Roller Coaster. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan seorang Sydney Sheldon. Kalau anda berpikir bahwa Sidney Sheldon hanya seorang penulis yang terkenal, anda salah besar! Kehidupan pribadinya justru lebih seru dari semua kisah hasil rekaannya. Buku ini memang memoar dari sang maestro, yang menggambarkan bakat menulis yang hebat serta sikap pantang menyerah yang dimiliki oleh semua orang sukses. Mari kita baca...
Tak ada garis datar pada grafik yang menggambarkan fase-fase dalam hidup Sidney. Kegagalan dan keberhasilan, keterpurukan dan kegemilangan, semuanya pernah ia rasakan. Dan justru semuanya berawal dari rencana bunuh diri! Ya...saat berusia 17 tahun (tahun 1920-an) Sidney berencana untuk bunuh diri karena kemiskinan keluarganya yang parah. Memiliki ayah salesman yang pemimpi tapi terus-terusan gagal membuat keluarga Sydney (bersama ibu dan adiknya) berpindah-pindah tempat dari apartemen suram satu ke lainnya. Sydney merasa terbelit dalam kemiskinan dan ia tak melihat jalan keluar.
Rencana bunuh diri itu digagalkan ayahnya bukan dengan paksa, namun dengan sebaris kalimat: ‘Bagaimana dengan hari esok? Kau tak tahu apa yang bisa terjadi besok. Hidup seperti novel kan? Penuh ketegangan. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kau buka halamannya’. Sebaris kalimat itu selalu terngiang di telinga Sydney tiap kali ia mengalami kegagalan. Eh...kegagalan? Bukankah ia penulis hebat? Kita mungkin mengenal Sydney Sheldon sebagai pengarang novel-novel best seller seperti: The Other Side Of Midnight, Windmills of The Gods, A Stranger In The Mirror, dll. Namun sebenarnya perjalanan karirnya di Hollywood dan panggung Broadway-lah yang merupakan tempat Sydney mengasah bakatnya, dan mendapat porsi paling besar di memoar ini.
Sydney Schechtel (nama aslinya) mulai terlihat bakatnya ketika berumur 12 tahun, ketika ia menulis cerita detektif dan menampilkannya dalam drama di sekolah yang ia sutradarai dan perankan juga. Drama itu gagal total, dengan cara memalukan pula.
Lalu saat masuk kuliah di universitas yang memberinya beasiswa, Sydney menyambi kerja pada malam hari di bagian penitipan mantel di sebuah hotel di Chicago. Setiap Sabtu ia juga bekerja di apotek sebagai pengantar obat. Saat registrasi di Universitas, ia mengambil mata kuliah dengan jumlah maksimum yang ditawarkan. Belum cukup, ia masih minta tambahan kuliah bahasa Latin.
Kantin universitas itu kebetulan membutuhkan cleaning service, itu berarti satu lagi pekerjaan yang bisa menghasilkan uang bagi Sydney. Dan seakan masih ‘lapar’ akan pelajaran dan pengalaman, Sydney menemui Editor koran kampus, dan minta pekerjaan. Ia ditolak, namun alih-alih kecewa dan pergi, ia malah menantang untuk mengisi (atau lebih tepatnya membuat) kolom ‘dunia hiburan’ yang tidak umum ada di koran kampus. Ia berkoar-koar bisa mewawancarai selebriti terkenal pada masa itu. Apa ia memang kenal dengan mereka? Tidak juga. Namun sang editor tidak tahu itu, dan karena terpesona, ia memberi pekerjaan pada Sydney. Jadi...kuliah, bahasa Latin, juru gantung mantel, kurir apotek, cleaning service, dan terakhir wartawan.
