Meski sulit
untuk menentukan judul mana dari serial Tintin yang paling kusukai—hampir
semuanya aku suka; bahkan cinta!—Tujuh Bola Kristal adalah salah satu
favoritku. Entah sudah keberapa kali aku membaca Tujuh Bola Kristal ini.
Pertama kali saat aku masih sangat kecil, ortuku membelikanku versi bahasa
Inggrisnya—tentu saja mereka harus menceritakannya padaku, karena jangankan
bahasa Inggris, membaca pun aku belum mampu. Lalu setelah penerbit Indira menerbitkan
terjemahannya, aku pun membacanya sendiri, selama berkali-kali hingga
jilidannya rusak dan kertasnya kecoklatan, dan sekarang entah kemana… Lalu
akhirnya aku kembali memiliki edisi terbitan Gramedia ini.
Petualangan
sang wartawan muda Tintin dimulai ketika sedang berkunjung ke rumah sahabatnya
Kapten Haddock yang sedang tergila-gila dengan sulap-menyulap; sehingga mereka
berdua lalu menonton pertunjukan. Di tengah pertunjukan hipnotis, wanita yang
dihipnotis ternyata meramalkan dengan tepat bahwa salah satu ilmuwan yang baru
saja pulang dari ekspedisi Sanders-Hardmuth ke Amerika Selatan sedang sakit
keras. Mulai saat itu tujuh ilmuwan yang telah membobol makam Inca dan membawa
muminya pulang itu mengalami sakit misterius: koma setelah ‘diserang’ oleh
sesuatu atau seseorang yang membawa bola Kristal, dan sering mengalami semacam
kerasukan pada jam yang sama. Diyakini bahwa mereka dikutuk oleh Rascar Capac,
yang muminya menghilang begitu saja setelah melepaskan bola api, tepat di
hadapan Tintin, Kapten Haddock dan Professor Lakmus yang saat itu sedang berkunjung
ke Profesor Bergamotte yang menyimpan mumi itu di kediamannya.
Menghilangnya
mumi dan penyakit misterius para ilmuwan itu saja sudah membuat Tintin dan
polisi kebingungan, namun ketika Profesor Lakmus diculik dan jejaknya tak
kunjung ditemukan, Tintin dan Kapten Haddock pun dihadapkan pada sebuah
petualangan eksotis nan penuh bahaya ke Amerika Selatan.
Kali ini aku
membaca Tintin dengan tekad untuk lebih memperhatikan sisi grafisnya, alih-alih
membaca ceritanya—yang jelas sudah hafal luar kepala :). Tiga hal yang
membuatku selalu mencintai Tintin—selain seru bin jenaka ceritanya—adalah kemampuan
Hergé menggambar dengan sangat detail, sangat memperhatikan keindahan, dan
keberanian menggunakan warna-warna cerah. Pada awal Tujuh Bola Kristal ini
saja, kita sudah disuguhi pemandangan indah di Stasiun Moulinsart ketika Tintin
turun dari kereta api. Kita seolah terbawa pada suasana khas Belgia di musim
panas yang cerah. Selain warna-warni pakaian orang yang berlalu-lalang di
stasiun, juga ada pohon peach blossom yang bunga warna pink-nya sedang
bermekaran, yang langsung memanjakan mata.
Dari Character Book Kapten Haddock, aku mengetahui bahwa Hergé adalah seorang yang
fashionable, sangat memperhatikan penampilannya saat keluar rumah. Sisi flamboyannya
itu ia terapkan pada sosok Kapten Haddock yang—terutama pada kisah ini—ia
dandani habis-habisan. Kapten pertama muncul dalam pakaian berkuda dengan jaket
warna coklat tanah dan scarf putih serta kacamata berlensa satu—yang
berkali-kali ia pecahkan di sepanjang kisah ini! :)). Kemudian saat menonton
pertunjukan bersama Tintin, ia mengenakan tuksedo hitam resmi dengan dasi
kupu-kupunya. Tapi favoritku ialah ketika kawan-kawan kita bertamu ke rumah
Professor Bergamotte, Sang Kapten mengenakan jas motif kotak-kotak coklat,
celana khaki dan kemeja serta dasi serasi warna hijau muda. Nah…salut pada
Hergé yang berani memadukan warna coklat dan hijau yang ternyata menjadi kombinasi
yang menarik.
