Pengarang : Daniel Keyes
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta, 2006
Halaman : 457
Ini sebuah karya yang menakjubkan, lain daripada yang lain. Flowers for Algernon membuka mata kita akan dampak perlakuan kita terhadap orang lain, dan mengajarkan kepada kita untuk tidak pernah membeda-bedakan sesama kita. Charlie Gordon menunjukkan kepada kita bahwa kepandaian malah sering membuat kita kurang bijakasana dalam hidup.
------
Adalah seorang pemuda bernama Charlie Gordon yang ber-IQ rendah alias idiot atau terbelakang. Keluarganya ditawari oleh sebuah universitas untuk memasukkan Charlie ke dalam suatu eksperimen yang diyakini dapat menstimulasi otak sehingga orang yang ber-IQ rendah akan menjadi genius. Percobaan ini sudah dilakukan pada seekor tikus yang diberi nama Algernon, dan kini si tikus menjadi tikus jenius yang dapat memainkan permainan-permainan yang menantang intelegensi.
Sebelum operasi dilakukan, Charlie disuruh menulis semacam diary tentang apa yang ia pikirkan sehari-hari, agar hasil dari eksperimen itu dapat terus dipantau. Nah, disinilah salah satu keunikan buku ini. Sebenarnya cerita Flowers for Algernon ini mengalir dari kumpulan diary si Charlie itu. Tanpa bantuan narasi, kita akan mengetahui perkembangan otak Charlie lewat tulisan-tulisannya pada diary itu. Inilah contoh salah satu tulisannya sebelum operasi dilakukan:
Lapran kemajan 1 tanggal 3 mart
Dr Strauss bilang aku harus nulis apa yang kupikir dan kuingat serta segla yang terjadi padaku mulai sekarang dan seterusnya. Aku tidak tahu mengaapa tetapi ia bilang itu pinting supaya mereka bisa melihat apakah mereka bisa memakai aku atau tidak...Aku kreja di toko kwe Donners...Umurku 32 taun dan blan depn itu ulagn tahnku.
Jangan heran kalau di situ terdapat banyak salah eja, tata bahasa yang aneh dan kosa kata yang terbatas untuk seorang pemuda berusia 32 tahun. Ingat! Dia kan terbelakang?
Siapa sebenarnya Charlie dalam kesehariannya? Pada usia 17 tahun ia diterima bekerja di sebuah pabrik roti milik teman karib ayahnya, Mr. Donners yang telah bersumpah bahwa selama pabrik roti itu masih berdiri, akan selalu ada pekerjaan untuk Charlie, termasuk makan dan penginapan. Bila tidak ada yang memberinya pekerjaan, maka Charlie harus masuk ke asrama khusus anak terbelakang bernama Panti Warren. Dan di sana, ia akan merasa terbuang dari kehidupan sosial dan dari peradaban.
Maka Charlie bekerja di pabrik roti Donners sebagai tukang bersih-bersih gedung termasuk toilet, dan pengantar roti. Dengan kesederhanaannya Charlie merasa bahagia. Padahal ia sering menjadi bulan-bulanan teman-teman kerjanya. Misalnya ketika ada yang tiba-tiba menjegal kakinya sehingga ia jatuh terjengkang, atau ada yang mencekokinya dengan wiski sehingga mabuk dan mempermalukan diri di depan pengunjung bar. Dan teman-temannya akan mentertawakan Charlie. Namun Charlie, karena tak mengerti apa yang terjadi, dan bahwa perlakuan itu salah, merasa bahwa semua orang tertawa karena ia telah membuat mereka bahagia. Maka ia pun ikut tertawa dan bahagia!
Lalu bagaimana dengan keluarganya? Mereka sudah tak sanggup menerima Charlie dalam rumah mereka. Ibunya tidak dapat menerima keadaan Charlie sehingga selalu menuntut Charlie bersikap seperti anak normal. Kalau tidak, ibunya akan memukuli Charlie, dan ini membuat Charlie ketakutan. Adik perempuannya yang normal juga tidak dapat menerima kakaknya karena malu pada teman-temannya. Hanya ayahnya seorang yang dapat mencintai Charlie apa adanya, namun ia pun tak berdaya untuk membesarkannya sendirian. Karena itu ia menitipkannya pada temannya si pengusaha roti.
