Melanjutkan kisah nyata Tuesday Lobsang Rampa, seorang anak yang telah ditakdirkan untuk menjadi seorang rahib dan masuk biara sejak usia 7 tahun. Baca dulu bagian pertamanya disini.
Suatu hari Lobsang dipanggil menghadap ke istana Dalai Lama, karena sang pimpinan tertinggi Tibet ini telah mendengar bakat istimewa Lobsang sebagai seorang clairvoyance. Gurunya harus mengajarinya seharian tata cara rumit untuk menghadap seorang Dalai Lama. Saat masuk ke ruangan sambil membawa syal yang terbaik, ia harus mengarahkan matanya ke bawah, karena tidaklah sopan untuk melihat langsung ke arah Dalai Lama. Lalu ia harus menjulurkan lidah untuk memberi hormat (sama seperti orang Eropa melepas topi), lalu berlutut dan membungkuk 3 kali. Lalu ia harus membentangkan syal ke atas kaki Dalai Lama dan terus membungkuk sampai Dalai Lama menaruh syal itu ke leher Lobsang. Lalu ia harus berjalan mundur menuju jajaran bantal terdekat untuk duduk di situ.
Dalai Lama tinggal di Potala, sebuah kota mandiri di sebuah gunung kecil. Dan bangunan tempat ia tinggal berada di puncaknya. Untuk menuju kesana orang harus mendaki sebuah tangga batu yang sangat besar. Kepada Lobsang, Dalai Lama mengulangi kembali ramalan lengkap para astrolog tentang hidupnya: yaitu bahwa setelah mata ketiganya terbuka ia akan berjalan jauh ke negara-negara asing di seluruh dunia yang belum pernah ia dengar, mengalami masa-masa sulit pada awalnya, namun akan berakhir dengan keberhasilan. Ia akan melihat kematian, kehancuran dan kekejaman. Itulah intinya, dan Dalai Lama khusus memberi instruksi pada Lama Mingyar untuk mengajar Lobsang dengan baik.
Di istana Dalai Lama Lobsang sempat mencoba melihat melalui teleskop yang ada di bagian atas istana. Lucu juga reaksinya ketika pertama kali mencoba alat itu, ia merasa melihat orang naik kuda di dalam teleskop yang menuju langsung ke arahnya. Ia langsung mundur dengan wajah pucat! Lalu saat akan pulang ke Chakpori, tanpa sengaja Lobsang berpapasan dengan ayahnya di tangga, yang sedang menunggang kuda ke atas, sedang Lobsang hendak jalan kaki ke bawah. Pertemuan yang mengejutkan keduanya, namun sang ayah terus memacu kudanya naik tanpa mempedulikan Lobsang, dan membuat anak kecil itu kecewa dan hampir menangis.
Tentu saja, ayah Lobsang mengerti bahwa ‘mantan’ anaknya telah menemui Dalai Lama, dan ia tak berani menegurnya. Aku jadi membayangkan perasaan ayah Lobsang. Apakah ia bangga? Terkejut? Iri? Atau mungkin gabungan dari semuanya ya?...
Kembali ke biara, ia terus belajar sampai tiba waktunya menjalani ujian tepat pada ulangtahunnya yang ke 12. Kalau dipikir-pikir malang juga ya nasibnya, di beberapa moment ulang tahunnya, Lobsang harus berjuang. Dulu ia harus ketakutan pada waktu ultah ke 7, dan kini harus berjuang untuk lulus ujian di ultah ke 12.
Ujiannya agak menakutkan. Masing-masing anak diberi petak ruang kosong dari batu sebesar 2x3 mtr, tinggi 2,5 mtr. Setelah peserta masuk, pintunya dikunci, gembok dan segel. Lalu akan ada rahib memasukkan lewat lubang kecil di dinding, alat tulis dan satu set soal pertama. Mereka tidak boleh keluar sama sekali dari bilik itu selama 6 hari, dan hanya boleh makan tsampa 3 kali sehari, tapi boleh minum teh bermentega sebanyak yang mereka mau.
Lobsang lulus dengan nilai terbaik, dan boleh mengenakan jubah lama, meski ia baru akan mengikuti ujian untuk menjadi lama pada usia 16 tahun.
