Sebagai pencinta buku, aku sering membanding-bandingkan bacaan kesukaanku dengan sesama bookaholic. Dan hingga saat ini aku merasa bahwa hampir tak pernah ada dua bookaholic yang selera bacanya sama persis. Baru-baru ini aku dan adik angkatku, Yudhi bertukar pikiran tentang selera baca kami berdua dan Rudi (nama samaran), sahabat Yudhi yang bookaholic juga.
Si Rudi suka banget kisah-kisah sejarah macam samurai dan perang, dia juga suka kisah fantasi seperti Harry Potter atau Lord Of The Ring, tapi tak suka kisah romantis (iyalah..jarang cowok yang suka kisah romantis). Yudhi lebih suka buku yang mengandalkan logika dan deduksi seperti Agatha Christie dan Sherlock Holmes. Kisah sejarah? Bikin ngantuk, katanya... Kisah fantasi dia juga tak suka, makanya tak pernah membaca Harry Potter.
Kalau aku, mungkin seleraku lebih mirip Rudi karena aku suka Harry Potter, meski tak suka Lord Of The Ring. Tapi sama seperti Yudhi, buku sejarah juga sering bikin aku bosan. Dan aku paling suka Agatha Christie, seperti Yudhi. Hanya saja alasannya bukan karena deduksinya saja, tapi faktor psikologi manusianya juga. Sherlock Holmes? Terlalu banyak deduksinya menurutku, kurang ada seninya. Lho?
Kalau begitu, memang susah ya untuk menemukan dua orang yang benar-benar sama seleranya. Jadi, tidaklah mengherankan kalau ada beberapa buku yang masuk kategori bagus dan best seller, tapi sama sekali tak masuk daftar bacaanku. Contohnya ada beberapa nih...
Lord Of The Ring
Sungguh.... aku dulu sempat beli seri 1 buku ini, karena banyak yang bilang kisahnya mirip dengan Harry Potter. Tapi, baru halaman 1 aku baca...aku jadi ilfil alias kehilangan selera untuk meneruskan. Hanya karena buku ini best seller kala itu, aku memaksakan diri untuk membaca beberapa halaman berikutnya, dengan harapan mungkin lama kelamaan ceritanya akan mengalir dengan lebih enak. Dan akhirnya...aku menyerah. Aku tutup buku itu di bab-bab awal dan tak hendak aku meneruskannya lagi selamanya. Entah kenapa, membaca kisah itu, rasanya datar dan membosankan. Pasti banyak nih teman-teman yang tidak setuju denganku, tapi memang begitulah perasaanku.
Eragon
Buku yang satu ini juga buku bertema fantasi. Ketika aku membaca beberapa halaman awal, aku tak merasakan sensasi-membaca-buku-bagus yang sering datang ketika membaca halaman awal suatu buku. Maka aku memutuskan aku takkan menyukai Eragon dan semua sekuelnya. Bagiku ceritanya terlalu fantastis. Padahal Harry Potter kan juga fantasi ya? Yah..entahkah pokoknya aku tak suka.
Buku yang bagus menurutku haruslah membuat emosiku turut ambil bagian saat secara fisik otak mencerna apa yang aku baca. Kisah di buku itu haruslah membuatku merasakan sesuatu. Tegang? penasaran? Atau aku tiba-tiba merasa sudah pindah dari alam nyata ke dalam kisah itu sendiri. Yang terakhir ini aku alami saat membaca Harry Potter.
Hingga kini aku masih bisa mengingat sensasi itu. Sensasi-halaman-pertama, aku menyebutnya. Aku masih ingat bagaimana suasana malam yang sepi di Privet Drive, dan tiba-tiba suasana magis terasa ketika seekor kucing hitam dengan mata tajam duduk diam di atas tembok, lalu satu per satu lampu jalanan padam mengiringi kemunculan Dumbledore. Semua itu langsung terasa menyihirku ke dalam kisah yang ditulis JK Rowling itu. Seakan aku tiba-tiba tanpa sadar sudah pindah dunia, dan berada di jalanan Privet Drive, menonton semua atraksi itu. Dan sepertinya ada magnet yang mencengkeram aku untuk terus dan terus membaca.
Di luar itu, ada juga buku yang memang bagus di awalnya, namun makin lama membuatku merasa tak nyaman. Tak nyaman di sini bisa berarti bosan karena alur cerita ternayata monoton dan datar saja, atau... ini nih yang baru saja kualami...