Di pusat penelitian, Charlie bergaul dengan beberapa profesor yang menangani eksperimen itu, dan seorang guru khusus orang-orang terbelakang, yakni Miss Kinnian. Dari diary atau laporan yang ia tulis setiap hari kita bisa melihat bahwa kepandaian Charlie memang berangsur-angsur meningkat. Itu dapat dicermati dari penggunaan kata-kata yang lebih wajar, kosakata lebih bervariasi, dan kesalahan ejaan yang semakin sedikit. Dan itu terjadi sedikit demi sedikit, sehingga kalau kita tidak cermat, kita akan tiba-tiba berhadapan dengan sosok Charlie yang jenius (memang hebat Daniel Keyes yang menulis buku ini!).
Demikianlah, seiring dengan kepandaian yang kian tinggi, Charlie kini dapat melihat kembali semua kejadian dari saat ia kecil hingga sebelum operasi, dari sudut pandang yang benar. Ia sadar bahwa ibu dan adiknya telah menolaknya, ia pun tahu bahwa teman-temannya bukan tertawa karena bahagia, namun karena mereka mempermainkannya. Dan ia pun merasa sakit...
Contoh lain adalah ketika adik Charlie, Norma, lulus sekolah dan minta dibelikan anjing peliharaan. Sang ibu ingin mengabulkannya karena ia lebih cinta pada sang anak bungsu yang normal ketimbang kakaknya yang terbelakang. Namun sang ayah mengingatkan bahwa mereka dulu juga tidak mengijinkan Charlie memelihara anjing. Itu akan tidak adil baginya. Namun Norma berkeras minta anjing karena ia kan lulus ujian, sedang Charlie kan tidak?
Mendengar itu, Charlie berkata bahwa ia tidak keberatan jika mereka hanya punya seekor anjing. Ia berjanji akan merawat dan memberinya makan. Tapi Norma malah meraung-raung marah dan berlari pergi. Waktu itu Charlie tak mengerti kenapa Norma malah marah. Apa salahnya? Padahal ia rela untuk merawat anjing itu bagi adiknya karena ia merasa kasihan pada Norma yang begitu ingin punya anjing. Namun sekarang, tahulah ia bahwa Norma membencinya sebab ia terbelakang...
Semua kilasan kejadian itu silih berganti datang bagai film, dan sekarang mengertilah ia siapa ‘Charlie’ yang dulu. Sementara itu di pabrik roti teman-temannya yang melihat kejanggalan pada Charlie mulai menjauh darinya. Terutama setelah ia menyadari bahwa pegawai yang menjadi kasir ternyata korupsi. Ia menulis nota dengan jumlah yang lebih kecil dari uang yang ia dapat, jelas bahwa kelebihan itu masuk ke kantongnya. Di sini Charlie mulai dihadapkan pada soal moral (yang tak perlu dihadapi ‘Charlie’ yang dulu). Ia pun kaget saat tubuhnya bereaksi secara sexual, baik ketika ia panas dingin, gemetaran saat berdekatan dengan gadis pujaannya (yang tak lain adalah gurunya Alice Kinnian), maupun saat mendapat mimpi basah.
Namun di luar semuanya itu, baru kali itu Charlie merasa kesepian, disingkirkan. Saat ia menjadi semakin pandai, teman-teman kerjanya merasa minder, merasa diri mereka kelihatan bodoh, dan puncaknya mereka minta sang bos memecat Charlie. Alice pun merasa bahwa percakapan mereka sering tidak ‘nyambung’ karena perkembangan otak Charlie yang demikian pesat. Ia sekarang mahir berbicara tentang studi ilmiah, kasus politik dan ilmu ekonomi yang rumit. Bahkan banyak profesor yang ahli di bidangnya menghindar ketika diajak debat oleh Charlie.
