Biasanya ketika sudah menginjak bulan ke 7 dalam tahun, aku akan mulai berpikir...Ya ampun, cepat sekali ya waktu berlalu, sudah pertengahan tahun lagi. Seringkali hidup ini bergulir begitu saja, bahkan dengan begitu cepatnya bak roller coaster, sehingga ketika akhir tahun kita terengah-engah kelelahan, ingin sekali menutupnya dengan liburan. Lalu kita membuka tahun dengan optimisme tinggi dan segera kembali ke siklus itu, dan begitulah seterusnya. Sadarkah anda bahwa di sepanjang tahun itu begitu banyak hal-hal yang indah dan istimewa terjadi? Kalau anda tidak merasa hidup anda istimewa, atau anda tidak bisa melihat di mana istimewanya, mari kita belajar dari seorang penderita radang otak dalam film 'Awakenings' ini....
Film ini film jadul, diangkat dari sebuah kisah nyata, dan diedarkan pertama kali tahun 2000-an namun bersetting tahun 1969. Dibintangi oleh Robin Williams yang berperan sebagai seorang dokter peneliti penyakit syaraf yang kuper dan pemalu bernama Dr. Malcolm Sayer, dan Robert De Niro yang dengan apik memerankan Leonard, si pasien penyakit syaraf kronis.
Film dibuka dengan Leonard kecil yang sedang bermain-main di taman. Lalu tiba-tiba jari-jari tangan Leonard kecil kaku, tak bisa digerakkan. Di rumah, Leonard yang biasanya lincah dan sehat tiba-tiba menjadi apatis, seperti tidak merespon keadaan sekitarnya. Di sekolah, kecepatan menulisnya semakin lamban dan akhirnya tangannya begitu kaku sehingga ia tak dapat menulis. Dan puncaknya, ibunya menemukan Leonard kaku sekujur tubuhnya tak dapat bergerak sedikitpun.
30 tahun setelah kejadian itu, datanglah seorang dokter berewok berkaca mata yang kelihatan rikuh dan pemalu melamar pekerjaan ke sebuah Rumah Sakit tempat dirawat bermacam-macam pasien dengan penyakit syaraf kronis yang tak dapat disembuhkan. Para perawat di situ menyebut tempat itu sebagai 'taman', karena yang mereka lakukan setiap hari hanyalah memberi makan dan minuman. Hampir semua pasien itu boleh dibilang tak punya kehidupan lagi. Ibaratnya tanaman yang ada di taman, yang hanya perlu disirami dan diberi pupuk.
Pasien pertama yang ditangani Dr. Sayer adalah wanita tua bernama Lucy. Duduk di kursi roda dan berkaca mata, Lucy layaknya patung. Tak ada gerakan, tak ada tanda-tanda kehidupan, bahkan matanya pun tak bergerak saat Dr. Sayer menyapanya. Maka Dr. Sayerpun mendiamkannya. Namun betapa terkejutnya ia saat menoleh kembali, tubuh Lucy dalam keadan membungkuk ke bawah dengan kacamata di tangannya. Rupanya kacamatanya jatuh dan ia mengambilnya. Maka Dr. Sayer menemukan bahwa, meski mematung, Lucy memiliki reflek yang bagus ketika ada benda dilemparkan ke arahnya. Sebagai seorang peneliti, ia tertantang untuk mempelajari penyakit aneh itu dan mencari obatnya.
Saat ia melaporkan kepada dokter Kepala Bagiannya bahwa ada sedikitnya 5 orang pasien dengan gejala aneh yang sama, si Kabag tidak tertarik dan cenderung mencemooh. Baginya mereka pasien kronis yang sudah tak ada harapan lagi. Beri saja mereka makan dan tidur, itu sudah lebih dari cukup. Buat apa susah-susah meneliti segala? Namun Dr. Sayer tidak putus asa. Dan kebetulan proyek itu disambut baik oleh para perawat di situ. Mereka lalu mengamati bahwa masing-masing pasien mempunyai stimulus berbeda-beda yang membuat para pasien itu dapat sedikit melakukan gerakan. Ada yang dengan musik klasik mendayu-dayu, ada yang dengan musik rock n roll yang dinamis, ada yang dengan sentuhan orang lain. Salah satu pasien berusia 37 tahun yang selalu dirawat oleh ibunya yang sudah tua, adalah Leonard, tokoh kita.