Apa itu sudah cukup bagi seorang Sydney Sheldon? Belum! Ia seolah tertantang untuk mencoba segala sesuatu. Ia lalu mendaftarkan diri ke tim sepak bola. Tapi karena ia tidak berpengalaman sama sekali, ia ditolak. Lalu ia melihat pengumuman tentang audisi debat di kampus. Ia pun ikut! Ia mencoba berpidato dengan berapi-api, namun terhenti di tengah jalan. Ia mengira nasibnya sama dengan sepak bola itu, tapi ternyata keesokan harinya namanya terpampang sebagai anggota tim debat, padahal ia mahasiswa baru yang sebelumnya tak bisa menjadi anggota.
Selanjutnya banyak hal yang ia coba, namun di tengah-tengah semuanya itu, ia menyadari ada keanehan dalam dirinya. Ia kerap mengalami depresi hebat, yang datang bagaikan terjebak awan hitam yang pekat. Namun di waktu lain, ia bisa merasa gembira begitu rupa hingga hampir histeris. Pada waktu pelajaran olahraga, Sydney pernah jatuh, dan itu mengakibatkan piringan sendinya lepas. Vonis dokter, piringan sendi itu bisa sewaktu-waktu lepas, dan saat itu ia harus istirahat di tempat tidur selama 3 hari, lalu akan sembuh dengan sendirinya.
Lalu saat melihat iklan Kontes Amatir di sebuah radio, perkenalan Sydney dengan dunia hiburan pun dimulai. Sydney tak tahu apa itu kontes amatir, namun demikian ia ingin mencoba. Di sinilah nama Sydney Schechtel berubah menjadi Sydney Sheldon. Tapi sayang, baru saja sekali siaran, ia dipecat. Namun perkenalan singkat itu membuatnya yakin bahwa masa depannya adalah di dunia hiburan. Maka saat iseng-iseng main piano, ia menciptakan sebuah melodi, dan memberinya syair. Saat itu hotel-hotel besar biasanya memiliki orkestra, dan lagunya akan diputar di radio. Maka Sydney memberanikan diri menunjukkan lagunya pada pemimpin orkestra di hotel tempat ia bekerja di penitipan mantel (si pemimpin orkestra sering menyapanya waktu menitipkan mantel). Lagunya memang akhirnya sering diputar di radio dan menjadi beken, tapi sayang ia dicurangi oleh seseorang yang menjanjikan rekaman. Sydney tak memperoleh apapun sebagai royalti...
Kecewakah Sydney? Pasti! Kalau itu anda atau aku, kita pasti menangis marah dan down. Tapi bagi Sydney, itu justru membuktikan bahwa ia mampu menulis lagu yang diterima pasar. Maka berangkatlah ia ke New York. Pekerjaan pertamanya disitu adalah penjaga bioskop (itu loh yang kerjanya bawa senter dan menunjukkan kursi buat penonton). Pekerjaan sepele ya? Benar, tapi itu memberi kesempatan Sydney untuk banyak menonton film. Semuanya tidak sia-sia, mengingat tak lama setelah itu ia memulai debutnya di Hollywood! Jadi aktor? Oh, bukan. Di Hollywood, ia benar-benar mulai dari nol.
Depresinya yang aneh kembali menyerang Sydney pas saat ia mendapat kesempatan berkolaborasi dengan seorang pencipta lagu beken di New York. Ia merasa akan gagal, lalu tiba-tiba memutuskan pulang ke Chicago, dan meninggalkan pertemuan penting dengan pencipta lagu itu begitu saja.
Jalan menuju Hollywood terbuka saat ada sanaknya yang minta diantar kesana. Maka Sydney berjanji kepada ortunya bahwa jika dalam 3 minggu ia gagal, ia harus pulang kembali ke Chicago. Anda pasti penasaran, gimana cara menembus ‘hutan belantara’ orang-orang sukses di Hollywood hanya dalam 3 minggu? Baca terus ya...
