Friday, September 30, 2011

Hairless

Menurut American Cancer Society, pada tahun 2005-2006 ada satu di antara 1985 orang wanita berusia dua puluhan yang mengidap kanker payudara. Kalau penelitian itu akurat, berarti Ranti Hannah adalah satu wanita tersebut!

Di usia 24 tahun, Ranti Hannah seolah memiliki segalanya yang diidamkan kebanyakan wanita di dunia. Perkawinan bahagia, bayi pertama, karier yang menjanjikan sebagai dokter. Namun hidup memang selalu memiliki keseimbangannya sendiri. Saat kita berpikir kita sedang menjalani hidup yang sempurna, tiba-tiba saja kemalangan akan menunggu kita di belokan berikut. Dalam hal Ranti, kemalangan itu berwujud vonis yang mengerikan: kanker payudara. Dan kanker itu muncul justru di saat ia sedang mengandung.

Hairless adalah sebuah memoar dari seorang wanita yang mengidap kanker payudara. Di buku ini Ranti buka-bukaan tentang hari-hari ia menjalani hidup sebagai pengidap kanker. Diawali dari hari ketika suaminya, Pandu, secara tak sengaja menemukan benjolan kecil di payudaranya, kemudian berlanjut ke tahap pemeriksaan, saat ketika vonis itu dijatuhkan, beratnya hari-hari menjelang operasi dan pengobatan sesudah operasi, hingga saat Ranti memulai kembali hidupnya setelah berpisah dengan kankernya.

Semuanya itu ditumpahkan oleh Ranti ke buku ini dengan gaya santai dan gaul. Dengan membaca memoar ini pada akhirnya kita diajak untuk memiliki ketergaran dan keberanian saat menghadapinya. Hal ini berlaku bukan hanya bagi si penderita, namun juga pasangan hidup dan keluarga dekatnya. Apa yang mungkin saat ini dipandang sebagai momok, mungkin saja sebenarnya biasa saja saat kita mengalaminya.

Yang menarik dari buku ini adalah informasi medis mengenai kanker payudara, cara melihat stadium kankernya, cara pengobatan dan sebagainya. Karena Ranti sendiri adalah seorang dokter, ia bisa menjelaskan dengan detail namun tetap dapat kita tangkap dengan mudah hal-hal yang perlu kita ketahui tentang kanker. Sayangnya, ilustrasi di bagian ini terlalu kecil dan kurang jelas. Akan lebih menarik lagi kalau bagian ini tidak hanya sebagai ilustrasi saja, tapi benar-benar sebagai alat pembelajaran bagi pembaca. Mungkin hal itu akan menjadi kekuatan bagi memoar ini.

Sayangnya, di buku ini banyak bertebaran kalimat-kalimat berbahasa Inggris yang menurutku tidak perlu, yaitu saat Ranti mengungkapkan pikiran atau perasaannya. Sangat mengganggu bagiku, karena saat membaca buku berbahasa Indonesia, aku mengharapkan bahasa ibuku lah yang muncul. Kecuali saat dialog dengan orang asing, bisa dimaklumi untuk menyisipkan bahasa lain. Selain itu, membaca buku ini sering terasa seperti mendengarkan obrolan sekelompok orang, yang seringkali banyak hal tidak penting menyusup, yang membuat esensi buku ini kurang menyentuh. Memang buku ini merupakan memoar, sehingga unsur personal dari penulisnya mungkin akan sangat terasa. Dan mungkin memang buku ini kurang cocok dengan seleraku saja.

Dua bintang aku berikan untuk buku ini.

Judul: Hairless
Penulis: Ranti Hannah
Penerbit: Gagas Media
Terbit: 2011
Tebal: 292 hlm

18 comments:

  1. ayo segera lakukan 'sadari'

    *bener banget, kalimat bahasa inggris yang kebanyakan di buku2 penulis indonesia kadang ganggu banget. contohnya, di novel2 metropop*

    ReplyDelete
  2. jarang loh buku memoar model seperti ini di Indonesia, kalo dr luar negeri sih sering. Kirain dl buku terjemahan nih ...aku suka sama kalimatnya mbak Fanda >>> Namun hidup memang selalu memiliki keseimbangannya sendiri.

    ReplyDelete
  3. pertamax:
    apanya yang hairless mbak?
    apakah si rantinya sendiri?

    memang sepertinya informasi medis tentang kanker payudara sangat minim dalam buku yah

    ReplyDelete
  4. dua bintang mba? wew..
    kalau menurutku buku ini penting banget buat jadi "manual"nya perempuan yang juga bernasib sama.. apalagi kalau emang hal-hal di dalam buku ini bisa diterapkan shg wanita yang kena kanker payudara juga bisa survive. Btw, tumben reviewnya mba fanda pendek. hehehhee

    ReplyDelete
  5. sepertinya bukunya inspiratif ya mbak! soal dialog bahasa inggris, kayanya emang sering sekarang buku bhs indonesia disisipkan bhs inggris, terutama metropop. hanya saja kalau jenis buku seperti ini kayaknya kurang pas disisipkan bhs inggris ya...