Saking jeniusnya, ia akhirnya menemukan kejanggalan pada Algernon, si tikus jenius. Tingkahnya aneh belakangan ini, dan ketika disuruh bermain, ia kelihatan linglung (persis seperti tikus normal ketika disuruh bermain dengan mainan manusia). Maka, sadarlah Charlie bahwa operasi yang telah dilakukan padanya dan Algernon memang membuat otak mereka berdua berkembang demikian pesat, namun setelah titik tertentu akan menurun dengan lebih cepat lagi hingga mungkin akhirnya keadaannya akan lebih buruk daripada sebelum operasi!
Charlie sadar akan nasibnya, maka ia melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia berusaha menemukan ayah dan ibunya yang telah bercerai. Mungkin juga Norma, bila ia masih mau menemuinya. Charlie ingin membuktikan kepada mereka bahwa ia akhirnya dapat menjadi pemuda yang normal. Tapi ia tidak bercerita tentang dampak eksperimen itu, karena ia ingin mereka tetap mengenangnya sebagai Charlie yang pintar dan normal.
Maka sekali lagi, perlahan-lahan diary Charlie pun berubah. Kalimat-kalimat yang ditulisnya semakin singkat. Kata-katanya semakin sederhana, dan akhirnya ejaannya semakin kacau. Ya, Charlie telah kembali menjadi terbelakang, bahkan mungkin IQ-nya sekarang bahkan lebih rendah daripada sebelum operasi. Begitu rendahnya sehingga ia harus ditampung di asrama yang dulu sangat dibencinya: Panti Warren.
Apakah Charlie menyesali keadaan itu?
Tidak, dengan kata-katanya yang amat sederhana terungkap bahwa meski sekarang terbelakang, Charlie akan selalu ingat bahwa dalam waktu yang singkat dulu ia pernah menjadi sangat pintar. Ia sempat mempelajari banyak ilmu dan wawasan baru tentang manusia dan hidup, yang ia takkan pernah tahu bila ia tak mengikuti eksperimen itu. Walau ia kini tak mengerti sama sekali tulisannya sendiri pada diarynya saat ia jenius, namun ia tahu bahwa dulu ia pernah menjadi orang normal dan pintar....
Catatan Fanda: Banyak pelajaran yang aku petik dari kisah ini:
1. Jangan pernah menganggap orang lain lebih rendah dari kita. Entah lebih rendah intelegensinya, atau jabatannya atau sosial ekonominya. Memang kita semua berbeda, namun kita tetap sama-sama manusia. Mereka hanya BERBEDA dari kita, tapi tidak lebih rendah.
2. Selalu berusahalah untuk tidak menertawakan orang lain yang kita anggap lebih rendah. Ini berhubungan dengan no. 1 juga. Kita mesti ingat bahwa mungkin saja mereka di bawah kita, namun di atas kita akan selalu ada orang lain lagi. Bagaimana perasaan kita kalau orang itu juga menertawakan kita?
3. Mungkin sulit untuk menjalin hubungan dengan orang yang berbeda dengan kita (baik lebih rendah maupun lebih tinggi), namun saat kita berada di ‘atas’, jangan menyombongkan diri. Berilah mereka perhatian. Kadang sulit melakukannya, karena kita sering jadi tidak sabar ketika seseorang yang kita ajak bicara tidak ‘nyambung’. Mungkin topiknya yang perlu kita ganti. Kita toh dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan orang-orang yang lebih memiliki kesamaan dengan kita. Yang terpenting, jangan mengucilkan seseorang hanya karena ia berbeda.
4. Berkaitan dengan no. 3, kita juga harus ingat bahwa hidup ini ibarat roda (atau bahkan roller coaster?). Charlie pernah merasakan hidup di bawah, naik, lalu turun lagi. Maka bersikaplah bijaksana di saat apapun karena mungkin sebentar lagi kita akan ada di sisi lain kehidupan ini.
5. Pepatah ‘semakin tinggi pohon, semakin keras angin menerpanya’ ternyata memang benar. Semakin tinggi derajat kita, semakin kesepian juga kita. Itu juga yang dialami Charlie. Maka untuk menapaki karir, kita juga harus paham akan resikonya.
6. Agar no. 5 tidak terjadi, cobalah melakukan no. 4. Tetaplah rendah hati. Contohlah sikap pemimpin yang ditunjukkan dalam kisah pemimpin yang menginspirasi ini.