Sydney datang saja ke pintu gerbang salah satu studio besar di Hollywood: Columbia Pictures untuk mencari lowongan sebagai penulis. Jawaban kaku penjaganya: Sudah buat janji? Tanpa janji tidak bisa menemui siapa pun. Titik. Itulah yang terjadi di semua studio. Sementara itu waktu berlalu...4 hari lagi, dan Sydney mungkin harus pulang. Tapi ia tak menyerah. Ia baru tahu bahwa ada profesi ‘pembaca’, yaitu penulis sinopsis cerita-cerita agar produser tak perlu repot-repot membaca novel tebal-tebal untuk memilih yang bagus untuk dijadikan film. Teringat bahwa ia baru saja membaca buku bagus, ia langsung mengambil mesin tik, dan voila...jadilah sebuah sinopsis yang segera ia kirimkan ke enam studio. Kalau sampai pada hari ketiga ia tak mendapat jawaban, maka ia harus pulang.
Tepat saat ia sudah berhenti bermimpi, datanglah telepon bersejarah itu! Dari kantor salah seorang produser paling disegani di Hollywood: David Selznick, sekretarisnya menelpon karena butuh jasa ‘pembaca’ freelance yang mampu mengerjakan sinopsis 30 halaman dari novel 400 halaman dalam waktu 8,5 jam! Tentu saja Sydney menerima tantangan itu. Apapun yang terjadi, ia harus bisa! Itu mungkin jalan masuk satu-satunya ke gemerlapnya Hollywood, atau ia harus pulang dan kembali miskin ke Chicago. Apa yang terjadi? Benar-benar bagaikan roller coaster, namun ia berhasil dan mendapat bayaran $10. Dan Sydney pun memutuskan bahwa ia TIDAK akan pulang ke Chicago!
Pekerjaan Sydney berawal dari penulis sinopsis film, lalu setelah sempat menjadi penerbang saat perang, ia menjadi penulis naskah operet Broadway, sampai sebuah operet gagal dan ia pun dicaci maki di koran. Maka kembalilah Sydney ke Hollywood, dan itu tidak sia-sia mengingat David Schelznik kembali menawarkan sebuah proyek menggarap naskah dan skenario film, kali ini dengan bayaran $35.000! Maka Sydney mulai tenar, kekayaan menghampiri, kenalannya bintang-bintang terkenal Hollywood macam Cary Grant, Frank Sinatra maupun Elizabeth Taylor. Dalam waktu 3 tahun, Sydney pun telah memenangkan Oscar-nya yang pertama.
Masih banyak lagi kisah kegagalan bercampur kesuksesan yang diramu dengan nama-nama besar di dunia perfilman Hollywood yang glamour. Bagaikan roller coaster yang terus berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Membuat buku ini tetap menarik untuk dibaca, meski pada bagian tengah agak membosankan karena terlalu banyak menceritakan proses pembuatan film (kecuali bagi yang suka film jadul, kali ya?). Yang menarik untuk diperhatikan, adalah fakta bahwa Sydney menulis novel pertamanya baru pada th 1970-an setelah ia memiliki gagasan tentang suatu lakon yang terlalu rumit bila diangkat menjadi drama.
Maka terbitlah The Naked Face, novel pertamanya yang awalnya hanya terjual 17.000 eksemplar, namun membuat Sydney merasa bahwa menulis novel memberinya lebih banyak kebebasan ketimbang terlibat dalam film atau operet, di mana ada banyak komponen dari produser, sutradara, aktor, dll yang sering membuat ruwet suatu proyek.
Catatan Fanda:
Dari hidup seorang Sydney Sheldon, kita bisa belajar untuk tak pernah putus asa. Bahwa roda hidup ini memang selalu berputar, saat anda berada di bawah, selalulah berpikir bahwa setelah ini pasti anda akan menanjak ke atas. Namun semuanya itu akan terjadi hanya apabila anda berani untuk mencoba semua kemungkinan dan berani untuk gagal. Belajarlah seperti Sydney Sheldon yang tak pernah berpikir lama untuk memutuskan menjalani sesuatu meski ia tak tahu pasti bagaimana melakukannya. Ingatlah, hidup itu seperti sebuah novel, kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kau buka halamannya. Yang penting mencebur dulu, nanti anda akan belajar berenang dengan sendirinya. Dan bagi para penulis, buku ini mungkin bisa membantu memotivasi anda ‘tuk menjadi penulis sukses.