Berbicara
tentang pemaduan warna yang tak senada, Hergé juga ‘memberi’ Bianca Castafiore
gaun warna ungu pastel dengan corsase besar warna kuning madu, ketika sang
biduanita tampil di pertunjukan yang ditonton Tintin dan Haddock. Ungu dan
kuning? Ternyata di tangan Hergé bisa jadi serasi…. Dan kalau anda bilang biru
langit tak akan cocok dipadukan dengan coklat tanah, pandangi saja busana
wartawan muda kita….yang menurutku satu-satunya yang sama sekali tak cocok di
sini! :))
Bianca Castafiore dalam paduan ungu-kuning madu |
Hal lain
yang menarik perhatianku adalah kehadiran Milo (Milou di edisi asli bahasa
Prancis, atau Snowy di edisi bahas Inggris). Entah mengapa Hergé menciptakan
tokoh utamanya Tintin sebagai sosok yang paling tidak ekspresif. Kalau anda
perhatikan wajah Tintin dalam banyak adegan, kebanyakan hanya bentuk mulutnya
saja yang berubah-ubah dan menandakan emosi tertentu, terkejut atau senang
misalnya. Nah, menurutku Hergé menambahkan Snowy (aku lebih suka menyebutnya
Snowy daripada Milo yang mengingatkanku pada susu coklat :P) si anjing, untuk
mempertegas emosi Tintin sehingga terasa lebih wajar. Aku merasa Snowy selalu
terlibat dalam semua yang dilakukan, didengarkan dan dikatakan Tintin, seolah
Snowy mengerti segala percakapan manusia dan apa yang sedang terjadi.
Saat serius
mendengarkan pembicaraan orang, alis Snowy berkerut, sementara Tintin berwajah
datar sambil mengatakan “Begitu?” Melihat gabungan antara Tintin dan Snowy, aku
baru merasakan bahwa memang apa yang dikatakan si pembicara di adegan itu agak
sulit dipercaya, yang membuatmu bertanya “Masak sih?”. Aku yakin ada banyak
gambar yang menunjukkan hal itu (Snowy sebagai penegas emosi Tintin) di judul-judul
lainnya juga.
Kalau aku
mendapati kekurangan di cergam Tintin ini, kekurangan itu terletak pada
penerjemahan dan bentuk buku ini. Pertama bentuk buku terbitan Gramedia ini
menurutku terlalu kecil, sehingga detail yang mengagumkan pada gambar-gambar
karya Hergé kurang bisa ditampilkan dengan optimal (kecuali anda mau
susah-susah menggunakan kaca pembesar…). Pada beberapa bagian bahkan teks untuk
tulisan juga menjadi amat kecil, tapi yang paling mengganggu adalah kita jadi
tak bisa mengagumi detail gambar.
Kedua,
tentang penerjemahan. Karena Gramedia memakai versi bahasa Prancis sebagai
sumber, maka tak heran bila ada beberapa nama yang berubah dari versi Indira
yang sudah lebih familiar bagi kita. Tak apa, kita hanya harus beradaptasi.
Namun aku heran, sementara ada nama-nama yang dipertahankan keasliannya,
mengapa nama Milou harus menjadi Milo dan Tournesol menjadi Lakmus? Khusus
untuk Tujuh Bola Kristal ini, adakalanya Tintin memanggil Lakmus dengan ‘Tuan
Lakmus’, lalu di bagian lain berubah menjadi ‘Pak Lakmus’. Di bagian lain
bahkan ia hanya menyebutnya sebagai ‘Lakmus’. Mengapa tidak menggunakan sebutan
‘Profesor’ saja yang menurutku jauh lebih sopan, karena jelas Tintin jauh lebih
muda daripada sang Profesor? Meski sepele, inkonsistensi ini lumayan mengganggu
selama membaca. Mau tak mau aku harus mengatakan bahwa secara keseluruhan aku
masih lebih suka versi Indira dibanding terbitan Gramedia ini—meski kertasnya
jauh lebih eksklusif.
Empat
bintang untuk cergam Tintin ini, yang kunikmati dalam rangka #bacabareng novel
grafis bersama anggota BBI (Blogger Buku Indonesia) bulan November ini. Satu
bintang aku kurangkan karena dua kelemahan yang telah kusebutkan di atas.
Judul:
Tintin dan 7 Bola Kristal
Karya: Hergé
Penerjemah:
Donna Widjajanto
Penerbit: PT
Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei
2012
Tebal: 64
hlm
mbak fandaaa... si Inge jadi beli tintinnya ngga? kalo ngga aku mau looh.. *nyengir. *mau ngoleksi tintiin :D
ReplyDeleteUdah terjual ke Inge nih Vin...
DeleteIyaaa versi Gramedia terlalu kecil, fontnya miring2 dan kasihan detail gambarnya. Aku juga pengen koleksi tapi (mahal) fontnya itu loohhhhhh jd eman2 saja.
ReplyDelete*geret Alvina cari Tintin di Shopping Centre
Yap! font masih bisa dimaafkan lah, kalo detail gambarnya sayang banget gak dioptimalkan, padahal kekuatan utama novel grafis kan di gambarnya.
Deleteaku pun lebih suka sama versi terjemahan Indira =) tapi mungkin karena memang udah telanjur familiar aja sih ya hehehe...btw mba, aku juga suka banget sama warna-warna pilihan Herge..kerennn detilnya ya!
ReplyDeleteYup, terutama di Bianca Castafiore, Herge mendandani Castafiore abis2an deh disitu. Jangan2 seandainya gagal dengan komik Tintinnya, Herge bakal jadi fashion designer??
Deletetoss sama mbak Astrid, aku juga suka terbitan Indira :D
ReplyDelete