Dengan berbekal wawancaranya dengan ibu Leonard, dan hasil riset di perpustakaan, Dr. Sayer menyimpulkan bahwa para pasien pernah terkena radang otak, lalu mengalami kelumpuhan syaraf termasuk syaraf otak. Sang dokter jenius ini lalu menemukan suatu obat yang biasanya diberikan pada pasien Parkinson, yang mungkin dapat menyembuhkan penyakit aneh itu. Ia minta ijin pada Kabagnya untuk mencobanya pada Leonard. Awalnya para perawat skeptis bahwa obat itu akan berguna, hanya seorang perawat wanita bernama Eleanor yang percaya kepada Dr. Sayer dan mendukungnya.
Maka dengan seijin ibunya, Leonard mulai minum obatnya yang dilarutkan ke dalam segelas susu. Lalu terjadilah keajaiban, Leonard 'hidup' kembali layaknya putri yang tertidur bertahun-tahun lalu dan tiba-tiba terjaga (dalam dongeng Sleeping Beauty). Hanya bedanya, Leonard 'tidur' saat ABG, lalu 'terbangun' pada saat sudah menjadi pria berusia 37 tahun. Begitu mengharukan melihat betapa gembira dan bahagianya Leonard menemukan kembali hidup yang telah dirampas darinya selama hampir 30 tahun terakhir!
Begitu tahu bahwa obatnya sukses menyembuhkan Leonard, Dr. Sayer mengajukan dana ke Kabagnya untuk membeli obat untuk semua pasien lainnya. Awalnya terjadi perdebatan karena si Kabag melihat proyek itu sia-sia, sedang Dr. Sayer ngotot karena obat itu bukan hanya menyembuhkan, namun terlebih-lebih memberikan 'kehidupan', kehidupan yang telah lama dirampas dari mereka. Saat si Kabag tak bergeming, berduyun-duyun para perawat termasuk Eleanor, menunjukkan dukungan mereka pada proyek Dr. Sayer itu, dengan masing-masing menyerahkan selembar cek sebagai donasi. Sukses! Si Kabag akhirnya menyetujui.
Maka sama seperti kasus Leonard, para pasien segera 'bangun' setelah minum obat. Senang rasanya melihat vitalitas para lansia ini! Bayangkan mereka telah kehilangan masa muda mereka... Leonard yang paling muda, bertemu dengan seorang gadis manis yang sederhana dan baik. Ayahnya yang Parkinson juga pasien di RS itu, dan ia tiap hari datang untuk membacakan cerita bagi sang ayah. Leonard tertarik pada si gadis dan mengajaknya ngobrol. Si gadis sangsi apakah ayahnya mendengar atau tahu bahwa ia tiap hari datang untuknya. Leonard meyakinkannya bahwa ayahnya pasti tahu, meski ia Parkinson.
Dipacu oleh keinginannya untuk merasakan hidupnya yang baru saja ia temukan kembali, Leonard mengajukan permohonan untuk bisa merasakan hidup di luar RS. Bisa dibayangkan bahwa pihak RS, juga Dr. Sayer tidak mengijinkannya karena tak ada yang dapat memastikan kemanjuran atau efek obat baru yang ia minum itu. Mungkin dipengaruhi juga oleh perasaan cinta pada si gadis, Leonard menjadi marah dan meluap-luap emosinya sampai gejala kaku yang dulu pernah menyerangnya kini mulai tampak lagi! Dan gejala itu makin lama makin parah. Syarafnya membuat seluruh tubuhnya bergerak-gerak tak terkendali. Ia bahkan tak bisa lagi mambaca (yang menjadi kegemarannya) karena kepalanya bergerak-gerak terus ke kiri-kanan persis seperti orang menggeleng-geleng. Maka sadarlah semua orang bahwa obat itu hanya memberikan keajaiban sesaat. Meski Dr. Sayer menambah dosisnya, keadaan Leonard makin parah saja.
