Walau tetap tak bisa disandingkan dengan sang maestro thriller-hukum: John Grisham, tetap saja James Patterson patut diacungi jempol untuk terobosannya di novel The Beach House ini. Sejak awal, narasi Patterson sudah terasa nikmat untuk dibaca. Sepertinya misteri sudah mulai dibangun sejak saat si tokoh “aku” datang terlambat ke sebuah pesta musim panas kaum elite di beach house mewah milik keluarga Neubauer. Menunggangi motor sport BMW, tentulah kita mengira si “aku” adalah salah satu bocah kaya yang gemar pesta. Namun, kejutan pertama telah dipasang Patterson di akhir prolog: si “aku” ternyata hanyalah seorang petugas valet di pesta itu! Petugas valet tunggangannya motor BMW??
Kejutan kedua. Si “aku” yang ternyata bernama Peter dan berjuluk “Rabbit” punya “pekerjaan” sampingan yang berhubungan dengan orang-orang kaya dan berpengaruh. Pekerjaan sampingannya tidak hanya membuat Peter kaya dari bayaran atas “jasa”nya, namun juga celaka. Pada malam pesta itu, mayatnya ditemukan di pantai dalam keadaan babak belur…
Cerita kini berpindah ke tokoh “aku” lainnya, yang bernama keluarga sama: Mullen. Kali ini si “aku” adalah Jack, kakak kandung Peter. Jack sedang magang di sebuah biro hukum besar. Saat pulang ke rumahnya di Montauk, East Hampton, Jack disambut dengan kabar buruk kematian Peter. Seolah kehilangan kakak masih kurang buruk, kepolisian tampaknya mengabaikan fakta-fakta yang menunjukkan keganjilan pada mayat Peter. Malahan kasus kematian Peter dianggap sebagai kecelakaan atau bunuh diri, dengan modus Peter nekat berenang di laut berombak keras, lalu tenggelam dan mayatnya terhempas ke pantai dalam keadaan babak belur.
Sadar bahwa pengaruh kekayaan sedang berusaha menutup-nutupi fakta bahwa Peter dibunuh, membuat Jack bersama Mack kakeknya, dan beberapa sahabatnya berusaha mencari keadilan. Sepak terjang mereka tercium oleh si pembunuh, dan beberapa ancamanpun ditebarkan. Yang terparah adalah ketika saksi kunci bagi kubu Mullen dalam persidangan tiba-tiba mengubah kesaksiannya. Jack pun menyadari peliknya situasi mereka. Keadilan telah dibeli dan melacurkan diri. Apakah yang mungkin dilakukan oleh orang-orang lemah seperti keluarga Mullen? Haruskah mereka menyerah kalah, padahal perlahan-lahan bukti demi bukti telah mereka dapatkan?
Membaca The Beach House sedikit menggelorakan emosi kita akan ketidak adilan hukum bagi orang lemah. Ketidak adilan itu selain diwakili oleh pembunuhan Peter, juga oleh vonis hukuman mati bagi “Mudman”, yang kasusnya ditangani oleh Jack sebagai kasus pro-bono sewaktu magang di biro hukum. Orang lemah dan kecil sering kali diremehkan oleh sistem. Mungkin karena keberadaan atau ketidakberadaan mereka dianggap tak punya pengaruh apapun pada dunia. Di sinilah Jack Mullen mencoba untuk menjadi pahlawan, meski untuk itu ia harus mempertaruhkan segalanya.
Meski greget pengadilan dan hukum kurang terasa di sini, namun The Beach House tetap menawarkan sesuatu yang lain. Gabungan antara intrik-intrik hukum, ketidak adilan, romansa, juga percikan misteri di sana sini mampu menyuguhkan bacaan yang tak terlalu berat namun tetap membuat penasaran hingga lembar terakhir!
Judul: The Beach House (Rumah Pantai)
Penulis: James Patterson, Peter De Jonge
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Oktober 2009
Tebal: 416 hlm
James Patterson lumayan kok mbak, saya baru baca satu letters to jennifer klo ga salah, beli obralan gramedia eh ternyata bagus bukunya :)
ReplyDeleteYang inisepertinya juga lumayan ya? memang beda kelas tapi sama Grisham heheh.
Caranya bercerita, berganti-ganti sudut pandang. Itu yang menarik. Sekiranya aku punya cukup waktu, mungkin aku mau baca Rumah Pantai ini. :)
ReplyDeleteilmu saya belum cukup untuk meneilai sebuah buku.... jadi ikutan nimbrunfg dan baca baca aja dah...
ReplyDelete