Jadi, orang yang berkekurangan tidak berarti tidak berguna. Buktinya, hari ini Charlie Gordon yang jauh lebih terbelakang dari kita mampu mengajari kita untuk lebih bijaksana dalam hidup ini. Lalu....apa yang sudah anda (yang dikaruniai kemampuan membaca, menulis dan nge-blog) ajarkan kepada dunia?
------
Adalah seorang pemuda bernama Charlie Gordon yang ber-IQ rendah alias idiot atau terbelakang. Keluarganya ditawari oleh sebuah universitas untuk memasukkan Charlie ke dalam suatu eksperimen yang diyakini dapat menstimulasi otak sehingga orang yang ber-IQ rendah akan menjadi genius. Percobaan ini sudah dilakukan pada seekor tikus yang diberi nama Algernon, dan kini si tikus menjadi tikus jenius yang dapat memainkan permainan-permainan yang menantang intelegensi.
Sebelum operasi dilakukan, Charlie disuruh menulis semacam diary tentang apa yang ia pikirkan sehari-hari, agar hasil dari eksperimen itu dapat terus dipantau. Nah, disinilah salah satu keunikan buku ini. Sebenarnya cerita Flowers for Algernon ini mengalir dari kumpulan diary si Charlie itu. Tanpa bantuan narasi, kita akan mengetahui perkembangan otak Charlie lewat tulisan-tulisannya pada diary itu. Inilah contoh salah satu tulisannya sebelum operasi dilakukan:
Lapran kemajan 1 tanggal 3 mart
Dr Strauss bilang aku harus nulis apa yang kupikir dan kuingat serta segla yang terjadi padaku mulai sekarang dan seterusnya. Aku tidak tahu mengaapa tetapi ia bilang itu pinting supaya mereka bisa melihat apakah mereka bisa memakai aku atau tidak...Aku kreja di toko kwe Donners...Umurku 32 taun dan blan depn itu ulagn tahnku.
Jangan heran kalau di situ terdapat banyak salah eja, tata bahasa yang aneh dan kosa kata yang terbatas untuk seorang pemuda berusia 32 tahun. Ingat! Dia kan terbelakang?
Siapa sebenarnya Charlie dalam kesehariannya? Pada usia 17 tahun ia diterima bekerja di sebuah pabrik roti milik teman karib ayahnya, Mr. Donners yang telah bersumpah bahwa selama pabrik roti itu masih berdiri, akan selalu ada pekerjaan untuk Charlie, termasuk makan dan penginapan. Bila tidak ada yang memberinya pekerjaan, maka Charlie harus masuk ke asrama khusus anak terbelakang bernama Panti Warren. Dan di sana, ia akan merasa terbuang dari kehidupan sosial dan dari peradaban.
Maka Charlie bekerja di pabrik roti Donners sebagai tukang bersih-bersih gedung termasuk toilet, dan pengantar roti. Dengan kesederhanaannya Charlie merasa bahagia. Padahal ia sering menjadi bulan-bulanan teman-teman kerjanya. Misalnya ketika ada yang tiba-tiba menjegal kakinya sehingga ia jatuh terjengkang, atau ada yang mencekokinya dengan wiski sehingga mabuk dan mempermalukan diri di depan pengunjung bar. Dan teman-temannya akan mentertawakan Charlie. Namun Charlie, karena tak mengerti apa yang terjadi, dan bahwa perlakuan itu salah, merasa bahwa semua orang tertawa karena ia telah membuat mereka bahagia. Maka ia pun ikut tertawa dan bahagia!
Lalu bagaimana dengan keluarganya? Mereka sudah tak sanggup menerima Charlie dalam rumah mereka. Ibunya tidak dapat menerima keadaan Charlie sehingga selalu menuntut Charlie bersikap seperti anak normal. Kalau tidak, ibunya akan memukuli Charlie, dan ini membuat Charlie ketakutan. Adik perempuannya yang normal juga tidak dapat menerima kakaknya karena malu pada teman-temannya. Hanya ayahnya seorang yang dapat mencintai Charlie apa adanya, namun ia pun tak berdaya untuk membesarkannya sendirian. Karena itu ia menitipkannya pada temannya si pengusaha roti.
