Monday, January 16, 2012

Pak Harto: The Untold Stories

Hingga saat ini, Pak Harto adalah figur Presiden RI terbaik bagiku. Dan bukan saja Presiden, di mataku Pak Harto adalah juga seorang pahlawan bangsa. Mungkin ada yang bertanya 'mengapa?', mengingat rekam jejak Soeharto dan Orde Baru selama ini dinilai otoriter, kejam, dan sarang korupsi. Bagiku sederhana saja, kalau kita mau menilai kinerja seorang pemimpin, cukup lihat saja hasilnya. Jika negara ini menjadi lebih baik, berarti presidennya adalah pemimpin yang baik. Titik. Bagaimana dengan 'dosa-dosa' beliau? Aku hanya akan menjawab, tak ada gading yang tak retak. Tak ada pemimpin yang tak berbuat kesalahan. Tak ada manusia yang sempurna. Yang terpenting, beliau telah berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi bangsanya, bagi warga negaranya. Itulah yang dibutuhkan Indonesia, bukan sosok seperti dewa yang bisa dipuja-puja.

Buku Pak Harto: The Untold Stories ini semakin mengukuhkan pilihanku kepada Pak Harto sebagai sosok pemimpin ideal. Dari penuturan 113 narasumber yang diwawancarai--dan bahkan ada yang menulis sendiri, aku jadi makin dapat melihat sosok Pak Harto secara lebih personal dan (seolah) dari dekat. Kalau sampai hari ini aku hanya mengenal beliau dari televisi dan koran (yang mungkin saja--dan kemungkinan besar demikian--telah dipoles demi politisasi pihak tertentu), kini aku dapat mengenal Pak Harto dari penuturan orang-orang yang selama ini pernah bersentuhan langsung dengan beliau.

Yang paling menarik perhatianku adalah penuturan dari para kepala negara anggota ASEAN. Menurutku, merekalah yang pendapatnya paling netral; mereka dapat melihat sosok Pak Harto secara obyektif karena sejajarnya kedudukan mereka dengan Pak Harto. Yang paling menarik adalah kesimpulan Pak Mahathir Mohamad, "Saya berkesimpulan bahwa badai perekonomian yang melanda Asia Tenggara pada tahun 1998 itu memang dirancang untuk menjatuhkan pemerintahan Pak Harto." ~hlm 30. Mungkin saja memang benar, karena pada saat itu ASEAN makin menanjak, yang pasti akan membuat negara-negara maju khawatir. Kalau kesimpulan Pak Mahathir itu benar, kita harusnya berbangga, karena itu berarti negara kita (pernah) menjadi salah satu negara yang dianggap pesat perkembangannya hingga disegani negara-negara maju di dunia.

Dari Mr. Lee Kuan Yew--yang menulis sendiri penuturannya, seperti halnya Pak Sultan Hassanal Bolkiah--kita bisa mengetahui bahwa di bawah pemerintahan Soeharto, kedudukan Indonesia di ASEAN adalah 'the first among equals', yang artinya 'terutama di antara yang sederajat'. Bila negara-negara ASEAN mengalami masalah, biasanya mereka meminta pendapat Pak Harto, dan hal itu membuat persatuan di ASEAN cukup solid.

Keluar dari ranah politik luar negeri, kita diajak menyimak penuturan para anak buah Pak Harto. Rata-rata mereka melihat Pak Harto sebagai sosok kebapakan, sederhana, selalu memperhatikan kebutuhan anak buahnya, tak banyak bicara namun ketika bicara selalu sarat dengan wejangan yang dalam. Di mata mereka Pak Harto adalah pemimpin yang ingin melihat anak buahnya berkembang, dan meski Pak Harto telah tiada, wejangannya selalu menjadi panutan hidup mereka.

Kalau anda membayangkan gaya hidup Pak Harto bergelimang kemewahan, siap-siaplah untuk terkejut--sama seperti kebanyakan orang ketika pertama kali berkunjung ke Cendana. Rumah sang orang nomor satu di negara kita itu ternyata biasa-biasa saja, perabotnya pun tidak mewah. Pak Harto dan keluarga lebih suka menyantap makanan sederhana seperti rakyatnya. Camilan Pak Harto antara lain singkong rebus dan Pop Mie (seperti yang dikisahkan oleh para bawahannya yang datang menghadap). Bahkan ajudannya mengatakan bahwa Pak Harto lebih suka mengenakan kaus golf lamanya yang sudah mulai belel, sementara kaus-kaus barunya malah dibagikan ke para pegawai rumah tangganya.

