Kembali aku terpesona pada coretan dan untaian kata Pearl S. Buck di buku ini. Tak seperti buku-buku lainnya yang beralur cenderung lamban sehingga terasa membosankan di tengah, buku ini alurnya stabil hingga akhir buku yang tak terlalu tebal ini. Namun demikian, kekuatan cinta yang ingin ditegaskan oleh Pearl S. Buck tetap dapat disuguhkan dengan apik.
Adalah pasangan Gerald dan Elizabeth McLeod yang menjadi sentral cerita. Kedengarannya mereka seperti nama pasangan suami istri biasa dari Amerika. Namun kenyataannya, Gerald adalah peranakan setengah Amerika dan setengah Cina. Mungkin bagi kita yang hidup di jaman modern, hal itu biasa saja. Bahkan sekarang ini mungkin di dalam tubuh seseorang bisa mengalir beberapa macam darah dari berbagai rasa tau suku. Namun di jaman itu, orang-orang peranakan, apalagi yang bertolak belakang seperti Amerika yang modern dan Cina yang komunis, hidupnya sangat sulit. Mereka tidak diterima dengan baik di masing-masing Negara, karena ‘separuh’ dirinya adalah milik negara lain yang bertolak belakang budaya dan keyakinannya.
Itulah yang terjadi pada Gerald dan Elizabeth. Karena Gerald tak dapat hidup di Amerika tanpa merasa terasing, maka berdua mereka memutuskan tinggal di Peking. Namun gejolak politik yang menguat di Peking membuat Gerald memutuskan untuk mengirim Elizabeth bersama Rennie (putra mereka) kembali ke tanah Amerika.
Komunikasi yang terjalin saat itu adalah lewat surat-menyurat. Namun, tampaknya keadaan negara Cina tak kunjung membaik, sehingga Gerald pun sangsi apakah ia akan pernah bisa keluar dari Cina untuk bersama dengan keluarganya. Surat Gerald yang terakhir yang datang dari Peking menguatkan kesedihan Elizabeth.
Namun bertahun-tahun hidup menyendiri bersama putra dan mertuanya, Elizabeth tetap mencintai Gerald dengan sepenuh hati. Jarak yang membentang di antara mereka berdua rupanya tak mampu menyurutkan cinta sejati mereka. Hingga ketika Gerald menyatakan terus terang bahwa ia tak dapat hidup sendirian tanpa seorang wanita yang mengurusinya, maka ia mengangkat seorang selir, Elizabethpun menyetujuinya. Tanpa pernah merasa cemburu, karena ia yakin bahwa cinta mereka berdua terlalu kuat untuk wanita lain dapat menggantikan tempatnya di hati Gerald.
Dan rupanya, nasib yang sama dialami Rennie yang mulai menanjak dewasa. Ia harus patah hati pada cinta pertamanya hanya karena ia setengah Cina.
Maka membaca buku ini, yang memang kisahnya berlatar belakang tahun 1930-an membuatku merasa amat beruntung dapat hidup di era di mana perbedaan karena alasan geografis sudah semakin ditinggalkan. Apalagi dengan adanya internet, teknologi dan jaringan social media yang tumbuh pesat, semakin melunturkan batas-batas antar manusia di seluruh dunia.
Kalau pada jaman purba dulu, orang hanya mau berinteraksi dengan kaum sesukunya saja, dan cenderung bermusuhan dengan suku lain. Lama-kelamaan transportasi membuat manusia bisa keluar dari tempat tinggal sukunya dan menemukan bagian-bagian dunia lainnya, lalu akhirnya timbullah batas-batas negara, benua dan ras. Seabad lalu manusia masih dikotak-kotakkan oleh ras, agama dan daerah.
Namun sekarang, lihat saja…tak usah jauh-jauh, teman-teman ngeblog kita sendiri saja. Kita bisa menemukan teman dari seluruh pulau di nusantara, dengan budaya masing-masing, bahkan dari luar negeri juga. Kita semua bisa berteman walau berbeda suku, agama, tingkat pendidikan maupun social ekonomi. Hebat bukan?
Semoga saja dengan makin terbukanya pikiran kita, tak perlu sebuah cinta yang murni harus dihancurkan hanya oleh garis keturunan yang tak dapat kita ubah. Tak perlu sepasang suami-istri harus berpisah dan hidup mereka harus berubah hanya lewat selembar surat….
Adalah pasangan Gerald dan Elizabeth McLeod yang menjadi sentral cerita. Kedengarannya mereka seperti nama pasangan suami istri biasa dari Amerika. Namun kenyataannya, Gerald adalah peranakan setengah Amerika dan setengah Cina. Mungkin bagi kita yang hidup di jaman modern, hal itu biasa saja. Bahkan sekarang ini mungkin di dalam tubuh seseorang bisa mengalir beberapa macam darah dari berbagai rasa tau suku. Namun di jaman itu, orang-orang peranakan, apalagi yang bertolak belakang seperti Amerika yang modern dan Cina yang komunis, hidupnya sangat sulit. Mereka tidak diterima dengan baik di masing-masing Negara, karena ‘separuh’ dirinya adalah milik negara lain yang bertolak belakang budaya dan keyakinannya.
Itulah yang terjadi pada Gerald dan Elizabeth. Karena Gerald tak dapat hidup di Amerika tanpa merasa terasing, maka berdua mereka memutuskan tinggal di Peking. Namun gejolak politik yang menguat di Peking membuat Gerald memutuskan untuk mengirim Elizabeth bersama Rennie (putra mereka) kembali ke tanah Amerika.
Komunikasi yang terjalin saat itu adalah lewat surat-menyurat. Namun, tampaknya keadaan negara Cina tak kunjung membaik, sehingga Gerald pun sangsi apakah ia akan pernah bisa keluar dari Cina untuk bersama dengan keluarganya. Surat Gerald yang terakhir yang datang dari Peking menguatkan kesedihan Elizabeth.