Di pusat penelitian, Charlie bergaul dengan beberapa profesor yang menangani eksperimen itu, dan seorang guru khusus orang-orang terbelakang, yakni Miss Kinnian. Dari diary atau laporan yang ia tulis setiap hari kita bisa melihat bahwa kepandaian Charlie memang berangsur-angsur meningkat. Itu dapat dicermati dari penggunaan kata-kata yang lebih wajar, kosakata lebih bervariasi, dan kesalahan ejaan yang semakin sedikit. Dan itu terjadi sedikit demi sedikit, sehingga kalau kita tidak cermat, kita akan tiba-tiba berhadapan dengan sosok Charlie yang jenius (memang hebat Daniel Keyes yang menulis buku ini!).
Demikianlah, seiring dengan kepandaian yang kian tinggi, Charlie kini dapat melihat kembali semua kejadian dari saat ia kecil hingga sebelum operasi, dari sudut pandang yang benar. Ia sadar bahwa ibu dan adiknya telah menolaknya, ia pun tahu bahwa teman-temannya bukan tertawa karena bahagia, namun karena mereka mempermainkannya. Dan ia pun merasa sakit...
Contoh lain adalah ketika adik Charlie, Norma, lulus sekolah dan minta dibelikan anjing peliharaan. Sang ibu ingin mengabulkannya karena ia lebih cinta pada sang anak bungsu yang normal ketimbang kakaknya yang terbelakang. Namun sang ayah mengingatkan bahwa mereka dulu juga tidak mengijinkan Charlie memelihara anjing. Itu akan tidak adil baginya. Namun Norma berkeras minta anjing karena ia kan lulus ujian, sedang Charlie kan tidak?
Mendengar itu, Charlie berkata bahwa ia tidak keberatan jika mereka hanya punya seekor anjing. Ia berjanji akan merawat dan memberinya makan. Tapi Norma malah meraung-raung marah dan berlari pergi. Waktu itu Charlie tak mengerti kenapa Norma malah marah. Apa salahnya? Padahal ia rela untuk merawat anjing itu bagi adiknya karena ia merasa kasihan pada Norma yang begitu ingin punya anjing. Namun sekarang, tahulah ia bahwa Norma membencinya sebab ia terbelakang...
Semua kilasan kejadian itu silih berganti datang bagai film, dan sekarang mengertilah ia siapa ‘Charlie’ yang dulu. Sementara itu di pabrik roti teman-temannya yang melihat kejanggalan pada Charlie mulai menjauh darinya. Terutama setelah ia menyadari bahwa pegawai yang menjadi kasir ternyata korupsi. Ia menulis nota dengan jumlah yang lebih kecil dari uang yang ia dapat, jelas bahwa kelebihan itu masuk ke kantongnya. Di sini Charlie mulai dihadapkan pada soal moral (yang tak perlu dihadapi ‘Charlie’ yang dulu). Ia pun kaget saat tubuhnya bereaksi secara sexual, baik ketika ia panas dingin, gemetaran saat berdekatan dengan gadis pujaannya (yang tak lain adalah gurunya Alice Kinnian), maupun saat mendapat mimpi basah.
Namun di luar semuanya itu, baru kali itu Charlie merasa kesepian, disingkirkan. Saat ia menjadi semakin pandai, teman-teman kerjanya merasa minder, merasa diri mereka kelihatan bodoh, dan puncaknya mereka minta sang bos memecat Charlie. Alice pun merasa bahwa percakapan mereka sering tidak ‘nyambung’ karena perkembangan otak Charlie yang demikian pesat. Ia sekarang mahir berbicara tentang studi ilmiah, kasus politik dan ilmu ekonomi yang rumit. Bahkan banyak profesor yang ahli di bidangnya menghindar ketika diajak debat oleh Charlie.
Saking jeniusnya, ia akhirnya menemukan kejanggalan pada Algernon, si tikus jenius. Tingkahnya aneh belakangan ini, dan ketika disuruh bermain, ia kelihatan linglung (persis seperti tikus normal ketika disuruh bermain dengan mainan manusia). Maka, sadarlah Charlie bahwa operasi yang telah dilakukan padanya dan Algernon memang membuat otak mereka berdua berkembang demikian pesat, namun setelah titik tertentu akan menurun dengan lebih cepat lagi hingga mungkin akhirnya keadaannya akan lebih buruk daripada sebelum operasi!