Adegan yang menguras air mata adalah ketika Leonard bertemu dengan gadis pujaannya di kantin RS. Dengan seluruh tubuh bergerak-gerak liar dan lidah agak pelo, ia harus mengucapkan selamat tinggal pada si gadis. Ketika itu lagu lembut mengalun, maka si gadis pelan-pelan membimbing Leonard untuk berdansa bersamanya, di bawah tatapan haru semua pasien yang ada di ruangan itu. Aku tak tahan melihat tatapan sedih di mata Leonard ketika dengan tubuh terguncang-guncang menyaksikan kepergian kekasihnya dari antara kisi-kisi jendela RS. Kekasih dan kehidupan cinta yang takkan pernah ia rasakan...
Apakah kemunduran fisik itu membuat Leonard marah pada Dr. Sayer? Tidak! Ia justru mendorong sang dokter untuk terus meneliti, dan memikirkan pengobatan penyakit aneh itu. Namun pelajaran yang paling berharga yang Dr. Sayer peroleh dari pasiennya ini, adalah bahwa hidup ini menawarkan begitu banyak keindahan yang sering dilupakan orang. Dan keindahan itu justru terletak pada hal-hal sepele seperti berjalan-jalan dengan teman, makan-makan, mengerjakan sesuatu bersama anak anda atau bersantai dengan keluarga. Banyak orang tenggelam dalam pekerjaannya sehingga semua keindahan itu terlewatkan, dan saat kehidupan ini terenggut dari anda, seperti yang dialami Leonard, barulah anda akan menghargainya.
Dr. Sayer pun tersadar apa yang selama ini 'kurang' dalam hidupnya, yakni hubungan dengan seorang wanita. Maka, ia pun memberanikan diri mengajak Eleanor untuk kencan, yang tentu saja ditanggapi dengan gembira karena wanita itupun sangat terkesan oleh keluhuran budi si dokter. Sementara itu, sang inspirator yang membuka mata semua orang itu kembali pada keadaannya selama 30 tahun sebelumnya. Bergantung pada sang ibu, yang dengan setia menyuapinya, juga memasangkan pampers layaknya bayi ketika Leonard hendak pergi tidur…..
Pelajaran yang aku dapat dari film ini:
Hidup itu indah – Jangan menunggu sampai anda tak dapat lagi menikmatinya karena sesuatu hal, dan jangan membiarkan kesibukan anda menjauhkan anda dari hidup anda sendiri. Aturlah pekerjaan anda dan ambillah cuti beberapa hari untuk bersantai bersama keluarga. Di sela-sela kesibukan, luangkan waktu tuk melakukan hal-hal spontan yang selalu anda inginkan. Pernah nonton film Shall We Dance? Ingat ketika Richard Gere yang menjalani hidup rutin dan membosankan tiba-tiba ingin belajar dansa? Dan lebih daripada itu, bertemulah dan buatlah persahabatan dengan banyak orang. Keberadaan orang lain akan memperkaya hidup anda dan seringkali merupakan pelangi yang cantik yang membias di langit polos nan monoton hidup kita.
Perlakukan semua orang dengan cinta – Cinta dan perhatian memiliki kekuatan yang dahsyat dan mampu mengubah hidup seseorang. Perlakukan semua orang setara, jangan sampai perbedaan menghalangi cinta untuk tumbuh.
