"Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Aku berkata kepadamu, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. ~Mat 25:35-36, 40
Mungkin saja ayat Injil di ataslah yang dipakai Melody Carlson sebagai dasar untuk menulis cerita yang sederhana namun penuh kehangatan ini: The Christmas Bus.
Pada saat Natal, ada satu adegan dalam sandiwara/operet Natal yang dipentaskan yang pasti selalu kita ingat: dua orang pengelana yang kelelahan bersama keledainya, seorang pria muda dan istrinya yang hamil tua, tertatih-tatih memasuki kota Betlehem pada waktu malam. Mengetuk setiap pintu penginapan yang mereka temukan, namun tak satupun yang memberi tumpangan. Mereka ditolak. Mungkin bukan hanya karena penginapan sedang penuh, tapi lebih pada penampilan orang asing yang lusuh dan kemungkinan besar tak mampu membayar sewa kamar. Penampilan mereka saja bisa membuat tamu lainnya menyingkir, dan itu buruk bagi bisnis penginapan. Adegan itu mirip dengan yang kita temukan di buku ini. Bedanya, Yosef dan Maria datang menunggang keledai di Betlehem pada 2000 tahun lalu, sedang cerita The Christmas Bus ini mengisahkan pasangan muda Collin dan Amy di masa sekarang, naik bus tua bobrok dan terdampar di kota kecil Christmas Valley di benua Amerika. Yang jelas, ada satu benang merah yang menghubungkan kedua cerita: Natal!
Christmas Valley adalah sebuah kota kecil yang hanya berpenduduk 2.142 jiwa. Sadar akan namanya yang unik, penduduknya membuat desa itu bertema Natal untuk menarik pengunjung. Penginapan, toko-toko maupun restorannya semuanya menggunakan tema Natal. Bahkan detil-detil kecil seperti serbet di restoran pun menggunakan tema Natal. Dan suasana di desa ini akan makin meriah pada masa Natal yang sesungguhnya. Ke kota inilah sebuah bus bobrok berwarna-warni cerah menggelindingkan roda-roda dengan ban ausnya sebelum mesinnya akhirnya mogok di depan sebua penginapan. Bus ini membawa pasangan muda yang uangnya hampir habis, tak memiliki apapun selain cinta satu sama lain, dan seorang jabang bayi di kandungan sang istri yang sudah hampir mencapai masa persalinan. Dalam keadaan inilah, mereka tertarik untuk singgah di Christmas Valley, di malam yang dingin beberapa hari menjelang Natal.
Menjelang Natal kali ini, Edith—istri pendeta sekaligus pemilik Penginapan Gembala sangat gundah karena anak-anak dan cucu-cucunya tak bisa pulang untuk merayakan Natal. Merasa kesepian, dan tersentuh oleh khotbah suaminya mengenai “menunjukkan keramahan dan berbuat baik pada orang asing, karena itu berarti kita melakukannya bagi Dia”, Edith memiliki ide untuk menyewakan kamar-kamarnya untuk siapapun yang ingin merayakan Natal jauh dari rumah. Edith membuka pintu rumahnya bagi orang-orang asing. Hal itu tidak sulit karena toh ia mengelola penginapan. Yang paling sulit ternyata, adalah membuka hatinya untuk orang-orang asing itu. Berhasilkah ia?
Lima orang penyewa kamar-kamar di Penginapan Gembala ternyata datang dengan keunikan dan masalah masing-masing. Ada nyonya tua keras kepala yang suka memaksakan kehendak, ada pasangan muda yang selalu bertengkar, ada pria sinis yang baru ditinggal mati istrinya, ada ibu dan anak yang baru ditinggal suami dan ayah. Pendek kata, jenis orang-orang yang kesepian dan merasa tak diterima dalam keluarganya. Di sini Edith dengan sepenuh hati menyiapkan segala sesuatu di penginapannya untuk menyambut mereka dengan tangan terbuka, dan membantu mereka mengalami Natal yang berkesan. Belum cukup dengan itu semua, di malam bersalju yang dingin itu, pintu rumahnya diketuk oleh pasangan asing yang lusuh dan mengendarai bus norak nan bobrok… Collin dan Amy.
