Harga : Rp 45.000,-
Hergé telah meninggalkan dunia ini bertahun-tahun lalu, namun ada satu karyanya yang belum sempat dipublikasikan, yakni Tintin dan Alpha Art. Karya ini masih dalam taraf pembuatan ketika ditinggalkan selamanya oleh pembuatnya, namun justru itulah yang membuatnya semakin unik, karena merupakan warisan terakhir Hergé, sekaligus membuat kita lebih mengenal liku-liku pembuatan serial komik yang melegenda ini.
Membaca Tintin dan Alpha Art seolah menghampiri meja kerja Hergé dan mengintip kertas-kertas yang penuh coretan ide cerita, sketsa gambar maupun susunan dialog tokoh-tokohnya. Memang, tidak seperti komik Tintin yang lain, yang colorful dan tersusun dengan rapi jalan ceritanya, komik ini hanya berupa kumpulan sketsa. Ya, komik ini memang hasil karya Hergé yang belum selesai. Di tengah pembuatannya, Hergé meninggal, namun berpesan bahwa tidak ada seorangpun yang boleh menyelesaikannya kecuali dirinya. Maka cerita yang menggantung dan sketsa kasarnya tetap dipertahankan, namun kemudian disusun kembali sehingga enak dibaca dan diikuti.
Hergé telah meninggalkan dunia ini bertahun-tahun lalu, namun ada satu karyanya yang belum sempat dipublikasikan, yakni Tintin dan Alpha Art. Karya ini masih dalam taraf pembuatan ketika ditinggalkan selamanya oleh pembuatnya, namun justru itulah yang membuatnya semakin unik, karena merupakan warisan terakhir Hergé, sekaligus membuat kita lebih mengenal liku-liku pembuatan serial komik yang melegenda ini.
Membaca Tintin dan Alpha Art seolah menghampiri meja kerja Hergé dan mengintip kertas-kertas yang penuh coretan ide cerita, sketsa gambar maupun susunan dialog tokoh-tokohnya. Memang, tidak seperti komik Tintin yang lain, yang colorful dan tersusun dengan rapi jalan ceritanya, komik ini hanya berupa kumpulan sketsa. Ya, komik ini memang hasil karya Hergé yang belum selesai. Di tengah pembuatannya, Hergé meninggal, namun berpesan bahwa tidak ada seorangpun yang boleh menyelesaikannya kecuali dirinya. Maka cerita yang menggantung dan sketsa kasarnya tetap dipertahankan, namun kemudian disusun kembali sehingga enak dibaca dan diikuti.
Yang perlu dicatat adalah nama tokoh-tokoh utama dalam serial Tintin. Dalam edisi aslinya, yakni dalam bahasa Perancis, nama beberapa tokoh berbeda dengan edisi terjemahannya. Snowy, si anjing mungil nan cerdik yang tak bisa lepas dari tuannya, di edisi aslinya bernama Milou, dan diterjemahkan di sini sebagai Milo. Calculus, sang profesor genius namun pikun, disebut Lakmus. Sedang si kembar detektif Thompson dan Tompson menjadi Dupont dan Dupond.
Alpha Art sendiri adalah suatu hasil kreasi seni yang berdasar pada huruf-huruf alphabet. Bagaimana Tintin dan Kapten Haddock bisa terlibat dengan urusan galeri dan seni ini? Semuanya bermula ketika Bianca Castafiore, si burung Milan, menelpon ke kastil kediaman Kapten Haddock. Seperti biasanya, ia selalu keliru melafalkan nama Haddock menjadi Kapstock, Shadock, Paddock, Karbock... (kalau diteruskan anda bisa terkekeh-kekeh sendiri!). Castafiore bakal datang menemui ‘kekasihnya’ karena ia sedang mengagumi seorang guru aliran kebatinan bernama Endaddine Akkas, dan akan sekalian mampir ke Moulinsart (di edisi terjemahannya menjadi Marlinspike). Kapten Haddock, yang seperti biasa panik karena akan bertemu Castafiore, menghindar dengan berjalan-jalan ke pusat kota. Tapi, tak dinyana justru di situ ia melihat Castafiore beserta rombongannya hendak lewat. Maka ia cepat-cepat masuk ke bangunan terdekat, yang ternyata sebuah galeri seni bernama Fourcart.
Sialnya, tatkala melewati galeri itu Castafiore justru ingin masuk karena di sana terpajang karya dari pelukis favoritnya, Ramó Nash, yang sedang memamerkan kreasi alphabetnya. Maka Kapten Haddock cepat-cepat masuk ke ruangan terdekat, dan di situ bertemu dengan Tuan Fourcart, direktur galeri, yang lalu menitipkan pesan untuk Tintin bahwa ia ingin menemuinya. Selain itu, Kapten yang malang tergoda rayuan Ramó Nash untuk membeli sebuah huruf H besar terbuat dari acrylic yang katanya adalah koleksi Alpha Art pribadi. Jadi, begitulah awal dari petualangan ini. Seperti biasa, di setiap kehadirannya, Castafiore selalu membawa bencana sekaligus petualangan yang menarik ya?
