Monday, October 25, 2010

The Boy In The Striped Pyjamas

“Buku berjudul menggelikan!”, begitu pikirku sewaktu aku pertama kali menemukan buku ini entah di toko buku mana. Gambar sampulnya membosankan, bukannya menggambarkan seorang bocah, tapi malah tanpa gambar dan hanya garis-garis melintang berwarna biru muda-abu-abu dan putih. Sungguh, aku takkan pernah bisa meng-klaim telah membeli buku ini karena judging this book from its cover! Kalau buku ini begitu tak menarik dari sisi luarnya, bagaimana dengan isinya? Jumlah halamannya “hanya” 240, dan pengarangnya tak terkenal. Sinopsisnya? Lebih tidak menggambarkan isi bukunya karena yang akan anda temukan di sinopsisnya adalah kalimat-kalimat ini…

Kisah tentang Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis ini sulit sekali digambarkan. Biasanya kami memberikan ringkasan cerita di sampul belakang buku, tapi untuk kisah yang satu ini sengaja tidak diberikan ringkasan cerita, supaya tidak merusak keseluruhannya. Lebih baik Anda langsung saja membaca, tanpa mengetahui tentang apa kisah ini sebenarnya.

Lengkap sudah alasanku TIDAK membeli buku ini bertahun-tahun lalu. Dengan isi yang serba tak jelas begitu, bagaimana mungkin kita meraba-raba isi bukunya? Tapi untunglah sekarang ada internet dan situs semacam Goodreads yang bisa memberi kita informasi tentang buku apa saja, asal yang pernah dibaca orang lain!

Untuk tidak menjadi penyebar spoiler, aku akan berusaha melegakan sedikit rasa penasaran anda tanpa mengungkapkan isi sesungguhnya kisah yang, ternyata, sangat menggugah hati ini.

Tokoh utama kisah ini adalah bocah lelaki berusia 9 tahun yang berkebangsaan Jerman dan tinggal di Berlin sekitar tahun 1920-an. Bruno, nama bocah itu, tinggal bersama ayahnya yang merupakan pejabat tinggi militer, ibunya, dan kakak perempuannya yang ia gambarkan sebagai kakak yang amat payah. Kisah ini sebenarnya berlatar belakang sejarah, walaupun detil sejarah tak pernah diungkapkan secara gamblang. Apa yang kita baca seolah-olah memang datang dari pemahaman anak innocent usia 9 tahun yang tak mungkin diharapkan untuk memahami situasi dan konflik yang terjadi di sekitarnya.

Hidup dalam kebahagiaan keluarga kaya dan mewah (rumahnya saja terdiri dari 5 lantai!), tiba-tiba pada suatu hari Bruno mendapati dirinya harus meninggalkan rumah mereka dan pindah ke sebuah rumah yang lebih jelek dan lebih kecil yang letaknya jauh dari kota. Semua itu terjadi setelah kunjungan heboh seorang tokoh penting yang disebut “The Furry” ke kediaman keluarga Bruno. The Furry memberikan penugasan baru bagi ayah Bruno., dan mereka sekeluarga harus pindah dalam waktu singkat ke sebuah tempat yang disebut “Out-With”.

Bruno sungguh merana dan kesepian tinggal di rumah itu, karena di sekitarnya tak ada bocah lain yang bisa menjadi temannya. Dan bukan itu saja, ia juga amat terganggu dengan pemandangan yang ia lihat dari jendela kamarnya di lantai atas. Beberapa meter dari rumah mereka, ada pagar tinggi yang membentang amat jauh. Dan di seberang pagar itu ada begitu banyak orang berkumpul dan melakukan kegiatan aneh. Ada sekelompok orang yang membawa senjata dan tampak jahat dan kerjanya membentak-bentak sekelompok orang lainnya. Mereka ini jelas berasal dari militer, sama seperti ayah Bruno. Kelompok kedua tampak selalu ketakutan, kurus seperti kurang makan, dan banyak bekerja keras. Namun yang paling aneh adalah semua orang di kelompok kedua mengenakan seragam (kalau kelompok militer sih wajar kalau mengenakan seragam). Dan seragam kelompok kedua itu: piama bergaris-garis dan topi dari kain. Siapa mereka? Dan mengapa mereka tampak ketakutan dan tidak bahagia begitu?

