Bagi penggemar Sidney Sheldon, mungkin novel ini sudah lama banget pernah anda baca. Karena menurut Sheldon di memoarnya, The Naked Face ini adalah novel pertamanya yang diterbitkan. Memang novel jadul, tapi aku suka banget dengan ceritanya. Kayaknya aku lebih suka The Naked Face (TNF) ketimbang Windmill of God yang alurnya agak terlalu ruwet dan ceritanya lebih sensasional. TNF ini lebih membumi, dan satu lagi yang bikin aku suka: ada unsur psikologisnya. Satu sisi yang aku suka pada kisah misteri. Tak heran aku juga pecinta novel Agatha Christie, karena AC selalu memasukkan unsur karakter manusia, terutama karakter pembunuhnya.
Bagiku hampir semua tindak kriminal di dunia ini selalu disebabkan oleh karakter atau sifat manusia ini. Maka tak heran apabila tokoh dalam novel ini, Judd Stevens mampu menganalisa sifat dan pembawaan sang pembunuh, meski ia sendiri tak pernah bertemu dengannya. Masih ingat kisah Sherlock Holmes? Sang detektif selalu bisa menganalisa tentang seorang penjahat hanya dari bukti-bukti yang ia temukan kan? Ia tahu si penjahat tinggi atau pendek, tua atau muda, dsb. Nah, Judd memang bukan detektif, namun ia adalah seorang dokter psikoanalisis. Sang dokter pertama kali terlibat dalam sebuah kasus pembunuhan tatkala pasiennya, seorang pria beristri yang kemudian menjadi gay, mati dibunuh.
Pagi itu hujan sedang mengguyur jalan raya, ketika si calon korban sedang berjalan kaki mengenakan jas hujan kuning, dan merasa amat gembira. Karena, setelah pengobatan bersama Dr. Stevens, ia kembali menjadi lelaki normal dan kini hendak kembali ke istrinya lagi. Namun malang, di tengah perjalanan pulang, ia ditikam oleh orang tak dikenal. Dokter Judd Stevens mungkin saja tak akan terlibat dalam kasus itu, kalau bukan jas hujan kuning dengan namanya yang sedang dipakai si korban. Maka dua orang polisi, McGreavy dan Angeli mulai menyelidiki Judd. Karena McGreavy punya masalah pribadi dengan Judd, tak heran Judd langsung menjadi tersangkanya.
Tak lama berselang, jatuh lagi korban, yakni Carol. Ia resepsionis Judd di klinik psikoanalis-nya. Maka Judd mulai berpikir, apa hubungan antara kedua korban? Tidak ada, kecuali... Ya! Mungkin ia lah yang sebenarnya diincar oleh si pembunuh. Mengingat korban pertama mengenakan jas kuning kepunyaannya, mungkin ia dikira Judd. Apalagi tak lama kemudian ia juga menjadi korban tabrak lari. Masalahnya, Judd tak bisa mempercayai McGreavy. Di satu pihak ia berkejar-kejaran dengan si pembunuh (karena saat pembunuh keliru membunuh targetnya, maka ia akan tak sabar untuk menuntaskan hasrat membunuhnya). Namun di sisi lain, McGreavy tak mempercayai analisanya. Maka Judd harus bekerja sendiri mengungkap sosok si pembunuh. Untungnya, Angeli, partner McGreavy nampaknya mempercayainya.
Suatu saat ada orang yang hendak membunuh Judd, sehingga ia sampai harus bersembunyi di kantornya, dan menyetel kaset rekaman yang selalu ia gunakan sebagai file untuk mencatat setiap pertemuannya dengan pasien. Si pembunuh yang menyangka bahwa di kantor ada orang lain, langsung membatalkan aksinya. Selamat lagi! Namun sampai kapan Judd bisa bertahan? Tak heran bila ia lalu menyewa jasa detektif pribadi. Si detektif bernasib malang, ia duluan dibunuh meski sempat memberi petunjuk pada Judd, bahwa si pembunuh adalah Don Vinton? Siapa Don Vinton itu?
Maka mulailah Judd memutar kembali semua rekaman pasien-pasiennya, dan mempelajari karakter mereka. Barangkali ada yang punya kemungkinan ingin membunuhnya. Di antara para pasiennya, ada seorang wanita cantik bernama Anne yang ditaksir Judd. Anne memiliki masalah dengan suaminya, namun dalam kunjungan-kunjungannya tak pernah mengungkapkan dengan jelas perihal sang suami. Ada juga beberapa pasien lain yang mencurigakan, namun akhirnya semua penyelidikannya mentok.
Hingga akhirnya Judd menyadari bahwa Don Vinton bukanlah nama orang, melainkan sebutan untuk sebuah geng mafia besar. Nah, di sini mulai tampak ciri khas seorang Sidney Sheldon, selalu ada hal yang berbau sensasional. Tak ada yang biasa-biasa saja tampaknya dalam kamus Sheldon, berbeda banget dengan Agatha Christie yang tokoh-tokohnya selalu orang-orang biasa.
Kesimpulannya, meski pihak kepolisian terus berusaha mengusut kasus itu, namun justru Judd-lah yang menemukan bahwa sebuah geng mafia sedang mengincarnya. Ia juga yang berhasil menganalisis karakter maupun kebangsaan dan ciri-ciri tubuh si pembunuh. Satu hal yang tak ia duga, bahwa sang pembunuh dibantu pula oleh seseorang yang tidak ia sangka. Meski aku berhasil menebak sebelumnya, namun lebih baik aku menutup posting ini dengan tetap membiarkan endingnya menggantung. Toh anda yang sudah membaca juga sudah tahu akhir ceritanya, sementara anda yang belum dan ingin membaca, mungkin akan bergegas mencari bukunya. Bagaimanapun juga, bukan Sidney Sheldon namanya bila tak berhasil membangun ketegangan pembacanya kan?