Dracula (by Bram Stroker)
Ini buku yang baru-baru ini aku baca. Siapa yang tak tahu tokoh Drakula si penghisap darah itu? Beberapa waktu lalu, saat aku bongkar-bongkar di sebuah lapak buku bekas, aku menemukan sebuah buku dengan tampilan yang sangat unik. Warna dasar sampulnya hitam pekat. Lalu judulnya tertulis dalam huruf kuno berwarna emas: "Dracula". Tanpa ilustrasi lainnya, tanpa warna lain. Hanya hitam bertulisan emas. Lalu di bagian sisi sampul terdapat nuansa emas berupa beberapa kotak yang berisi tulisan judul dan pengarang. Bagian belakang sampul tentu saja hitam pekat. Yang istimewa lagi, pinggiran kertasnya berwarna merah tua. Aku pernah melihat novel-novel paperback berbahasa Inggris jadul seperti Harold Robbins dsb memang berpinggiran kertas berwarna, namun aku tak pernah menemukannya dalam buku terjemahan. Dan buku itu adalah buku terjemahan terbitan Gramedia tahun 2007.
Wow, buku yang artistik dan antik nih. Meski aku sudah pernah mendengar kisah tentang Dracula, tapi aku memang belum pernah membaca bukunya. Maka aku beli buku itu. Aku telah membayangkan asyiknya membaca buku itu. Dan untuk menambah sensasinya, aku mulai membacanya pada malam hari sebelum tidur. Aku ingat dulu ketika pertama kali membaca Sepuluh Anak Negro-nya Agatha Christie, aku juga membacanya kala malam, dan suasananya sangat mendukung ketegangan yang terbangun di kisah itu.
Halaman awal buku Dracula ternyata memang menawarkan ketegangan itu, maka akupun melanjutkannya hingga si tokoh yang menginap di purinya Dracula mulai menemukan keanehan-keanehan yang menakutkan dalam puri itu maupun dalam diri tuan rumahnya. Sampai di situ aku mulai merasa tak nyaman. Bukan..bukannya perasaan takut seperti saat membaca horor, karena toh aku sadar bahwa ini hanya kisah fiksi. Namun, entahlah....kisah ini rasanya terlalu 'gelap' bagiku. Bukan suasananya secara harafiah (masak kisah Dracula suasananya ceria?). Namun 'kegelapan' itu kok aku rasakan hingga ke jiwa ya? Aku jadi ngeri deh. Hati ini rasanya tak nyaman, tak ada damai, pokoknya tak enak lah... Akhirnya aku tutup buku itu, aku sembunyikan di bawah Alkitab-ku. Sungguh, itu tindakan kekanak-kanakan banget ya? Tapi dengan begitu aku jadi merasa sedikit ayem.
Aku memang penggemar kisah thriller, tapi kalau 'gelap'nya sampai merasuk di hati, ogah ah... Di sisi lain, itu menunjukkan kualitas Bram Stroker dalam menulis kisah ini. Penulis yang bisa mengajak pembacanya turut masuk ke dalam suasana yang ia bangun pada cerita itu, berarti memang penulis hebat.
Jadi akhirnya, sampailah aku pada kesimpulan bahwa kita tak perlu terpatok pada selera massa. Seringkali buku-buku yang bukan best-seller justru lebih memenuhi selera kita. Sedang buku best-seller yang disukai banyak orang mungkin sama sekali tak ingin kita baca. Buku bagus menurut khalayak ramai belum tentu adalah buku favorit kita.
Bagaimana dengan anda? Punya pengalaman membaca buku best-seller yang ternyata tak memenuhi selera? Share disini yuk....
Si Rudi suka banget kisah-kisah sejarah macam samurai dan perang, dia juga suka kisah fantasi seperti Harry Potter atau Lord Of The Ring, tapi tak suka kisah romantis (iyalah..jarang cowok yang suka kisah romantis). Yudhi lebih suka buku yang mengandalkan logika dan deduksi seperti Agatha Christie dan Sherlock Holmes. Kisah sejarah? Bikin ngantuk, katanya... Kisah fantasi dia juga tak suka, makanya tak pernah membaca Harry Potter.
Kalau aku, mungkin seleraku lebih mirip Rudi karena aku suka Harry Potter, meski tak suka Lord Of The Ring. Tapi sama seperti Yudhi, buku sejarah juga sering bikin aku bosan. Dan aku paling suka Agatha Christie, seperti Yudhi. Hanya saja alasannya bukan karena deduksinya saja, tapi faktor psikologi manusianya juga. Sherlock Holmes? Terlalu banyak deduksinya menurutku, kurang ada seninya. Lho?
Kalau begitu, memang susah ya untuk menemukan dua orang yang benar-benar sama seleranya. Jadi, tidaklah mengherankan kalau ada beberapa buku yang masuk kategori bagus dan best seller, tapi sama sekali tak masuk daftar bacaanku. Contohnya ada beberapa nih...
