Remy Sylado, siapa sih yang tak pernah mendengar nama salah seorang sastrawan Indonesia ini? Dan pertama kali aku membaca karyanya, Boulevard De Clichy-lah yang kupilih. Meski buku ini setebal 600 halaman lebih, dan aku sangsi apakah aku tak akan bosan di tengah jalan dan akhirnya tak menamatkannya, toh aku tetap membelinya. Judulnya yang berbau Prancis saja sudah menggelitikku, dan aku tak salah, karena memang sebagian kisah ini yang justru teramat penting, terjadi di kota Paris, tepatnya di sekitar Boulevard De Clichy.
Kalau anda kira tokoh-tokoh kisah ini adalah orang Prancis, anda keliru! Tokoh utamanya adalah seorang wanita Indonesia, bernama Indonesia banget: Anugrahati, dengan panggilan Nunuk. Seorang gadis lugu yang lumayan cantik namun sayang berbibir sumbing. Berayahkan seorang sopir metro mini di Jakarta dan beribukan seorang keturunan campuran Indonesia-Belanda yang hidup pas-pasan. Ayah Nunuk begitu ingin membahagiakan anaknya, sehingga ia rela merampok rumah seorang janda kaya demi membiayai operasi untuk menghilangkan sumbing di bibir Nunuk.
Tokoh utama lainnya adalah Budiman, cowok kaya nan biasa dimanja karena ia adalah anak seorang ketua DPRD di Jakarta bernama Waluyojati, dan seorang ibu keturunan Menado yang masih percaya pada ilmu hitam yang disebut opo-opo.
Kedua insan berbeda latar belakang ini dipertemukan oleh yang namanya cinta saat mereka sekolah di SMA yang sama. Cinta yang akhirnya membuahkan benih Budiman di tubuh Nunuk yang sudah berubah menjadi gadis yang cantik tanpa bibir sumbingnya. Maka sontak berubahlah jalan hidup kedua insan ini dan kedua keluarganya. Di sinilah masa lalu orang tua terbukti sangat mempengaruhi masa depan anak-anaknya.
Ibu Budiman pernah punya masalah dengan ibu Nunuk, sehingga ketika Budiman berniat untuk mengawini Nunuk sebab sang gadis sudah berbadan dua, niat itu ditentang habis-habisan oleh ibunya. Dan karena khawatir anaknya takkan bisa melupakan Nunuk, Waluyojati dan istrinya sepakat untuk menggunakan opo-opo untuk ‘menghapus’ memori Budiman akan Nunuk. Merekapun mengirim Budiman kuliah senirupa di Paris, kota pusat budaya di Eropa. Namun alih-alih belajar senirupa, Budiman malah menghabiskan uang ayahnya, yang mengalir terus menerus hasil korupsi sana-sini, untuk nongkrong bersama para pelukis jalanan di sepanjang Montmartre yang terkenal itu.
Ketika Nunuk sekeluarga mau minta pertanggungjawaban Budiman, Waluyojati mengusir mereka dengan cara yang menyakitkan. Nunuk pun patah hati, dan akhirnya bertekad menggapai cita-citanya menjadi penyanyi kenamaan dunia. Dan ke mana lagi ia akan mendarat, kalau bukan ke…Paris. Namun, alih-alih menjadi penyanyi yang sebenarnya, ia malah terperosok dalam dunia bisnis hiburan yang mempertontonkan ketelanjangan wanita ketimbang seni suara. Ya, Nunuk adalah pekerja seni sekaligus pelacur di area ‘merah’ yang terkenal di Paris: Boulevard de Clichy. Dengan itu, ia mampu menghidupi anaknya, sekaligus anak Budiman, yang dinamai Renata.
Dengan kepergian anak-anak mereka ke Prancis, bukan berarti hidup kedua orang tua Nunuk dan Budiman tenang-tenang saja. Ayah Nunuk harus masuk penjara untuk mempertanggung jawabkan perampokan yang ia lakukan. Sedang ayah Budiman, Waluyojati….nah… ia membuka keruwetan dalam kisah ini yang jauh-jauh lebih dalam dan ruwet lagi.
Adalah seorang pengusaha kaya bernama Bing Wijaya, yang (jadi mengingatkanku pada Anggodo nih) tak tersentuh oleh hukum padahal menjalankan multi-aneka bisnisnya dengan keji. Ia punya banyak bodyguard yang kalau perlu bisa disuruhnya membunuh orang yang ia anggap merintangi jalannya dalam memperoleh banyak uang, hanya dengan sebaris kalimat: “Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.” Dan seperti apa yang kita ketahui terjadi di negeri ini, orang seperti Bing Wijaya tak pernah bisa tertangkap karena adanya ikatan simbiosis mutualistis yang kuat antara pengusaha dan pejabat pemerintah, seperti halnya Bing dan Waluyojati.
