“Kenapa orang mengambil istri? Untuk meneruskan garis keturunan keluarga.” ~hlm. 90.
“Bagi seorang wanita, tidak menikah bukanlah pilihan, tidak punya anak tidak bisa diterima, dan hanya memiliki anak perempuan tidak bisa dibanggakan sama sekali.” ~hlm. 93.
“Kau memukuli perempuan supaya dia patuh seperti kau membuat adonan untuk dijadikan bakmi.” ~hlm. 106.
Sebagai seorang perempuan, marah tentunya adalah reaksi yang wajar bagiku membaca potongan percakapan-percakapan di atas. Ya, aku sudah mengetahui dalam sejarah bahwa di abad-abad lalu, keberadaan perempuan selalu di nomor duakan, bahkan cenderung disepelekan. Aku juga sudah belajar tentang bagaimana rakyat China begitu mengagung-agungkan anak laki-laki sehingga anak perempuan cenderung “dibuang” dan ditolak. Dan aku sudah memiliki semua persepsi itu sewaktu hendak membaca buku ini: Big Breasts and Wide Hips, yang menurutku waktu itu pastilah (lagi-lagi) mengenai ketidakberdayaan perempuan di China.
Namun, membaca halaman demi halaman buku ini, rasa marahku berkembang menjadi jijik, ngeri dan trenyuh saat memahami penderitaan yang sesungguhnya ditanggung oleh kaumku itu di China sana, seabad yang lalu. Perempuan bukan saja disepelekan dan ditolak, ada di antara mereka yang diperlakukan sangat tidak manusiawi dan dengan sangat biadab. Dan Mo Yan, penulis kisah nyata ini, menjelentrehkan semua budaya kejam itu melalui kisah diri seorang wanita bernama Shangguan Lu.
Lu Xuan’er adalah seorang anak perempuan yatim piatu yang dipelihara paman dan bibinya. Ia baru berusia lima tahun ketika ia harus mendapatkan siksaan pertamanya sebagai seorang perempuan. Kaki-kaki mungilnya harus mulai diikat karena jaman itu deskripsi kecantikan perempuan adalah kaki yang teramat mungil yang diibaratkan teratai. Namun yang anda mungkin belum tahu, adalah proses yang amat menyakitkan dalam pengikatan kaki itu. “…Kata Ibu, sakitnya sama seperti kalau kita membenturkan kepala ke dinding.” ~hlm 79. Dan untuk apa penderitaan itu harus dialami anak berusia lima tahun? Hanya agar saat dewasa akan ada laki-laki yang mau menikahinya!
Saat usianya tujuh belas tahun Xuan’er dipinang oleh keluarga Shangguan untuk putra mereka. Sudah berharap segera meminang bayi laki-laki, Shangguan Lũ --sang ibu mertua yang bengis—kecewa karena menantu perempuannya tak kunjung hamil. Rentetan kata-kata kasar, menghina dan merendahkan sudah biasa meneror keseharian Shangguan Lu (nama Xuan’er setelah menikah). Hingga akhirnya saat pulang ke kampung bibi dan pamannya dan memeriksakan diri ke dokter, kenyataan yang ironis pun mereka dapati. Ternyata yang mandul bukanlah Shangguan Lu, melainkan suaminya.
Bagaimana pun tak mungkin baginya meminta keadilan. Selama ia tak dapat memberikan anak laki-laki bagi mertuanya, sang ibu mertua akan terus menyiksanya. Maka sang bibi memberi kemenakannya arak hingga mabuk, lalu menyuruh suaminya untuk menyetubuhi Shangguan Lu supaya ia bisa hamil. Si Cakar Besar, paman Shangguan Lu, sempat menanamkan benihnya dua kali di rahim kemenakannya. Dua-duanya menghasilkan anak perempuan. Lalu karena teror dari sang ibu mertua yang makin intens tiap kali Shangguan Lu melahirkan anak perempuan, Shangguan Lu akhirnya terpaksa menggunakan “donor” dari pria yang berbeda-beda demi memberinya anak laki-laki.