Seperti janjinya, Tuan Fourcart (pemilik galeri) membuat janji pertemuan dengan Tintin. Namun setelah ditunggu-tunggu, Tuan Fourcart tak pernah datang, hingga keesokan harinya tersiar berita bahwa beliau meninggal dalam kecelakaan mobil. Selain itu ada pula seniman besar lainnya yang lebih dulu meninggal. Maka, insting detektif si wartawan muda Tintin mulai bekerja. Berarti ini bukan kebetulan. Direktur itu ingin bertemu, lalu ia mati. Pasti ada sesuatu yang penting (mungkin rahasia) yang ingin disampaikannya, yang menyebabkan ia mati.
Ia pun menelusuri jejak sang direktur galeri dari asisten sang direktur sampai ke bengkel yang mereparasi mobil celaka itu. Di lain pihak, muncul juga tokoh Emir Ben Kalish Ezab yang berputerakan bocah paling nakal sedunia: Abdullah (masih ingat kan bagaimana hebohnya Abdullah kalau bertemu dengan Kapten?? – di Negeri Emas Hitam). Beliau ingin membangun sebuah museum seni. Tuh kan...seni lagi... Apa hubungan semua ini?
Ada kejadian lucu saat Tintin yang penasaran dengan Endaddine Akkas, datang ke acara sang guru spiritual. Di saat sang guru sedang menghipnotis hadirin, eh..Kapten Haddock bersin-bersin keras sekali sehingga mengacaukan acara. Lalu ketika sang guru mengucapkan mantranya “Aom..”, Kapten malah berujar: “Bunyinya mirip band desa Moulinsart (tempat tinggalnya), Po-pom, po-pom, po-pom...” Hehehehe....selalu saja berbuat iseng di saat yang tidak tepat Kapten kita ini!
Saat di acara itu, pikiran Tintin mulai terbuka akan misteri yang sedang berlangsung. Namun, seperti pada kisah detektif umumnya, saat-saat itulah yang paling berbahaya bagi seorang detektif. Yaitu saat petualangan berubah dari pengejaran seru menjadi pertaruhan hidup-mati yang berbahaya. Dan di saat itulah Tintin tertangkap oleh penjahat-penjahat yang tidak ingin rahasianya terbongkar oleh sang wartawan muda. Rahasia apa? Dan siapakah penjahat itu? Rasanya lebih seru kalau anda membaca sendiri langsung dari bukunya. Tapi, jangan salahkan aku kalau anda kecewa, karena..seperti sudah aku singgung di atas, kisah ini tidak tamat alias terpenggal di tengah-tengah (dan payahnya, pas lagi tegang-tegangnya...).
Di halaman-halaman akhir ada serangkaian sketsa yang dibuat ketika Hergé sedang mengeksplorasi jalan cerita kisah ini. Ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang ia kembangkan. Salah satunya menampilkan tokoh duta besar Sondonesia (maksudnya Indonesia mungkin ya?!). Semuanya masih konsep kasar, dan Hergé sendiri belum memutuskan jalan cerita mana yang nantinya akan ia pakai. Namanya juga masih belum selesai?
Anyway, justru semua ketidak-pastian ini yang menurutku makin membuat buku ini semakin menarik. Tak ada yang pernah tahu akhir ceritanya, maka kita pun bebas merangkai kisah kita sendiri, atau bagi yang mahir menggambar komik, mungkin saja anda bisa belajar banyak dari coretan-coretan sang Maestro ini. Dari buku yang tak selesai, bisa muncul begitu banyak kreatifitas. Bukankah itu lebih menarik daripada membaca kisahnya sendiri (toh kita tahu pasti si Tintin pasti akan bebas, entah ditolong oleh Kapten yang membawa polisi, atau oleh si kembar detektif yang kebetulan sedang berada di tempat itu, atau oleh si Snowy, eh..Milo... (tuh kan aku sudah mulai berkreasi sendiri!)...
Ada yang mau membagikan kisah akhir Tintin dan Alpha Art menurut kreasinya sendiri mungkin?
Alpha Art sendiri adalah suatu hasil kreasi seni yang berdasar pada huruf-huruf alphabet. Bagaimana Tintin dan Kapten Haddock bisa terlibat dengan urusan galeri dan seni ini? Semuanya bermula ketika Bianca Castafiore, si burung Milan, menelpon ke kastil kediaman Kapten Haddock. Seperti biasanya, ia selalu keliru melafalkan nama Haddock menjadi Kapstock, Shadock, Paddock, Karbock... (kalau diteruskan anda bisa terkekeh-kekeh sendiri!). Castafiore bakal datang menemui ‘kekasihnya’ karena ia sedang mengagumi seorang guru aliran kebatinan bernama Endaddine Akkas, dan akan sekalian mampir ke Moulinsart (di edisi terjemahannya menjadi Marlinspike). Kapten Haddock, yang seperti biasa panik karena akan bertemu Castafiore, menghindar dengan berjalan-jalan ke pusat kota. Tapi, tak dinyana justru di situ ia melihat Castafiore beserta rombongannya hendak lewat. Maka ia cepat-cepat masuk ke bangunan terdekat, yang ternyata sebuah galeri seni bernama Fourcart.