Judul: The Naked Face
Pengarang: Sidney Sheldon
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Maret 1979 (cetakan pertama)
Halaman: 324
Harga: Rp 12.000,- (pas obral di Book Fair)
Bagiku hampir semua tindak kriminal di dunia ini selalu disebabkan oleh karakter atau sifat manusia ini. Maka tak heran apabila tokoh dalam novel ini, Judd Stevens mampu menganalisa sifat dan pembawaan sang pembunuh, meski ia sendiri tak pernah bertemu dengannya. Masih ingat kisah Sherlock Holmes? Sang detektif selalu bisa menganalisa tentang seorang penjahat hanya dari bukti-bukti yang ia temukan kan? Ia tahu si penjahat tinggi atau pendek, tua atau muda, dsb. Nah, Judd memang bukan detektif, namun ia adalah seorang dokter psikoanalisis. Sang dokter pertama kali terlibat dalam sebuah kasus pembunuhan tatkala pasiennya, seorang pria beristri yang kemudian menjadi gay, mati dibunuh.
Pagi itu hujan sedang mengguyur jalan raya, ketika si calon korban sedang berjalan kaki mengenakan jas hujan kuning, dan merasa amat gembira. Karena, setelah pengobatan bersama Dr. Stevens, ia kembali menjadi lelaki normal dan kini hendak kembali ke istrinya lagi. Namun malang, di tengah perjalanan pulang, ia ditikam oleh orang tak dikenal. Dokter Judd Stevens mungkin saja tak akan terlibat dalam kasus itu, kalau bukan jas hujan kuning dengan namanya yang sedang dipakai si korban. Maka dua orang polisi, McGreavy dan Angeli mulai menyelidiki Judd. Karena McGreavy punya masalah pribadi dengan Judd, tak heran Judd langsung menjadi tersangkanya.
Tak lama berselang, jatuh lagi korban, yakni Carol. Ia resepsionis Judd di klinik psikoanalis-nya. Maka Judd mulai berpikir, apa hubungan antara kedua korban? Tidak ada, kecuali... Ya! Mungkin ia lah yang sebenarnya diincar oleh si pembunuh. Mengingat korban pertama mengenakan jas kuning kepunyaannya, mungkin ia dikira Judd. Apalagi tak lama kemudian ia juga menjadi korban tabrak lari. Masalahnya, Judd tak bisa mempercayai McGreavy. Di satu pihak ia berkejar-kejaran dengan si pembunuh (karena saat pembunuh keliru membunuh targetnya, maka ia akan tak sabar untuk menuntaskan hasrat membunuhnya). Namun di sisi lain, McGreavy tak mempercayai analisanya. Maka Judd harus bekerja sendiri mengungkap sosok si pembunuh. Untungnya, Angeli, partner McGreavy nampaknya mempercayainya.
Suatu saat ada orang yang hendak membunuh Judd, sehingga ia sampai harus bersembunyi di kantornya, dan menyetel kaset rekaman yang selalu ia gunakan sebagai file untuk mencatat setiap pertemuannya dengan pasien. Si pembunuh yang menyangka bahwa di kantor ada orang lain, langsung membatalkan aksinya. Selamat lagi! Namun sampai kapan Judd bisa bertahan? Tak heran bila ia lalu menyewa jasa detektif pribadi. Si detektif bernasib malang, ia duluan dibunuh meski sempat memberi petunjuk pada Judd, bahwa si pembunuh adalah Don Vinton? Siapa Don Vinton itu?
Maka mulailah Judd memutar kembali semua rekaman pasien-pasiennya, dan mempelajari karakter mereka. Barangkali ada yang punya kemungkinan ingin membunuhnya. Di antara para pasiennya, ada seorang wanita cantik bernama Anne yang ditaksir Judd. Anne memiliki masalah dengan suaminya, namun dalam kunjungan-kunjungannya tak pernah mengungkapkan dengan jelas perihal sang suami. Ada juga beberapa pasien lain yang mencurigakan, namun akhirnya semua penyelidikannya mentok.
Hingga akhirnya Judd menyadari bahwa Don Vinton bukanlah nama orang, melainkan sebutan untuk sebuah geng mafia besar. Nah, di sini mulai tampak ciri khas seorang Sidney Sheldon, selalu ada hal yang berbau sensasional. Tak ada yang biasa-biasa saja tampaknya dalam kamus Sheldon, berbeda banget dengan Agatha Christie yang tokoh-tokohnya selalu orang-orang biasa.
Kesimpulannya, meski pihak kepolisian terus berusaha mengusut kasus itu, namun justru Judd-lah yang menemukan bahwa sebuah geng mafia sedang mengincarnya. Ia juga yang berhasil menganalisis karakter maupun kebangsaan dan ciri-ciri tubuh si pembunuh. Satu hal yang tak ia duga, bahwa sang pembunuh dibantu pula oleh seseorang yang tidak ia sangka. Meski aku berhasil menebak sebelumnya, namun lebih baik aku menutup posting ini dengan tetap membiarkan endingnya menggantung. Toh anda yang sudah membaca juga sudah tahu akhir ceritanya, sementara anda yang belum dan ingin membaca, mungkin akan bergegas mencari bukunya. Bagaimanapun juga, bukan Sidney Sheldon namanya bila tak berhasil membangun ketegangan pembacanya kan?
Judul: The Naked Face
Pengarang: Sidney Sheldon
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Maret 1979 (cetakan pertama)
Halaman: 324
Harga: Rp 12.000,- (pas obral di Book Fair)