Di “Daftar Tokoh-Tokoh Penting” yang diselipkan sebelum bab I buku ini, anda akan melihat deretan ayah anak-anak perempuan Shangguan Lu yang akhirnya berjumlah hingga delapan orang. Mulai dari pedagang anak itik, dokter herbal keliling, jagal anjing, biarawan, hingga pastor misionaris berdarah Swedia. Bahkan empat orang tentara desertir pada masa itu menambahkan jejak kelam dalam sejarah memilukan Shangguan Lu, ketika keempat pria itu memperkosa Shangguan Lu dan memberinya anak perempuan yang ketujuh.
Sedangkan anak laki-laki yang ditunggu-tunggu itu akhirnya lahir ke dunia bersama dengan kembarannya, anak perempuan ke delapan yang buta. Anak laki-laki inilah yang kelak menceritakan kisah Shangguan Lu ini hingga menjadi buku ini.
Yang membuatku miris pada bagian ini adalah kelakuan suami dan ibu mertua Shangguan Lu. Bagaimana mungkin seorang manusia tega menyuruh wanita yang baru saja beberapa menit lalu melahirkan anak, untuk langsung bekerja keras di ladang di bawah terik matahari? Apalagi manusia itu seorang ibu yang pasti tahu rasanya melahirkan anak? Tubuhku sampai menggigil membayangkan kekejian macam itu.
Keadaan agak membaik (dan membuatku bisa menghembuskan napas lega) ketika pasukan Jepang masuk ke kota tempat mereka tinggal dan membunuh mertua laki-laki dan suami Shangguan Lu, sementara ibu mertuanya menjadi linglung. Sejak saat itu Shangguan Lu harus berusaha menghidupi ke delapan anaknya. Ketika melihat Pastor Malory yang mencintai Shangguan Lu dengan lembut, memperlakukannya sebagai seorang wanita, aku pun ikut bersyukur, meski keadaan itu tak berlangsung lama.
Membesarkan delapan anak sendirian sambil mengarungi kondisi politik yang tak menentu bukanlah tugas mudah bagi Shangguan Lu. Kekecewaan demi kekecewaan harus dialaminya ketika anak-anak perempuannya satu demi satu menikah dengan pria-pria “bermasalah”. Ada yang pemberontak, ada pula yang bandit. Dan anak-anak perempuan itu sendiri ada yang menjadi gila, ada pula yang bunuh diri. Lalu bagaimana dengan si anak laki-laki yang digadang-gadang menjadi anak emas, dan demi kehadirannya di dunia ini si ibu rela mengorbankan segalanya, dari nyawa hingga kehormatannya?
Ternyata Jintong, si anak laki-laki itu tumbuh menjadi anak manja yang ketagihan menyusu hingga usia tujuh tahun, sekaligus memiliki obsesi yang menyimpang terhadap payudara wanita. Di bagian inilah aku merasa agak risih karena Jintong suka menilai perempuan dari bentuk payudaranya, alih-alih cara berpikir atau perasaannya. Di sini aku jadi bertanya-tanya, apakah maksud Mo Yan menggunakan metafora payudara ini dengan cara yang (menurutku) terlalu vulgar? Alih-alih mengambil simpati para wanita, ia malah membuatku merasa tak nyaman.
Di luar itu, keunikan buku ini adalah karena keluarga Shangguan secara tak sengaja merupakan saksi dan pelaku beberapa sejarah penting. Shangguan Lu lahir tepat pada tahun terjadinya pemberontakan Boxer, kemudian berturut-turut ia turut terlibat (meski sedikit dan secara tak sengaja) dalam invasi Jepang ke China saat Perang Dunia II hingga Revolusi Kebudayaan. Demikian juga anak-anak perempuan dan para menantunya.
Pada akhirnya, Mo Yan seolah ingin menunjukkan keperkasaan kaum wanita melalui Big Breasts and Wide Hips ini. Kaum wanita yang waktu dianggap lemah dan tak berarti, justru memainkan banyak peranan penting yang mengubah sejarah. Sebaliknya, anak laki-laki yang dinanti-nantikan kehadirannya sehingga memberikan penderitaan pada ibu dan kakak-kakak perempuannya, malah tumbuh dewasa sebagai pria lembek yang tak berdaya, yang bahkan tunduk pada wanita.
