Jika Pagford
diibaratkan sebagai sebuah kolam yang tenang, maka kematian Barry Fairbrother
adalah sebutir kerikil mungil yang jatuh ke tengahnya.
Pagford Parish
adalah daerah pemerintahan terkecil di distrik Yarvil, Inggris—kalau di negara kita
mungkin setingkat dengan kelurahan—yang amat bangga dengan sejarah panjangnya,
dan orang-orang terhormat yang pernah mendiaminya. Pagford adalah warisan yang
ingin dipertahankan oleh para penghuninya tetap seperti semula. Maka ketika
para pendatang baru membawa nilai-nilai moral yang mulai luntur (obat bius,
seks bebas, dll), dimulailah perseteruan panjang antara penghuni lama Pagford
dan kalangan The Fields (sebutan para pendatang baru itu) yang sudah
berlangsung selama 60 tahun.
Dari luar,
Pagford nampak seperti pedesaan yang asri dan tenang, persis seperti kolam yang
airnya tenang. Hingga seorang anggota wakil rakyat Pagford yang ceria dan
energik bernama Barry Fairbrother mendadak meninggal di parkiran klub golf
setempat. Bak sebutir kerikil mungil yang jatuh ke kolam yang tenang, peristiwa
kematian Barry itu menimbulkan riak-riak yang menggoncangkan seluruh permukaan ‘kolam’
Pagford. Yang menarik adalah, bagaimana kematian satu orang saja bisa mengubah
kehidupan begitu banyak pribadi dan keluarga?
Kematian
Barry menimbulkan “casual vacancy” yaitu ketika kursi dewan yang mewakili
Pagford Parish di Distrik Yarvil (district = setingkat lebih rendah dari
county) kosong. Barry termasuk dalam kalangan pendatang baru yang ingin
mempersatukan The Fields dan Pagford, karena itu, meski secara pribadi
orang-orang berduka, namun bagi sebagian kecil ‘first citizens’ Pagford kematian
Barry merupakan ‘blessing in disguise’. Dengan adanya ‘casual vacancy’ para
pro-Pagford akan mampu mempertahankan status quo kehormatan mereka dari serbuan
pengaruh The Fields.
Keluarga Mollison
adalah yang pertama-tama mencalonkan diri untuk menempati kursi yang
ditinggalkan Barry Fairbrother, melalui Miles, putra Howard Mollison (salah
satu penduduk terpandang di Pagford). Kemudian di sebuah rumah kecil di atas
bukit di perbatasan Pagford, Simon Price—laki-laki pemarah yang suka menyiksa
istri dan putra-putranya—tiba-tiba terinspirasi untuk mencalonkan diri pula.
Terakhir ada Collin Wall, kepala sekolah di The Fields yang juga maju menantang
kedua calon tersebut.
Hingga di
sini, buku ini nampaknya membosankan dengan politik tingkat kelurahannya
yang..yah..membosankan :) Namun J.K. Rowling ternyata belum kehilangan
kemampuan ‘sihirnya’ yang telah terbukti ‘ampuh’ di Harry Potter. Dengan
menghadirkan banyak tokoh (tokoh utamanya saja paling tidak 20 orang) dari
beberapa keluarga, Rowling menganyam konflik demi konflik; konflik dalam
keluarga, konflik antar teman sekolah, konflik antar keluarga. Ada istri yang
tidak bahagia dalam perkawinannya dan mulai mengidolakan anggota band yang
muda-berotot. Ada ibu pecandu obat bius yang menjual diri demi mendapat pasokan
obat bius. Ada remaja tidak bahagia yang terobsesi untuk menjadi ‘authentic’ dengan
melakukan kekejaman. Ada remaja yang menganggap mengiris lengannya sendiri
adalah obat untuk memerangi sakit hati akibat penghinaan. Namun ada juga tokoh-tokoh
yang seolah sempurna, padahal mereka pun menyimpan sebuah rahasia kelam.
Dan ketika
masing-masing calon dewan tadi mulai berkampanye, muncullah artikel-artikel di
website Pagford Parish yang mengungkap rahasia-rahasia memalukan para kandidat,
semuanya ditulis dengan menggunakan nama samaran ‘Hantu Barry Fairbrother’. Dan
bersama dengan si Hantu, perlahan-lahan, Rowling menelanjangi satu per satu
rahasia masing-masing tokoh, yang ia ungkap di masing-masing bab. Dari bab ke
bab kita diajak untuk semakin penasaran, mengapa si A begitu membenci si B?
Apakah si B diam-diam mencintai si C?... dan seterusnya. Membaca The Casual
Vacancy ini bak mengupas sebutir bawang merah, selapis demi selapis kita buka
untuk menemukan apa yang kita inginkan.
Bagi penggemar
Harry Potter, jangan berharap bahwa The Casual Vacancy akan penuh dengan aksi heroik
dari tokoh-tokoh yang bisa kita cintai. Boleh dibilang, hampir tak ada tokoh di
sini yang bisa kita cintai, seperti halnya Hermione Granger atau Ron Weasley.