    ReplyDelete
  6. Wah belum punya nie bukunya... :)

    Otobiografi ya mba'... hmmm... kalau penuturannya kurang menarik memang kadang jadi kurang menarik ya... :D

    ReplyDelete
  7. tapi informasi tentang kanker benar-benar lengkap dan mudah dimengerti terlepas dari banyaknya b.ingg hehhe, yang paling mengharukan waktu membaca ini adalah sang suami, ahhhh

    ReplyDelete
  8. Ah masalah mbak itu sama dengan yg saya rasa kalau baca novel metropop,makanya kadang males. Saya ga masalah sih bhs Inggris asal pemakaiannya tepat, tidak masalah yg ada di pikiran, asal jgn berkali-kali yang akhirnya terasa mengganggu.

    Mbak Fanda, jujur nih, review yang sepanjang ini jauh lebih 'bersahabat' dengan mata, panjangnya pas:)

    ReplyDelete
  9. hmm.. iya, tumben reviewnya Mbk fanda dikit.. apa karna cuma dapet dua bintang yah?

    ReplyDelete
  10. jujur, aku penasaran dengan isi buku ini, pengen tahu lebih jelas bagaimana si Ranti menghadapi problematikanya

    ReplyDelete
  11. @Ferina: daridulu udah niat lakukan "sadari", tapi kok lupa mulu ya pas waktunya yg tepat. *sigh*...

    @helvry: yg hairless ya kepalanya doong! Si Ranti jadi botak karena efek kemoterapi

    @Ana: Setuju, memang pengetahuan ttg survival kanker ini penting, tp karena modelnya kayak blog, yg penting2 jadi kurang menonjol

    @astrid: Kalo buku kayak gini, istilah2 teknis okelah pake bhs inggris, tapi kalo kebanyakan juga bikin males baca

    ReplyDelete
  12. @Inge: Iya, meski isinya penting tp karena penyajiannya kurang enak, ya kurang enak membacanya. Buatku, membaca itu hobby, jadi kudu menyenangkan dong.

    @peri hutan: Yap! Aku dapet banyak tambahan wawasan ttg kanker, kemoterapi dll dari buku ini.

    @mia: Setuju! Metropop yg paling aku suka itu Ilana Tan, bahasanya bagus gak pake lebay, hehe..
    Tentang panjangnya review, itu tergantung mood, Mia. Kalo sependek ini bagiku masih kurang mendalam. Jadi maaf ya kalo sering2 bikin kamu sakit mata!

    @orybun: Karena bukunya gak terlalu cocok selera, jadi ngereviewnya jg gak mood. benernya kasih 3 bintang Vin, tp karena "sok nginggris" itu, jadi turun 1 bintang deh. Sadis ya?

    @Sinta: mau swap ini gak Sin? *kedip-kedip*

    ReplyDelete
  13. kalau pendapatku, mungkin gaya itu dipilih maksudnya agar pembaca lebih enjoy ya bacanya, kan mayoritas pembaca indonesia susah mencerna yg berat2.. jadi gak terasa berat banget gitu tapi pesannya tetep nyampe. emang kembali pada selera pribadi sih mbak :)

    ReplyDelete
  14. Jujur, hal pertama yang aku lakukan begitu loading page blognya mbak Fanda kelar, adalah pelan2 scroll kebawah. N post ini begitu unik n ngagetin karena cuma dibutuhkan sepersekian detik untuk scroll kebawah buat ngeliat "ujung" review, hahahahaa...

    Tadinya aku mau posting buku ini juga tgl 30 September, eh nggak sempat bacanya :"(

    Semoga aku bisa cepet baca n menyelesaikannya :D

    ReplyDelete
  15. Review yg kritis!

    oh, ada info medis soal kanker ya, perlu dibaca nih... :)

    ReplyDelete
  16. @Novi: Mungkin aja ya, yg jelas cara penulisan kayak gini memang bukan seleraku sih.

    @Melisa: wkwkwk...dramatis banget kesannya. Iya ya, bisa dinobatkan sebagai post terunik nih! *wink*

    ReplyDelete
  17. uupss mbak Fanda, saya ga ada bilang sakit mata lho :)
    Membuat review memang tidak bisa dipaksa, saya juga disuruh buat review serius ga pernah bisa :D

    ReplyDelete
  18. @mia: hehe...kalo kebanyakan baca kan bisa sakit mata, gitu maksudnyaa... Setuju, bikin review gak bisa dipaksa, makanya jadi susah kalo dapet buntelan yg gak sesuai selera. Gak pengen bikin review, tp "terpaksa" deh..

    ReplyDelete