Tiga bintang untuk buku ini, karena meski kurang nyaman dibaca –selain karena ke-vulgar-an dan kebrutalannya, juga penempatan paragraph-paragraf yang panjang sangat melelahkan untuk dinikmati— namun Mo Yan telah berhasil membuahkan tulisan bernuansa realism magis bercampur sejarah yang dengan sangat detail membangun karakter tokoh-tokohnya.
Judul: Big Breasts and Wide Hips
Penulis: Mo Yan
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Serambi
Terbit: Mei 2011
Tebal: 750 hlm
“Bagi seorang wanita, tidak menikah bukanlah pilihan, tidak punya anak tidak bisa diterima, dan hanya memiliki anak perempuan tidak bisa dibanggakan sama sekali.” ~hlm. 93.
“Kau memukuli perempuan supaya dia patuh seperti kau membuat adonan untuk dijadikan bakmi.” ~hlm. 106.
Sebagai seorang perempuan, marah tentunya adalah reaksi yang wajar bagiku membaca potongan percakapan-percakapan di atas. Ya, aku sudah mengetahui dalam sejarah bahwa di abad-abad lalu, keberadaan perempuan selalu di nomor duakan, bahkan cenderung disepelekan. Aku juga sudah belajar tentang bagaimana rakyat China begitu mengagung-agungkan anak laki-laki sehingga anak perempuan cenderung “dibuang” dan ditolak. Dan aku sudah memiliki semua persepsi itu sewaktu hendak membaca buku ini: Big Breasts and Wide Hips, yang menurutku waktu itu pastilah (lagi-lagi) mengenai ketidakberdayaan perempuan di China.
Namun, membaca halaman demi halaman buku ini, rasa marahku berkembang menjadi jijik, ngeri dan trenyuh saat memahami penderitaan yang sesungguhnya ditanggung oleh kaumku itu di China sana, seabad yang lalu. Perempuan bukan saja disepelekan dan ditolak, ada di antara mereka yang diperlakukan sangat tidak manusiawi dan dengan sangat biadab. Dan Mo Yan, penulis kisah nyata ini, menjelentrehkan semua budaya kejam itu melalui kisah diri seorang wanita bernama Shangguan Lu.
Lu Xuan’er adalah seorang anak perempuan yatim piatu yang dipelihara paman dan bibinya. Ia baru berusia lima tahun ketika ia harus mendapatkan siksaan pertamanya sebagai seorang perempuan. Kaki-kaki mungilnya harus mulai diikat karena jaman itu deskripsi kecantikan perempuan adalah kaki yang teramat mungil yang diibaratkan teratai. Namun yang anda mungkin belum tahu, adalah proses yang amat menyakitkan dalam pengikatan kaki itu. “…Kata Ibu, sakitnya sama seperti kalau kita membenturkan kepala ke dinding.” ~hlm 79. Dan untuk apa penderitaan itu harus dialami anak berusia lima tahun? Hanya agar saat dewasa akan ada laki-laki yang mau menikahinya!
Saat usianya tujuh belas tahun Xuan’er dipinang oleh keluarga Shangguan untuk putra mereka. Sudah berharap segera meminang bayi laki-laki, Shangguan Lũ --sang ibu mertua yang bengis—kecewa karena menantu perempuannya tak kunjung hamil. Rentetan kata-kata kasar, menghina dan merendahkan sudah biasa meneror keseharian Shangguan Lu (nama Xuan’er setelah menikah). Hingga akhirnya saat pulang ke kampung bibi dan pamannya dan memeriksakan diri ke dokter, kenyataan yang ironis pun mereka dapati. Ternyata yang mandul bukanlah Shangguan Lu, melainkan suaminya.