Selanjutnya Lobsang berkesempatan untuk ikut pergi bersama rombongan rahib yang bertugas mengumpulkan tumbuh-tumbuhan dan menerbangkan layang-layang. Layang-layang disini bukan yang biasa dimainkan anak-anak di negara kita, tapi sebuah layangan besar yang dapat dinaiki manusia. Untuk menerbangkannya butuh keahlian khusus, dan kalau sial pengendara layang-layang ini bisa jatuh dan meninggal!
Petualangan berikutnya, yang tak kalah mendebarkannya bagi Lobsang adalah kunjungan ke rumahnya sendiri! Bertahun-tahun menjadi rahib dengan disiplin yang keras membuat Lobsang merasa jengah untuk pergi ke bekas rumahnya sendiri, bertemu dengan ibu dan kerabatnya. Dan terutama, ia pucat gemetaran ketika kakak perempuannya yang beranjak dewasa dan saudara-saudara perempuan lainnya memandangi dan mendekatinya. Ternyata begitulah seorang rahib kalau berada di tengah perempuan!
Lobsang berkesempatan mempraktekkan mata ketiganya pada waktu ia dimintai tolong oleh Dalai Lama untuk menilai delegasi dari Cina yang akan bernegosiasi dengannya. Maka selama pertemuan, Lobsang bersembunyi dari balik sekat sehingga ia bisa melihat bahwa aura para delegasi Cina itu kelihatan serakah dan cenderung berkhianat. Mereka hanya ingin menguasai emas yang ada di tanah Tibet. Namun Lobsang tetap saja senang saat bisa ke istana Dalai Lama, karena di sana makanannya enak-enak. Ya, Lobsang memang sangat suka makan!!
Namun pengalaman yang paling menarik adalah ketika ia pergi berombongan bersama gurunya dan 14 orang rahib lain ke dataran tinggi Chang Tang, di daerah pegunungan utara yang sangat tinggi. Itulah tempat tertinggi di dataran Tibet. Tujuannya untuk mengumpulkan tanaman-tanaman langka yang akan diolah menjadi obat. Rombongan ini naik bagal, karena bagal lebih kecil dan kuat daripada kuda.
Semakin menanjak ke atas oksigen semakin tipis, dan pada titik tertentu bagal tak bisa naik lagi. Maka mereka ditinggal di sebuah tempat yang cukup terlindung bersama 5 anggota yang paling lemah. Sisanya melanjutkan perjalanan jalan kaki dan bahkan berayun menggunakan tali dari rambut Yak di tempat yang curam. Di tempat tertentu mereka melemparkan kait besi ke sisi seberang, lalu dengan tali salah seorang berayun untuk mencapai sisi seberang. Saat itu ada seorang rahib yang meninggal karena berayun terlalu keras dan menabrak batu. Betul-betul ekspedisi yang ekstra sulit dan membahayakan.
Lebih tinggi lagi, mereka tiba di lapisan yang tertutup es, dan mereka terus mendaki meski tanpa peralatan mendaki di es yang layak. Setelah 3 hari berjalan, rute menjadi menurun melingkari gunung. Lalu di suatu tempat tiba-tiba tampak semacam kabut atau awan sangat putih dan terbentang tak putus-putus. Dan setelah melewati kabut yang dingin dan basah itu, mereka mendadak terdampar di suatu tempat yang sama sekali tak mereka duga.
Di hadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang hijau, dan udara yang mendadak panas. Pepohonan ada di mana-mana dan bunganya berwarna warni indah. Sejenak Lobsang merasa ia sudah berada di surga karena mati kedinginan. Namun Lama Mingyar, yang sudah pernah pergi ke tempat itu menjelaskan bahwa itu adalah sebuah fenomena alam. Penyebabnya adalah panas dari dalam bumi yang menghangatkan sungai. Mengapa panasnya tak menguar keluar? Karena terhalang oleh padas yang sangat tinggi, sehingga uap panas itu tetap tinggal di dataran itu. Kabut yang dilalui Lobsang tadi adalah tanda batas pertemuan antara dingin dan panas.
Tahukah anda, bahwa konon Tibet terletak di dataran rendah di tepi laut, dan karena sebab alam yang tak diketahui, ada dataran yang tenggelam ke laut, tapi ada juga yang terangkat menjadi gunung-gunung. Mungkin sebuah gempa yang maha dahsyat ya? Tak heran, di Tibet sering ditemukan fosil-fosil laut dan kulit kerang purba.