Collin dan Amy tak memiliki cukup uang untuk memperbaiki mobil mereka sehingga tak dapat melanjutkan perjalanan. Kehadiran bus jelek dan orang-orang asing ini disambut dengan sinis oleh hampir semua orang di Christmas Valley. Mereka menganggap kehadiran Collin dan Amy (dengan bus bobroknya) akan membuat pemandangan desa menjadi jelek untuk pariwisata. Belum lagi kecurigaan mereka bahwa pasangan ini adalah hippie pecandu narkoba. Untunglah tak semuanya bersikap demikian. Pendeta Charles dan Edith tetap menerima pasangan itu di rumah mereka. Meski tak ada kamar tersisa, mereka dipersilakan untuk ikut makan dan mencuci pakaian di rumah itu kapan saja. Edith dan Charles menawarkan kehangatan, keramah-tamahan dan penerimaan yang tulus. Masalahnya, Natal makin mendekat. Warga tak menyukai Collin dan Amy, tapi bus mereka perlu waktu untuk perbaikan, sementara Amy tak memiliki waktu banyak sebelum persalinan tiba....
Mungkin ini adalah kisah sederhana yang pasti dapat kita tebak akhir ceritanya. Namun di dalamnya kental terkandung nilai-nilai kasih yang hakiki yang Tuhan ajarkan dan teladankan pada kita. Aku sangat tersentuh pada sikap Edith yang mau bersusah payah dan berlelah-lelah demi orang asing yang tak ada kaitannya dengan dirinya. Meski sempat terbersit pikiran: untuk apa aku melakukan ini semua, toh tak ada manfaatnya bagiku—namun Edith tetap melakukannya, semata-mata karena kasih, dan dengan kesadaran bahwa ia melakukan semuanya itu untuk Tuhan yang menjelma dalam diri-diri para orang asing yang malang itu.
Selain menyentuh dengan hal-hal kecilnya, buku ini juga menghibur dengan suasana natalnya yang bahkan amat terasa meski hanya lewat penuturan Melody Carlson. Aku membayangkan diriku seperti Megan kecil, yang sampai berteriak antusias begitu masuk ke Penginapan Gembala ini. Takjub melihat pohon cemara setinggi 3,6 meter dengan lampu-lampunya yang kemerlip, dekorasi khas Natal di sana-sini, juga kamar yang didesain khusus dan memiliki nama yang ada hubungannya dengan ayat Mazmur: Kamar Gembala Yang Baik, Kamar Air Yang Tenang, Kamar Padang Rumput Yang Hijau, bahkan ada juga Kamar Gada Dan Tongkat (aku jadi penasaran, seperti apa dekorasi untuk ruangan ini ya!). Belum lagi penataan meja makan yang diatur dengan gaya yang hangat dan kekeluargaan, sehingga para tamu merasa berada di rumah sendiri. Dan yang lebih membuatku kerasan membaca buku ini adalah penjabaran tentang hidangan-hidangan yang dimasak Edith, yang dikisahkan pintar sekali masak. Coba saja, bisakah anda terus membaca tanpa menelan ludah ketika tiba di bagian ini: roti kacang cranberry, roti dari labu kuning yang baru dipanggang, atau roti gulung aroma kayu manis?
Aku juga merasakan kehangatan yang terpancar dari pribadi Edith sendiri, yang bisa membuat kegiatan semacam menghias kue kering dengan gula menjadi kegiatan yang mengasyikkan dan menciptakan keakraban tamu-tamu di penginapan itu. Ah...tak cukup rasanya menuliskan review buku ini untuk menggambarkan sensasi ketika membaca bukunya. Yang jelas, setelah menutup buku ini, tak bisa tidak, aku merasa tersentuh sekaligus tertampar. Tersentuh oleh bagaimana kasih dapat mengubah banyak hal dalam hidup ini dan seringkali Tuhan bekerja dengan caraNya yang unik dan terduga, lewat tangan orang yang bahkan paling tak terduga. Tertampar oleh pesan mendalam dari buku ini yang sering kita lupakan di antara kesibukan kita: menyambut orang lain dengan keramahan dan ketulusan hati. Alih-alih takut merasa repot, takut rugi, dan takut-takut lainnya, kita semua seharusnya lebih membuka hati kita pada sesama meskipun itu orang asing. Ketika kita membuka hati kita, Tuhan pasti akan menjaga kita dan melakukan karyaNya melalui kita. Pertanyaannya sekarang, seperti yang disinggung Pendeta Charles pada kebaktian yang menginspirasi Edith itu: "Apakah anda siap? Apakah hati anda siap menyapa Tuhan (ketika siapapun yang diutusNya itu datang)?...."
Judul: The Christmas Bus
Pengarang: Melody Carlson
Penerbit: Gloria Graffa
Cetakan: Oktober 2007
Tebal: 191 hlm