Sekitar pertengahan abad 19, ada sepasang kakak beradik Margareth ‘Maggie’ dan Catherine Fox yang mengaku mampu berkomunikasi dengan arwah orang yang meninggal (medium). Karena keahlian ini mereka jadi terkenal di seluruh Amerika, di mana aliran Spiritualisme sedang marak. Namun pada tahun 1888 Maggie membuat pengakuan yang mengejutkan, bahwa apa yang dilakukan Fox Bersaudari selama ini adalah kebohongan—akting semata—yang mereka lakukan karena dorongan kakak tertua mereka Leah, demi mencari keuntungan. Anehnya, tak lama kemudian Maggie meralat pengakuannya, dan pada pengakuan kedua ini ia menandaskan bahwa Fox Bersaudari memang medium yang bisa berkomunikasi dengan arwah—suatu misteri yang tak pernah terpecahkan…
Hingga di sini anda tidak salah baca! Aku bukan hendak mereview sebuah novel historical fiction, melainkan kisah tentang seorang remaja yang menjadi ‘medium’. Masih ingat petualangan Kat dan sahabatnya Jac di Suddenly Supernatural #2 kan? Nah, di sekuel ketiga ini Kat mulai menghadapai bahaya yang sebenarnya dalam ‘profesi’ seorang medium. Kalau di buku kedua Kat masih terasa main-main, kini Kat menghadapi sesuatu yang lebih “gelap”. Yuk intip sedikit kisahnya..
Liburan musim panas kali ini Kat ikut Jac dan mamanya menghadiri konvensi musisi muda yang diadakan di rumah tua bergaya abad 19 yang bernama Whispering Pines Mountain House. Tentu saja Jac yang menghadiri acara-acara bagi para musisi itu, sementara Kat menghabiskan banyak waktunya sendirian. Dan saat pertama kali masuk kamar, Kat sudah berjumpa dengan arwah seorang wanita tua berserban yang memakai pakaian ala jaman Victoria. Wanita itu adalah Madame Serena. Si madame (dulunya) seorang medium juga, dan tak menyadari bahwa dirinya telah meninggal. Lucunya, ia malah mengira Kat lah yang berada di ‘dunia lain’, bukan kebalikannya…
Madame Serena dulu tinggal di Whispering Pines, dan menempati kamar yang saat ini ditempati Kat. Ia masih terobsesi untuk membantu kliennya, istri Kolonel, untuk “menghubungi” Loretta tercintanya. Berkali-kali ia mencoba, namun Madame Serena selalu gagal. Ia sedih, karena saat itu hanya istri Kolonel lah yang percaya kepadanya, sementara orang-orang lain menganggapnya medium bohongan. Mengapa? Kembali lagi, semuanya karena ribut-ribut pengakuan Maggie Fox yang membuat Spiritualisme dicemooh dan dianggap penipuan. Dan kini, tugas Kat lah untuk “mengirim” Madame Serena ke jalur ke mana ia seharusnya menuju.
Andai hanya sesederhana itu, pasti buku ini akan super duper membosankan. Untungnya, Kat menemukan tantangan lain. Kali ini bukan sekedar arwah orang meninggal, namun lebih dahsyat dari itu: sebuah entitas kegelapan yang cenderung merasuki dan mengendalikan manusia untuk berbuat jahat. Entitas itu berbentuk awan hitam nan pekat—mengingatkanku pada dementor di kisah Harry Potter—yang menyedot habis dan mencuri energi makhluk yang dirasukinya. Dan saat ini Kat sendirian di hotel, tanpa ibunya dan tanpa Orin (semacam guru dan teman ibunya) di sampingnya. Ia harus berjuang sendirian melawan si entitas gelap. Atau... apakah ia benar-benar sendirian?
Sampai sini anda merasa buku ini terlalu “gelap”? Jangan khawatir, Elizabeth Cody Kimmel tetap menyisipkan hal-hal khas remaja, terutama lewat sosok Jac. Di konvensi ini Jac—yang masih tetap tak akur dengan ibunya—asyik menikmati perhatian dari seorang cowok sesama peserta konvensi, sampai-sampai mengacuhkan Kat dan bahkan bertengkar dengannya. Sekali lagi tersisip indahnya persahabatan di kisah ini.
Ada hal yang menarik bagiku—selain secuplik fakta sejarah yang terselip di sini—yaitu nasihat dari Orin saat Kat harus menghadapi bahaya si entitas jahat:
“Segala bentuk cahaya terang adalah musuh makhluk ini. Energi terang adalah energi cinta, kebaikan, dan kemurahan hati. Energi gelap adalah energi kebencian dan kehancuran.” ~hlm. 153.“Seorang manusia, tak peduli selemah apa pun, bisa melindungi dirinya dari kerasukan fisik dengan doa sederhana atau dengan memanggil kekuatan apa pun yang mereka yakini, jika mereka tahu caranya. …Pikirkan sebuah bintang yang akan meledak menjadi supernova. Tambahkan dengan cinta. Setiap emosi kepedulian dan kasih sayang yang bisa kau bangkitkan.” ~hlm. 153.
Kali ini secara keseluruhan, Kat sudah lebih dewasa dari petualangannya yang terakhir, dengan problema yang lebih “nyata” juga. Karena masalah kerasukan itu adalah masalah yang nyata, kadang dalam bentuk ekstrem yang membuatnya si manusia menjerit-jerit atau lainnya, namun kadang bentuknya lebih pasif—membuat seseorang terdorong untuk bunuh diri. Pada saat-saat itulah, seperti nasihat Orin, yang harus dilakukan hanya satu: berdoa sambil tetap percaya bahwa Yang Baik lah yang akan menang.
Lalu, akankah Kat berhasil mengusir si entitas jahat untuk selamanya? Apakah Jac berhasil mencuri hati si cowok? Dan mengapa sekuel ini diberi judul medium yang tidak bahagia? Kau harus menemukan jawabannya sendiri deh...
Tiga bintang untuk buku ini!
Judul: Suddenly Supernatural #3: Medium Yang Tidak Bahagia
Penulis: Elizabeth Cody Kimmel
Penerjemah: Barokah Ruziati
Penerbit: Atria
Terbit: Desember 2011
Tebal: 217 hlm
Thanks Mbak Fanda :)
ReplyDeletewah, aku punya buku kesatu tapi masih di daftar to read deh =D dr dulu penasaran sama serial ini, mudah2an lanjut terussss diterbitin atria ya
ReplyDelete