Friday, June 3, 2011

The Innocent Man

Muak-ngeri-geram di awal. Bosan menggantikannya di pertengahan. Tapi mendekati akhir, trenyuh dan prihatin berganti menyeruak di dada. Akhirnya aku sampai pada pertanyaan: Masihkah ada keadilan di dunia ini? Semua kesan itu aku dapatkan ketika membaca karya John Grisham yang merupakan sebuah kisah nyata: The Innocent Man.

Jika kau percaya bahwa orang (di Amerika) tak bersalah, sampai dinyatakan bersalah, buku ini akan mengejutkanmu.
Jika kau percaya hukuman mati, buku ini akan mengusikmu.
Jika kau percaya sistem peradilan pidana itu adil, buku ini akan menyulut kemarahanmu.

Malam itu, 7 Desember 1982, sebuah pembunuhan terjadi di Ada, sebuah kota kecil di negara bagian Oklahoma, Amerika. Korbannya gadis bernama Debbie Carter, seorang waitress di bar bernama Coachlight. Keesokan harinya Debbie ditemukan tak bernyawa setelah diperkosa di apartemennya sendiri. Seperti biasa, proses penyidikan segera digelar, barang bukti diamankan, saksi-saksi (para pria tentunya) diwawancarai dan diminta menyerahkan sampel cairan tubuh, seperti layaknya prosedur tindak kriminal yang sering kita baca/tonton. Bedanya, dalam kasus ini polisi segera menjadi depresi karena setelah semua prosedur yang makan waktu lama itu dilalui, tak kunjung ditemukan seorang tersangka pun.

Maka mulailah mereka mengeluarkan "kreativitas" mereka dengan menyeret seorang pria yang sudah terkenal sebagai “troublemaker” karena suka mabuk-mabukan dan membuat keributan di bar. Alasannya gampang saja: Ron Williamson, nama pria itu, adalah tersangka yang besar kemungkinannya melakukan kejahatan itu. Pasti malam itu ia mabuk berat, lalu menginap di apartemen Debbie. Sesuatu yang seharusnya hanya dugaan, tiba-tiba berkembang menjadi obsesi polisi untuk secepatnya menetapkan tersangka. Apakah ada saksi yang melihat Ron pulang bersama Debbie malam itu? Tidak ada. Adakah yang melihatnya mendekati Debbie di bar? Tidak ada. Atau setidaknya adakah yang melihat Ron di Coachlight malam itu? Tak ada yang ingat. Lalu? Tak masalah. Ron tersangka yang sangat bagus, sekarang tinggal mendapatkan pengakuan darinya. Bagaimana kalau ia tak mengakui bahwa ia membunuh Debbie? Tak masalah. Polisi akan menerornya dengan bentakan dan ancaman yang persuasif hingga pada suatu titik, bahkan orang yang teguh pendiriannya pun akan menyerah dan membuat pengakuan yang lemah. Tak masalah. Pasti ada napi-napi lain yang bisa diancam untuk membual di pengadilan bahwa mereka mendengar Ron mengaku telah membunuh Debbie. Semua itu bisa direkayasa. Yang penting polisi telah menunaikan tugas.

Muak. Ngeri. Geram. Muak melihat kemalasan dan kebodohan polisi dalam melakukan tugas. Ngeri menyadari begitu gampangnya aparat hukum menjadikan seseorang yang tak berdosa tersangka pembunuhan. Geram membaca bahwa kebodohan dan ketidakadilan itu dilakukan hampir terang-terangan dan diketahui hampir semua orang, namun hanya didiamkan saja. Sementara polisi, yang menyimpulkan bahwa kejahatan itu pasti dilakukan 2 orang, berhasil pula menyeret seorang teman Ron: Dennis Fritz. Klop sudah.