Kebaikan yang kita lakukan tidak sia-sia – Kebaikan, sekecil apapun, yang kita lakukan tidak pernah sia-sia, meski kita mungkin mengira begitu. Membacakan cerita pada orang lumpuh syaraf, apakah berguna? Ya, karena mungkin orang itu tak dapat memahami isi cerita, namun suara kita yang penuh cinta bisa jadi menyentuh hati orang itu. Ingat teori Dr. Masaru Emoto tentang the Power of Water? Air saja mampu menangkap energi yang kita keluarkan, apalagi manusia!
Kekurangan kita menjadi inspirasi bagi orang lain – Jika anda memiliki kekurangan, apapun bentuknya, contohlah pribadi Leonard. Ia begitu menghargai hidup, dan bahkan hidupnya yang singkat ia abdikan untuk penelitian penyakitnya. Saat orang lain yang mengalami anfal penyakit tertentu biasanya tak akan memikirkan orang lain (diri sendiri lagi menderita, ngapain mikir orang lain?), Leonard justru menyuruh Dr. Sayer memotret dirinya saat kejang-kejang hebat datang. Leonard mungkin hanya ‘hidup lagi’ dalam hitungan hari, namun kisah hidupnya dapat terus menginspirasi banyak orang hingga bertahun-tahun lagi…..
Film ini film jadul, diangkat dari sebuah kisah nyata, dan diedarkan pertama kali tahun 2000-an namun bersetting tahun 1969. Dibintangi oleh Robin Williams yang berperan sebagai seorang dokter peneliti penyakit syaraf yang kuper dan pemalu bernama Dr. Malcolm Sayer, dan Robert De Niro yang dengan apik memerankan Leonard, si pasien penyakit syaraf kronis.
Film dibuka dengan Leonard kecil yang sedang bermain-main di taman. Lalu tiba-tiba jari-jari tangan Leonard kecil kaku, tak bisa digerakkan. Di rumah, Leonard yang biasanya lincah dan sehat tiba-tiba menjadi apatis, seperti tidak merespon keadaan sekitarnya. Di sekolah, kecepatan menulisnya semakin lamban dan akhirnya tangannya begitu kaku sehingga ia tak dapat menulis. Dan puncaknya, ibunya menemukan Leonard kaku sekujur tubuhnya tak dapat bergerak sedikitpun.
30 tahun setelah kejadian itu, datanglah seorang dokter berewok berkaca mata yang kelihatan rikuh dan pemalu melamar pekerjaan ke sebuah Rumah Sakit tempat dirawat bermacam-macam pasien dengan penyakit syaraf kronis yang tak dapat disembuhkan. Para perawat di situ menyebut tempat itu sebagai 'taman', karena yang mereka lakukan setiap hari hanyalah memberi makan dan minuman. Hampir semua pasien itu boleh dibilang tak punya kehidupan lagi. Ibaratnya tanaman yang ada di taman, yang hanya perlu disirami dan diberi pupuk.
Pasien pertama yang ditangani Dr. Sayer adalah wanita tua bernama Lucy. Duduk di kursi roda dan berkaca mata, Lucy layaknya patung. Tak ada gerakan, tak ada tanda-tanda kehidupan, bahkan matanya pun tak bergerak saat Dr. Sayer menyapanya. Maka Dr. Sayerpun mendiamkannya. Namun betapa terkejutnya ia saat menoleh kembali, tubuh Lucy dalam keadan membungkuk ke bawah dengan kacamata di tangannya. Rupanya kacamatanya jatuh dan ia mengambilnya. Maka Dr. Sayer menemukan bahwa, meski mematung, Lucy memiliki reflek yang bagus ketika ada benda dilemparkan ke arahnya. Sebagai seorang peneliti, ia tertantang untuk mempelajari penyakit aneh itu dan mencari obatnya.