Kita mungkin akan muak dan membenci mereka, karena kebodohan mereka, karena
kebobrokan moral mereka. Namun sebenarnya, dari apa yang mereka alami, kita
dapat belajar banyak tentang kehidupan dan tentang manusia.
Misalnya,
dari tokoh ibu pecandu obat bius yang boleh dibilang telah jatuh di lumpur yang
paling hina (pecandu, pelacur, tak becus mengurus anak); kita harus menyadari
bahwa ia menjadi seperti itu karena banyak alasan, dan yang bila dirunut jauh
ke belakang, mungkin karena ia mengalami masa kecil yang kelam. Dari beberapa
kasus kita bisa melihat, bahwa cinta kasih dan perhatian adalah hal mutlak yang
dibutuhkan manusia, dan kekurangan unsur itu akan menyebabkan kejatuhan moral
dan kelemahan mental. Karena itu kita juga diajak Rowling untuk tidak cepat
menjatuhkan penghakiman terhadap orang lain. Tiap orang memiliki latas
belakangnya masing-masing, yang akan membentuk dirinya saat dewasa.
The Casual
Vacancy bukanlah kisah Grifindor melawan Slytherin, bukan kisah penyihir putih
melawan penyihir hitam. The Casual Vacancy adalah kisah kita semua, yang dengan
kelemahan kita masing-masing selalu berjuang untuk menjadi baik, namun seringkali
justru melakukan kebodohan-kebodohan yang memalukan, yang kita simpan
rapat-rapat agar dunia tak mengetahuinya. The Casual Vacancy bertutur tentang
bagaimana mereka menghadapi kejatuhan, ada yang kuat dan mampu bangkit untuk menjadi lebih
baik, namun ada pula yang lemah dan terpaksa membiarkan diri makin terpuruk. Ya, The Casual Vacancy
adalah kisah tentang dunia yang sangat nyata, tentang orang-orang biasa seperti
kita. Membosankan? Sama sekali tidak!
Sekali lagi,
bagi yang mengharapkan sesuatu seperti Harry Potter, anda akan kecewa. Alur The
Casual Vacancy mengalir dengan cukup lambat seperti kisah drama pada umumnya, namun J.K. Rowling mampu menjaga rasa penasaran kita dengan menguak sedikit
demi sedikit rahasia tokoh-tokohnya. Kisah ini juga bukan kisah yang cocok
untuk remaja karena bertebaran kata-kata kasar seperti fu**ing, b*tch, s*agging,
juga penggambaran lumayan eksplisit tentang adegan seksual. Jelas bukan buku
untuk menghibur diri, melainkan bacaan sarat emosi yang membantu kita menjalani
hidup kita sendiri.
Empat
bintang kuberikan untuk The Casual Vacancy, sebuah tonggak yang berhasil ditancapkan
J.K. Rowling untuk keluar dari romantisme epic Harry Potter, dan menulis kisah
yang lebih membumi dan lebih berbobot dengan gaya khasnya yang sama cantiknya seperti
yang kita dapati di Harry Potter. Sayang, ending kisah ini kurang menggigit
emosi, yang menghalangiku menambahkan 1 bintang lagi yang akan menjadikannya
sempurna…
Judul: The
Casual Vacancy
Penulis:
J.K. Rowling
Versi: ebook
Terbit:
September 2012
Halaman: 335
(versi MS Word)
Dari awal aku memang nggak berniat membandingkannya dengan Harry Potter, karena genre dan segmen yang disasar jelas beda. Sepertinya sih ceritanya cukup menarik, dan nama JKR sudah jadi jaminan mutu (aku pribadi percaya beliau mampu menciptakan cerita yang bagus, baik sihir maupun non-sihir), tapi sampai sekarang aku belum tertarik untuk membacanya sendiri... maybe later (God knows when that "later" will be) :D
ReplyDeleteYang aku paling suka adalah intensnya JKR menulis tentang para tokohnya, begitu dalam sampai2 kita merasa kenal dengan mereka.. :)
DeleteWow.. udah beres bacanya, mbak?
ReplyDeleteKalau baca reviewnya mbak Fanda, kayaknya saya nunggu terjemahannya aja deh.. takut pusing sama banyaknya tokoh, dan polotik tingkat kelurahannya itu... hehe.
Tapi gimana mbak ebooknya? Bahasanya mudah dipahami ga? Atau agak-agak klasik gitu?
Bahasanya lumayan mudah dipahami, hanya memang beberapa kali muncul kata2 yang tidak umum, harus cari bantuan Google Translate. Kadang2 juga kena bahasa slang, lagi2 untung ada om Google :) Kalau terjemahan, masih tanda tanya seberapa bagus penerjemah bisa menerjemahkan emosi yg keluar lewat umpatan atau kata-kata kasar itu hingga sesuai dengan emosi aslinya di buku.
Deletecovernya kok polosan?
ReplyDelete