"Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati."
Di kepulauan Fiji, di sebuah resort di pulau Taveuni, secara tak sengaja bertemulah beberapa turis. Frank si ahli biologi evolusioner, John Spooke si penulis, dan pasangan eksentrik José dan Ana, wartawan TV dan penari Flamenco. Buku ini dibuka dengan narasi John, yang mengisahkan percakapannya dengan Frank yang berpisah dari istrinya Vera, setelah anak mereka Sonja meninggal akibat kecelakaan. Frank menulis surat panjang kepada Vera mengenai pengalamannya di pulau Taveuni itu, dan John akhirnya mendapat salinan surat itu lantas menuliskan kembali isinya bagi kita.
Fiji, pulau yang eksotis dengan flora dan fauna langkanya, mungkin tempat yang paling ideal untuk membicarakan evolusi. Tanpa sengaja Frank mendengar José dan Ana mendeklamasikan potongan puisi-puisi aneh tentang penciptaan manusia dan keberadaan alam semesta. Dengan sendirinya, Frank pun mulai merenungkan keberadaan manusia di dunia ini, yang menurut ilmu biologi adalah vertebrata yang berasal dari satu sel dan telah berevolusi selama milyaran tahun sehingga menjadi manusia sekarang ini. Frank juga merenungkan lahirnya alam semesta lewat Big Bang, dan ketakutannya akan kematian, akan kepunahan manusia yang tak dapat dihindari.
Bukanlah kebetulan bahwa seekor tokek besar mengganggu Frank di kamar tidurnya selama menginap di resort. Si tokek bernama Gordon, yang mungkin saja adalah nenek moyang spesies manusia, turut mengusik keyakinan Frank mengenai kehidupan semu primata yang bernama manusia. Selain itu dalam suatu makan malam bersama di resort itu, entah bagaimana, perdebatan tentang evolusi dan eksistensi manusia juga mengalir di antara para tamu dalam suatu permainan. Tampaknya masing-masing individu berperan dalam memberikan pemikiran-pemikiran filosofis kepada Frank, baik secara keilmuan maupun secara mistis, ditambah dengan puisi-puisi José dan Ana tentang Joker dan para peri. Apa makna semua ini?
Pulang dari Fiji, Frank pergi ke Spanyol untuk menghadiri konferensi. Di sana ia bertemu dengan Vera istrinya yang telah berpisah dengannya. Di sini akan jelaslah alasan sesungguhnya perpisahan mereka. Namun, bukan Vera saja yang ditemui Frank di Spanyol. José dan Ana tanpa sengaja bertemu dengannya. Di Spanyol inilah, Frank akan teringat mengapa sejak awal berjumpa Ana, ia merasa pernah melihat wajah wanita itu. Semuanya ternyata berkaitan dengan pelukis Fransisco Goya dan lukisannya yang berjudul Maja (La Maja Desnuda dan La Maja Vestida), ehm…dan mungkin juga dengan kemunculan kurcaci tua yang suka muncul begitu saja (Joker-kah itu?).
Frank lalu terbawa pada kisah Ana yang misterius, tepatnya pada kisah nenek moyang Ana yang berasal dari suku gipsi ini. Di sini anda yang pernah membaca karya Jostein Gaarder lainnya, Misteri Soliter, akan langsung mengenal si Joker yang misterius dari pulau di kisah Misteri Soliter. Joker yang sama kini bukan saja tak pernah menjadi tua, malahan mampu melintasi waktu dan masuk ke dalam kisah Ana. Terlalu fantastis? Mungkin anda akan berpikir begitu waktu tiba di bagian ini. Namun menurutku, di sini Gaarder membawa kita untuk menyadari bahwa seluruh keberadaan alam semesta dan hidup manusia sendiri selalu memiliki makna. Apa yang terjadi di masa lampau mempengaruhi keadaan masa kini, dan apa yang terjadi masa kini mempengaruhi masa depan.
"Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima belas miliar tahun setelah ledakan itu terjadi". Baru pada saat inilah kita menyadari arti penting terjadinya Big Bang yang (kita percayai) merupakan awal lahirnya alam semesta, dari ketiadaan lalu lahirlah ruang dan waktu. Di sisi lain, sesuatu yang terjadi di sini pada saat ini hanya mendapatkan arti dari kejadian-kejadian di masa depan. Ini berarti bahwa seluruh alam semesta maupun hidup manusia bukanlah produk samping yang terjadi secara tidak sengaja. Maka perdebatan ayam dan telur tak lagi signifikan, karena keduanya berhubungan sangat erat.
"Kita tidak tahu ke mana kita akan pergi. Kita hanya tahu bahwa kita telah memulai sebuah perjalanan panjang. Baru setelah tiba di akhir perjalanan, kita akan tahu mengapa kita melakukan perjalanan besar itu, walaupun perjalanan itu mungkin telah berlangsung selama banyak generasi. Maka, kita selalu menemukan diri kita dalam tahap embrio. Banyak hal yang tidak kita ketahui artinya saat ini, mungkin akan tampak jelas tujuannya di perlintasan jalan berikutnya." ~hlm. 347.