Saat ia melaporkan kepada dokter Kepala Bagiannya bahwa ada sedikitnya 5 orang pasien dengan gejala aneh yang sama, si Kabag tidak tertarik dan cenderung mencemooh. Baginya mereka pasien kronis yang sudah tak ada harapan lagi. Beri saja mereka makan dan tidur, itu sudah lebih dari cukup. Buat apa susah-susah meneliti segala? Namun Dr. Sayer tidak putus asa. Dan kebetulan proyek itu disambut baik oleh para perawat di situ. Mereka lalu mengamati bahwa masing-masing pasien mempunyai stimulus berbeda-beda yang membuat para pasien itu dapat sedikit melakukan gerakan. Ada yang dengan musik klasik mendayu-dayu, ada yang dengan musik rock n roll yang dinamis, ada yang dengan sentuhan orang lain. Salah satu pasien berusia 37 tahun yang selalu dirawat oleh ibunya yang sudah tua, adalah Leonard, tokoh kita.
Dengan berbekal wawancaranya dengan ibu Leonard, dan hasil riset di perpustakaan, Dr. Sayer menyimpulkan bahwa para pasien pernah terkena radang otak, lalu mengalami kelumpuhan syaraf termasuk syaraf otak. Sang dokter jenius ini lalu menemukan suatu obat yang biasanya diberikan pada pasien Parkinson, yang mungkin dapat menyembuhkan penyakit aneh itu. Ia minta ijin pada Kabagnya untuk mencobanya pada Leonard. Awalnya para perawat skeptis bahwa obat itu akan berguna, hanya seorang perawat wanita bernama Eleanor yang percaya kepada Dr. Sayer dan mendukungnya.
Maka dengan seijin ibunya, Leonard mulai minum obatnya yang dilarutkan ke dalam segelas susu. Lalu terjadilah keajaiban, Leonard 'hidup' kembali layaknya putri yang tertidur bertahun-tahun lalu dan tiba-tiba terjaga (dalam dongeng Sleeping Beauty). Hanya bedanya, Leonard 'tidur' saat ABG, lalu 'terbangun' pada saat sudah menjadi pria berusia 37 tahun. Begitu mengharukan melihat betapa gembira dan bahagianya Leonard menemukan kembali hidup yang telah dirampas darinya selama hampir 30 tahun terakhir!
Begitu tahu bahwa obatnya sukses menyembuhkan Leonard, Dr. Sayer mengajukan dana ke Kabagnya untuk membeli obat untuk semua pasien lainnya. Awalnya terjadi perdebatan karena si Kabag melihat proyek itu sia-sia, sedang Dr. Sayer ngotot karena obat itu bukan hanya menyembuhkan, namun terlebih-lebih memberikan 'kehidupan', kehidupan yang telah lama dirampas dari mereka. Saat si Kabag tak bergeming, berduyun-duyun para perawat termasuk Eleanor, menunjukkan dukungan mereka pada proyek Dr. Sayer itu, dengan masing-masing menyerahkan selembar cek sebagai donasi. Sukses! Si Kabag akhirnya menyetujui.
Maka sama seperti kasus Leonard, para pasien segera 'bangun' setelah minum obat. Senang rasanya melihat vitalitas para lansia ini! Bayangkan mereka telah kehilangan masa muda mereka... Leonard yang paling muda, bertemu dengan seorang gadis manis yang sederhana dan baik. Ayahnya yang Parkinson juga pasien di RS itu, dan ia tiap hari datang untuk membacakan cerita bagi sang ayah. Leonard tertarik pada si gadis dan mengajaknya ngobrol. Si gadis sangsi apakah ayahnya mendengar atau tahu bahwa ia tiap hari datang untuknya. Leonard meyakinkannya bahwa ayahnya pasti tahu, meski ia Parkinson.
Dipacu oleh keinginannya untuk merasakan hidupnya yang baru saja ia temukan kembali, Leonard mengajukan permohonan untuk bisa merasakan hidup di luar RS. Bisa dibayangkan bahwa pihak RS, juga Dr. Sayer tidak mengijinkannya karena tak ada yang dapat memastikan kemanjuran atau efek obat baru yang ia minum itu. Mungkin dipengaruhi juga oleh perasaan cinta pada si gadis, Leonard menjadi marah dan meluap-luap emosinya sampai gejala kaku yang dulu pernah menyerangnya kini mulai tampak lagi! Dan gejala itu makin lama makin parah. Syarafnya membuat seluruh tubuhnya bergerak-gerak tak terkendali. Ia bahkan tak bisa lagi mambaca (yang menjadi kegemarannya) karena kepalanya bergerak-gerak terus ke kiri-kanan persis seperti orang menggeleng-geleng. Maka sadarlah semua orang bahwa obat itu hanya memberikan keajaiban sesaat. Meski Dr. Sayer menambah dosisnya, keadaan Leonard makin parah saja.