Charlie sadar akan nasibnya, maka ia melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia berusaha menemukan ayah dan ibunya yang telah bercerai. Mungkin juga Norma, bila ia masih mau menemuinya. Charlie ingin membuktikan kepada mereka bahwa ia akhirnya dapat menjadi pemuda yang normal. Tapi ia tidak bercerita tentang dampak eksperimen itu, karena ia ingin mereka tetap mengenangnya sebagai Charlie yang pintar dan normal.
Maka sekali lagi, perlahan-lahan diary Charlie pun berubah. Kalimat-kalimat yang ditulisnya semakin singkat. Kata-katanya semakin sederhana, dan akhirnya ejaannya semakin kacau. Ya, Charlie telah kembali menjadi terbelakang, bahkan mungkin IQ-nya sekarang bahkan lebih rendah daripada sebelum operasi. Begitu rendahnya sehingga ia harus ditampung di asrama yang dulu sangat dibencinya: Panti Warren.
Apakah Charlie menyesali keadaan itu?
Tidak, dengan kata-katanya yang amat sederhana terungkap bahwa meski sekarang terbelakang, Charlie akan selalu ingat bahwa dalam waktu yang singkat dulu ia pernah menjadi sangat pintar. Ia sempat mempelajari banyak ilmu dan wawasan baru tentang manusia dan hidup, yang ia takkan pernah tahu bila ia tak mengikuti eksperimen itu. Walau ia kini tak mengerti sama sekali tulisannya sendiri pada diarynya saat ia jenius, namun ia tahu bahwa dulu ia pernah menjadi orang normal dan pintar....
Catatan Fanda: Banyak pelajaran yang aku petik dari kisah ini:
1. Jangan pernah menganggap orang lain lebih rendah dari kita. Entah lebih rendah intelegensinya, atau jabatannya atau sosial ekonominya. Memang kita semua berbeda, namun kita tetap sama-sama manusia. Mereka hanya BERBEDA dari kita, tapi tidak lebih rendah.
2. Selalu berusahalah untuk tidak menertawakan orang lain yang kita anggap lebih rendah. Ini berhubungan dengan no. 1 juga. Kita mesti ingat bahwa mungkin saja mereka di bawah kita, namun di atas kita akan selalu ada orang lain lagi. Bagaimana perasaan kita kalau orang itu juga menertawakan kita?
3. Mungkin sulit untuk menjalin hubungan dengan orang yang berbeda dengan kita (baik lebih rendah maupun lebih tinggi), namun saat kita berada di ‘atas’, jangan menyombongkan diri. Berilah mereka perhatian. Kadang sulit melakukannya, karena kita sering jadi tidak sabar ketika seseorang yang kita ajak bicara tidak ‘nyambung’. Mungkin topiknya yang perlu kita ganti. Kita toh dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan orang-orang yang lebih memiliki kesamaan dengan kita. Yang terpenting, jangan mengucilkan seseorang hanya karena ia berbeda.
4. Berkaitan dengan no. 3, kita juga harus ingat bahwa hidup ini ibarat roda (atau bahkan roller coaster?). Charlie pernah merasakan hidup di bawah, naik, lalu turun lagi. Maka bersikaplah bijaksana di saat apapun karena mungkin sebentar lagi kita akan ada di sisi lain kehidupan ini.
5. Pepatah ‘semakin tinggi pohon, semakin keras angin menerpanya’ ternyata memang benar. Semakin tinggi derajat kita, semakin kesepian juga kita. Itu juga yang dialami Charlie. Maka untuk menapaki karir, kita juga harus paham akan resikonya.
6. Agar no. 5 tidak terjadi, cobalah melakukan no. 4. Tetaplah rendah hati. Contohlah sikap pemimpin yang ditunjukkan dalam kisah pemimpin yang menginspirasi ini.
Jadi, orang yang berkekurangan tidak berarti tidak berguna. Buktinya, hari ini Charlie Gordon yang jauh lebih terbelakang dari kita mampu mengajari kita untuk lebih bijaksana dalam hidup ini. Lalu....apa yang sudah anda (yang dikaruniai kemampuan membaca, menulis dan nge-blog) ajarkan kepada dunia?
