Bagi anda yang suka membaca, pasti sudah mengenal John Grisham, the master of thriller dan best legal fiction writer di dunia saat ini. Dan anda pasti bertanya-tanya mengapa aku begitu suka pada buku Grisham, The Chamber, yang tebalnya saja mungkin 600-an halaman. Topiknya: rasisme dan hukuman mati. Settingnya: penjara yang digambarkan gelap, bau, kotor dan berpenghuni orang-orang yang tak punya harapan hidup. Apalagi kamar gasnya (chamber)! Karakter utamanya: seorang narapidana tua yang telah menewaskan dua anak kecil dengan bom, yang tidak pernah menyesali perbuatannya. Terus mengapa aku tertarik untuk membelinya, membacanya sampai habis, dan bahkan menulis tinjauan disini?
Karena yang diangkat kali ini oleh John Grisham, selain proses hukum, adalah pergumulan pribadi seorang Sam Cayhall dalam menghadapi hukuman mati. Inilah yang menarik bagiku. Pernahkah anda bertanya-tanya dalam hati, apakah yang kira-kira ada dalam benak dan perasaan seorang narapidana yang dijatuhi hukuman mati? Dalam hal ini bukan layak atau tidaknya seorang terdakwa dihukum mati, atau pro dan kontra tentang hukuman mati itu sendiri. Namun, lebih pada ‘bagaimana pergumulan batin seorang manusia yang dihukum mati’? Apakah mereka menyesal pada akhir hidupnya? Apakah mereka merasa takut? Apakah, kalau diberi kesempatan, mereka ingin minta maaf pada keluarga korban? Apakah mereka ingin proses hukuman mati dipercepat atau malah ditunda? Dan apakah-apakah lainnya...
Rasisme mengemuka dalam buku ini lewat sosok Sam Cayhall, seorang kulit putih yang anggota Ku Klux Klan (KKK), dan pada suatu hari ditugaskan untuk melakukan pengeboman terhadap kantor seorang Yahudi. Akibatnya dua orang putra Yahudi tsb tewas. Terlepas dari layak tidaknya ia menerima hukuman mati, sangat sulit untuk bersimpati pada Sam. Ia jelas-jelas seorang rasis, dan tumbuh dalam keluarga yang biasa memperlakukan orang kulit hitam dengan semena-mena. Ia juga melakukan pengeboman dengan sengaja. Sudah cukup alasan untuk kita membencinya, dan hukuman mati sudah lebih dari layak ia terima.
Namun demikian, dengan membaca tulisan John Grisham, kita diajak menyadari bahwa manusia pada dasarnya sama. Kita semua takut untuk mati, takut menghadapi pertanggung jawaban atas apa yang telah kita lakukan. Menyesal atau tidak kita pada waktu melakukan suatu perbuatan yang menyengsarakan orang lain, kita diciptakan Tuhan dengan hati nurani. Setiap manusia pasti tahu di dalam lubuk hati terdalam bahwa apa yang ia perbuat adalah salah. Hanya kesombonganlah yang membuat ia bersikukuh bahwa dirinya benar.
Maka, seperti yang dialami Sam, pada saat ia sudah tak punya harapan (semua upaya hukum yang dilakukan Adam nampaknya sia-sia), kesombongannya pun mulai memudar. Dan yang ada kini adalah sosok Sam yang rapuh, menangis, dan mengibakan. Apakah layak ia dihukum mati? Inilah pertanyaan Sam di dalam hati. Apakah dengan menghukum mati dirinya, kedua anak yang telah tewas bisa hidup kembali? Dengan begitu lamanya penundaan, ia sebenarnya telah menerima hukuman dalam bentuk lain. Lagipula Sam memang telah dididik untuk rasis sejak ia lahir. Namun demikian, pada saat-saat terakhir menjelang jadwal hukuman matinya, toh Sam akhirnya menyesali keputusan yang telah diambilnya, perbuatan-perbuatan yang ia dan keluarganya lakukan selama ini. Akhirnya, kesombongan pun luruh ketika manusia tak berdaya.
Beberapa pelajaran yang secara pribadi aku petik dari buku The Chamber ini:
1. Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh tentang perbedaan, ras, suku, agama. Saatnya kita membangun dunia dan mengembangkan diri tanpa melihat perbedaan, karena pada akhirnya perbedaan hanya menghasilkan kesengsaraan.
2. Kita harus menilai seseorang bukan hanya dari masa lalunya, tetapi juga dari nilai-nilai yang ia yakini saat ini. Semua orang pernah berbuat kesalahan, tapi yang terpenting adalah apakah ia menyesalinya dan berbalik ke jalan yang benar atau tidak.