Lord Of The Ring
Sungguh.... aku dulu sempat beli seri 1 buku ini, karena banyak yang bilang kisahnya mirip dengan Harry Potter. Tapi, baru halaman 1 aku baca...aku jadi ilfil alias kehilangan selera untuk meneruskan. Hanya karena buku ini best seller kala itu, aku memaksakan diri untuk membaca beberapa halaman berikutnya, dengan harapan mungkin lama kelamaan ceritanya akan mengalir dengan lebih enak. Dan akhirnya...aku menyerah. Aku tutup buku itu di bab-bab awal dan tak hendak aku meneruskannya lagi selamanya. Entah kenapa, membaca kisah itu, rasanya datar dan membosankan. Pasti banyak nih teman-teman yang tidak setuju denganku, tapi memang begitulah perasaanku.
Eragon
Buku yang satu ini juga buku bertema fantasi. Ketika aku membaca beberapa halaman awal, aku tak merasakan sensasi-membaca-buku-bagus yang sering datang ketika membaca halaman awal suatu buku. Maka aku memutuskan aku takkan menyukai Eragon dan semua sekuelnya. Bagiku ceritanya terlalu fantastis. Padahal Harry Potter kan juga fantasi ya? Yah..entahkah pokoknya aku tak suka.
Buku yang bagus menurutku haruslah membuat emosiku turut ambil bagian saat secara fisik otak mencerna apa yang aku baca. Kisah di buku itu haruslah membuatku merasakan sesuatu. Tegang? penasaran? Atau aku tiba-tiba merasa sudah pindah dari alam nyata ke dalam kisah itu sendiri. Yang terakhir ini aku alami saat membaca Harry Potter.
Hingga kini aku masih bisa mengingat sensasi itu. Sensasi-halaman-pertama, aku menyebutnya. Aku masih ingat bagaimana suasana malam yang sepi di Privet Drive, dan tiba-tiba suasana magis terasa ketika seekor kucing hitam dengan mata tajam duduk diam di atas tembok, lalu satu per satu lampu jalanan padam mengiringi kemunculan Dumbledore. Semua itu langsung terasa menyihirku ke dalam kisah yang ditulis JK Rowling itu. Seakan aku tiba-tiba tanpa sadar sudah pindah dunia, dan berada di jalanan Privet Drive, menonton semua atraksi itu. Dan sepertinya ada magnet yang mencengkeram aku untuk terus dan terus membaca.
Di luar itu, ada juga buku yang memang bagus di awalnya, namun makin lama membuatku merasa tak nyaman. Tak nyaman di sini bisa berarti bosan karena alur cerita ternayata monoton dan datar saja, atau... ini nih yang baru saja kualami...
Dracula (by Bram Stroker)
Ini buku yang baru-baru ini aku baca. Siapa yang tak tahu tokoh Drakula si penghisap darah itu? Beberapa waktu lalu, saat aku bongkar-bongkar di sebuah lapak buku bekas, aku menemukan sebuah buku dengan tampilan yang sangat unik. Warna dasar sampulnya hitam pekat. Lalu judulnya tertulis dalam huruf kuno berwarna emas: "Dracula". Tanpa ilustrasi lainnya, tanpa warna lain. Hanya hitam bertulisan emas. Lalu di bagian sisi sampul terdapat nuansa emas berupa beberapa kotak yang berisi tulisan judul dan pengarang. Bagian belakang sampul tentu saja hitam pekat. Yang istimewa lagi, pinggiran kertasnya berwarna merah tua. Aku pernah melihat novel-novel paperback berbahasa Inggris jadul seperti Harold Robbins dsb memang berpinggiran kertas berwarna, namun aku tak pernah menemukannya dalam buku terjemahan. Dan buku itu adalah buku terjemahan terbitan Gramedia tahun 2007.
Wow, buku yang artistik dan antik nih. Meski aku sudah pernah mendengar kisah tentang Dracula, tapi aku memang belum pernah membaca bukunya. Maka aku beli buku itu. Aku telah membayangkan asyiknya membaca buku itu. Dan untuk menambah sensasinya, aku mulai membacanya pada malam hari sebelum tidur. Aku ingat dulu ketika pertama kali membaca Sepuluh Anak Negro-nya Agatha Christie, aku juga membacanya kala malam, dan suasananya sangat mendukung ketegangan yang terbangun di kisah itu.
Halaman awal buku Dracula ternyata memang menawarkan ketegangan itu, maka akupun melanjutkannya hingga si tokoh yang menginap di purinya Dracula mulai menemukan keanehan-keanehan yang menakutkan dalam puri itu maupun dalam diri tuan rumahnya. Sampai di situ aku mulai merasa tak nyaman. Bukan..bukannya perasaan takut seperti saat membaca horor, karena toh aku sadar bahwa ini hanya kisah fiksi. Namun, entahlah....kisah ini rasanya terlalu 'gelap' bagiku. Bukan suasananya secara harafiah (masak kisah Dracula suasananya ceria?). Namun 'kegelapan' itu kok aku rasakan hingga ke jiwa ya? Aku jadi ngeri deh. Hati ini rasanya tak nyaman, tak ada damai, pokoknya tak enak lah... Akhirnya aku tutup buku itu, aku sembunyikan di bawah Alkitab-ku. Sungguh, itu tindakan kekanak-kanakan banget ya? Tapi dengan begitu aku jadi merasa sedikit ayem.