Selamat membaca! ...dan menulis!!
Tak ada garis datar pada grafik yang menggambarkan fase-fase dalam hidup Sidney. Kegagalan dan keberhasilan, keterpurukan dan kegemilangan, semuanya pernah ia rasakan. Dan justru semuanya berawal dari rencana bunuh diri! Ya...saat berusia 17 tahun (tahun 1920-an) Sidney berencana untuk bunuh diri karena kemiskinan keluarganya yang parah. Memiliki ayah salesman yang pemimpi tapi terus-terusan gagal membuat keluarga Sydney (bersama ibu dan adiknya) berpindah-pindah tempat dari apartemen suram satu ke lainnya. Sydney merasa terbelit dalam kemiskinan dan ia tak melihat jalan keluar.
Rencana bunuh diri itu digagalkan ayahnya bukan dengan paksa, namun dengan sebaris kalimat: ‘Bagaimana dengan hari esok? Kau tak tahu apa yang bisa terjadi besok. Hidup seperti novel kan? Penuh ketegangan. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kau buka halamannya’. Sebaris kalimat itu selalu terngiang di telinga Sydney tiap kali ia mengalami kegagalan. Eh...kegagalan? Bukankah ia penulis hebat? Kita mungkin mengenal Sydney Sheldon sebagai pengarang novel-novel best seller seperti: The Other Side Of Midnight, Windmills of The Gods, A Stranger In The Mirror, dll. Namun sebenarnya perjalanan karirnya di Hollywood dan panggung Broadway-lah yang merupakan tempat Sydney mengasah bakatnya, dan mendapat porsi paling besar di memoar ini.
Sydney Schechtel (nama aslinya) mulai terlihat bakatnya ketika berumur 12 tahun, ketika ia menulis cerita detektif dan menampilkannya dalam drama di sekolah yang ia sutradarai dan perankan juga. Drama itu gagal total, dengan cara memalukan pula.
Lalu saat masuk kuliah di universitas yang memberinya beasiswa, Sydney menyambi kerja pada malam hari di bagian penitipan mantel di sebuah hotel di Chicago. Setiap Sabtu ia juga bekerja di apotek sebagai pengantar obat. Saat registrasi di Universitas, ia mengambil mata kuliah dengan jumlah maksimum yang ditawarkan. Belum cukup, ia masih minta tambahan kuliah bahasa Latin.
Kantin universitas itu kebetulan membutuhkan cleaning service, itu berarti satu lagi pekerjaan yang bisa menghasilkan uang bagi Sydney. Dan seakan masih ‘lapar’ akan pelajaran dan pengalaman, Sydney menemui Editor koran kampus, dan minta pekerjaan. Ia ditolak, namun alih-alih kecewa dan pergi, ia malah menantang untuk mengisi (atau lebih tepatnya membuat) kolom ‘dunia hiburan’ yang tidak umum ada di koran kampus. Ia berkoar-koar bisa mewawancarai selebriti terkenal pada masa itu. Apa ia memang kenal dengan mereka? Tidak juga. Namun sang editor tidak tahu itu, dan karena terpesona, ia memberi pekerjaan pada Sydney. Jadi...kuliah, bahasa Latin, juru gantung mantel, kurir apotek, cleaning service, dan terakhir wartawan.
Apa itu sudah cukup bagi seorang Sydney Sheldon? Belum! Ia seolah tertantang untuk mencoba segala sesuatu. Ia lalu mendaftarkan diri ke tim sepak bola. Tapi karena ia tidak berpengalaman sama sekali, ia ditolak. Lalu ia melihat pengumuman tentang audisi debat di kampus. Ia pun ikut! Ia mencoba berpidato dengan berapi-api, namun terhenti di tengah jalan. Ia mengira nasibnya sama dengan sepak bola itu, tapi ternyata keesokan harinya namanya terpampang sebagai anggota tim debat, padahal ia mahasiswa baru yang sebelumnya tak bisa menjadi anggota.