3. Hukuman diberikan oleh lembaga hukum atau negara. Sebagai sesama manusia, hendaknyalah kita tidak ‘menghukum’ orang lain secara personal lewat stigma, hujatan dan pengucilan. Kita harus tetap ingat, bahwa mereka pun manusia, dan semua manusia itu pada hakikatnya sama (seperti yang dikatakan oleh tokoh Jem di To Kill A Mockingbird).
Karena yang diangkat kali ini oleh John Grisham, selain proses hukum, adalah pergumulan pribadi seorang Sam Cayhall dalam menghadapi hukuman mati. Inilah yang menarik bagiku. Pernahkah anda bertanya-tanya dalam hati, apakah yang kira-kira ada dalam benak dan perasaan seorang narapidana yang dijatuhi hukuman mati? Dalam hal ini bukan layak atau tidaknya seorang terdakwa dihukum mati, atau pro dan kontra tentang hukuman mati itu sendiri. Namun, lebih pada ‘bagaimana pergumulan batin seorang manusia yang dihukum mati’? Apakah mereka menyesal pada akhir hidupnya? Apakah mereka merasa takut? Apakah, kalau diberi kesempatan, mereka ingin minta maaf pada keluarga korban? Apakah mereka ingin proses hukuman mati dipercepat atau malah ditunda? Dan apakah-apakah lainnya...
Rasisme mengemuka dalam buku ini lewat sosok Sam Cayhall, seorang kulit putih yang anggota Ku Klux Klan (KKK), dan pada suatu hari ditugaskan untuk melakukan pengeboman terhadap kantor seorang Yahudi. Akibatnya dua orang putra Yahudi tsb tewas. Terlepas dari layak tidaknya ia menerima hukuman mati, sangat sulit untuk bersimpati pada Sam. Ia jelas-jelas seorang rasis, dan tumbuh dalam keluarga yang biasa memperlakukan orang kulit hitam dengan semena-mena. Ia juga melakukan pengeboman dengan sengaja. Sudah cukup alasan untuk kita membencinya, dan hukuman mati sudah lebih dari layak ia terima.
Namun demikian, dengan membaca tulisan John Grisham, kita diajak menyadari bahwa manusia pada dasarnya sama. Kita semua takut untuk mati, takut menghadapi pertanggung jawaban atas apa yang telah kita lakukan. Menyesal atau tidak kita pada waktu melakukan suatu perbuatan yang menyengsarakan orang lain, kita diciptakan Tuhan dengan hati nurani. Setiap manusia pasti tahu di dalam lubuk hati terdalam bahwa apa yang ia perbuat adalah salah. Hanya kesombonganlah yang membuat ia bersikukuh bahwa dirinya benar.
Maka, seperti yang dialami Sam, pada saat ia sudah tak punya harapan (semua upaya hukum yang dilakukan Adam nampaknya sia-sia), kesombongannya pun mulai memudar. Dan yang ada kini adalah sosok Sam yang rapuh, menangis, dan mengibakan. Apakah layak ia dihukum mati? Inilah pertanyaan Sam di dalam hati. Apakah dengan menghukum mati dirinya, kedua anak yang telah tewas bisa hidup kembali? Dengan begitu lamanya penundaan, ia sebenarnya telah menerima hukuman dalam bentuk lain. Lagipula Sam memang telah dididik untuk rasis sejak ia lahir. Namun demikian, pada saat-saat terakhir menjelang jadwal hukuman matinya, toh Sam akhirnya menyesali keputusan yang telah diambilnya, perbuatan-perbuatan yang ia dan keluarganya lakukan selama ini. Akhirnya, kesombongan pun luruh ketika manusia tak berdaya.
Beberapa pelajaran yang secara pribadi aku petik dari buku The Chamber ini:
1. Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh tentang perbedaan, ras, suku, agama. Saatnya kita membangun dunia dan mengembangkan diri tanpa melihat perbedaan, karena pada akhirnya perbedaan hanya menghasilkan kesengsaraan.
2. Kita harus menilai seseorang bukan hanya dari masa lalunya, tetapi juga dari nilai-nilai yang ia yakini saat ini. Semua orang pernah berbuat kesalahan, tapi yang terpenting adalah apakah ia menyesalinya dan berbalik ke jalan yang benar atau tidak.
3. Hukuman diberikan oleh lembaga hukum atau negara. Sebagai sesama manusia, hendaknyalah kita tidak ‘menghukum’ orang lain secara personal lewat stigma, hujatan dan pengucilan. Kita harus tetap ingat, bahwa mereka pun manusia, dan semua manusia itu pada hakikatnya sama (seperti yang dikatakan oleh tokoh Jem di To Kill A Mockingbird).
Sekali lagi, bravo pada John Grisham yang telah membuka mata kita, dan sekaligus memukau kita dengan tulisannya.
No comments:
Post a Comment