Aku memang penggemar kisah thriller, tapi kalau 'gelap'nya sampai merasuk di hati, ogah ah... Di sisi lain, itu menunjukkan kualitas Bram Stroker dalam menulis kisah ini. Penulis yang bisa mengajak pembacanya turut masuk ke dalam suasana yang ia bangun pada cerita itu, berarti memang penulis hebat.
Jadi akhirnya, sampailah aku pada kesimpulan bahwa kita tak perlu terpatok pada selera massa. Seringkali buku-buku yang bukan best-seller justru lebih memenuhi selera kita. Sedang buku best-seller yang disukai banyak orang mungkin sama sekali tak ingin kita baca. Buku bagus menurut khalayak ramai belum tentu adalah buku favorit kita.
Bagaimana dengan anda? Punya pengalaman membaca buku best-seller yang ternyata tak memenuhi selera? Share disini yuk....
hmmm...buku terakhir twilight saga tak aku sentuh sedikit pun. keburu bosan dengan karakter edward dkk
ReplyDeleteKalau saya....salah satu buku yang menurut saya terbaik adalah pembunuhan roger ackroyd-nya Agatha Chritie
ReplyDelete@bukan detikcom: Hah..bener tuh! Twisted ending banget, keren!
ReplyDeleteaku pernah kok. dulu aku penasaran banget sama bukunya Raditya Dika yg katanya lucu banget. Tapi setelah aku coba baca, ternyata ngga lucu2 amat. Jadinya aku tetep setia sama Lupus, dari mulai Lupus Kecil, Lupus ABG, sampe Lupus Milenia. Hehe ngga bosen2 bacanya!
ReplyDeleteoya aku juga suka sama Agatha Christie loh! hehe
salam kenal mba dari Wulan di Tangerang! :D
aku dah lama banget gak baca novel sejak kul dulu hehe..tapi dulu suka banget dgn karya2nya agatha christie :)
ReplyDeletetukeran link yok!!
ReplyDeletelink blog kamu sudah terpasang di blogku, link balik yach :) silahkan di liat di blogku!!
ntar pasang link ku dengan anchor text "Blogspot Template" yach,
dan jdi follower q juga yah
mksih..
Iya mb, setuju banget, bahwa tentang selera itu tentu lebih baik mengikuti diri sendiri, dan bukannya selera orang lain, dan rasanya orang lain akan lebih nyaman dengan suatu sikap tulus seperti itu.
ReplyDeleteKalau sampai bacanya bisa merasa seperti itu, sehingga tidak diteruskan, itu menunjukkan mb Fanda kalau membaca sesuatu nggak setengah hati. Dan memang dengan membaca, inginnya hati menjadi lebih kaya kebaikan bukannya kejahatan.
Pada dasarnya saya suka fiksi romantis, misteri dan fantasi seperti buku-buku karangan Sidney Sheldon, Agatha Christie dan Nicholas Spark. Harry Potter dan Twilight Saga masih ok lha.
ReplyDeleteNamun favorit saya adalah non fiksi yang dapat menyentuh hati dan membuat saya berpikir ulang tentang arti hidup, seperti karya-karya Mitch Albom. Saya suka gaya bahasa dan pilihan kata-katanya :)
Seperti Fanda, saya kurang sreg dgn LOTR dan Eragon-Eldest-Brisingr juga, rasanya terlalu berat dan membosankan, mendingan nonton filmnya aja :p
Salah satu best seller book yang kurang sreg untuk saya: Eat, Pray and Love. Entah mengapa saya malas melanjutkannya.
Kalo komik, my favourite is Glass Mask (Topeng Kaca). No doubt about this! ^.^
Trilogi Lord Of The Ring aku suka mbak.... Malah aku masih telaten membuka2 petanya, setiap kali diceritakan masuk ke daerah baru. Pokoknya rute perjalanannhya aku ikuti dg cara membuka petanya hehehe
ReplyDeleteaku juga suka banget agatha christieeee... :-*
ReplyDeletesuka caranya dia bercerita dan suka aja gitu belajar memahami sifat orang2 dari situ, heheu...
selamat hari Jumat, mbak fanda
semoga hari ini menyenangkan :D
tadi udah mampir ya ke tempatku, heheu.. :">
HAPPY WEEKEND!
Salam kangen mBak Fanda.
ReplyDeleteMeskipun sudah tua aku suka baca Teenlit. Suka kejujuran, kratifitas dan kepolosan anak-anak muda. Semua itu salah satu upaya mengenal psikologi siswa saya.