Seperti pesan yang tertulis dalam film kungfu panda, setiap manusia terlahir dengan keunikannya sendiri sendiri. Dan dari keunikan itulah, setiap manusia dibekali kelebihannya masing masing. Selama ia mampu menggali nya.
ReplyDeleteDiatas langit masih ada langit. Keangkuhan dan kesombongan bukan milik manusia. Dan bukan hak kita untuk meng agungkannya.
Karena setiap kesombongan, berarti kita menjatuhkan satu martabat kita sendiri perlahan lahan.
So menjadi bijak adalah jalan terbaik. agh, pelajaran terbaik dari sebuah buku.
Bravoo teruskan ya!!
sepertinya buku yang mengharukan, brapa bintang mbak buat buku ini?
ReplyDeletewah bagus banget ni buku....
ReplyDeletekudu dibaca niy....
bener mba.. untuk apa sih.. kita sombong dan merendahkan orang lain. Karena yg berhak sombong itu hanyalah TUHAN, yang Maha Segalanya dan menguasai seluruh isi alam semesta...
ReplyDeletetetaplah rendah diri, seperti halnya ilmu padi, makin berisi makin merunduk.
Down to earth
novel yang menarik :D
ReplyDeletemampir ke blog ku yach nieh alamatnya http://trik-tipsblog.blogspot.com :D
Benar sekali Mbak Fanda.. kita tidak boleh menyombongkan diri dan harus tetap rendah hati.
ReplyDeleteBuku yang bagus, at least Charlie pernah merasakan kehidupan orang normal...
@Penikmat buku: 5 bintang deh..
ReplyDeletesemua manusia itu hebat...
ReplyDeletetinggal bagaimana manusia itu menggunakan kekuatan itu!!!
tidak sedikit orang yang sombong termakan sama omonganya sendiri...
ReplyDeletemenyimak
ReplyDeletedah lama tak berkunjung ke blognya mbak, sekali bekunjung disuguhi wah ceritanta panjang tapi kelihatannya asyk walau cuma baca resume dari blog mbak
ReplyDeleteBukunya Daniel Keyes baru baca yg "24 Wajah Billy". Yang lainnya blm pernah baca. Btw, bk "Flowers For Algernon" ini kan sudah difilmkan ya? Apa judul filmnya sama dengan judul bukunya??
ReplyDeletebagus sekali reviwe nya fan...
ReplyDeletebukunya juga bagus...
lewat tulisan fanda...kita bisa berkaca...bahwa ternyata...keadaan yang menurut kita lebih baik, belum tentu baik untuk kita... contohnya tokoh dalam buku itu...
ternyata ketika dia menjadi normal, dia jadi merasakan sakit hati, kecewa...yang dulu justru tidak ia rasakan...
syukuri saja apa yang kita punya... :)
Keren banget....reviewnya cerdas singkat tapi gambaran tentan gbukunya jadi jelas....
ReplyDeleteMenurut gw hidup itu kepingan PUZZLE raksasa....tiap orang memiliki bentuk dan warna tersendiri...ada lekukan ada tonjolan. Lekukan dan tonkolan yagn khas pada setiap kepingan puzzle kalo diletakkan pada tempat yagn cocok akan memberi gambaran PUZZLE KEHIDUPAN secara menyeluruh...
TAPI PUZZLE bagaimanapun gambar PUZZLE selalu menampakkan persinggungan antar kepingan puzzle , menunjukkan kalo hubungan manusia pasti selalu ada konflik....
Sori komentnya kepanjangan ^^
Aduh Fanda... aku jadi sedih baca tulisan ini; ingat jagoan cilikku... never mind...
ReplyDeleteThank untuk Fanda atas review novel ini. Padahal saya baca reviewnya tapi udah kepengen nangis.
ReplyDeleteKita memang perlu belajar setiap saat termasuk belajar menjadi bijaksana dari mereka yang seringkali kita pandang rendah.
ReplyDeleteTerima kasih mBak. Saya semakin bahagia karena dapat ilmu dari mBak Fanda.