Di dataran tinggi Chang Tang pula Lobsang menyaksikan sesuatu yang sampai saat ini masih menjadi misteri, yakni: makhluk yang disebut Yeti. Apakah Yeti itu ada? Dan makhluk apa ia sebenarnya? Mengapa orang jarang melihatnya? Kalau ia makhluk langka, bagaimana ia dapat bertahan hidup?
Menurut Lobsang Yeti memang ada, dan hidup di tempat paling tinggi di dataran Chang Tang. Yeti bertubuh mirip kera tapi tengkorak kepalanya mirip manusia, dan cara berjalannya lebih mirip manusia daripada kera. Menurut Lama Mingyar Yeti memiliki ciri-ciri sebagai nenek moyang ras manusia namun berbeda perkembangan evolusinya, dan hanya bisa hidup di tempat-tempat yang tak terjamah manusia. Ada mitos yang mengatakan bahwa yeti jantan melarikan wanita-wanita yang hidup sendirian. Mungkin inilah penyebab mereka tak pernah punah, karena bisa meneruskan keturunan. Namun, semuanya kembali kepada kita, mau percaya atau tidak.
Itulah beberapa kisah petualangan Lobsang melihat negeri tempatnya lahir dan dibesarkan. Sesudah ditahbiskan menjadi lama, ia harus berkeliling dunia, melanjutkan tugasnya sebelum ia berinkarnasi. Orang Tibet (dan Buddha) percaya bahwa ada orang-orang istimewa yang setelah mati akan berinkarnasi dalam kehidupan yang lain. Dalam buku ini banyak juga teori-teori lain yang menarik seperti perjalanan astral, atau bagaimana proses orang bermimpi pada waktu tidur, dsb. Semuanya dijelaskan secara gamblang. Itulah yang membuat buku ini merupakan bacaan berat. Namun, menarik juga untuk mempelajari sebuah budaya yang memang menarik.
Buku ini diakhiri dengan Lobsang yang pulang sejenak ke rumahnya, bertemu dengan keluarganya untuk yang terakhir kali, dan menuliskan namanya di buku keluarga sebagai seorang Lama. Dan aku akan mengakhiri tulisan ini dengan mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah me-request buku ini untuk aku ulas. Semoga anda telah menemukan sebuah wawasan baru yang menarik, sama seperti aku.
Suatu hari Lobsang dipanggil menghadap ke istana Dalai Lama, karena sang pimpinan tertinggi Tibet ini telah mendengar bakat istimewa Lobsang sebagai seorang clairvoyance. Gurunya harus mengajarinya seharian tata cara rumit untuk menghadap seorang Dalai Lama. Saat masuk ke ruangan sambil membawa syal yang terbaik, ia harus mengarahkan matanya ke bawah, karena tidaklah sopan untuk melihat langsung ke arah Dalai Lama. Lalu ia harus menjulurkan lidah untuk memberi hormat (sama seperti orang Eropa melepas topi), lalu berlutut dan membungkuk 3 kali. Lalu ia harus membentangkan syal ke atas kaki Dalai Lama dan terus membungkuk sampai Dalai Lama menaruh syal itu ke leher Lobsang. Lalu ia harus berjalan mundur menuju jajaran bantal terdekat untuk duduk di situ.
Dalai Lama tinggal di Potala, sebuah kota mandiri di sebuah gunung kecil. Dan bangunan tempat ia tinggal berada di puncaknya. Untuk menuju kesana orang harus mendaki sebuah tangga batu yang sangat besar. Kepada Lobsang, Dalai Lama mengulangi kembali ramalan lengkap para astrolog tentang hidupnya: yaitu bahwa setelah mata ketiganya terbuka ia akan berjalan jauh ke negara-negara asing di seluruh dunia yang belum pernah ia dengar, mengalami masa-masa sulit pada awalnya, namun akan berakhir dengan keberhasilan. Ia akan melihat kematian, kehancuran dan kekejaman. Itulah intinya, dan Dalai Lama khusus memberi instruksi pada Lama Mingyar untuk mengajar Lobsang dengan baik.