Sialnya, tatkala melewati galeri itu Castafiore justru ingin masuk karena di sana terpajang karya dari pelukis favoritnya, Ramó Nash, yang sedang memamerkan kreasi alphabetnya. Maka Kapten Haddock cepat-cepat masuk ke ruangan terdekat, dan di situ bertemu dengan Tuan Fourcart, direktur galeri, yang lalu menitipkan pesan untuk Tintin bahwa ia ingin menemuinya. Selain itu, Kapten yang malang tergoda rayuan Ramó Nash untuk membeli sebuah huruf H besar terbuat dari acrylic yang katanya adalah koleksi Alpha Art pribadi. Jadi, begitulah awal dari petualangan ini. Seperti biasa, di setiap kehadirannya, Castafiore selalu membawa bencana sekaligus petualangan yang menarik ya?
Seperti janjinya, Tuan Fourcart (pemilik galeri) membuat janji pertemuan dengan Tintin. Namun setelah ditunggu-tunggu, Tuan Fourcart tak pernah datang, hingga keesokan harinya tersiar berita bahwa beliau meninggal dalam kecelakaan mobil. Selain itu ada pula seniman besar lainnya yang lebih dulu meninggal. Maka, insting detektif si wartawan muda Tintin mulai bekerja. Berarti ini bukan kebetulan. Direktur itu ingin bertemu, lalu ia mati. Pasti ada sesuatu yang penting (mungkin rahasia) yang ingin disampaikannya, yang menyebabkan ia mati.
Ia pun menelusuri jejak sang direktur galeri dari asisten sang direktur sampai ke bengkel yang mereparasi mobil celaka itu. Di lain pihak, muncul juga tokoh Emir Ben Kalish Ezab yang berputerakan bocah paling nakal sedunia: Abdullah (masih ingat kan bagaimana hebohnya Abdullah kalau bertemu dengan Kapten?? – di Negeri Emas Hitam). Beliau ingin membangun sebuah museum seni. Tuh kan...seni lagi... Apa hubungan semua ini?
Ada kejadian lucu saat Tintin yang penasaran dengan Endaddine Akkas, datang ke acara sang guru spiritual. Di saat sang guru sedang menghipnotis hadirin, eh..Kapten Haddock bersin-bersin keras sekali sehingga mengacaukan acara. Lalu ketika sang guru mengucapkan mantranya “Aom..”, Kapten malah berujar: “Bunyinya mirip band desa Moulinsart (tempat tinggalnya), Po-pom, po-pom, po-pom...” Hehehehe....selalu saja berbuat iseng di saat yang tidak tepat Kapten kita ini!
Saat di acara itu, pikiran Tintin mulai terbuka akan misteri yang sedang berlangsung. Namun, seperti pada kisah detektif umumnya, saat-saat itulah yang paling berbahaya bagi seorang detektif. Yaitu saat petualangan berubah dari pengejaran seru menjadi pertaruhan hidup-mati yang berbahaya. Dan di saat itulah Tintin tertangkap oleh penjahat-penjahat yang tidak ingin rahasianya terbongkar oleh sang wartawan muda. Rahasia apa? Dan siapakah penjahat itu? Rasanya lebih seru kalau anda membaca sendiri langsung dari bukunya. Tapi, jangan salahkan aku kalau anda kecewa, karena..seperti sudah aku singgung di atas, kisah ini tidak tamat alias terpenggal di tengah-tengah (dan payahnya, pas lagi tegang-tegangnya...).
Di halaman-halaman akhir ada serangkaian sketsa yang dibuat ketika Hergé sedang mengeksplorasi jalan cerita kisah ini. Ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang ia kembangkan. Salah satunya menampilkan tokoh duta besar Sondonesia (maksudnya Indonesia mungkin ya?!). Semuanya masih konsep kasar, dan Hergé sendiri belum memutuskan jalan cerita mana yang nantinya akan ia pakai. Namanya juga masih belum selesai?
Anyway, justru semua ketidak-pastian ini yang menurutku makin membuat buku ini semakin menarik. Tak ada yang pernah tahu akhir ceritanya, maka kita pun bebas merangkai kisah kita sendiri, atau bagi yang mahir menggambar komik, mungkin saja anda bisa belajar banyak dari coretan-coretan sang Maestro ini. Dari buku yang tak selesai, bisa muncul begitu banyak kreatifitas. Bukankah itu lebih menarik daripada membaca kisahnya sendiri (toh kita tahu pasti si Tintin pasti akan bebas, entah ditolong oleh Kapten yang membawa polisi, atau oleh si kembar detektif yang kebetulan sedang berada di tempat itu, atau oleh si Snowy, eh..Milo... (tuh kan aku sudah mulai berkreasi sendiri!)...
Ada yang mau membagikan kisah akhir Tintin dan Alpha Art menurut kreasinya sendiri mungkin?