Bagaimana pun tak mungkin baginya meminta keadilan. Selama ia tak dapat memberikan anak laki-laki bagi mertuanya, sang ibu mertua akan terus menyiksanya. Maka sang bibi memberi kemenakannya arak hingga mabuk, lalu menyuruh suaminya untuk menyetubuhi Shangguan Lu supaya ia bisa hamil. Si Cakar Besar, paman Shangguan Lu, sempat menanamkan benihnya dua kali di rahim kemenakannya. Dua-duanya menghasilkan anak perempuan. Lalu karena teror dari sang ibu mertua yang makin intens tiap kali Shangguan Lu melahirkan anak perempuan, Shangguan Lu akhirnya terpaksa menggunakan “donor” dari pria yang berbeda-beda demi memberinya anak laki-laki.
Di “Daftar Tokoh-Tokoh Penting” yang diselipkan sebelum bab I buku ini, anda akan melihat deretan ayah anak-anak perempuan Shangguan Lu yang akhirnya berjumlah hingga delapan orang. Mulai dari pedagang anak itik, dokter herbal keliling, jagal anjing, biarawan, hingga pastor misionaris berdarah Swedia. Bahkan empat orang tentara desertir pada masa itu menambahkan jejak kelam dalam sejarah memilukan Shangguan Lu, ketika keempat pria itu memperkosa Shangguan Lu dan memberinya anak perempuan yang ketujuh.
Sedangkan anak laki-laki yang ditunggu-tunggu itu akhirnya lahir ke dunia bersama dengan kembarannya, anak perempuan ke delapan yang buta. Anak laki-laki inilah yang kelak menceritakan kisah Shangguan Lu ini hingga menjadi buku ini.
Yang membuatku miris pada bagian ini adalah kelakuan suami dan ibu mertua Shangguan Lu. Bagaimana mungkin seorang manusia tega menyuruh wanita yang baru saja beberapa menit lalu melahirkan anak, untuk langsung bekerja keras di ladang di bawah terik matahari? Apalagi manusia itu seorang ibu yang pasti tahu rasanya melahirkan anak? Tubuhku sampai menggigil membayangkan kekejian macam itu.
Keadaan agak membaik (dan membuatku bisa menghembuskan napas lega) ketika pasukan Jepang masuk ke kota tempat mereka tinggal dan membunuh mertua laki-laki dan suami Shangguan Lu, sementara ibu mertuanya menjadi linglung. Sejak saat itu Shangguan Lu harus berusaha menghidupi ke delapan anaknya. Ketika melihat Pastor Malory yang mencintai Shangguan Lu dengan lembut, memperlakukannya sebagai seorang wanita, aku pun ikut bersyukur, meski keadaan itu tak berlangsung lama.
Membesarkan delapan anak sendirian sambil mengarungi kondisi politik yang tak menentu bukanlah tugas mudah bagi Shangguan Lu. Kekecewaan demi kekecewaan harus dialaminya ketika anak-anak perempuannya satu demi satu menikah dengan pria-pria “bermasalah”. Ada yang pemberontak, ada pula yang bandit. Dan anak-anak perempuan itu sendiri ada yang menjadi gila, ada pula yang bunuh diri. Lalu bagaimana dengan si anak laki-laki yang digadang-gadang menjadi anak emas, dan demi kehadirannya di dunia ini si ibu rela mengorbankan segalanya, dari nyawa hingga kehormatannya?
Ternyata Jintong, si anak laki-laki itu tumbuh menjadi anak manja yang ketagihan menyusu hingga usia tujuh tahun, sekaligus memiliki obsesi yang menyimpang terhadap payudara wanita. Di bagian inilah aku merasa agak risih karena Jintong suka menilai perempuan dari bentuk payudaranya, alih-alih cara berpikir atau perasaannya. Di sini aku jadi bertanya-tanya, apakah maksud Mo Yan menggunakan metafora payudara ini dengan cara yang (menurutku) terlalu vulgar? Alih-alih mengambil simpati para wanita, ia malah membuatku merasa tak nyaman.
Di luar itu, keunikan buku ini adalah karena keluarga Shangguan secara tak sengaja merupakan saksi dan pelaku beberapa sejarah penting. Shangguan Lu lahir tepat pada tahun terjadinya pemberontakan Boxer, kemudian berturut-turut ia turut terlibat (meski sedikit dan secara tak sengaja) dalam invasi Jepang ke China saat Perang Dunia II hingga Revolusi Kebudayaan. Demikian juga anak-anak perempuan dan para menantunya.