Hal itu adalah misteri yang tak pernah terjawab bagi Bruno, bahkan hingga akhir cerita. Hingga suatu hari Bruno yang setengah mati bosan dan kesepian, ingin bermain menjadi petualang. Ia ingin tahu apa yang terjadi di balik pagar tinggi yang sering ia saksikan dari jendela kamarnya. Maka ia pun berjalan menyusuri pagar yang terbentang hampir tak terlihat batasnya. Dan di sanalah ia lalu berkenalan dengan seorang bocah kurus kering dan berwajah sedih, mengenakan piama garis-garis yang selalu menunduk lesu. Perkenalan itu berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya dan berikutnya lagi, hingga tanpa terasa Bruno dan bocah yang bernama Shmuel itu akhirnya menjadi sahabat. Keduanya selalu menantikan kesempatan untuk dapat bercakap-cakap dengan dibatasi pagar.

Tentu saja, Bruno harus merahasiakan persahabatan ini, karena pernah waktu ia menanyakan perihal orang-berpiama-garis-garis itu kepada ayahnya, sang ayah memberi jawaban yang amat aneh: “Mereka itu bukan orang!” dan melarang Bruno untuk berada dekat-dekat pagar itu dan bergaul dengan orang-orang itu. Sama sekali Bruno tak bisa memahaminya, namun toh ia sangat menikmati setiap waktu pertemuannya dengan Shmuel. Apalagi setelah menemukan bahwa mereka berdua lahir tepat pada hari yang sama.

Sebuah perbedaan nampak pada diri keduanya setelah beberapa saat, terutama pada Shmuel yang kini makin terlihat segar karena makanan-makanan yang sering dibawakan Bruno dari rumahnya, dan karena persahabatan mereka. Keduanya tahu bahwa mereka berdua berbeda (pagar itu selalu menjadi penghalang bagi keduanya untuk dapat bermain bersama), meski begitu pertemuan singkat dibatasi pagar itupun mampu membahagiakan mereka.

Suatu hari Shmuel menemui Bruno dengan terisak menangis. “Ayahku menghilang”, katanya. Maka Bruno mendapat akal cemerlang. Kebetulan saat itu baru saja ada wabah kutu di rumah Bruno sehingga kepalanya harus dicukur habis. Hal ini menjadikan penampilan mereka berdua hampir mirip. Hanya piama garis-garis itu yang membedakan mereka. Ya, piama garis-garis itu! Maka rencana pun dibuat. Keesokan harinya Shmuel membawakan sebuah seragam piama garis-garis. Bruno berganti piama itu dan menyeberang ke daerah seberang pagar. Menyamar menjadi orang-berpiama-garis-garis, dan bermain bersama Shmuel serta membantunya mencari ayahnya yang hilang. Kedua anaka itu tampak gembira dapat bersama-sama setelah sekian lama, namun sayang... kegembiraan itu tak berlangsung lama.

Saat senja menjelang, tiba-tiba terdengar bel meraung-raung, dan kelompok militer menyuruh orang-orang berbaris. Bruno dan Shmuel terhimpit kerumunan orang yang berbaris itu dan akhirnya ikut tergiring menuju sebuah bangunan. Bruno tak mengerti apa yang sedang, dan yang akan terjadi, namun Shmuel bilang bahwa biasanya orang-orang yang dibawa ke bangunan itu tak pernah lagi kembali, menghilang bagai ditelan bumi, persis seperti ayahnya. Dan belum juga Bruno memahami apapun, kegelapan pun menyeruak ketika pintu bangunan sempit itu tertutup!....