Adegan yang menguras air mata adalah ketika Leonard bertemu dengan gadis pujaannya di kantin RS. Dengan seluruh tubuh bergerak-gerak liar dan lidah agak pelo, ia harus mengucapkan selamat tinggal pada si gadis. Ketika itu lagu lembut mengalun, maka si gadis pelan-pelan membimbing Leonard untuk berdansa bersamanya, di bawah tatapan haru semua pasien yang ada di ruangan itu. Aku tak tahan melihat tatapan sedih di mata Leonard ketika dengan tubuh terguncang-guncang menyaksikan kepergian kekasihnya dari antara kisi-kisi jendela RS. Kekasih dan kehidupan cinta yang takkan pernah ia rasakan...
Apakah kemunduran fisik itu membuat Leonard marah pada Dr. Sayer? Tidak! Ia justru mendorong sang dokter untuk terus meneliti, dan memikirkan pengobatan penyakit aneh itu. Namun pelajaran yang paling berharga yang Dr. Sayer peroleh dari pasiennya ini, adalah bahwa hidup ini menawarkan begitu banyak keindahan yang sering dilupakan orang. Dan keindahan itu justru terletak pada hal-hal sepele seperti berjalan-jalan dengan teman, makan-makan, mengerjakan sesuatu bersama anak anda atau bersantai dengan keluarga. Banyak orang tenggelam dalam pekerjaannya sehingga semua keindahan itu terlewatkan, dan saat kehidupan ini terenggut dari anda, seperti yang dialami Leonard, barulah anda akan menghargainya.
Dr. Sayer pun tersadar apa yang selama ini 'kurang' dalam hidupnya, yakni hubungan dengan seorang wanita. Maka, ia pun memberanikan diri mengajak Eleanor untuk kencan, yang tentu saja ditanggapi dengan gembira karena wanita itupun sangat terkesan oleh keluhuran budi si dokter. Sementara itu, sang inspirator yang membuka mata semua orang itu kembali pada keadaannya selama 30 tahun sebelumnya. Bergantung pada sang ibu, yang dengan setia menyuapinya, juga memasangkan pampers layaknya bayi ketika Leonard hendak pergi tidur…..
Pelajaran yang aku dapat dari film ini:
Hidup itu indah – Jangan menunggu sampai anda tak dapat lagi menikmatinya karena sesuatu hal, dan jangan membiarkan kesibukan anda menjauhkan anda dari hidup anda sendiri. Aturlah pekerjaan anda dan ambillah cuti beberapa hari untuk bersantai bersama keluarga. Di sela-sela kesibukan, luangkan waktu tuk melakukan hal-hal spontan yang selalu anda inginkan. Pernah nonton film Shall We Dance? Ingat ketika Richard Gere yang menjalani hidup rutin dan membosankan tiba-tiba ingin belajar dansa? Dan lebih daripada itu, bertemulah dan buatlah persahabatan dengan banyak orang. Keberadaan orang lain akan memperkaya hidup anda dan seringkali merupakan pelangi yang cantik yang membias di langit polos nan monoton hidup kita.
Perlakukan semua orang dengan cinta – Cinta dan perhatian memiliki kekuatan yang dahsyat dan mampu mengubah hidup seseorang. Perlakukan semua orang setara, jangan sampai perbedaan menghalangi cinta untuk tumbuh.