Gaarder juga mengajak kita merenungkan bagaimana kita mengisi kehidupan kita. Ada banyak orang yang seolah hidup dalam ilusi (ingat para kurcaci yang berasal dari kartu poker di Misteri Soliter?), hanya menjalani hidup begitu saja, terpaku pada hal-hal duniawi yang semu, tanpa menyadari makna hidupnya (Joker adalah contoh makhluk yang berbeda, yang keluar dari ilusi).
Namun di sisi lain, jangan pula kita sibuk mempertanyakan asal usul alam semesta dan manusia dengan telaah ilmu pengetahuan yang canggih, sehingga akhirnya saat semua yang mampu diungkap telah terungkap, manusia baru menyadari bahwa hidup ini terlalu singkat. Sama seperti yang dialami Frank si ahli biologi evolusioner. Padahal, seberapa canggihnya ilmu pengetahuan pun, alam semesta dan penciptaan akan selamanya menjadi misteri bagi manusia.
"Karena kita adalah teka-teki yang tak teterka siapapun. Kita adalah dongeng yang terperangkap dalam khayalannya sendiri. Kita adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian." ~hlm. 437
Jadi, alih-alih bersibuk-sibuk diri berusaha menemukan misteri kehidupan, alangkah baiknya kalau kita menggunakan waktu yang singkat ini untuk memaknai hidup kita sendiri. Ingatlah selalu bahwa diperlukan hanya beberapa detik untuk mati !
Masih ada banyak kesadaran baru yang akan anda dapatkan dalam buku ini, yang akan lebih menarik bila anda temukan sendiri saat membacanya.
Di akhir kisah ini John sang narator akan menguak sedikit demi sedikit skenario yang telah ia persiapkan bagi Frank dan Vera. Begitu juga kemisteriusan José dan Ana dengan puisi-puisinya serta hubungannya dengan lukisan di Prado yang berjudul Maja, akan sedikit terkuak di bagian akhir kisah ini, meski tak seluruhnya menjadi jelas.
Bagi anda yang belum pernah membaca karya Jostein Gaarder, atau yang sudah pernah namun tak mampu mencerna isinya, kusarankan untuk membacanya dengan kritis. Maksudnya, jangan menganggap kisah Maya ini kisah misteri (meski ada banyak hal yang misterius), sehingga di akhir cerita anda mengharapkan sebuah kesimpulan. Misteri yang ada di sini bukan semata-mata sebuah cerita, melainkan cara Gaarder memberikan contoh atau analogi bagi pemikiran filosofis yang ingin ia jelaskan kepada kita. Ketika ada hal-hal aneh di sepanjang kisah, teruskan saja membaca sambil berpikir, apa yang ingin diungkapkan Gaarder?
Lalu perhatikan juga penjelasan-penjelasan filosofis yang ia berikan. Biasanya dari kisah fiksi dan filosofisnya, anda lambat laun akan menemukan sedikit kesamaan. Dari sana anda dapat mengolah kembali pemikiran anda hingga anda tiba pada wawasan yang ingin Gaarder buka bagi anda.
Maya: Misteri Dunia dan Cinta ini kubaca dan kureview dalam memeriahkan GaarderFest yang diadakan oleh Bukunya.com, dalam rangka memeriahkan ulang tahun Jostein Gaarder yang jatuh pada bulan Agustus ini. Meski ada begitu banyak bagian yang masih belum mampu kupahami, aku memberikan empat bintang untuk buku ini. Seperti biasa, Jostein Gaarder telah menghadirkan sesuatu yang berbeda dalam khasanah literatur kita. Buku-bukunya mampu mengubah cara pandang kita akan kehidupan ini, sekaligus termasuk buku-buku yang hanya bila telah dibaca berulang kali, maka kita akan makin memahami maknanya. Bravo Jostein Gaarder! And happy birthday to you...
Judul: Maya: Misteri Dunia dan Cinta
Penulis: Jostein Gaarder
Penerbit: Mizan
Penerjemah: Winny Prasetyowati
Terbit: Januari 2008
Tebal: 458 hlm
aku pernah baca buku ini beberapa tahun lalu tapi sudah agak lupa. baca reviewnya mbak fanda jadi inget lagi samar2, ceritanya emang agak absurd ya? bukan favoritku dari antara karya gaarder yang lain, tapi ide2nya dia memang gak biasa sih...
ReplyDeleteFiji memang kepualaun yang eksotis. Apa kabar Fan ?
ReplyDeletewah, pada udah kelar aja buat lomba GaarderFest...
ReplyDeleteaku masih baca bbbi boken :)
semoga kekejar yah..
Gaarder loves to turn philosophical thoughts into fiction, eh. interesting, yet sometimes confusing.
ReplyDeletesaya belum pernah baca bukunya. tapi baca review ini, lalu lihat kavernya, kayaknya kavernya terlalu jauh dengan isi buku ya?
ReplyDelete