Di istana Dalai Lama Lobsang sempat mencoba melihat melalui teleskop yang ada di bagian atas istana. Lucu juga reaksinya ketika pertama kali mencoba alat itu, ia merasa melihat orang naik kuda di dalam teleskop yang menuju langsung ke arahnya. Ia langsung mundur dengan wajah pucat! Lalu saat akan pulang ke Chakpori, tanpa sengaja Lobsang berpapasan dengan ayahnya di tangga, yang sedang menunggang kuda ke atas, sedang Lobsang hendak jalan kaki ke bawah. Pertemuan yang mengejutkan keduanya, namun sang ayah terus memacu kudanya naik tanpa mempedulikan Lobsang, dan membuat anak kecil itu kecewa dan hampir menangis.
Tentu saja, ayah Lobsang mengerti bahwa ‘mantan’ anaknya telah menemui Dalai Lama, dan ia tak berani menegurnya. Aku jadi membayangkan perasaan ayah Lobsang. Apakah ia bangga? Terkejut? Iri? Atau mungkin gabungan dari semuanya ya?...
Kembali ke biara, ia terus belajar sampai tiba waktunya menjalani ujian tepat pada ulangtahunnya yang ke 12. Kalau dipikir-pikir malang juga ya nasibnya, di beberapa moment ulang tahunnya, Lobsang harus berjuang. Dulu ia harus ketakutan pada waktu ultah ke 7, dan kini harus berjuang untuk lulus ujian di ultah ke 12.
Ujiannya agak menakutkan. Masing-masing anak diberi petak ruang kosong dari batu sebesar 2x3 mtr, tinggi 2,5 mtr. Setelah peserta masuk, pintunya dikunci, gembok dan segel. Lalu akan ada rahib memasukkan lewat lubang kecil di dinding, alat tulis dan satu set soal pertama. Mereka tidak boleh keluar sama sekali dari bilik itu selama 6 hari, dan hanya boleh makan tsampa 3 kali sehari, tapi boleh minum teh bermentega sebanyak yang mereka mau.
Lobsang lulus dengan nilai terbaik, dan boleh mengenakan jubah lama, meski ia baru akan mengikuti ujian untuk menjadi lama pada usia 16 tahun.
Selanjutnya Lobsang berkesempatan untuk ikut pergi bersama rombongan rahib yang bertugas mengumpulkan tumbuh-tumbuhan dan menerbangkan layang-layang. Layang-layang disini bukan yang biasa dimainkan anak-anak di negara kita, tapi sebuah layangan besar yang dapat dinaiki manusia. Untuk menerbangkannya butuh keahlian khusus, dan kalau sial pengendara layang-layang ini bisa jatuh dan meninggal!
Petualangan berikutnya, yang tak kalah mendebarkannya bagi Lobsang adalah kunjungan ke rumahnya sendiri! Bertahun-tahun menjadi rahib dengan disiplin yang keras membuat Lobsang merasa jengah untuk pergi ke bekas rumahnya sendiri, bertemu dengan ibu dan kerabatnya. Dan terutama, ia pucat gemetaran ketika kakak perempuannya yang beranjak dewasa dan saudara-saudara perempuan lainnya memandangi dan mendekatinya. Ternyata begitulah seorang rahib kalau berada di tengah perempuan!
Lobsang berkesempatan mempraktekkan mata ketiganya pada waktu ia dimintai tolong oleh Dalai Lama untuk menilai delegasi dari Cina yang akan bernegosiasi dengannya. Maka selama pertemuan, Lobsang bersembunyi dari balik sekat sehingga ia bisa melihat bahwa aura para delegasi Cina itu kelihatan serakah dan cenderung berkhianat. Mereka hanya ingin menguasai emas yang ada di tanah Tibet. Namun Lobsang tetap saja senang saat bisa ke istana Dalai Lama, karena di sana makanannya enak-enak. Ya, Lobsang memang sangat suka makan!!
Namun pengalaman yang paling menarik adalah ketika ia pergi berombongan bersama gurunya dan 14 orang rahib lain ke dataran tinggi Chang Tang, di daerah pegunungan utara yang sangat tinggi. Itulah tempat tertinggi di dataran Tibet. Tujuannya untuk mengumpulkan tanaman-tanaman langka yang akan diolah menjadi obat. Rombongan ini naik bagal, karena bagal lebih kecil dan kuat daripada kuda.