Kebaikan yang kita lakukan tidak sia-sia – Kebaikan, sekecil apapun, yang kita lakukan tidak pernah sia-sia, meski kita mungkin mengira begitu. Membacakan cerita pada orang lumpuh syaraf, apakah berguna? Ya, karena mungkin orang itu tak dapat memahami isi cerita, namun suara kita yang penuh cinta bisa jadi menyentuh hati orang itu. Ingat teori Dr. Masaru Emoto tentang the Power of Water? Air saja mampu menangkap energi yang kita keluarkan, apalagi manusia!
Kekurangan kita menjadi inspirasi bagi orang lain – Jika anda memiliki kekurangan, apapun bentuknya, contohlah pribadi Leonard. Ia begitu menghargai hidup, dan bahkan hidupnya yang singkat ia abdikan untuk penelitian penyakitnya. Saat orang lain yang mengalami anfal penyakit tertentu biasanya tak akan memikirkan orang lain (diri sendiri lagi menderita, ngapain mikir orang lain?), Leonard justru menyuruh Dr. Sayer memotret dirinya saat kejang-kejang hebat datang. Leonard mungkin hanya ‘hidup lagi’ dalam hitungan hari, namun kisah hidupnya dapat terus menginspirasi banyak orang hingga bertahun-tahun lagi…..
Siip, resensi yg sangat apik. Kebetulan saya juga penyuka Robin Williams dan Robert de Niro, mau nonton ah nanti.
ReplyDeleteKayaknya aku nonton filmnya minggu lalu deh,... tapi resensinya jauh lebih indah. Sukses selalu....
ReplyDeleteduh,, keren yah filmnya. aku belum pernah nonton sih,, tapi cuma baca resensinya aja aku jadi tertarik..
ReplyDeletesiph dah pokoknya..!
pernah nonton sekali film ini... jadi pengen nonton lagi.....
ReplyDeleteResensi-nya komplit banget mbak.... :)
resensinya bagus, ku punya filmnya tp aku kira jelek jd nggak aku tonton, klo gt nonton dulu ahhh....
ReplyDeleteMbak.., ini film lama atau baru ? Kok seingatku aku pernah nonton film ini waktu aku kuliah di Yogyakarta ya ??
ReplyDeleteRobin William emang keren banget dalam berakting.
Mbak Fanda pinter juga nulis resensi film ternyata hehehe...
Cinta dan perhatian memiliki kekuatan yang dahsyat dan mampu mengubah hidup seseorang. Perlakukan semua orang setara, jangan sampai perbedaan menghalangi cinta untuk tumbuh.
ReplyDeletebener banget mbak. emang kita nggak boleh beda-bedain orang. tapi di jaman sekarang ini, susah-susah gampang buat nyari orang yang kayak gitu mbak.
Baca resensinya saja sudah terharu, apalagi nonton filmnya ya....
ReplyDeleteyah....Terkadang kita lupa menghargai hidup ini, kita menjadi bisa bersyukur klo melihat dan menyadari bahwa masih banyak orang-orang yang tidak seberuntung kita.
salam Rudy
www.aurakelimpahan.blgspot.com
dari ref mbak fanda keren bgt t film,, aku pengen nonton ^^
ReplyDeletemba fan...lewat tulisanmu serasa lebih indah alur ceritanya... bagus banget mbak... :)
ReplyDeleteMenarik,,jadi kepengen nonton mbak.
ReplyDeleteitu dokternya yang maen di jumanji kan?
Mba tukeran link dunks !
ReplyDeletehttp://kelincex.blogspot.com
Robin William yah, ntar aku cari dulu koleksi lamaku....*ngacir ke rental* huehuehue...
ReplyDeleteartikelnya bagus banget... sangat bermanfaat. tengkyu..
ReplyDeleteU comment I follow.
Salam kenal :D
sip kaka fanda
ReplyDeleteyup, benar mba', hidup ini terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja.
ReplyDeletesaya suka dengan nilai2 yang terkandung di film itu dan mba' review film itu dengan sangat apik, salut.
aku suka banged ma kedua aktor itu. apalagi robert de niro. udah nonton the unthouchable mbak fanda?