Sementara itu, cerita kemudian bergulir pada kehidupan Ron yang ironis. Sepanjang hidupnya Ron hanya memiliki satu impian, ambisi sekaligus obsesi, yaitu pada bisbol. Ditunjang tubuhnya yang setinggi 180 cm dan atletis, Ron yang egois karena selalu dimanja sejak kecil, tak kesulitan merintis jalan menuju seorang pemain bisbol profesional di liga besar. Ketika nampaknya pengorbanan keluarga Williamson terhadap si bungsu nan manja itu bakal berbuah kebahagiaan, datanglah kabar yang menyakitkan. Ron mengalami cedera bahu yang memaksanya untuk berhenti main bisbol selamanya. Ron yang tak pernah dewasa tak mampu menerima kenyataan impiannya harus pupus, justru ketika ia nyaris berhasil menembus liga besar dan menjadi pemain bisbol terkenal seperti para idola yang ada di kartu-kartu bisbol koleksi keramatnya. Ron lalu jatuh ke jurang minuman keras, dan menderita penyakit mental. Dan dalam keadaan demikianlah, Ron menapakkan kaki ke penjara Pontotoc County sebagai pembunuh…

Meski tak sedramatis perjalanan hidup Ron, Dennis Fritz harus merelakan kehidupan sebagai suami dan ayah yang bahagia, hanya karena fakta ia merupakan teman Ron dan pernah mabuk-mabukan bersamanya. Dengan teknik yang sama, polisi akhirnya berhasil menjerat Dennis ke penjara juga. Hanya butuh sebuah sidang dengan selusin saksi-saksi penipu, para pengadu, jaksa penuntut arogan dan hakim yang kurang teliti, maka Ron dan Dennis pun resmi menjadi narapidana. Dennis dengan hukuman seumur hidup, dan Ron dengan hukuman mati!

Di bagian ini, cerita menjadi datar. Aku sempat bosan membaca naik-turunnya kondisi Ron yang begitu cepat, namun dengan kepastian grafik itu menuju ke bawah. Pemenjaraan memang siksaan bagi semua yang mengalaminya, namun bagi seorang sakit mental seperti Ron, itu berarti merenggut hidup seorang manusia secara perlahan. Dan itu bukan saja karena penjara itu sendiri namun juga keacuhan semua pihak yang terlibat di dalamnya terhadap kesehatan mental dan fisik Ron. Dan itu terjadi selama dua belas tahun. Bayangkan, dua belas tahun menghabiskan hidup di penjara padahal anda tak melakukan apapun! Untunglah ada orang-orang seperti Barry Schenck dan Mark Barrett yang aktif di yayasan yang peduli terhadap orang-orang tak mampu yang mengalami peradilan yang buruk. Mereka bekerja sama dengan para pekerja medis yang tergerak oleh nurani memperjuangkan nasib Ron yang dijauhkan dari perawatan kesehatan. Berkat rasa keadilan mereka, Ron bersama Dennis akhirnya berhak mendapatkan sidang peradilan yang baru, yang (diharapkan) lebih bersih.

Di bagian-bagian akhir inilah cerita kembali memanas. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Ron dan Dennis menghadapi berita yang memberikan harapan besar ini. Setelah belasan tahun terpenjara dan pengajuan banding mereka ditolak di mana-mana, nyaris tak ada lagi harapan barang secuil pun bahwa mereka akan dapat kembali menghirup udara bebas. Kini secercah harapan nampak di ujung lorong panjang penantian itu. Apakah cahaya itu nyata? Bagaimana kalau ternyata sidang itu penuh kebohongan seperti pada sidang yang lalu? Di sinilah emosiku turut diaduk-aduk antara harapan dan kekhawatiran. Harapan bahwa akhirnya, keadilan akan ditegakkan. Sekaligus kekhawatiran bahwa harapan yang terlambung untuk kedua kalinya akan semakain membuat Ron dan Dennis makin terpuruk. Untunglah, Hakim Seay memiliki cukup keberanian untuk mendobrak sistem yang salah.

Dan akhirnya sidang pun dimulai. Sidang kedua pembunuhan Debbie Carter yang telah berlangsung 14 tahun lalu! Bahagiakah Ron dan Dennis setelah mereka dinyatakan bebas? Tentu saja! Namun yang membuatku trenyuh adalah perjuangan mereka untuk dapat kembali ke masyarakat, mengenyam hidup yang normal. Melewatkan dua belas tahun di penjara adalah satu hal, namun harus memulai hidup kembali setelah tertinggal dua belas tahun adalah hal lain yang bisa jadi lebih mengkhawatirkan. Bagi sedikit orang yang berkarakter kuat seperti Dennis, mereka akan berhasil melewatinya. Namun bagi orang-orang yang tak pernah bisa mandiri dan sepenuhnya dewasa seperti Ron, kebebasan itu terasa semu. Itulah menurutku dosa paling besar proses peradilan yang tidak jujur. Bukan hanya waktu yang tersia-sia di penjara, namun pemenjaraan itu bisa merusak hidup seseorang sepenuhnya hingga akhir hayatnya. Kalau anda tak percaya bacalah kata-kata terakhir Ron sebelum ia meninggal dunia, yang membuatku menangis...