Dan seperti yang dikatakan Shmuel, orang-orang yang disekap, termasuk dirinya dan Bruno akhirnya tak pernah ditemukan kembali setelah peristiwa itu. Ayah dan ibu Bruno panik ketika anaknya tidak pulang malam itu. Sang ayah mengerahkan semua bawahannya untuk mencari anak lelakinya, namun si bocah bagai hilang ditelan bumi. Yang dapat ditemukan hanyalah pakaian dan sepatu Bruno yang teronggok di sebelah pagar yang bagian bawahnya sedikit terkuak…

Penemuan itu mampu membuat ayah Bruno akhirnya memahami apa yang mungkin telah dialami putranya….

-------

Kisah ini, lagi-lagi, menyoroti tentang bagaimana perbedaan di antara umat manusia memiliki dua dimensi yang berbeda. Perbedaan bisa berubah menjadi kebencian saat segolongan manusia merasa sombong dan merasa lebih tinggi serta lebih baik, lebih benar daripada golongan manusia lainnya. Manusia macam ini memandang dunia dengan sempit. Sementara di lain pihak, perbedaan juga bisa mendatangkan persahabatan dan cinta kasih apabila kedua golongan manusia itu mau mencari persamaan dalam dirinya.

Bruno dan Shmuel, dalam segala perbedaan mereka (kaya dan miskin, merdeka dan terjajah, juga perbedaan ras) menjadi contoh yang pas, bahwa perbedaan akan selalu ada, dan bahwa perbedaan tak menghalangi mereka untuk bersahabat dan saling menyayangi. Oh…betapa indahnya dunia ini saat semua orang dewasa yang (harusnya) lebih pandai dan bijak, dapat meneladan kesahajaan si kecil Bruno dan Shmuel dalam memandang perbedaan.

Kita harus mengakui, barangkali “pagar” akan selalu ada dalam hidup kita. Pagar yang tak nampak namun bisa kita rasakan. Perbedaan memang ada, dan akan tetap apa. Namun yang terpenting, bukanlah menghindar dari kenyataan bahwa pagar itu ada, atau berusaha menumbangkan pagar dan membuat semua orang menjadi sama. Yang terpenting adalah bagaimana kita melampaui pagar itu dengan membawa CINTA. Mampukah kita?....

9 comments:

  1. Ya ampun, aku mau nangis baca review Mbak Fanda ini. Ini kisah tentang kamp konsentrasi Nazi kan? Pengen baca aku. Tapi kayaknya terharu banget deh..

    ReplyDelete
  2. @Vicky: Kukira aku yg cengeng. Pdhal kamu baca review aja udah mau nangis ya? Yg bikin haru justru karena kepolosan anak kecil melihat ketidak-adilan, yg bagi banyak orang dewasa malah biasa saja... haru campur miris..

    ReplyDelete
  3. mba fanda ternyata pecinta buku2 klasik yah... salut bwt all reviewnya so far...
    ttg buku ini, menarik juga pelajaran perbedaan yang dihadirkan buku ini, tp pd akhirnya mnemukan titik tangkapnya

    ReplyDelete
  4. tanpa membaca bukunya,membaca review mba fanda saja sdh terasa bagaimana rasanya kegelisahan dan ketakutan bruno. mirissss.....

    mba fanda selalu ok deh soal review :)

    ReplyDelete
  5. Filmnya sudah beredar tahun lalu di Aussie, sayang ga sempat nonton. :(
    Mbak, punya buku Eat, Pray, Love versi indonesia?
    Dan, kayaknya aku perlu banget Venus versus Mars... *fiuh....

    ReplyDelete
  6. busyet.. tebak banget tuh buku.. btw, aku gak sanggup bacanya setebal itu cukup nunggu baca sinopsisnya aja dari Mbak Fanda, hehe.. curang ya..

    ReplyDelete
  7. hai semua, gw ada filmnya, sumpah, keren bgt!!!!
    lo semua harus nonton filmnya.
    kalo ada yang mau, bisa gw copy in and gw kirimin via post ke alamat lo masing2...
    nie no gw. 081558552343. atas nama GADIS AYU ASTARI.

    ReplyDelete
  8. bukunya masih beredar dipasaran g ya???
    pengen cari....

    ReplyDelete