Well, untunglah dalam kisah ini ada seorang wartawan koran di ibukota yang kritis dan pantang mundur dalam mengungkap kebobrokan yang terjadi di sekitarnya. Suko Jiwandono-lah yang mula-mula curiga bahwa anggota DPRD telah disuap oleh Bing Wijaya untuk menggolkan rencana sang taipan untuk membangun pusat judi di kepulauan Seribu. Yang mendukung akan mendapat untung, yang mencela akan mendapat celaka.
Tapi…bagaimana semua keruwetan itu bisa bertemu dengan para tokoh muda kita di Paris sana? Yah…di tangan Remy Sylado bisa saja! Kalau anda mau ikut beruwet-ruwet, mau memuaskan rasa penasaran anda apakah Nunuk akan jumpa Budiman di Paris, silakan baca saja bukunya. Tak habis satu posting kalau mau membahas buku setebal lebih 600 halaman itu!
Yang jelas, ada keunikan tersendiri membaca buku ini. Di sana-sini muncul kalimat-kalimat dalam bahasa Prancis yang bikin kerinduanku pada kota ini bertambah. Juga Remy mendeskripsikan beberapa tempat dan jalan di Paris dengan lengkap dan detail. Termasuk juga gereja berbangunan serba putih yang berada di area paling tinggi di sisi Montmartre: gereja Katolik Sacré du Coeur, tempat Nunuk dibimbing oleh tangan Tuhan untuk kembali ke jalan yang benar. Sosok Nunuk ini bisa dibilang unik. Dibilang beragama Katolik tidak, Islam juga tidak, dan agama lainnya juga tidak. Ia hanya merasakan kedekatan saja ketika berada di gereja itu. Ia sebenarnya tak memeluk agama apapun, namun mengalami kedekatan dengan Tuhan.
Bagi yang penasaran akan akhir ceritanya, (awas spoiler!), akhirnya sih happy ending, tapi ada yang sedikit menggangguku. Yaitu karena ending itu agak ‘too good to be true’. Seperti ending dongeng ala Cinderella dimana setelah tokoh antagonisnya ‘ditaklukkan’, maka tokoh protagosnisnya ‘live happily ever after’. Bagiku, ini terlalu dibuat-buat, terlalu sempurna. Bolehlah hidup bahagia dalam satu hal, tapi mungkin lebih baik kalau dibuat sedikit nelangsa di hal lainnya. Bukankah hidup itu selalu begitu? Tak pernah sempurna?
Judul lengkap: Boulevard de Clichy – Agonia Cinta Monyet
Pengarang: Remy Sylado
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 42.500 (beli di Vixxio), Rp 85.000 (beli di Gramed)
Kalau anda kira tokoh-tokoh kisah ini adalah orang Prancis, anda keliru! Tokoh utamanya adalah seorang wanita Indonesia, bernama Indonesia banget: Anugrahati, dengan panggilan Nunuk. Seorang gadis lugu yang lumayan cantik namun sayang berbibir sumbing. Berayahkan seorang sopir metro mini di Jakarta dan beribukan seorang keturunan campuran Indonesia-Belanda yang hidup pas-pasan. Ayah Nunuk begitu ingin membahagiakan anaknya, sehingga ia rela merampok rumah seorang janda kaya demi membiayai operasi untuk menghilangkan sumbing di bibir Nunuk.
Tokoh utama lainnya adalah Budiman, cowok kaya nan biasa dimanja karena ia adalah anak seorang ketua DPRD di Jakarta bernama Waluyojati, dan seorang ibu keturunan Menado yang masih percaya pada ilmu hitam yang disebut opo-opo.
Kedua insan berbeda latar belakang ini dipertemukan oleh yang namanya cinta saat mereka sekolah di SMA yang sama. Cinta yang akhirnya membuahkan benih Budiman di tubuh Nunuk yang sudah berubah menjadi gadis yang cantik tanpa bibir sumbingnya. Maka sontak berubahlah jalan hidup kedua insan ini dan kedua keluarganya. Di sinilah masa lalu orang tua terbukti sangat mempengaruhi masa depan anak-anaknya.
Ibu Budiman pernah punya masalah dengan ibu Nunuk, sehingga ketika Budiman berniat untuk mengawini Nunuk sebab sang gadis sudah berbadan dua, niat itu ditentang habis-habisan oleh ibunya. Dan karena khawatir anaknya takkan bisa melupakan Nunuk, Waluyojati dan istrinya sepakat untuk menggunakan opo-opo untuk ‘menghapus’ memori Budiman akan Nunuk. Merekapun mengirim Budiman kuliah senirupa di Paris, kota pusat budaya di Eropa. Namun alih-alih belajar senirupa, Budiman malah menghabiskan uang ayahnya, yang mengalir terus menerus hasil korupsi sana-sini, untuk nongkrong bersama para pelukis jalanan di sepanjang Montmartre yang terkenal itu.
