan sebenarnya Hunter adalah lelaki yang ideal baginya, karena ternyata, meski dari luar tampak garang dan menakutkan, Hunter adalah sosok pria yang gentleman, jujur dan lembut. Menarik mengikuti usaha Hunter yang tak sudah-sudahnya untuk menaklukkan hati Loretta meski si gadis yang dipanggilnya dengan nama Mata Biru itu membencinya setengah mati, dan kalau perlu bahkan menolak untuk makan makanan yang diberikannya. Namun bagaimanapun di hati Loretta sendiri mulai tumbuh benih-benih simpatik pada Hunter. Ia pun akhirnya dapat bersuara kembali ketika ia terpaksa berteriak saat ada ular derik yang nyaris menggigit lengan Hunter.
Dengan berlalunya waktu, Hunter sadar bahwa ada sesuatu yang tidak pas dilakukannya berdasarkan ramalan itu. Ramalan itu mengatakan bahwa sang wanita haruslah berjalan sendiri menemuinya, padahal ia dulu bisa dibilang mengambil paksa Loretta. Yakin bahwa ramalan itu harus dipenuhi dengan tepat agar semuanya berjalan lancer, maka Hunter rela mengantarkan Loretta kembali ke rumah paman dan bibinya. Apakah keputusan itu membuat Loretta bahagia? Awalnya memang ya, tapi setelah ia pulang ia menyadari bahwa pandangan orang-orang di sekitarnya menjadi berbeda terhadapnya, karena ia pernah hidup di perkampungan Indian. Mulailah terjadi pergolakan batin di hatinya. Sampai suatu saat ada sekelompok orang jahat membawa lari Amy, adik tirinya. Tak ada pilihan lain bagi Loretta selain berkuda kembali ke hutan yang lebat untuk meminta bantuan pada Hunter, karena hanya kepala suku Apache itulah yang mampu menyelamatkan Amy-nya yang amat disayanginya.
Hati Loretta makin tertawan pada Hunter ketika menyaksikan bagaimana lembut, sabar dan penuh kasihnya Hunter memperlakukan Amy setelah menyelamatkannya dari para penjahat yang telah memperkosanya dengan keji. Amy yang trauma akhirnya pulih sedikit demi sedikit semata-mata berkat kepercayaan yang tumbuh antara dirinya dengan Hunter yang merawatnya dengan penuh kasih.
Akhir ceritanya, wah…lebih baik tidak aku beberkan di sini. Yang jelas, banyak yang kemudian terjadi, membuat buku Comanche Moon ini tak seperti novel percintaan lainnya. Tegang dan menarik. Yang lebih menarik lagi adalah penuturan penulisnya, Catherine Anderson, tentang bagaimana ia mengadakan riset selama bertahun-tahun untuk menulis kisah yang menghibur sekaligus menyisipkan pesan moral di dalamnya. Saat itu banyak penerbit menolak naskahnya karena dianggap karyanya “tidak memenuhi genre manapun”. Namun bagiku, justru karena itulah buku ini menjadi sangat mengesankan ketika dibaca. Ah…lagi-lagi kita diingatkan oleh Catherine Anderson, untuk tidak menjatuhkan stigma pada sekelompok orang atau suku tertentu. Kita hanya bisa menilai orang dari karakter dan hatinya masing-masing, bukan secara umum.