Selanjutnya banyak hal yang ia coba, namun di tengah-tengah semuanya itu, ia menyadari ada keanehan dalam dirinya. Ia kerap mengalami depresi hebat, yang datang bagaikan terjebak awan hitam yang pekat. Namun di waktu lain, ia bisa merasa gembira begitu rupa hingga hampir histeris. Pada waktu pelajaran olahraga, Sydney pernah jatuh, dan itu mengakibatkan piringan sendinya lepas. Vonis dokter, piringan sendi itu bisa sewaktu-waktu lepas, dan saat itu ia harus istirahat di tempat tidur selama 3 hari, lalu akan sembuh dengan sendirinya.
Lalu saat melihat iklan Kontes Amatir di sebuah radio, perkenalan Sydney dengan dunia hiburan pun dimulai. Sydney tak tahu apa itu kontes amatir, namun demikian ia ingin mencoba. Di sinilah nama Sydney Schechtel berubah menjadi Sydney Sheldon. Tapi sayang, baru saja sekali siaran, ia dipecat. Namun perkenalan singkat itu membuatnya yakin bahwa masa depannya adalah di dunia hiburan. Maka saat iseng-iseng main piano, ia menciptakan sebuah melodi, dan memberinya syair. Saat itu hotel-hotel besar biasanya memiliki orkestra, dan lagunya akan diputar di radio. Maka Sydney memberanikan diri menunjukkan lagunya pada pemimpin orkestra di hotel tempat ia bekerja di penitipan mantel (si pemimpin orkestra sering menyapanya waktu menitipkan mantel). Lagunya memang akhirnya sering diputar di radio dan menjadi beken, tapi sayang ia dicurangi oleh seseorang yang menjanjikan rekaman. Sydney tak memperoleh apapun sebagai royalti...
Kecewakah Sydney? Pasti! Kalau itu anda atau aku, kita pasti menangis marah dan down. Tapi bagi Sydney, itu justru membuktikan bahwa ia mampu menulis lagu yang diterima pasar. Maka berangkatlah ia ke New York. Pekerjaan pertamanya disitu adalah penjaga bioskop (itu loh yang kerjanya bawa senter dan menunjukkan kursi buat penonton). Pekerjaan sepele ya? Benar, tapi itu memberi kesempatan Sydney untuk banyak menonton film. Semuanya tidak sia-sia, mengingat tak lama setelah itu ia memulai debutnya di Hollywood! Jadi aktor? Oh, bukan. Di Hollywood, ia benar-benar mulai dari nol.
Depresinya yang aneh kembali menyerang Sydney pas saat ia mendapat kesempatan berkolaborasi dengan seorang pencipta lagu beken di New York. Ia merasa akan gagal, lalu tiba-tiba memutuskan pulang ke Chicago, dan meninggalkan pertemuan penting dengan pencipta lagu itu begitu saja.
Jalan menuju Hollywood terbuka saat ada sanaknya yang minta diantar kesana. Maka Sydney berjanji kepada ortunya bahwa jika dalam 3 minggu ia gagal, ia harus pulang kembali ke Chicago. Anda pasti penasaran, gimana cara menembus ‘hutan belantara’ orang-orang sukses di Hollywood hanya dalam 3 minggu? Baca terus ya...
Sydney datang saja ke pintu gerbang salah satu studio besar di Hollywood: Columbia Pictures untuk mencari lowongan sebagai penulis. Jawaban kaku penjaganya: Sudah buat janji? Tanpa janji tidak bisa menemui siapa pun. Titik. Itulah yang terjadi di semua studio. Sementara itu waktu berlalu...4 hari lagi, dan Sydney mungkin harus pulang. Tapi ia tak menyerah. Ia baru tahu bahwa ada profesi ‘pembaca’, yaitu penulis sinopsis cerita-cerita agar produser tak perlu repot-repot membaca novel tebal-tebal untuk memilih yang bagus untuk dijadikan film. Teringat bahwa ia baru saja membaca buku bagus, ia langsung mengambil mesin tik, dan voila...jadilah sebuah sinopsis yang segera ia kirimkan ke enam studio. Kalau sampai pada hari ketiga ia tak mendapat jawaban, maka ia harus pulang.