ReplyDeletedengan membaca dan berimaginasi rasae kayak nonton di bioskop 21 , puas banget.. ringkasan alur critanya passss...
ReplyDeletekeren bgttt.....jd pengen ntn fil ny,hikz..
ReplyDeletekaya ny mbak ne penyuka film dech,dan resensi2 dri film yang dah di tontong sep2 bgt..mksh :)
hmmm.. dah kebayang dari resensinya.. jadi ga usah nonton aja ya Fan... :)
ReplyDeleteduh.... pemaparannya bagus banget mba, jadi pingin nonton film ini deh...
ReplyDeleteNew Posting! mampir ya!!!
ReplyDeletefilm yang bagus keknya tuh mbak...
ReplyDeleteaku baca resensi dari fanda aja sampe nangis..apalagi nonton filmnya..pernah tau sih ada film itu tapi yahhh gak sempet aja nonton...kalo Shall we dance, aku nonton tuh sampe 2 kali hehehe
ReplyDeleteWah, sepertinya keren banget filmnya... Kupasan dalam tulisan ini mantap!
ReplyDeleterobbin williams aktor yang hebat
ReplyDeletesalut untuk beliau
Ya Alloh mbak Fanda
ReplyDeletesumpah aku terharu banget baca postingan kali in. bisa dibayangkan gimana perasaanny ketika dia harus dengan rela ngelepasin gadis yg di cintainya
endingnya sad ya mbak hiks...
mbak Fanda sehubungan dengan pesan pertama: aku mo nonton hari ini ma temen karena udah lama gak refresing hehehe
pesen kedua: mungkin ini pertanyaan yg memerlukan pendapat
gimana kalo seandainya ada seseoran yg menyukai kita tapi dia tidak lagi sendiri. dia tau kondisinya tapi rasa kasih itu selalu mengikat erat hatinya sehingga dia gak bisa melupakan oran yg di kasihinya meskipun untuk memilikinya itu tidak mungkin
mbak fanda ngupiiiii!
ReplyDelete@Henny: Ya, Robin Williams yg maen di Jumanji itu.
ReplyDelete@JengSri: Untouchable? Kyknya pernah tp sudah lupa ceritanya!
@Dwina: Kalo memang tidak mungkin, simpan aja rasa kasih itu sendiri. Berusaha melupakan malah bikin hati sakit. Kan cinta tak selalu harus memiliki? Tp tidak ada yg bisa melarang org 'tuk mencintai. Jadi, semacam pengagum jarak jauh gitu lah...
Kayaknya klise n gampang banget ya ngomongnya, tp sdh dipraktekin kok, dan berhasil tuh! hehehe...
Semoga membantu ya!
salah satu pemain film fav-ku neh, robin william..selain Tom Hank. Acting dy selalu bisa membuat penonton lebih menghayati cerita. Baru-baru ini liat dia di One Hour Photo. makasih mbak fanda buat reviewnya
ReplyDeleteJadi pengen nonton filmnya....
ReplyDeleteRobin Willy emang mantep...
ReplyDeletesaya masa punya cerita bahwa nama beliau sempet ketukar sama Robby William.. tanpa 'bin' di kata Robby-nya... kqkqkkqkqkqk...
resensinya top nii :)
Sesungguhnya kita terus banyak belajar dari hidup & kehidupan kita & orang lain, untuk bisa merasakan keistimewaan hidup yang kita jalani.
ReplyDeleteFinally, movie review. Fanda, rajin-rajin nulis review film ya? I really like it.
ReplyDeleteResensi yang menginspirasi, dik.
ReplyDeleteFilmnya juga mebuat haru, kebetulan aku juga sudah nonton, aku selalu suka kisah-kisah yang menggugah. Terus bikin resensi, ya...
waw... puanjang kali postingannya.... hihihi
ReplyDeletekoment dulu ya baru baca :D