Namun bertahun-tahun hidup menyendiri bersama putra dan mertuanya, Elizabeth tetap mencintai Gerald dengan sepenuh hati. Jarak yang membentang di antara mereka berdua rupanya tak mampu menyurutkan cinta sejati mereka. Hingga ketika Gerald menyatakan terus terang bahwa ia tak dapat hidup sendirian tanpa seorang wanita yang mengurusinya, maka ia mengangkat seorang selir, Elizabethpun menyetujuinya. Tanpa pernah merasa cemburu, karena ia yakin bahwa cinta mereka berdua terlalu kuat untuk wanita lain dapat menggantikan tempatnya di hati Gerald.
Dan rupanya, nasib yang sama dialami Rennie yang mulai menanjak dewasa. Ia harus patah hati pada cinta pertamanya hanya karena ia setengah Cina.
Maka membaca buku ini, yang memang kisahnya berlatar belakang tahun 1930-an membuatku merasa amat beruntung dapat hidup di era di mana perbedaan karena alasan geografis sudah semakin ditinggalkan. Apalagi dengan adanya internet, teknologi dan jaringan social media yang tumbuh pesat, semakin melunturkan batas-batas antar manusia di seluruh dunia.
Kalau pada jaman purba dulu, orang hanya mau berinteraksi dengan kaum sesukunya saja, dan cenderung bermusuhan dengan suku lain. Lama-kelamaan transportasi membuat manusia bisa keluar dari tempat tinggal sukunya dan menemukan bagian-bagian dunia lainnya, lalu akhirnya timbullah batas-batas negara, benua dan ras. Seabad lalu manusia masih dikotak-kotakkan oleh ras, agama dan daerah.
Namun sekarang, lihat saja…tak usah jauh-jauh, teman-teman ngeblog kita sendiri saja. Kita bisa menemukan teman dari seluruh pulau di nusantara, dengan budaya masing-masing, bahkan dari luar negeri juga. Kita semua bisa berteman walau berbeda suku, agama, tingkat pendidikan maupun social ekonomi. Hebat bukan?
Semoga saja dengan makin terbukanya pikiran kita, tak perlu sebuah cinta yang murni harus dihancurkan hanya oleh garis keturunan yang tak dapat kita ubah. Tak perlu sepasang suami-istri harus berpisah dan hidup mereka harus berubah hanya lewat selembar surat….
Judul asli: Letter From Peking
Penulis: Pearl S. Buck
Penerbit: PT Gramedia Putaka Utama
Terbitan: Desember 1990
Penulis: Pearl S. Buck
Penerbit: PT Gramedia Putaka Utama
Terbitan: Desember 1990
-_-_-_-_-_-_-Cosmorary-_-_-_-_-_-_-
ReplyDelete*******Salam ‘Blog’!!*******
Salam sejahtera..
Pertamaxakah???
Wah buku yang bagus nih...
Dan mba juga mereviewnya dengan amat indah...bahasa ringan yang membuai mata....
Ellizabeth hebat yah,,,ndak cemburu...
Tapi kasihan juga peranakan yah kalao gitu pada zaman itu..
Hemh
^_____^
BTW mba,,nice posting!!!
Saluttt!!!!!
-_-_-_-_-_-_-Cosmorary-_-_-_-_-_-_-
Review mantap, Fan ... Benar, kita harus bersyukur bisa hidup di zaman yang tidak terkotak-kotak seperti ini. Meski demikian kekuatan cinta memang selalu mencengangkan.
ReplyDeleteeh, di Vixxio ada lagi S. Mara Gd, ya?
Pertama... ngucapin selamat dulu utk mbak Fanda yang telah berhasil mendapatkan buku dari mbak Dela..!
ReplyDeleteTernyata buku yang aku inginkan berhasil didapat mbak Fanda.. Selamat ya mbak.
Memang susah jika memilih pasangan terkendala masalah ras, suku bangsa dsb.
ReplyDeleteNice review mbak...
cerita yang bagus mbak... trims untuk reviewnya...
ReplyDeletehubungan jarak jauh?
ReplyDeleteelizabet ini tegar sekali, ngerelain suaminya nikah lagi T^T
Paragraf terakhir mb, bagus banget.
ReplyDeleteReview mantap mbak Fanda. Pearls S.Buck, saya suka. Tapi yang ini belum baca. Terimakasih sharenya.
ReplyDeleteuntung sekarang ini udah ga ada perbedaan2 yang kayak gitu lagi yah, meskpiun terkadang masih ada juga orang yang berpikiran kolot, tapi masih mendinglah dibanding dengan jaman dulu...
ReplyDeletesiipphh.. repiunya mbak :)
Kisah yang bagus. Eh, di masa moderen seperti sekarang ini, sikap membeda2kan antara sukupun masih ada loh
ReplyDeleteReview yang menarik... jadi tertarik ingin membacanya secara lengkap.
ReplyDeleteMohon maaf mbak baru sempat mampir.
Rutinitas kerja menjelang ujian nasional.
ga jaman lagi perhitungin SARA ya mbak :D
ReplyDeletesuka baca ya kak.... :)
ReplyDeleteOh ya Kak.. kita tukeran link yuuk kak
Sekarang pengkotak-kotakan menurut suku dan agama masih ada, meskipun tidak separah dulu. Kalau di Surabaya tidak terlalu terasa, tapi kalau di Bandung masih ada.
ReplyDeleteiya yah mbak, beruntung kita ditemukan di abad yang sudah moderen ini. kalau nggak, kayaknya kita gak saling kenal deh... :(
ReplyDelete