"...Aku pernah bertanya pada diri sendiri apa alasan aku dilahirkan, saat aku dipenjara terpidana mati, jika aku harus melalui semua itu? Apa alasan kelahiranku? Aku hampir mengutuk ayah dan ibuku--jahat sekali--karena membuat aku lahir ke dunia ini. Bila aku harus melakukan semuanya itu lagi, aku tak ingin dilahirkan."

Sangat miris kalau orang sudah menyesalkan kelahirannya sendiri ke dunia ini. Dan itu gara-gara segerombolan aparat hukum sembrono yang tak mampu menegakkan hukum dengan adil. Jadi...apakah keadilan itu masih ada? Tentu saja! Hakim Seay, Mark Barrett dan Barry Scheck adalah contoh-contoh nyata. Kasus Ron itu mungkin saja menjadi titik balik dimulainya proses hukum yang lebih baik. Dan kalau demikian, mungkin saja pengorbanan Ron tak sia-sia, kelahiran Ron ke dunia bukannya tanpa tujuan. Ia memang harus mengalami semuanya itu, agar makin banyak orang yang boleh merasakan keadilan. Mungkin saja...

Yang membuat buku ini terasa spesial adalah foto-foto mereka yang tersangkut dalam cerita ini. Ada foto Debbie Carter yang manis, dan banyak foto-foto Ron. Di foto itu anda bisa membandingkan ketika Ron baru saja didakwa, dan ketika Ron keluar dari penjara. Anda takkan percaya bahwa tenggang waktunya hanya 12 tahun! Salut pada John Grisham yang keluar dari kebiasannya menulis fiksi. Meski mungkin saja fiksinya lebih "heboh", namun bukankah itu hanya fiksi? Ketidak adilan yang dialami orang-orang yang nyata, justru akan menjungkir balikkan emosi anda, dan akhirnya membuat buku ini semakin melekat di hati anda. Empat bintang untukmu John!

Judul: Tak Bersalah (The Innocent Man)
Penulis: John Grisham
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Mei 2011
Tebal: 537 hlm

6 comments:

  1. Saya belum pernah bersentuhan dengan buku ini. Mungkin di Indonesia ini kita bisa melihat berbagai bukti nyatanya.

    >>>Nitip pesan buat semua:
    Saya ada tantangan buat para blogger Indonesia, ki. Yang siap bisa langsung ceck TKP di blog saya.

    ReplyDelete
  2. aku belum punyaaaa.... mau beli di vixxio....
    :D

    ReplyDelete
  3. Aku punya beberapa buku John Grisham di tumpukan. Tapi sampai sekarang blom kubaca >.<

    Tapi beneran pengen bisa ngelahap bukunya. Di rumah aku punya The Client. Mbak Fanda udah baca?

    ReplyDelete
  4. ahhh suka john grisham terutama buku2nya yang jaman dulu...buku ini belum pernah baca euy tapi...jadi penasaran baca reviewmu. btw, aku link blognya yah..baru sadar belum ada linknya di blogku =)

    ReplyDelete
  5. Ini pernah terjadi di Indonesia. Seseorang yang tidak bersalah dihukum penjara 25 tahun lebih karena dipaksa mengakui kejahatan yang tidak pernah dia lakukan.

    Ketika sistem hukum sudah bobrok semuanya, maka sebaiknya orang-orang malang tinggal berdoa semoga tidak kecipratan apes.

    ReplyDelete
  6. I love John Grisham, tapi memang kebiasaan dia ya kalo misalnya ceritanya selalu datar di bagian pertengahan?
    Belum pernah baca ini, tp tertarik, karena based on true story? kabarin kalo ada di vixxio ya! :p

    ReplyDelete