Pada akhirnya, Mo Yan seolah ingin menunjukkan keperkasaan kaum wanita melalui Big Breasts and Wide Hips ini. Kaum wanita yang waktu dianggap lemah dan tak berarti, justru memainkan banyak peranan penting yang mengubah sejarah. Sebaliknya, anak laki-laki yang dinanti-nantikan kehadirannya sehingga memberikan penderitaan pada ibu dan kakak-kakak perempuannya, malah tumbuh dewasa sebagai pria lembek yang tak berdaya, yang bahkan tunduk pada wanita.
Tiga bintang untuk buku ini, karena meski kurang nyaman dibaca –selain karena ke-vulgar-an dan kebrutalannya, juga penempatan paragraph-paragraf yang panjang sangat melelahkan untuk dinikmati— namun Mo Yan telah berhasil membuahkan tulisan bernuansa realism magis bercampur sejarah yang dengan sangat detail membangun karakter tokoh-tokohnya.
Judul: Big Breasts and Wide Hips
Penulis: Mo Yan
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Serambi
Terbit: Mei 2011
Tebal: 750 hlm
Wah, bukunya tebel ya Mbak.. 750 halaman..hohohh.. baca reviewnya jadi miris.. perempuan itu waktu dulu ternyata dimana-mana dinomerduakan ya..
ReplyDeleteAku ngga pernah bisa paham kenapa di cina jaman dulu perempuan yang dianggap cantik adalah yang kakinya kecil secara tidak wajar. Aku baca reviewnya aja jadi esmosi jiwa mba. Hehehe.
ReplyDelete@Alvina: itu namanya buku seksi abiss!
ReplyDelete@Annisa: menurutku itu cara laki-laki jaman itu "memasung" kebebasan perempuan, dengan kaki kecil perempuan mau jalan aja susah, sehingga gampang dikuasai. Lalu laki2 menciptakan image bhw yg cantik menurut mereka adalah yg kaki kecil. Karena perempuan takut gak laku dan jd perawan tua, maka terjadilah pengikatan kaki macam itu
miris ya, aku sudah baca beberapa buku tentang wanita Cina jaman dulu (entah jaman sekarang )semuanya bikin.. ngilu dan gemes
ReplyDeletenice review, aku follow ya :)
nah, nah, judulnya aja mengundang gitu ya? saya tahu kalau menilai wanita hanya dari bentuk fisiknya adalah sebuah pelecehan yang menyakitkan, tapi, kita harus sadar juga bahwa di setiap zaman, big breast dan wide hip adalah obsesi sebagian besar pria. saya rasa akses ke ilmu pengetahuan yang seimbanglah yang akan menempatkan wanita di posisi yang seharusnya; posisi yang setara tanpa harus keluar dari kodrat sebagai mahluk tuhan yang memang diciptakan berbeda.
ReplyDeleteanyway, good review! as usual!
@nannianest: makasih udah komen dan follow ya.
ReplyDelete@Review Buku: dan as usual juga, nice comment from you! Thanks..
Halo Fanda :) Kenalkan, namaku Louisa tapi dipanggil Nonik hehe.
ReplyDeleteAku suka baca loh, i have a lot of books!! :D
Ini pertama kalinya mampir di blogmu hehe. Aku udah baca Big Breast Wide Hips. Edaaan keren banget lah itu... tapi rada cape bacanya, coz banyak kalimat panjang2 yg ga perlu en terlalu bertele2 --.-- Tapi inti ceritanya sih bagus, aku suka :)
En bener banget itu Jintong aneh banget ya jadi orang. Bener2 menjijikkan & memuakkan lah kecanduannya sama women's breast.. Hii selama baca itu aku memandang rendah Jintong, karena dia jadi cowo kok lembek banget, ga berdaya. sungguh memalukan!! En endingnya pun ga terlalu bagus menurutku.
btw, mampir2 ke blogku juga yah, ke www.nonikblog.blogspot.com :D