Tepat saat ia sudah berhenti bermimpi, datanglah telepon bersejarah itu! Dari kantor salah seorang produser paling disegani di Hollywood: David Selznick, sekretarisnya menelpon karena butuh jasa ‘pembaca’ freelance yang mampu mengerjakan sinopsis 30 halaman dari novel 400 halaman dalam waktu 8,5 jam! Tentu saja Sydney menerima tantangan itu. Apapun yang terjadi, ia harus bisa! Itu mungkin jalan masuk satu-satunya ke gemerlapnya Hollywood, atau ia harus pulang dan kembali miskin ke Chicago. Apa yang terjadi? Benar-benar bagaikan roller coaster, namun ia berhasil dan mendapat bayaran $10. Dan Sydney pun memutuskan bahwa ia TIDAK akan pulang ke Chicago!
Pekerjaan Sydney berawal dari penulis sinopsis film, lalu setelah sempat menjadi penerbang saat perang, ia menjadi penulis naskah operet Broadway, sampai sebuah operet gagal dan ia pun dicaci maki di koran. Maka kembalilah Sydney ke Hollywood, dan itu tidak sia-sia mengingat David Schelznik kembali menawarkan sebuah proyek menggarap naskah dan skenario film, kali ini dengan bayaran $35.000! Maka Sydney mulai tenar, kekayaan menghampiri, kenalannya bintang-bintang terkenal Hollywood macam Cary Grant, Frank Sinatra maupun Elizabeth Taylor. Dalam waktu 3 tahun, Sydney pun telah memenangkan Oscar-nya yang pertama.
Masih banyak lagi kisah kegagalan bercampur kesuksesan yang diramu dengan nama-nama besar di dunia perfilman Hollywood yang glamour. Bagaikan roller coaster yang terus berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Membuat buku ini tetap menarik untuk dibaca, meski pada bagian tengah agak membosankan karena terlalu banyak menceritakan proses pembuatan film (kecuali bagi yang suka film jadul, kali ya?). Yang menarik untuk diperhatikan, adalah fakta bahwa Sydney menulis novel pertamanya baru pada th 1970-an setelah ia memiliki gagasan tentang suatu lakon yang terlalu rumit bila diangkat menjadi drama.
Maka terbitlah The Naked Face, novel pertamanya yang awalnya hanya terjual 17.000 eksemplar, namun membuat Sydney merasa bahwa menulis novel memberinya lebih banyak kebebasan ketimbang terlibat dalam film atau operet, di mana ada banyak komponen dari produser, sutradara, aktor, dll yang sering membuat ruwet suatu proyek.
Catatan Fanda:
Dari hidup seorang Sydney Sheldon, kita bisa belajar untuk tak pernah putus asa. Bahwa roda hidup ini memang selalu berputar, saat anda berada di bawah, selalulah berpikir bahwa setelah ini pasti anda akan menanjak ke atas. Namun semuanya itu akan terjadi hanya apabila anda berani untuk mencoba semua kemungkinan dan berani untuk gagal. Belajarlah seperti Sydney Sheldon yang tak pernah berpikir lama untuk memutuskan menjalani sesuatu meski ia tak tahu pasti bagaimana melakukannya. Ingatlah, hidup itu seperti sebuah novel, kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kau buka halamannya. Yang penting mencebur dulu, nanti anda akan belajar berenang dengan sendirinya. Dan bagi para penulis, buku ini mungkin bisa membantu memotivasi anda ‘tuk menjadi penulis sukses.
Selamat membaca! ...dan menulis!!