Ketika Nunuk sekeluarga mau minta pertanggungjawaban Budiman, Waluyojati mengusir mereka dengan cara yang menyakitkan. Nunuk pun patah hati, dan akhirnya bertekad menggapai cita-citanya menjadi penyanyi kenamaan dunia. Dan ke mana lagi ia akan mendarat, kalau bukan ke…Paris. Namun, alih-alih menjadi penyanyi yang sebenarnya, ia malah terperosok dalam dunia bisnis hiburan yang mempertontonkan ketelanjangan wanita ketimbang seni suara. Ya, Nunuk adalah pekerja seni sekaligus pelacur di area ‘merah’ yang terkenal di Paris: Boulevard de Clichy. Dengan itu, ia mampu menghidupi anaknya, sekaligus anak Budiman, yang dinamai Renata.
Dengan kepergian anak-anak mereka ke Prancis, bukan berarti hidup kedua orang tua Nunuk dan Budiman tenang-tenang saja. Ayah Nunuk harus masuk penjara untuk mempertanggung jawabkan perampokan yang ia lakukan. Sedang ayah Budiman, Waluyojati….nah… ia membuka keruwetan dalam kisah ini yang jauh-jauh lebih dalam dan ruwet lagi.
Adalah seorang pengusaha kaya bernama Bing Wijaya, yang (jadi mengingatkanku pada Anggodo nih) tak tersentuh oleh hukum padahal menjalankan multi-aneka bisnisnya dengan keji. Ia punya banyak bodyguard yang kalau perlu bisa disuruhnya membunuh orang yang ia anggap merintangi jalannya dalam memperoleh banyak uang, hanya dengan sebaris kalimat: “Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.” Dan seperti apa yang kita ketahui terjadi di negeri ini, orang seperti Bing Wijaya tak pernah bisa tertangkap karena adanya ikatan simbiosis mutualistis yang kuat antara pengusaha dan pejabat pemerintah, seperti halnya Bing dan Waluyojati.
Well, untunglah dalam kisah ini ada seorang wartawan koran di ibukota yang kritis dan pantang mundur dalam mengungkap kebobrokan yang terjadi di sekitarnya. Suko Jiwandono-lah yang mula-mula curiga bahwa anggota DPRD telah disuap oleh Bing Wijaya untuk menggolkan rencana sang taipan untuk membangun pusat judi di kepulauan Seribu. Yang mendukung akan mendapat untung, yang mencela akan mendapat celaka.
Tapi…bagaimana semua keruwetan itu bisa bertemu dengan para tokoh muda kita di Paris sana? Yah…di tangan Remy Sylado bisa saja! Kalau anda mau ikut beruwet-ruwet, mau memuaskan rasa penasaran anda apakah Nunuk akan jumpa Budiman di Paris, silakan baca saja bukunya. Tak habis satu posting kalau mau membahas buku setebal lebih 600 halaman itu!
Yang jelas, ada keunikan tersendiri membaca buku ini. Di sana-sini muncul kalimat-kalimat dalam bahasa Prancis yang bikin kerinduanku pada kota ini bertambah. Juga Remy mendeskripsikan beberapa tempat dan jalan di Paris dengan lengkap dan detail. Termasuk juga gereja berbangunan serba putih yang berada di area paling tinggi di sisi Montmartre: gereja Katolik Sacré du Coeur, tempat Nunuk dibimbing oleh tangan Tuhan untuk kembali ke jalan yang benar. Sosok Nunuk ini bisa dibilang unik. Dibilang beragama Katolik tidak, Islam juga tidak, dan agama lainnya juga tidak. Ia hanya merasakan kedekatan saja ketika berada di gereja itu. Ia sebenarnya tak memeluk agama apapun, namun mengalami kedekatan dengan Tuhan.
Bagi yang penasaran akan akhir ceritanya, (awas spoiler!), akhirnya sih happy ending, tapi ada yang sedikit menggangguku. Yaitu karena ending itu agak ‘too good to be true’. Seperti ending dongeng ala Cinderella dimana setelah tokoh antagonisnya ‘ditaklukkan’, maka tokoh protagosnisnya ‘live happily ever after’. Bagiku, ini terlalu dibuat-buat, terlalu sempurna. Bolehlah hidup bahagia dalam satu hal, tapi mungkin lebih baik kalau dibuat sedikit nelangsa di hal lainnya. Bukankah hidup itu selalu begitu? Tak pernah sempurna?
Judul lengkap: Boulevard de Clichy – Agonia Cinta Monyet
Pengarang: Remy Sylado
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 42.500 (beli di Vixxio), Rp 85.000 (beli di Gramed)