Semakin menanjak ke atas oksigen semakin tipis, dan pada titik tertentu bagal tak bisa naik lagi. Maka mereka ditinggal di sebuah tempat yang cukup terlindung bersama 5 anggota yang paling lemah. Sisanya melanjutkan perjalanan jalan kaki dan bahkan berayun menggunakan tali dari rambut Yak di tempat yang curam. Di tempat tertentu mereka melemparkan kait besi ke sisi seberang, lalu dengan tali salah seorang berayun untuk mencapai sisi seberang. Saat itu ada seorang rahib yang meninggal karena berayun terlalu keras dan menabrak batu. Betul-betul ekspedisi yang ekstra sulit dan membahayakan.
Lebih tinggi lagi, mereka tiba di lapisan yang tertutup es, dan mereka terus mendaki meski tanpa peralatan mendaki di es yang layak. Setelah 3 hari berjalan, rute menjadi menurun melingkari gunung. Lalu di suatu tempat tiba-tiba tampak semacam kabut atau awan sangat putih dan terbentang tak putus-putus. Dan setelah melewati kabut yang dingin dan basah itu, mereka mendadak terdampar di suatu tempat yang sama sekali tak mereka duga.
Di hadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang hijau, dan udara yang mendadak panas. Pepohonan ada di mana-mana dan bunganya berwarna warni indah. Sejenak Lobsang merasa ia sudah berada di surga karena mati kedinginan. Namun Lama Mingyar, yang sudah pernah pergi ke tempat itu menjelaskan bahwa itu adalah sebuah fenomena alam. Penyebabnya adalah panas dari dalam bumi yang menghangatkan sungai. Mengapa panasnya tak menguar keluar? Karena terhalang oleh padas yang sangat tinggi, sehingga uap panas itu tetap tinggal di dataran itu. Kabut yang dilalui Lobsang tadi adalah tanda batas pertemuan antara dingin dan panas.
Tahukah anda, bahwa konon Tibet terletak di dataran rendah di tepi laut, dan karena sebab alam yang tak diketahui, ada dataran yang tenggelam ke laut, tapi ada juga yang terangkat menjadi gunung-gunung. Mungkin sebuah gempa yang maha dahsyat ya? Tak heran, di Tibet sering ditemukan fosil-fosil laut dan kulit kerang purba.
Di dataran tinggi Chang Tang pula Lobsang menyaksikan sesuatu yang sampai saat ini masih menjadi misteri, yakni: makhluk yang disebut Yeti. Apakah Yeti itu ada? Dan makhluk apa ia sebenarnya? Mengapa orang jarang melihatnya? Kalau ia makhluk langka, bagaimana ia dapat bertahan hidup?
Menurut Lobsang Yeti memang ada, dan hidup di tempat paling tinggi di dataran Chang Tang. Yeti bertubuh mirip kera tapi tengkorak kepalanya mirip manusia, dan cara berjalannya lebih mirip manusia daripada kera. Menurut Lama Mingyar Yeti memiliki ciri-ciri sebagai nenek moyang ras manusia namun berbeda perkembangan evolusinya, dan hanya bisa hidup di tempat-tempat yang tak terjamah manusia. Ada mitos yang mengatakan bahwa yeti jantan melarikan wanita-wanita yang hidup sendirian. Mungkin inilah penyebab mereka tak pernah punah, karena bisa meneruskan keturunan. Namun, semuanya kembali kepada kita, mau percaya atau tidak.
Itulah beberapa kisah petualangan Lobsang melihat negeri tempatnya lahir dan dibesarkan. Sesudah ditahbiskan menjadi lama, ia harus berkeliling dunia, melanjutkan tugasnya sebelum ia berinkarnasi. Orang Tibet (dan Buddha) percaya bahwa ada orang-orang istimewa yang setelah mati akan berinkarnasi dalam kehidupan yang lain. Dalam buku ini banyak juga teori-teori lain yang menarik seperti perjalanan astral, atau bagaimana proses orang bermimpi pada waktu tidur, dsb. Semuanya dijelaskan secara gamblang. Itulah yang membuat buku ini merupakan bacaan berat. Namun, menarik juga untuk mempelajari sebuah budaya yang memang menarik.
Buku ini diakhiri dengan Lobsang yang pulang sejenak ke rumahnya, bertemu dengan keluarganya untuk yang terakhir kali, dan menuliskan namanya di buku keluarga sebagai seorang Lama. Dan aku akan mengakhiri tulisan ini dengan mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah me-request buku ini untuk aku ulas. Semoga anda telah menemukan sebuah wawasan baru yang menarik, sama seperti aku.