Dari antara mereka yang pernah berjuang bersama Pak Harto, mengalirlah kisah-kisah jenaka yang masih mereka kenang hingga kini. Des Alwi, misalnya, yang bercerita ketika Pak Harto bersama Faisal Abdaoe melakukan pengintaian di markas Jepang di Malioboro, Yogyakarta. Ketika pasukan Jepang curiga, Pak Harto pun dengan sigap melilitkan scarf yang dipakainya ke kepala Faisal lalu mereka berdua pura-pura menjadi sepasang kekasih. Pasukan Jepang pun akhirnya pergi. Lalu ada juga cerita Sjafrie Sjamsoedin yang meminta Pak Harto memakai helm pengaman (standar PBB) ketika naik pesawat di daerah perang di Zarajevo, namun Pak Harto menolak dan malah menyuruh Sjafrie memasukkan helm itu ke museum Purna Bhakti - Taman Mini ketika pulang nanti...

Pak Harto sangat menyayangi dan memperhatikan bawahannya. Beberapa dari mereka dibiayai dari Pak Harto pribadi untuk mengobatkan anak atau istrinya ke luar negeri. Ada juga yang dibantu untuk bisa mendapatkan rumah dengan proses yang mudah. Ketika kaki pengawalnya bengkak karena asam urat sehingga kesakitan, Pak Harto menyuruh si pengawal memetik daun sigli dari halaman, lalu Pak Harto sendiri yang menempelkan daun itu ke kaki si pengawal yang sakit, setelah daun itu ditumbuk halus oleh Bu Tien. Masih banyak kesaksian-kesaksian lain yang dituturkan dengan haru oleh para bawahannya, yang persentuhan pribadinya dengan Pak Harto membuat mereka menganggap Pak Harto dan Bu Tien sebagai ayah-ibu mereka.

Yang paling unik di buku ini mungkin penuturan Pak Emil Salim tentang ritual gajah. Ternyata setahun sekali gajah memiliki ritual pergi ke laut untuk memperoleh garam. Suatu hari desa yang baru dihuni oleh para transmigran diobrak-abrik oleh segerombolan gajah hingga porak poranda. Rupanya desa itu dibangun di tengah-tengah rute ritual gajah. Awalnya tentara sudah datang untuk segera menembak para gajah. namun Pak Harto langsung melarangnya! Sebaliknya, beliau menyuruh tentara mengawal para gajah untuk kembali masuk hutan lewat jalan yang aman. Jadi, para tentara pun mengganti senapannya dengan terompet dan kentongan untuk menciptakan bunyi-bunyian yang akan menarik para gajah. Bayangkan tentara yang biasanya garang itu akhirnya menangis ketika harus berpisah dengan para gajahnya yang telah mereka kawal...

Kembali ke soal kepemimpinan Pak Harto yang disegani di dunia internasional. Dari penuturan Sutanto (ajudan), ketika ada perdebatan mengenai suatu masalah di antara negara-negara Asia, Pak Harto selalu mempelajari masalah masing-masing negara. Ia memetakan pihak yang pro dan kontra, lalu membagi militansinya menjadi 3 kelompok: lunak, setengah keras dan keras. Pertama ia akan melobi kelompok lunak dulu. Begitu mereka sudah setuju dengan ide Pak Harto, mulailah ia bergerilya pada kelompok setengah keras. Setelah kelompok itu dapat menerima ide Pak Harto, barulah ia berusaha merangkul dan menggandeng yang keras. Kalaupun awalnya mereka menolak ide itu, pada akhirnya di sidang terbuka mereka akan luluh karena sebagian besar sudah setuju.

Dari ajudan Sutanto ini jugalah, anda yang masih penasaran tentang penyebab kematian Bu Tien yang sebenarnya, akan mendapat kepastian yang benar dari buku ini.

Sebenarnya dari dulu aku bertanya-tanya, bagaimana Pak Harto yang latar belakangnya militer, dapat menguasai begitu banyak hal dalam bidang-bidang yang berbeda. Apakah ia memang jenius? Ternyata tidak. Pak Harto memang seorang yang "fast learner". Sejak menjabat presiden, Pak Harto biasa memanggil dan mendengarkan pendapat menteri-menterinya tentang berbagai persoalan, cara pemecahannya, serta alasan-alasannya. Laporan itu kemudian dibawa kepada para pakar/akademisi dari masing-masing bidang, yang kemudian akan memberi penjelasan tentang laporan tersebut kepada Pak Harto. Teori itu langsung dipraktekkan Pak Harto dalam menjalankan pemerintahan. Dan setelah 10 tahun menjabat, ia pun telah menguasai semua bidang yang dibawahinya.

Ada satu lagi "resep" yang membuat Pak Harto berhasil membangun Indonesia dari keadaan terpuruk setelah pecahnya G 30S PKI hingga menjadi negara yang stabil secara politik dan ekonomi. Yang pertama, Pak Harto memiliki visi jangka panjang. Tak seperti para politisi yang visinya hanya sampai Pemilu tahun depan, Pak Harto memikirkan cara Indonesia dapat tinggal landas menuju negara yang lebih berkembang. Kedua, Pak Harto selalu menilai dan memilih menteri-menterinya dengan cermat. Oleh karena itu selama pemerintahan beliau kita tak pernah mendengar istilah re-shuffle--yang kini mulai biasa terjadi hingga akhirnya kita tak tahu lagi menteri siapa yang mejabat apa. Ketiga, Pak Harto dengan disiplin dan cermat menuangkan visinya ke dalam konspep yang jelas. Repelita adalah contohnya. Pak Harto tak hanya mampu memberi instruksi kepada menterinya, namun sekaligus memberikan arahan untuk melaksanakan pekerjaan itu dengan jelas sehingga dapat dijalankan dengan mudah oleh semua bawahannya.

Kalau begitu, buku ini hanya mengagung-agungkan kehebatan Soeharto ya? Tidak juga. Simak pendapat Pak Rachmat Witoelar tentang Pak Harto: "...Pak Harto adalah figur yang hebat. Beliau yang mengangkat masyarakat Indonesia yang terpuruk akibat G 30S PKI. Beliau yang membangun Indonesia sehingga mampu tegak menjadi negara sejahtera dan bermartabat, yang diperhitungkan secara internasioanl; tetapi kemudian kebablasan. Di mata saya, hanya pada kata yang terakhir itu saja kekurangan Pak Harto." ~hlm. 299.

Pada akhirnya, seperti yang juga dikatakan hampir semua narasumber di buku ini, kalau kita mau dengan lapang hati melihat semua hasil pembangunan di masa Pak Harto, maka kita pun akan bisa menghargainya dengan layak. Kita harus ingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai pahlawannya. Hanya kitalah yang bisa menemtukan, apakah bangsa kita layak disebut bangsa yang besar dan bermartabat atau tidak. Pak Harto memang telah tiada, namun warisan pembangunan yang telah ia rintis, sekarang kita nikmati bersama. Termasuk juga mereka-mereka yang telah menjatuhkan dan menghujat beliau di tahun 1998 itu.

Buku Pak Harto: The Untold Stories ini memang tergolong buku mahal, namun menurutku sepadan dengan kerja keras tim penulis untuk merangkum wawancara dari 113 narasumber yang sibuk, dan dengan fakta-fakta kecil nan menarik yang menjadikan kita tahu seperti apa karakter asli Pak Harto di balik apa yang kita saksikan selama ini. Ditambah lagi, kita akan dimanjakan dengan jenis kertas eksklusif yang digunakan untuk mencetak buku ini, serta foto-foto full color Pak Harto dengan banyak orang dalam banyak kesempatan. Benar-benar layak untuk koleksi pribadi!

Dan menutup review ini ijinkan aku untuk mengutip nasihat/falsafah hidup yang diberikan Pak Harto dan diungkapkan oleh dua orang di buku ini,

"Jika kamu memberi sesuatu, tulislah itu di pasir agar dapat terhapus; tetapi jika kamu diberi sesuatu, pahatlah itu di batu, agar selalu teringat."

Empat bintang untuk buku ini!

Judul: Pak Harto: The Untold Stories
Penulis: Mahpudi, bakarudin, Dwitri Waluyo, Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Agustus 2011
Tebal: 609 hlm

7 comments:

  1. Ini buku masuk wishlist sejak terbit tapi blm terbeli karena selain ga yakin sanggup bacanya, juga karena harganya yg naudzubillah~

    ReplyDelete
  2. Sama kayak Oky, dari dulu pengen baca tapi harganya tidak kuattt...nah sekarang, kontroversi pun berlanjut, sanggupkah banga Indonesia mengangkat Pak Harto sebagai pahlawan nasional? errrr ... gimana ya? *ikutan bingung

    ReplyDelete
  3. Aku juga merasa buku ini worthed banget mba. Dan yang paling menarik buatku adalah keseharian cerita tentang keseharian Pak Harto yang sederhana dan cerita tentang Pak Harto dan Bu Tien.

    ReplyDelete
  4. menurutku justru kekurangannya di G30S PKI itulah yang membuat 'luka' para korban tetap tak terpulihkan..

    Hm...aku membayangkan kira-kira apa pandangan Megawati Soekarnoputri jika diminta memberi testimoni tentang pak harto ini?

    ReplyDelete
  5. @helvry: Tapi kalau Pak Harto tak berbuat apa2 saat G 30S PKI, bukan tak mungkin negara kita malah dikuasai oleh PKI...
    Bu Mega tidak buka suara, hanya Pak Kiemas dan Guruh Soekarno Putra

    ReplyDelete
  6. Aku sedikit kecewa baca buku ini.
    Terlalu berharap banyak sih XD

    ReplyDelete
  7. Akhirnya... (buku) Pak Harto yang sempat nginap di bagasi mobilku bareng Genghis Khan terbit juga reviewnya... Maapkan saia (buku) Pak Harto...!

    Sejauh ini aku hampir nggak pernah baca buku bergenre biografi, tapi kalo baca reviewnya mbak Fanda kayaknya bukunya bagus yaaa... Apalagi pas diskonan Periplus kemarin aku sempat dapet biografi Obama, sepertinya memang udah saatnya memperbanyak baca non fiksi :D

    Pingin pinjem, tapi "bobot" si buku bikin males hehehe

    ReplyDelete